Anda di halaman 1dari 48

DEPARTEMEN IKM / IKK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

LAPORAN KASUS KEDOKTERAN KELUARGA


PUSKESMAS MAMAJANG, KELURAHAN TAMARUNANG,
KECAMATAN MAMAJANG

DISUSUN OLEH :

JEIN PRATIWI PONGBULAAN / C014172186

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN IKM / IKK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa

Nama : Jein Pratiwi Pongbulaan

Nim : C014172186

Judul : Laporan Kasus Kedokteran Keluarga “Diabetes


Mellitus Tipe 2”

Puskesmas : Mamajang Kelurahan Tamarunang, Kecamatan


Mamajang

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik Stase Kedokteran


Komunitas pada Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat & Ilmu Kedokteran
Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar, 26 April 2019

Pembimbing

dr. Hj.Syamsiah Densi R, M.Kes

ii
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. TS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat,Tanggal Lahir : Bantaeng, 17-07-1938
Umur : 80 tahun
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Jl. Harimau Lr. 4 No. 84, Kel. Maricaya Selatan,
Kec. Mamajang
Tanggal Kunjungan : 24 April 2019

1.2 SUBJEKTIF
Anamnesis Terpimpin :
Keluhan Utama: Kram pada kedua tangan dan kaki
- Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan kram pada kedua tangan dan kaki sejak 3 tahun
yang lalu. Kram dirasakan terus-menerus namun pasien masih dapat
beraktifitas seperti biasa. Sebelumnya pasien sering merasa haus dan sering
buang air kecil serta sering merasa lapar, namun keluhan berkurang setelah
rutin mengonsumsi obat metformin tiga kali sehari dan suntik insulin sekali
sehari sejak 5 bulan yang lalu. Pasien mengaku luka cepat sembuh jika ada
luka.
Nyeri kepala tidak ada, pusing tidak ada, demam tidak ada, batuk
tidak ada, nyeri menelan tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada. BAB
kesan normal.
- Riwayat Penyakit Sebelumnya :
 Riwayat hipertensi tidak adaRiwayat penyakit jantung tidak.
 Riwayat penyakit gastritis ada.
 Riwayat asam urat ada

1
 Riwayat operasi mata kiri sebanyak 2 kali. Operasi pertama dilakukan
tahun 2018 dengan diagnosis katarak, namun tidak ada perbaikan.
Operasi kedua dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama dengan
dugaan tumor. Dua hari yang lalu kembali dilakukan biopsy pada mata
kiri pasien.
 Riwayat merokok ada, sudah berhenti sekitar 30 tahun yang lalu
 Riwayat asma tidak ada
 Riwayat penyakit infeksi sebelumnya tidak ada
 Riwayat alergi tidak ada
- Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada.
- Riwayat Sosiekonomi:
Pasien dulunya merupakan seorang penjabat pemerintahan, saat ini sudah
pensiun. Pasien tinggal bersama istri dan 1 keponakan. Istri pertama pasien
sudah meninggal pada tahun 2001, dan kemudian menikah lagi. Pasien
pindah tempat tinggal dari Bantaeng ke Makassar setelah menikah dengan
istri keduanya. Pasien memiliki 6 orang anak (4 perempuan, 2 laki-laki)
dari istri pertamanya. Anak pertama pasien sudah meninggal karena sakit.
Kelima orang anak yang lain tinggal dan menetap di kota tempat mereka
bekerja. Pasien mendapat penghasilan dari dana pensiunannya dibantu
dengan istrinya yang masih aktif bekerja sebagai dosen. Keluarga
penderita menggunakan BPJS.

1.3 OBJEKTIF
A. Status Pasien
• Keadaan Umum : Sakit Sedang/ Gizi Cukup/ Compos mentis
Tinggi badan :160 cm
Berat Badan : 61 kg
• Tanda Vital :
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 90 x/menit

2
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,70C, axilla

B. Pemeriksaan Fisis
Kepala
 Bentuk : Normal, simetris kiri dan kanan
 Rambut : Hitam, lurus, sukar dicabut
 Mata : mata kanan konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-),
reflek cahaya (+), mata kiri sulit dievaluasi.
 Telinga : Tophi (-), serumen (-), pendengaran dalam batas normal,
nyeri tekan di prosesus mastoideus (-)
 Hidung : Septum deviasi (-), perdarahan (-), sekret (-)
 Mulut : Bibir kering, sianosis (-), lidah kotor (-), perdarahan gusi
(-), faring hiperemis (-)

Leher :
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : Tidak ada pembesaran
JVP : R+2 cmH2O
Pembuluh darah : Tidak ada kelainan
Tumor : (-)

Paru :
 Inspeksi
- Bentuk : Pergerakan dada simetris kiri dan kanan saat statis
dan dinamis.
- Tidak ada iga gambang
- Massa tidak ada
- Tanda trauma tidak ada
- Tidak ada retraksi subcostal, intercostal, ataupun suprasternal
 Palpasi

3
- Nyeri tekan tidak ada, pelebaran sela iga tidak ada
- Massa tidak teraba, krepitasi tidak teraba
- Vokal fremitus simetris pada kedua paru
 Perkusi
- Sonor pada kedua hemithorax
- Batas paru hepar : ICS VI dekstra anterior
- Batas paru belakang kanan : CV Th. X dekstra
- Batas paru belakang kiri : CV Th. XI sinistra

 Auskultasi
- Bunyi pernapasan vesikuler
- Bunyi tambahan : Ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada

Jantung :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Thrill tidak teraba
 Perkusi :
- Batas kanan atas ICS II linea parasternalis dextra
- Batas kiri atas ICS II linea midclavicularis sinistra
- Batas kanan bawah: ICS IV linea parasternalis dextra
- Batas kiri bawah ICS V linea midclavicularis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular,
murmur (-)

Abdomen
 Inspeksi : Datar, ikut gerak napas,massa tumor (-)
 Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
 Palpasi : Nyeri tekan (-), massa tumor (-), hepar dan
lien tidak teraba
 Perkusi : Timpani

4
Alat Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas :

 Edema : -/-
 Eritema Palmaris : -/-
 Tidak ada wasting otot, akral hangat

C. Pemeriksaan Penunjang
22 April 2019
GDS: 205 mg/dl

1.4 ASSESSMENT
 Diabetes Mellitus tipe 2
 OS post biopsi tumor

1.5 PLANNING
Non Medikamentosa
- Edukasi untuk membatasi konsumsi gula berlebih
- Edukasi mengonsumsi obat dan suntik insulin secara teratur
- Edukasi menggunakan alas kaki saat beraktifitas
- Edukasi untuk melakukan olahraga teratur
- Edukasi untuk melakukan pemeriksaan gula darah rutin
Medikamentosa
- Metformin 500 mg/8 jam/oral setelah makan
- Injeksi insulin/24 jam sebelum tidur malam hari
1.6 PROGNOSIS
Ad Functionam : Dubia
Ad Sanationam : Dubia
Ad Vitam : Dubia

5
1.7 FAMILY ASSESSMENT TOOL
Faktor Internal
1. Genogram

=
meninggal dunia

2. Struktur Keluarga
Bapak Tahir bersama istri dan 1 orang keponakan tinggal bersama
mereka, yaitu Dewan 30 tahun. Bapak Tahir memiliki 6 orang anak, namun anak
pertama yaiu Sahrul 49 tahun sudah meninggal. Kelima anak mereka tidak tinggal
bersama mereka karena bekerja dan berkeluarga di kota lain, yaitu Harti 45 tahun,
Sabri 44 tahun, Ati 42 tahun, Irna 40 tahun, dan Wati 35 tahun. Sahrul telah
menikah dengan Nursia 47 tahun dan dikaruniai 3 orang anak, yaitu Toto 27
tahun, Ita 25 tahun, dan Anto 22 tahun. Toto menikah dengan Mira 27 tahun dan
dikaruniai 3 orang anak, yaitu Ria 7 tahun, Rei 5 tahun, dan Fariz 3 tahun. Sabri

6
juga sudah menikah dengan Lela 35 tahun dan dikaruniai 3 orang anak, yaitu Iqra
25 tahun, Fitra 23 tahun, dan Dedi 5 tahun. Ati menikah dengan Ardi 52 tahun dan
memiliki 1 orang anak, yaitu Agung 27 tahun. Saat ini riwayat penyakit diabetes
dalam keluarga belum diketahui.

3. Family Circle

Hayati
Dewan

Tahir

4. Siklus Keluarga
Pada pasien ini, dari hasil wawancara kepada pasien secara langsung,
diketahui bahwa pasien berada dalam tahap ketujuh yaitu orang tua usia
lanjut (sudah tidak bekerja).

5. Family Assessment

7
Dilakukan dengan pendekatan metode APGAR
No. Pernyataan Sering/Selalu Kadang- Jarang/Tidak
kadang
1 Saya puas bahwa
saya dapat kembali
kepada keluarga saya, √
bila saya menghadapi
masalah

2 Saya puas dengan


cara2 keluarga saya
membahas serta √
membagi masalah
dengan saya

3 Saya puas bahwa


keluarga saya
menerima dan
mendukung

keinginan saya
melaksanakan
kegiatan dan ataupun
arah hidup yang baru

4 Saya puas dengan


cara2 keluarga saya
menyatakan rasa √
kasih sayang dan
menanggapi emosi

5 Saya puas dengan


cara2 keluarga saya √
membagi waktu

8
bersama

Adaptasi :2
Kemitraan :2
Pertumbuhan :1
Kasih Sayang :2
Kebersamaan :2
Hasil : 9 = BAIK

Faktor Eksternal
Data-data berupa faktor eksternal yang dapat diperoleh dari pasien:
 Faktor Biologi:
Dari segi faktor biologi, faktor genetik tidak menjadi penyebab pasien
menderita diabetes mellitus tipe 2
 Faktor Gaya Hidup:
Pasien saat ini jarang melakukan aktivitas fisik karena faktor usia. Pasien
memiliki riwayat merokok selama 30 tahun, namun sudah berhenti 30 tahun
yang lalu. Kebiasaan sering makan makanan manis.
 Faktor Perilaku Kesehatan:
Pasien mengkonsumsi obat secara teratur dan rutin ke puskesmas untuk
kontrol kesehatan.
 Faktor Pelayanan Kesehatan:
Pasien rutin ke Puskesmas untuk mengambil obat dan rutin ke Rumah Sakit
kontrol kesehatan jika merasa kurang sehat.

 Faktor Psiko-Sosio-Ekonomi:
Pasien memiliki tidak memiliki faktor stress dari keluarga. Kehidupan sosial
dengan masyarakat sekitar baik. Pemenuhan kebutuhan dan pendapatan
keluarga cukup.
 Faktor Lingkungan Kerja:
Pasien sudah tidak bekerja

9
 Faktor Lingkungan Fisik:
Ventilasi dan penerangan di dalam tempat tinggal pasien baik. Pasien tinggal
di lingkungan yang padat penduduk.

1.8 DIAGNOSIS KELUARGA


Pasien adalah seorang laki-laki berusia 80 tahun, tidak bekerja, biaya
kehidupan sehari-hari serta kebutuhan hidup lainnya ditanggung oleh uang
pensiunan dan istrinya yang bekerja sebagai dosen.
Pasien bertempat tinggal di pemukiman yang padat penduduk dengan
lingkungan sekitar yang cukup bersih dan sanitasi yang baik. Untuk konsumsi
sehari-hari pasien menggunakan air PDAM. Untuk mandi dan mencuci pasien
menggunakan air sumur. Rumah pasien terdiri dari 1 lantai dan tergolong
rumah sehat dilihat dari ventilasi dan penerangan memadai.
Penderita menderita diabetes mellitus sejak 5 tahun yang lalu. Pada anggota
keluarga yang lain tidak diketahui adanya riwayat menderita penyakit yang
sama.
Selama pasien dalam masa pengobatan diperlukan beberapa pendekatan dan
pelaksanaan hal-hal khusus bagi penderita serta keluarga secara disiplin,
yaitu:
1. Pasien
 Pasien disarankan agar mengontrol gua darah dengan konsumsi
obat rutin dan suntik insulin secara teratur.
 Pasien disarankan untuk berperilaku hidup sehat, berolahraga/
melakukan aktivitas fisik yang ringan
 Pasien disarankan untuk membatasi konsumsi makanan yang
mengandung gula.

2. Keluarga
 Selain penderita, anggota keluarga diharapkan untuk mendukung
pasien dalam kepatuhan minum obat dan mengawasi obat-obatan
yang dikonsumsi oleh pasien.

10
 Menyarankan/menyajikan makanan yang bergizi, mengatur porsi
makan serta membatasi makanan yang mengandung kadar gula
tinggi.
 Menyarankan untuk memeriksa gula darah ke doktek secara rutin.

Rencana mengenai hal-hal yang akan dilakukan selanjutnya dapat


dirangkum dalam suatu program perencanaan:
1. Rutin minum obat serta rutin kontrol sesuai jadwal.
2. Memberikan edukasi serta masukan bagi penderita serta keluarga
mengenai diabetes memllitus tipe 2 dan komplikasinya.
3. Menyarankan pasien dan keluarga untuk menjauhi faktor-faktor yang
dapat meningkatkan resiko diabetes mellitus seperti makan teratur dan
membatasi makanan mengandung gula tinggi, dan olahraga teratur.

11
1.9 Foto kunjungan rumah

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang
dikarakteristikan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja
insulin maupun keduanya. Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan
disertai dengan kerusakan,ganguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada diabetes
melitus ditemukan ganguan metabolisme semua sumber makanan tubuh kita,
kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme
karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan
tinginya kadar glukosa dalam plasma darah.
Diabetes Melitus tipe 2, disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja
dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi
fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Karena
insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe
2 dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus. Akibatnya
glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari
penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya
diketahui DM setelah usia 30 tahun.

B. Epidemiologi
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya
berbeda-beda. Berdasarkan kriteria American Diabetes Asociation tahun 2012
(ADA 2012), sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM.
Sementara itu, di Indonesia prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia
>15 tahun,bahkan di daerah Manado prevalensi DM sebesar 6,1%.

13
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita
lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai
57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus di dunia adalah
sebanyak 371 juta jiwa, dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2
adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus dan hanya
5% dari jumlah tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1.
Pemeriksan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk
menegakan diagnosis serta memonitor terapi dan timbulnya komplikasi.
Dengan demikian, perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat mencegah
komplikasi.

C. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus, yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi
akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah
sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus,
sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus.
Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik,
kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi
insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya
glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75%
dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan
biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin

14
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

D. Patofisiologi DM Tipe II
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan
insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui
3 jalan, yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia,
dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu:
- Resistensi insulin
- Disfungsi sel B pancreas
DM tipe 2 mungkin mencakup berbagai gangguan dengan fenotipe
umum dari hiperglikemia.
- Pertimbangan Genetik
DM tipe 2 memiliki komponen genetik yang kuat. Kesesuaian DM tipe 2
pada kembar identik adalah antara 70 dan 90%. Individu dengan orangtua
dengan DM tipe 2 memiliki peningkatan risiko diabetes; jika kedua orang tua
memiliki DM tipe 2, risiko mendekati 40%. Resisten insulin, seperti yang
ditunjukkan oleh penggunaan glukosa berkurang di otot rangka, hadir dalam
banyak kerabat nondiabetes, pertama-tingkat individu dengan DM tipe 2.
Penyakit ini poligenik dan multifaktor, karena selain kerentanan genetik,

15
faktor lingkungan (seperti obesitas, gizi, dan aktivitas fisik) memodulasi
fenotip. Lingkungan di dalam rahim juga berkontribusi, dan baik ditambah
atau dikurangi berat badan lahir meningkatkan risiko DM tipe 2 di usia
dewasa. Gen yang mempengaruhi mengetik 2 DM yang tidak lengkap
diidentifikasi, namun studi asosiasi genome baru-baru ini telah
mengidentifikasi sejumlah besar gen yang menyampaikan risiko yang relatif
kecil untuk tipe 2 DM (>70 gen, masing-masing dengan risiko relatif 1,06-
1,5). Paling menonjol adalah varian dari faktor transkripsi 7, seperti 2 gen
yang telah dikaitkan dengan DM tipe 2 di beberapa populasi dan dengan IGT
dalam satu populasi berisiko tinggi untuk diabetes. Polimorfisme genetik yang
terkait dengan DM tipe 2 juga telah ditemukan dalam gen yang mengkode
peroksisom proliferator-activated receptor γ, ke dalam meluruskan kanal
kalium, transporter Zinc, IRS, dan calpain 10. Mekanisme lokus genetik yang
meningkatkan kerentanan untuk DM tipe 2 masih tidak jelas, tetapi
kebanyakan diperkirakan mengubah fungsi pulau atau pengembangan atau
sekresi insulin. Meskipun kerentanan genetik untuk DM tipe 2 sedang
diselidiki aktif (sejauh ini diperkirakan <10% dari risiko genetik ditentukan
oleh lokus), saat ini tidak mungkin untuk menggunakan kombinasi dari lokus
genetik yang dikenal untuk memprediksi DM tipe 2.
DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin,
produksi glukosa hepatik yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang
abnormal. Obesitas, terutama visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan
rasio pinggul-pinggang), adalah sangat umum di DM tipe 2 (≥80% dari pasien
mengalami obesitas). Pada tahap awal dari gangguan, toleransi glukosa tetap
mendekati normal, meskipun resistensi insulin, karena sel-sel beta pankreas
mengimbanginya dengan meningkatkan produksi insulin.

16
Gambar 5. Perubahan metabolik selama pengembangan diabetes mellitus tipe
2.
Sebagai resistensi insulin dan kemajuan kompensasi hiperinsulinemia,
pulau pankreas pada individu tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan
hiperinsulinemia. IGT, ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial.
Penurunan lebih lanjut dalam sekresi insulin dan peningkatan hepatik
memimpin produksi glukosa untuk diabetes yang nyata dengan hiperglikemia
puasa. Pada akhirnya, kegagalan sel beta terjadi kemudian. Meskipun kedua
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin berkontribusi pada patogenesis
DM tipe 2, kontribusi relatif dari masing-masing bervariasi dari individu ke
individu.
- Abnormalitas Metabolik
Abnormalitas Metabolisme Jaringan Otot dan Lemak
Resistensi insulin, penurunan kemampuan insulin untuk bertindak secara
efektif pada jaringan target (terutama otot, hati, dan lemak), merupakan fitur
yang menonjol dari DM tipe 2 dan hasil dari kombinasi kerentanan genetik
dan obesitas. Resistensi insulin relatif, karena beredarnya tingkat insulin yang
supranormal akan menormalkan glukosa plasma. Pada kurva respon dosis
insulin menunjukkan pergeseran ke kanan, menunjukkan berkurangnya
sensitivitas, dan respon maksimal berkurang, menunjukkan penurunan secara
keseluruhan dalam penggunaan glukosa maksimum (30-60% lebih rendah dari
pada individu normal). Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa

17
oleh jaringan sensitif insulin dan meningkatkan output glukosa hepatik; kedua
efek berkontribusi pada terjadinya hiperglikemia.
Peningkatan output glukosa hepatik terutama menyumbang peningkatan
tingkat GDP, sedangkan penurunan hasil penggunaan glukosa perifer di
hiperglikemia postprandial. Pada otot rangka, ada penurunan lebih besar dalam
penggunaan glukosa nonoxidative (pembentukan glikogen) daripada
metabolisme glukosa oksidatif melalui glikolisis. metabolisme glukosa pada
jaringan independen insulin tidak diubah dengan DM tipe 2.
Mekanisme molekuler yang tepat mengarah ke resistensi insulin pada
DM tipe 2 belum dijelaskan. Tingkat reseptor insulin dan aktivitas tyrosine
kinase di otot rangka berkurang, tetapi perubahan ini kemungkinan besar
akibat hiperinsulinemia sekunder dan bukan defek primer. Oleh karena itu,
defek "postreseptor" pada insulin diatur oleh fosforilasi/defosforilasi
tampaknya memainkan peran dominan dalam resistensi insulin. Kelainan
termasuk akumulasi lipid dalam miosit skeletal, yang dapat mengganggu
fosforilasi oksidatif mitokondria dan mengurangi insulin merangsang produksi
ATP mitokondria. Gangguan oksidasi asam lemak dan akumulasi lipid dalam
miosit tulang juga dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif seperti
peroksida lipid. Dari catatan, tidak semua jalur transduksi sinyal insulin
resisten terhadap efek insulin (misalnya, mereka mengendalikan pertumbuhan
sel dan diferensiasi menggunakan mitogenik jalur activated protein kinase).
Akibatnya, hiperinsulinemia dapat meningkatkan aksi insulin melalui jalur ini,
berpotensi mempercepat kondisi diabetes terkait seperti aterosklerosis.
Obesitas menyertai DM tipe 2, khususnya di lokasi pusat atau visceral,
dianggap bagian dari proses patogenik. Selain ini depot lemak putih, manusia
sekarang diakui memiliki lemak coklat, yang memiliki kapasitas termogenik
yang jauh lebih besar. Upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan kegiatan
atau kuantitas lemak coklat (mis, myokine, irisin, dapat mengkonversi putih
untuk lemak coklat). Massa adiposit meningkat menyebabkan peningkatan
kadar beredar asam lemak bebas dan produk sel lemak lainnya. Misalnya,
adipocytes mengeluarkan sejumlah produk biologis (asam lemak bebas

18
nonesterified, retinol-binding protein 4, leptin, TNF-α, resistin, IL-6, dan
adiponektin). Selain mengatur berat badan, nafsu makan, dan pengeluaran
energi, adipokines juga memodulasi sensitivitas insulin. Peningkatan produksi
asam lemak bebas dan beberapa adipokines dapat menyebabkan resistensi
insulin di otot rangka dan hati. Misalnya, asam lemak bebas merusak
pemanfaatan glukosa di dalam otot rangka, meningkatkan produksi glukosa
oleh hati, dan merusak fungsi sel beta. Sebaliknya, produksi oleh adiposit
adiponektin, suatu peptida yang peka terhadap insulin, berkurang pada
obesitas, dan ini dapat menyebabkan resistensi insulin hepatik. Produk
adiposit dan adipokines juga memproduksi keadaan peradangan dan mungkin
menjelaskan mengapa tanda peradangan seperti IL-6 dan protein C-reaktif
sering meningkat pada DM tipe 2. Selain itu, sel-sel inflamasi ditemukan
menginfiltrasi jaringan adiposa. Penghambatan jalur sinyal inflamasi seperti
jalur nuklir faktor-kB (NF-kB) muncul untuk mengurangi resistensi insulin
dan meningkatkan hiperglikemia pada model binatang dan sedang diuji pada
manusia.

Gangguan Sekresi Insulin


Sekresi insulin dan sensitivitas saling terkait. Pada DM tipe 2, sekresi
insulin awalnya meningkatkan respons terhadap resistensi insulin untuk
menjaga toleransi glukosa normal. Awalnya, defek sekretori insulin ringan dan
selektif melibatkan glukosa yang merangsang sekresi insulin, termasuk
penrunan pada fase sekretori pertama. Respon terhadap secretagogues
nonglucose lainnya, seperti arginin, yang diawetkan, tapi fungsi beta
keseluruhan berkurang sebanyak 50% pada awal DM tipe 2. Kelainan pada
pengolahan proinsulin tercermin dengan peningkatan sekresi proinsulin di DM
tipe 2. Akhirnya, defek sekretori insulin adalah progresif. Alasan penurunan
kapasitas sekresi insulin dalam DM tipe 2 tidak jelas. Asumsinya adalah
bahwa defek genetik kedua menyebabkan kegagalan sel beta. Massa sel beta
turun sekitar 50% pada individu dengan lama DM tipe 2. Islet amyloid
polipeptida atau amylin, disekresikan oleh sel beta, membentuk deposit

19
amyloid fibril ditemukan di pulau dari individu dengan berdiri lama DM tipe
2. Apakah deposit amyloid pulau seperti peristiwa primer atau sekunder tidak
diketahui. Lingkungan metabolik diabetes juga dapat berdampak negatif
terhadap fungsi islet. Misalnya, hiperglikemia kronik paradoks merusak fungsi
islet (toksisitas glukosa) dan mengarah ke memburuknya hiperglikemia.
Peningkatan kontrol glikemik sering dikaitkan dengan peningkatan fungsi
islet. Selain itu, ketinggian kadar asam lemak bebas (lipotoxicity) dan lemak
dari makanan juga dapat memperburuk fungsi pulau. Mengurangi GLP-1
tindakan dapat berkontribusi untuk sekresi insulin berkurang.

Peningkatan Glukosa Hepatik dan Produksi Lipid


Pada DM tipe 2, resistensi insulin di hati mencerminkan kegagalan
hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis, yang menghasilkan puasa
hiperglikemia dan penurunan penyimpanan glikogen oleh hati di postprandial.
Peningkatan produksi glukosa hepatik terjadi di awal perjalanan diabetes,
meskipun mungkin setelah timbulnya kelainan sekresi insulin dan resistensi
insulin di otot rangka. Sebagai hasil dari resistensi insulin pada jaringan
adiposa, lipolisis dan fluks asam lemak bebas dari adipocytes meningkat, yang
menyebabkan peningkatan lipid (very low density lipoprotein [VLDL] dan
trigliserida) sintesis dalam hepatosit. penyimpanan lipid ini atau steatosis di
hati dapat menyebabkan penyakit hati berlemak nonalkohol dan tes fungsi hati
yang abnormal. Hal ini juga bertanggung jawab untuk dislipidemia ditemukan
pada DM tipe 2 (peningkatan trigliserida, mengurangi high density lipoprotein
[HDL], dan peningkatan padat low density lipoprotein [LDL] partikel kecil).

Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa.
Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin
karena kadar insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung
memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak
intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase

20
ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun,
menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.

E. Faktor Resiko
Faktor Resiko Diabetes Melitus:
1. Obesitas
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan
tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari
dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang
yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes
Mellitus.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin
dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus
adalah > 45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi >
4000 gram.
7. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan
peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini

21
dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidakaktifan
fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan
darilingkungan tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi
perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan
dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan mengganggu metabolisme
gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit
regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah.

F. Manifestasi Klinik
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak
minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu
makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam
waktu 2-4 minggu), mudah lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada
ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.
Patofisiologi gejala DM
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui
terutama adalah hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek
insulin yang tidak adekuat.
Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan
pengambilan glukosa darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan
konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini
juga diperberat oleh adanya peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati
sebagai respon tubuh terhadap kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa
intrasel ini juga akan menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar sehingga
frekuensi rasa lapar meningkat (polifagi).

22
Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan hiperosmolaritas.
Pengeluaran cairan tubuh berlebih akibat poliuria disertai dengan adanya
hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan penarikan air dari intrasel ke
ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga timbul rasa haus
terus-menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi). Dehidrasi
dapat berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya
tekanan filtrasi glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting
adalah kecenderungan dehidrasi ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga
disertai dengan kolapsnya sirkulasi. Dan perubahan volume sel akibat keadaan
hiperosmotik ekstrasel yang menarik air dari intrasel dapat mengganggu
fungsi sel-sel dalam tubuh.
Kadar glukosa plasma yang tinggi (di atas 180 mg%) yang melewati
batas ambang bersihan glukosa pada filtrasi ginjal, yaitu jika jumlah glukosa
yang masuk tubulus ginjal dalam filtrat meningkat kira-kira diatas
225mg/menit, maka glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang atau
terekskresi ke dalam urin yang disebut glukosuria. Keberadaan glukosa dalam
urin menyebabkan keadaan diuresis osmotik yang menarik air dan mencegah
reabsorbsi cairan oleh tubulus sehingga volume urin meningkat dan terjadilah
poliuria. Karena itu juga terjadi kehilangan Na dan K berlebih pada ginjal.

G. Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi
glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa.
Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk
konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas
hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis,
berat badan yang menurun cepat.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

23
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih,
hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi >
4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

24
Gambar 6. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi
glukosa

H. Tatalaksana
Tujuan Tatalaksana
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan
rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Dasar-dasar Pengobatan Terapi DM Tipe 2

25
Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan
sel β mulai terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya
ketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo
menyatakan bahwa fungsi sel β menurun sebesar kira-kira 20% pada saat
terjadi intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa pendekatan
pengobatan DM tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki
fungsi sel β.
Hal yang mendasar dalam pengel olaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah
perubahan pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olahraga teratur.
Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan
olahraga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan.

Target Glikemik
Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan
Studi Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi
DM tipe 2 yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil
penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan
kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan neuropati akan
menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan pemeriksaan
harian dan A1c sebagai index glikemia kronik belum diteliti secara sistematik.
Tetapi hasil penelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada
pasien diabetes tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada
rentang nondiabetik. Akan tetapi pada kedua studi tersebut bahkan pada grup
pasien yang mendapat pengobatan intensif, kadar A1c tidak dapat
dipertahankan pada rentang nondiabetik . Stu di tersebut mencapai kadar rata-
rata A1c ~7% yang merupakan 4SD diatas rata-rata non diabetik.
Target glikemik yang paling baru adalah dari ADA (American Diabetes
Association) yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan
kejadian komplikasi, yaitu A1c <7%.

Pilar Penatalaksanaan DM

26
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
5. Cangkok pankreas
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu,
OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai
indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan
upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang
lain serta pasien dan keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.

27
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake)
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole
milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

28
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,
tahu, dan tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologiktinggi.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-
7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan na-trium nitrit.
Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes di-anjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
Pemanis alternative
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol danfruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol
danxylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah.
- Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.

29
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI).
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sbb:
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm -100) x 1 kg.
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm -100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI -10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh
(IMT).Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih ≥ 23,0
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific
Perspective:RedefiningObesity and its Treatment.
 Dengan risiko 23,0-24,9
 Obes I 25,0-29,9
 Obes II > 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:

30
- Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
- Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan
69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
- Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori
yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan
1200-1600 kkal perhari untuk pria.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Tabel 2. Aktivitas Sehari-hari

31
4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.
Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang
nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjur kan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion

32
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus
diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
e. DPP-IV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1(GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa

33
usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1
merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat
sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh
enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit
GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai
dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4
(penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan
DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang
penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum
makan.
Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik

34
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin).
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang
fisiologis.
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin
prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan
timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi
insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
- Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
- Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa
darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan

35
terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai
sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang
atau panjang).
- Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat
dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi
belum tercapai.
- Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan
A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa
darah prandial (meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk
mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat
(rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi
insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam
bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1
kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali
prandial (basal bolus).
- Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk
menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat
sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat
penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah harian.
2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan
insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat
penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki

36
cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-
combinationdalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien
yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan
terapi kombinasi insulin.
Penilaian Hasil Terapi
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi. Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada
waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.

37
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C),
merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12
minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil
pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3
bulan, minimal 2 kali dalam setahun.

38
c. Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung.
Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa
kadar glukosa darah. Batas ekskresi glu-kosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL,
dapat bervariasi pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam
jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal
dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

d. Pemantauan Benda Keton


Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup
penting terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar
glukosa darah>300 mg/dL). Peme-riksaan benda keton juga diperlukan pada
penyandang diabe-tes yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur
kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah asam beta
hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta
hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus.
Kadar asam beta hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas

39
1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD.
Pengukuran kadar glukosa darah dan benda ke-ton secara mandiri, dapat
mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diper-lukan
pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali
baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar
lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi
dan tekanan darah.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran
kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL,
dan sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah,
dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini
dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk
mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat.
Table 3. Target Pengendalian DM

I. Penyulit Diabetes Mellitus


Penyulit Akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)

40
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya
tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap.
2) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau
sedikit meningkat. Catatan: kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut
mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan
perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya:
- Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60
mg/dL
- Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling
sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia
akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai
seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang
diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau
lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang
mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia
lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya
yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien.
Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan
memerlukan pengawasan yang lebih lama.
- Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing,
gelisah, kesadaran menurun sampai koma).

41
- Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi
pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang
mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori
atau glukosa 15-20 gram melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan
ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon
diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.
- Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum
dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.
Penyulit Menahun
1) Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada
penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio
intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang pertama muncul.
- Pembuluh darah otak
2) Mikroangiopati:
- Retinopati diabetic
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya
retinopati
- Nefropati diabetik
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan me-ngurangi risiko
nefropati
- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi
risikoterjadinya nefropati
3) Neuropati
- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untukterjadinya ulkus kaki
dan amputasi.

42
- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan
lebih terasa sakit di malam hari.
- Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan
skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan
pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram
sedikitnya setiap tahun.
- Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi.
- Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan
trisiklik, atau gabapentin.
- Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.

J. Pencegahan
 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi
untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan
meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan
menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini
tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini,
pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan
primer.
 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat
dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi
dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan
terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan
selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet

43
dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada
penyandang diabetes.
 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan
lebih menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan
kepada pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang
dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya
rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan
menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah 80-325 mg/hari untuk
mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli
di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular,
radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk
menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

44
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association; Standards of Medical Care in Diabetes 2014.


American Diabetes Association. Diabetes CareVolume 38, Supplement 1, January
2015. USA.
American Diabetes Association (ADA) Diabetes Guidelines Summary
Recommendations from NDEI. 2016.
Foster DW, et al. Diabetes melitus. Dalam: Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi V. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2009.
Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat and Risk of Clinic Type Diabetes.
American Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.
Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of
Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson
AM, Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus. Lippincott Williams &
Wilkin. Philadelphia. Pg 425-448, 2005
Leahy JL. B-cell Dysfunction in Type 2 Dia betes In: Kahn CR, King GL, Moses
AC, Weir GC, Jacobson AM , Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus.
Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462, 2005
Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al.
Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consensus
Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus
statement of the American Diabetes Association and the European
Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care 2008; 31:1-11.
PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2011. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Jakarta. 2011.
Persi, dkk. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes. 2008.

45
Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine
Mc Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa
Indonesia Edisi 6. Jakarta; 2014; hal.1259
Soegondo S, dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2
di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
Teixeria L. Regular physical exercise training assists in preventing type 2
diabetes development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory
properties. Biomed Central Cardiovascular Diabetology. 2011; 10(2);1-
15.
Waspadji S, dkk. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya,
diagnosis dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit
dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006.

46

Anda mungkin juga menyukai