Anda di halaman 1dari 11

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Preeklampsia
a. Definisi
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi kehamilan tertentu yang dapat disebabkan
oleh kegagalan fungsi endotel vaskuler dan vasospasme pembuluh darah dengan
keterlibatan multisistem yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu. Preeklampsia
dapat berlangsung hingga 4-6 minggu post-partum. Penyakit ini ditentukan oleh kejadian
hipertensi onset baru ditambah onset baru proteinuria dengan atau tanpa edema patologis.
Tanda dan gejala lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan, sakit kepala,
nyeri epigastrik, dan adanya edema (American College of Obstetrics and Gynecology,
2013; Lim et al., 2014).
Insidensi preeklampsia sekitar 5% sampai 10% dari seluruh kehamilan, dengan
insidensi yang lebih tinggi pada kehamilan pertama, kehamilan kembar, dan wanita dengan
riwayat preeklampsia sebelumnya (Lindheimer et al., 2008; Rugolo et al., 2011).

b. Faktor Risiko
1) Primigravida
2) Riwayat keluarga dengan preeklampsia
3) Riwayat preeklampsia pada kehamilan
Risiko preeklampsia meningkat tujuh kali lipat pada kehamilan dengan riwayat
preeklampsia sebelumnya.
4) Adanya hipertensi kronik atau penyakit ginjal kronik atau keduanya
5) Usia Kehamilan
Preeklampsia pada kehamilan pertama dengan persalinan dengan usia
kehamilan 32 minggu sampai 36 minggu akan meningkatkan risiko
preeklampsia pada kehamilan kedua sebesar 25,3 %.

6) Obesitas
Wanita dengan indeks massa tubuh (BMI) < 20 kg/m2 memiliki risiko sebesar
4,3% dan mereka dengan BMI > 35 kg/m2 memiliki risiko sebesar 13,3%
7) Donor oosit atau inseminasi donor dan riwayat trombofilia
8) Infeksi saluran kemih, diabetes melitus, penyakit vaskular kolagen, mola
hidatidosa, dan penyakit periodontal
9) Usia Ibu
Wanita yang hamil pada usia 35 tahun atau lebih memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami preeklampsia.
10) Ras
Di Amerika Serikat, preeklampsia pada wanita berkulit putih 1.8 % dan 3 %
pada wanita berkulit hitam.
11) Faktor tambahan yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia adalah
kehamilan multipel, plasentasi yang buruk dan beberapa hal lain yang
meningkatkan massa plasenta dan perfusi plasenta yang buruk (American
College of Obstetrics and Gynecology, 2013; Lim et al., 2014).

c. Patogenesis dan Patofisiologi


1) Disfungsi Endotel
Gangguan sel endotel pembuluh darah akan menimbulkan kebocoran khususnya
pada sistem mikrovaskular yang akan direspon tubuh dengan manifestasi agregasi
tombosit. Dalam keadaan normal, sel endotel akan memproduksi prostasiklin (PGI2)
dan trombosit akan memproduksi tromboksan 2 (TXA2) (Birawa et al., 2009).
Prostasiklin (PGI2) merupakan vasodilator kuat otot polos yang bekerja pada
reseptor spesifik sel otot polos dan merangsang pembentukan cyclic
adenosinmonophosphate (cAMP) melalui siklus adenylate serta faktor relaksasi yang
kuat. Tromboxan (TXA) merupakan vasokonstriktor kuat. Akibat rasio PGI2 : TXA
meningkat maka efek vasokonstriksi meningkat juga dan menyebabkan terjadinya
hipertensi. Disfungsi endotel akan menyebabkan keluarnya mediator inflamasi seperti
TNF-α, Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8 (IL-8), Interleukin-10
(IL-10) dan fibronektin serta mikropartikel endotel yang terbukti meningkat pada
preeklampsia (Birawa et al., 2009).
2) Stres Oksidatif dan Nitrat Oksida
Disfungsi Nitrat Oksida (NO) merupakan salah satu jalur yang terlibat dalam
patogenesis preeklampsia. NO adalah vasodilator utama dan radikal bebas yang sangat
reaktif, disintesis oleh sel endotel dari L-arginine. Penurunan konsentrasi NO dalam
plasma dan plasenta dapat menyebabkan kurangnya efek vasodilatasi parakrin pada
aliran darah uteroplasenta (Rugolo et al., 2011).
Penurunan bioavailabilitas NO terjadi melalui pengurangan produksi atau
peningkatan konsumsi NO oleh stres oksidatif. Stres oksidatif pada tahap berikutnya
bersama dengan zat toksin akan merangsang kerusakan sel endotel pembuluh darah
yang nantinya akan menimbulkan disfungsi endotel (Roeshadi, 2006; Rugolo et al.,
2011).
Pada disfungsi endotel terjadi ketidakseimbangan antara produksi zat-zat
vasodilator (misalnya prostasiklin dan nitrat oksida) dengan vasokonstriktor
(misalnya endotelium I, tromboksan, dan angiotensin II) sehingga terjadi
vasokontriksi dan menyebabkan hipertensi (Roeshadi, 2006).
3) Implantasi Abnormal
Salah satu mekanisme yang berperan pada proses abormalitas invasi trofoblas
dan remodeling pembuluh darah adalah jalur Notch signaling (American College of
Obstetrics and Gynecology, 2013). Jalur Notch signaling mengatur diferensiasi dan
fungsi sel selama sel kontak di dalam jaringan. Komponen ini adalah komponen
penting di mana sel-sel trofoblas janin menginvasi dan merubah pembuluh darah ibu
(Hunkapiller et al., 2011).
Notch2floxlflox; Tpbpa-Cre yang gagal merubah pembuluh darah ibu secara
adekuat akan menyebabkan penurunan perfusi plasenta. Kegagalan transformasi
fisiologis ini dikaitkan dengan tidak adanya Notch2 karena berkurangnya diameter
pembuluh darah dan perfusi plasenta. Trofoblas mengkoordinasi peningkatan pasokan
pembuluh darah ibu melalui invasi progresif dan pelebaran pembuluh darah ibu.
Perivaskular dan endovaskular sitotrofoblas sering gagal untuk mengekspresikan
JAG1 yang merupakan ligan Notch di preeklampsia memberikan bukti lebih lanjut
bahwa kelainan pada Notch signaling memiliki peran penting dalam patogenesis
preeklampsia (Hunkapiller et al., 2011).
4) Faktor Angiogenik
Pada plasenta ibu terdapat dua protein yang dapat mencapai jumlah abnormal di
sirkulasi ibu. Pertama adalah solubleFms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) yang
merupakan reseptor placental growth factor (PIGF) dan vascular endothelial growth
factor (VEGF). Peningkatan kadar sFlt-1 ibu akan menurunkan konsentrasi sirkulasi
PIGF dan VEGF sehingga terjadi disfungsi endotel. Inaktivasi VEGF bebas
menyebabkan endoteliosis gromular sehingga terjadi proteinuria. Kedua, protein
antiangiogenik, soluble endoglin (sEng) yang dapat mengganggu pengubahan ikatan
growth factor β1 menjadi reseptor endotelial sehingga mengurangi nitrat oksida
endotel dan menyebabkan terjadinya preeklampsia (Lindheimer et al., 2008;
American College of Obstetrics and Gynecology, 2013).
5) Renin - Angiotensin System (RAS)
Angiotensin II type-1 receptor autoantibody (AT1–AA) ikut berperan dalam
peningkatan sel endotel dan sensitivitas tekanan darah serta sensitivitas angiotensin II
(ANGII) (Wenzel et al., 2011). Sel endotel meningkatkan sekresi endhotelin-1 (ET-
1) dalam merespon ANGII atau AT1-AA. Ketika AT1-AA dan ANGII bergabung,
sekresi sel endotel ET-1 meningkat 200 kali lipat dibandingkan jika hanya merespon
ANGII atau AT1-AA saja. Sementara itu, baik ANGII atau AT1-AA akan
meningkatkan tekanan darah selama kehamilan. AT1-AA memiliki peran penting
untuk meningkatkan sensitivitas sel endotel ataupun tekanan darah terhadap ANGII
selama kehamilan (LaMarca B, 2012).
6) Sistem Imun
Respon inflamasi memiliki peran penting selama plasentasi, natural cell killer
mensekresi sitokin yang akan meningkatkaninfiltrasi trofoblas ke arteri spiral
sehingga menyebabkan respon inflamasi desidua. Plasentasi yang buruk dan
berkurangnya suplai darah uteroplasenta menyebabkan hipoksia plasenta yang diikuti
pelepasan beberapa mediator seperti faktor pertumbuhan dan reseptor terlarutnya,
sitokin inflamasi, debris plasenta, dan produk stres oksidatif plasenta. Hal ini
menyebabkan respon inflamasi sistemik yang berhubungan erat dengan disfungsi sel
endotel dan aktivasi leukosit (Rugolo, 2011).
Genbacev dalam Uzan et al. (2011) menyatakan preeklampsia dapat terjadi akibat
penurunan sistem kekebalan ibu yang mencegah pengenalan unit fetoplasenta.
Produksi berlebihan sel imun menyebabkan sekresi tumor necrosis factor α (TNFα)
yang akan menginduksi apoptosis sititrofoblas ekstravili. Colbern et al. dalam Uzan
et al. (2011) juga menyatakan bahwa sistem Human Leukocyte Antigen (HLA) juga
memainkan peran dalam invasi arteri spiral, dan wanita dengan pre-eklampsia
menunjukkan penurunan kadar HLA-G dan HLA-E.
Gambar 3.1 Patogenesis Preeklampsia (Rugolo et al., 2011)
d. Diagnosis dan Klasifikasi Preeklampsia
1) Menurut Onset
Menzies et al. dalam Hypertesive Disease in Pregnancy menggolongkan
preeklampsia menjadi dua jenis yaitu preeklampsia onset awal dan preeklampsia
onset lambat. Preeklampsia onset awal cenderung berkembang sebelum usia
kehamilan 34 minggu, preeklampsia onset lambat muncul pada atau setelah usia
kehamilan 34 minggu. Preeklampsia onset awal biasanya dikaitkan dengan disfungsi
plasenta, penurunan volume plasenta, IUGR, abnormalitas uterus dan evaluasi
Doppler arteri umbilikus, disfungsi multiorgan, kematian perinatal dan luaran
maternal dan neonatal yang kurang baik. Preeklampsia onset lambat diperkirakan
muncul dari gangguan konstitusional ibu, hal itu lebih terkait dengan plasenta yang
normal dan hasil evaluasi Doppler yang baik, berat lahir normal dan luaran ibu dan
janin yang baik (Arulkumaran et al., 2014).
2) Menurut Derajat
a) Preeklampsia ringan
Preeklampsia ringan didefinisikan sebagai hipertensi (tekanan darah ≥
140/90 mm Hg) tanpa bukti kerusakan organ. Pasien yang sebelumnya sudah
memiliki hipertensi esensial, preeklampsia didiagnosis jika tekanan darah
sistolik telah meningkat sebesar 30 mmHg atau jika tekanan darah diastolik
telah meningkat sebesar 15 mmHg (Lim et al., 2014).
b) Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat dikaitkan dengan tingkat mortalitas dan morbiditas
perinatal yang tinggi dan didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ibu ≥ 160
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg atau lebih tinggi dua kali lipat
pada pemeriksaan setidaknya 6 jam terpisah; gangguan neurologis maternal
seperti sakit kepala terus-menerus, tinitus yang menyebar, refleks tendon
polikinetik, eklampsia, edema paru akut, proteinuria ≥ 5 g/hari atau lebih dari
3+ pada dua sampel urin yang dikumpulkan secara acak minimal 4 jam terpisah,
oliguria < 500 cc/hari, kreatinin > 120 µmol/L, sindrom HELLP,
trombositopenia < 100.000/mm3, edema paru atau sianosis, nyeri epigastrium
dan atau gangguan fungsi hati, dan kriteria pada janin terutama pertumbuhan
janin terhambat (PJT), oligohidramnion, kematian janin dalam rahim, atau
abrupsio plasenta (Sibai dan Barton, 2007; Lim et al., 2014).
Kriteria diagnosis preeklampsia berat menurut POGI tahun 2010 adalah
preeklampsia dengan salah satu atau lebih gejala dan tanda dibawah berikut :
(1) Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat tekanan sistolik ≥ 160 mmHg
dan atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg
(2) Proteinuria, yaitu protein ≥ 5 gr/jumlah urin selama 24 jam atau dipstick 4
+
(3) Oliguria, adalah produksi urin < 400-500 cc/ 24 jam
(4) Kenaikan kreatinin serum
(5) Edema paru dan sianosis
(6) Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen.
(7) Gangguan otak dan visus antara lain perubahan kesadaran, nyeri kepala,
skotomata, dan pandangan kabur.
(8) Gangguan fungsi hepar
(9) Hemolisis mikroangiopatik
(10) Trombositopenia; yaitu trombosit< 100.000 sel/ mm3
(11) Sindroma HELLP
POGI (2010) membagi preeklampsia berat dalam beberapa kategori :
(1) Preeklampsia berat tanpa impending eklampsi
(2) Preeklampsia berat dengan impending eklampsi, dengan gejala impending
: nyeri kepala, mata kabur, mual dan muntah, nyeri epigastrium, dan nyeri
kuadran kanan atas abdomen.
Penatalaksanaan preeklampsia berat bertujuan mengendalikan tekanan
darah dan mencegah terjadinya eklampsia, persalinan pervaginam pada pasien
dengan kehamilan cukup bulan dan operasi caesar pada kasus mendesak atau
ketika induksi persalinan gagal, dengan pengaturan waktu yang seimbang antara
keselamatan ibu dengan risiko kelahiran janin yang berpotensi prematur.
Manajemen kehamilan hanya untuk beberapa pasien yang jauh dari usia
kehamilan cukup bulan tetapi stabil pada pemberian terapi obat antihipertensi,
dengan hasil pemeriksaan laboratorium stabil dan profil biofisik janin yang
meyakinkan (Turner, 2010).
Norwitz dan Funai (2008) memberikan pedoman untuk mengidentifikasi
kondisi di mana manajemen kehamilan dapat digunakan untuk pasien dengan
preeklampsia berat:
(1) Tidak ada istilah preeklampsia sedang – hanya ada ringan atau berat.
(2) Ketika janin dapat dilahirkan dengan aman, segera melakukan proses
persalinan, dengan catatan ada perawatan neonatal yang baik.
(3) Tidak ada manfaat bagi ibu untuk melanjutkan kehamilan ketika sudah
terdiagnosis preeklampsia berat.
(4) Tidak ada pengelolaan konservatif untuk keadaan: terdapat gejala utama
eklamsia, edema paru, gangguan serebrovaskular, oliguria atau gagal ginjal,
kerusakan hati atau gangguan hemopoetik, dan ditandai dengan adanya
growth restriction (hambatan pertumbuhan).
(5) Pengobatan anemia hemolitik, peningkatan enzim hati, dan jumlah
trombosit yang rendah (sindrom HELLP) dengan steroid terbukti
meningkatkan beberapa marker atau tanda dari preeklampsia berat tetapi
tidak dapat memperbaiki keluaran ibu atau janin, sehingga tetap
diindikasikan untuk melakukan persalinan.
(6) Kontrol tekanan darah, tekanan darah sistolik harus kurang dari 160 mmHg
dan tekanan darah diastolik harus kurang dari 105-110 mmHg.
(7) Mempertahankan kehamilan ketika sudah didiagnosis preeklampsia berat
hanya boleh dilakukan di rumah sakit pusat ketiga dengan memberikan
informed consent yang lengkap setelah konseling dengan spesialis
fetomaternal dan neonatologis.
Komplikasi preeklampsia berat pada ibu meliputi edema pulmo, infark
miokardial, acute respiratory distress syndrome, koagulopati, gagal ginjal berat,
dan retinal injury. Komplikasi pada janin dan bayi baru lahir berasal dari
insufisiensi uteroplasenta atau kelahiran prematur, atau bisa dari keduanya
(American College of Obstetrics and Gynecology, 2013).
e. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan proteinuria.
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya tanda dan
gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang, maka diagnosis eklampsia sudah
tidak diragukan.
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-gejala
oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif. Gejala subyektif,
antara lain: nyeri kepala frontal, gangguan visual dan nyeri epigastrium. Sedangkan gejala
obyektif, antara lain: hiperreflexia, eksitasi motorik, dan sianosis (Artikasari, 2009).
Diagnosis banding untuk preeklampsia berat antara lain: hipertensi menahun,
penyakit ginjal, dan epilepsi.
f. Penanganan
Tujuan utama penatalaksanaan preeklampsia adalah mencegah kejang, perdarahan
intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat.
1. Preeklampsia Ringan
a) Rawat jalan:
1) Tirah baring (miring) tidak total
Tirah baring posisi miring: menghilangkan tekanan uterus pada vena kava
inferior  meningkatkan aliran darah balik meningkatkan curah jantung 
meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital  ginjal: filtrasi glomerolus
meningkat  diuresis meningkat  ekskresi Na meningkat  menurunkan
reaktivitas kardiovaskular  mengurangi vasospasme  menurunkan tekanan
darah.
Selain itu, peningkatan curah jantung juga menambah oksigenasi plasenta
sehingga memperbaiki kondisi janin.
2) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan
roboransia prenatal.
3) Tidak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedatif.
4) Dilakukan pemeriksaan lab: Hb, hematokrit, fungsi hati, fungsi ginjal, dan urin
lengkap.
b) Rawat inap:
1) Bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan proteinuria selama 2 minggu.
2) Ada satu/ lebih gejala dan tanda preeklampsia berat.
Selama di RS, lakukan:
- Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lab.
- Pemeriksaan kesejahteraan janin: USG, Doppler, dan NST.
- Konsultasi ke bagian mata, jantung, dll (Cunningham, 2005; Saifuddin, 2006;
Manuaba, 2007).
- Pada kehamilan preterm (< 37 minggu): bila tekanan darah mencapai normal,
persalinan ditunggu sampai aterm. Pada kehamilan aterm (> 37 minggu):
persalinan ditunggu sampai muncul tanda-tanda persalinan alami. Persalinan
dapat dilakukan secara spontan dengan induksi, bila perlu memperpendek kala II
(Cunningham, 2005; Saifuddin, 2006; Manuaba, 2007).

2. Preeklampsia Berat
Pada kehamilan dengan penyulit apapun pada ibunya, dilakukan pengelolaan
dasar sebagai berikut :
a. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya : yaitu terapi medikamentosa
dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
b. Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya : yang tergantung
pada umur kehamilan.
Sikap terhadap kehamilannya dibagi 2, yaitu :
1) Ekspektatif ; konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya :
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi
medikamentosa
2) Aktif, agresif ; bila umur kehamilan ≥ 37 minggu, artinya kehamilan dikahiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

Pemberian terapi medikamentosa


1) Segera masuk rumah sakit
2) Tirah baring miring ke kiri secara intermiten
3) Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
4) Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang. Pemberian
MgSO4 dibagi :
- Loading dose (initial dose) : dosis awal
- Maintenance dose : dosis lanjutan
5) Anti hipertensi
Diberikan : bila tensi ≥ 160/110
Jenis obat: Nifedipine : 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg dalam 24 jam.
 Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah (sub lingual)
karena absorbsi yang terbaik adalah melalui saluran pencernaan makanan.
Desakan darah diturunkan secara bertahap :
1. Penurunan awal 25% dari desakan sistolik
2. Desakan darah diturunkan mencapai :
3. - < 160/105
- MAP < 125
 Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl/RL diberikan secara
IV selama 5 menit, bila gagal dalam 1 jam dapat diulang dengan dosis 12,5
mg selama 5 menit. Bila masih gagal dalam 1 jam, bisa diulangi sekali lagi
dengan dosis 15 mg selama 5 menit.
6) Diuretikum
Diuretikum yang diberikan hanya atas indikasi :
a. Edema paru
b. Payah jantung kongestif
c. Edema anasarka
7) Diet
Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori yang berlebih,
batasi cairan yang masuk ke dalam tubuh (POGI, 2010).

g. Komplikasi
Nyeri epigastrium menunjukkan telah terjadinya kerusakan pada liver dalam bentuk
kemungkinan:
1. Perdarahan subkapsular
2. Perdarahan periportal sistem dan infark liver
3. Edema parenkim liver
4. Peningkatan pengeluaran enzim liver (Manuaba, 2007).
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan dari kemampuan
sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan menimbulkan berbagai bentuk
kelainan patologis sebagai berikut:
1. Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah
2. Iskemia yang menimbulkan infark serebal
3. Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis
4. Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina
5. Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital medula Oblongata
(Manuaba, 2007).
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan
bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia dan eklampsia.

h. Prognosis
Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu antara 9,8 –
20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2–48,9%. Kematian ini
disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal, di samping itu penderita
eklampsia biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena
perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal, dan aspirasi cairan
lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intrauterin (Artikasari,
2009).

Anda mungkin juga menyukai