Anda di halaman 1dari 3

Mekanisme Toksik

Suatu mekanisme toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika, biokimia,
dan biologis sangat rumit dan kompleks. Pada berbagai kerja toksik dan mekanisme kerjanya,
dapat dibedakan dua hal berikut:
a) Mekanisme toksik: suatu proses interaksi kimia antara zat senyawa atau metabolitnya dengan
substrat biologik membentuk ikatan kimia kovalen dengan sifat tidak bolak-balik
(ireversible).
b) Pengaruh toksik: perubahan fungsional akibat interaksi bolak-balik (reversible) antara zat
asing (xenobiotik) dengan substrat biologi. Pengaruh toksik dapat hilang jika zat asing tersebut
dikeluarkan dari dalam plasma.
Mekanisme toksik pada umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu: fase eksposisi, fase
toksokinetik dan fase toksodinamik. Dalam menelaah interaksi zat asing dengan organisme hidup
terdapat perlu memperhatikan 2 aspek, yaitu: mekanisme xenobiotika pada organisme dan
pengaruh organisme terhadap xenobiotika. Mekanisme xenobiotika pada organisme adalah
sebagai suatu senyawa kimia yang aktif secara biologik pada organisme tersebut (aspek
toksodinamik). Sedangkan reaksi organisme terhadap xenobiotika umumnya dikenal dengan fase
toksokinetik (Mutschler, 1999).

1. Fase Eksposisi
Dalam fase ini terjadi kotak atau paparan antara xenobiotika dengan organisme. Paparan ini
dapat terjadi melalui kulit, saluran pernafasan (inhalasi) ataupun oral (Gambar 4). Pada
umumnya, efek toksik ataupun efek farmakologi hanya dapat terjadi setelah xenobiotika
terabsorpsi. Jalur utama bagi penyerapan xenobiotika adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit.
Namun pada keracunan aksidential dan penelitian toksikologi, paparan xenobiotika dapat
terjadi melalui jalur injeksi, seperti injeksi intravena, intramuskular, subkutan, intraperitoneal,
dan jalur injeksi lainnya (Mutschler, 1999).
Umumnya hanya xenobiotika dalam bentuk terlarut dan terdispersi molekular yang dapat
terabsorpsi menuju sistem sistemik. Penyerapan xenobiotika sangat tergantung pada
konsentrasi dan lamanya kontak antara xenobiotika dengan permukaan organisme dengan
kemampuan untuk mengaborpsi xenobiotika tersebut. Dalam hal ini laju absorpsi dan jumlah
xenobitika yang terabsorpsi akan menentukan potensi efek biologik/toksik. Pada pemakaian
obat, fase ini dikenal dengan fase farmaseutika. Selama fase eksposisi ini, zat beracun dapat
diubah melalui reaksi kimia tertentu menjadi senyawa lebih toksik atau malah lebih kurang
toksik dari senyawa awal (Frank, 1995).
2. Fase Toksokinetik
Fase ini disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika berada dalam
ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk diabsorpsi menuju aliran
darah atau pembuluh limfa, maka xenobiotika tersebut akan bersama aliran darah atau limfa
didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor). Pada saat bersamaan
sebagian molekul xenobitika akan termetabolisme, atau tereksresi bersama urin melalui ginjal,
melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem eksresi lainnya (Frank, 1995).
Hanya sebagian dari jumlah zat terabsorpsi dapat mencapai tempat kerja sebenarnya, yaitu
jaringan dan reseptor target. Fase toksokinetik dengan prosesnya, yaitu invasi (absorpsi dan
distribusi) serta evasi (biotransformasi dan ekskresi) sangat menentukan daya kerja zat, karena
konsentrasi zat dalam berbagai kompartemen dan jaringan sasaran tergantung pada parameter
toksokinetik. Terdapat 2 proses pada fase ini, antara lain proses transpor dan proses perubahan
metabolik atau biotransformasi. Proses transport meliputi absorpsi, distribusi (termasuk
transpor dan fiksasi pada komponen jaringan dalam organ) dan ekskresi. Sedangkan proses
perubahan metabolik meliputi reaksi penguraian (pemutusuan hidrolitik, oksidasi, dan reduksi)
dan reaksi konjugasi. Reaksi konjugasi umumnya bersifat detoksifikasi sehingga produk hampir
selalu tidak aktif secara biologi. Walau pada umumnya menyebabkan inaktivasi zat, tetapi
metabolit aktif dapat terbentuk karena adanya perubahan kimia, terutama oksidasi. Apabila
metabolit aktif bersifat toksik, maka dikatakan telah terjadi toksifikasi (Koeman, 1987).
3. Fase Toksodinamik
Fase ini merupakan interaksi antara xenobiotik dengan reseptor (tempat mekanisme spesifik)
sehingga terjadi proses-proses terkait dimana pada akhirnya muncul efek toksik. Konsentrasi
xenobiotik akan menentukan kekuatan efek biologi yang ditimbulkan. Pada umumnya
ditemukan konsentrasi zat kimia toksik cukup tinggi dalam hepar (hati) dan ren (ginjal) karena
pada kedua organ tersebut zat toksik dimetabolisme dan diekskresi.
Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi bolak-balik (reversibel). Hal ini
mengakibatkan perubahan fungsional, yang secara lazim dapat hilang bila xenobiotika
tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor). Namun, selain interaksi reversibel, terkadang
terjadi pula interaksi tak bolak-balik (irreversibel) antara xenobiotika dengan sistem biologi.
Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika dengan sistem biologi dimana
terjadi ikatan kimia kovalen dengan sifat irreversibel atau terjadinya perubahan kimia oleh
xenobiotika sendiri, seperti pembentukan peroksida (Frank, 1995).

Anda mungkin juga menyukai