Anda di halaman 1dari 81

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku Mobilisasi Dini Pasien Postpartum

2.1.1. Definisi Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk

hidup) yang bersangkutan. Jadi yang dimaksud perilaku manusia pada

hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan sangat luas antara lain, berjalan, berbicara,

menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya

(Notoatmodjo, 2010).

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk

dibatasi karena perilaku merupakan hasil dari resultasi dari berbagai

faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Pada garis besarnya

perilaku manusia dapat terlihat dari 3 aspek yaitu aspek fisik, psikis, dan

sosial. Akan tetapi dari aspek tersebut sulit untuk ditarik garis yang tegas

dalam mempengaruhi perilaku manusia. Secara lebih terperinci perilaku

manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan

seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap

(Notoadmodjo, 2010).

Perilaku seseorang atau subyek dipengaruhi atau ditentukan oleh

faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subyek. Dalam perilaku
18

kesehatan menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010), terbagi

tiga teori penyebab masalah kesehatan yaitu:

1. Faktor-faktor Predisposisi (disposing faktors) yaitu faktor-faktor

yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku

seesorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan,

kepercayaan, nilai-nilai, tradisi.

2. Faktor pemungkin (enabling factors) adalah faktor-faktor yang

memungkinkan atau menfasilitasi perilaku atau tindakan. Artinya

faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk

terjadinya perilaku kesehatan.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) adalah faktor-faktor

yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku berawal

dari adanya pengalaman-pengalaman seseorang serta didukung oleh

faktor luar (lingkungan) baik fisik maupun non fisik, kemudian

pengalaman dan lingkungan diketahui, dipersepsikan, diyakini,

sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak, yang pada

akhirnya terjadilah perwujudan niat yang berupa melakukan perilaku.


19

Internal
a. Persepsi

Eksternal b. Pengetahuan

a. Pengalaman c. Keyakinan
Perilaku
b. Fasilitas d. Motivasi

c. Sosial Budaya e. Niat


f. Sikap

Skema 2.1 Determinan Perilaku Manusia


Sumber: Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010)

2.1.2. Mobilisasi Dini

Mobilisasi adalah suatu pergerakan dan posisi yang akan

melakukan suatu aktifitas/kegiatan (Kasdu, 2008). Mobilisasi merupakan

kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas dan merupakan faktor

yang menonjol dalam mempercepat pemulihan pasca bedah dan mencgah

komplikasi pasca bedah.

Mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin

membimbing pasien keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya

selekas mungkin berjalan (Soeleman, 2005).

Mobilisasi adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat melakukan

kegiatan dengan bebas (Kosier, 2004). Mobilisasi dini merupakan

kebijakan untuk secepat mungkin membimbing penderita keluar dari

tempat tidurnya dan berjalan. mobilisasi dini bisa mencegah aliran darah

terhambat. Hambatan aliran darah bisa menyebabkan terjadinya

thrombosis vena dalam dan bisa menyebabkan infeksi (Manuaba, 2004).


20

Menurut Kasdu (2003), akibat tidak melakukan mobilisasi dini dapat

mengakibatkan peningkatan suhu tubuh karena adaya involusi uterus yang

tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan dan menyebabkan

infeksi.

Konsep mobilisasi mula-mula berasal dari ambulasi dini yang

merupakan pengembalian secara berangsur angsur ke tahap mobilisasi

sebelumnya untuk mencegah komplikasi (Ancheta, 2005). Mobilisasi

mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak bebas. Sering kali

dengan keluhan nyeri pasca Persalinan menyebabkan pasien tidak mau

melakukan mobilisasi ataupun alasan takut jahitan lepas, sehingga peran

perawat sebagai edukator dan motivator sangat di perlukan sehingga

pasien tidak mengalami suatu komplikasi yang tidak diinginkan (Kasdu,

2008).

Menurut peneliti mobilisasi atau mobilitas merupakan kemampuan

individu untuk bergerak secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan

untuk memenuhi kebutuhan aktifitas guna mempertahankan kesehatannya.

2.1.3. Ibu Postpartum

Post Partum atau yang sering disebut masa nifas (puerperium)

yaitu dimulainya setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat

kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil berlangsung kira-kira 6

minggu (Saefudin, 2008). Nifas (puerperium) merupakan waktu yang

diperlukan untuk pulihnya alat kandungan pada keadaan yang normal yang

berlangsung 6 minggu atau 42 hari (Manuaba, 2009).


21

Masa nifas disebut juga masa post partum atau puerperium adalah

masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas dari rahim

sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-

organ ang berkaitan dengan kandungan yang mengalami perubahan seperti

perlukaan saat melahirkan (Suherni, 2009).

Postpartum adalah masa enam minggu sejak bayi baru lahir sampai

organ-organ reproduksi kembali ke keadaan normal seperti sebelum hamil.

Periode ini disebut juga puerperium atau trimester keempat kehamilan

(Hockenberry, 2002). Menurut Sherwen, Scoloveno dan Weingarten

(1999), periode postpartum adalah waktu yang diperlukan seorang ibu

untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan fisiologis setelah

melahirkan. Menurut Pillitteri (2003), periode postpartum adalah waktu

yang diperlukan seorang ibu untuk mengalami perubahan yaitu

kemunduran (involusi uterus) dan kemajuan (produksi ASI untuk

menyusui, pemulihan siklus menstruasi, dan memulai peran sebagai orang

tua). Sedangkan menurut Bennett dan Brown (1999), periode postpartum

adalah masa enam minggu setelah fase ketiga kelahiran. Selama periode

ini, ibu mengalami adaptasi fisiologis dan psikologis.

Menurut Wishnuwardani dan Reksoprodjo (2004), perubahan

selama masa nifas dapat terjadi pada uterus, serviks uteri, endometrium,

tuba falopi, darah lochea, vagina, dinding abdomen, saluran kencing, dan

perubahan-perubahan lain.
22

Menurut penulis Postpartum merupakan waktu untuk memulihkan

kesehatan umum dan mengembalikan keadaan organ yang mengalami

perubahan. Waktu ini umumnya dibatasi antara 6 sampai 12 minggu

apabila keadaan normal.

2.1.4. Adaptasi pada Masa Postpartum

A. Perubahan pada Sistem Reproduksi

1. Involusi Uteri

Involusi uteri terjadi segera setelah melahirkan dan

berlangsung cepat. Dalam 12 jam pertama setelah melahirkan

fundus uteri teraba satu cm dibawah pusat, lima sampai enam

minggu kemudian kembali ke dalam ukuran tidak hamil. Dinding

endometrium pada bekas implantasi plasenta pada lapisan

superfisial akan mengalami nekrotik dan akan keluar cairan berupa

sekret sebagai lochea. Luka bekas implantasi plasenta akan sembuh

sempurna sekitar enam minggu setelah kelahiran (Bobak dkk,

2004). Kegagalan penyembuhan tempat menempelnya plasenta

dapat menyebabkan pengeluaran lochea terus menerus, perdarahan

pervaginam tanpa nyeri. Menyusui dan mobilisasi menyebabkan

ekskresi lochea sedikit lebih banyak dibandingkan posisi tidur saja,

karena itu menyusui dan mobilisasi dini yang disertai asupan

nutrisi yang adekuat mempercepat proses involusi uteri (Coad &

Dunstall, 2006).
23

2. Serviks

Vagina dan Perineum Serviks dan segmen bawah uterus

menjadi lebih tipis selama immediate postpartum. Pada beberapa

persalinan terjadi laserasi pada serviks. Vagina dan perineum dapat

mengalami robekan, edema dan memar (Ambarwati & Wulandari,

2009).

3. Payudara

Perkembangan kelenjar mamae secara fungsional lengkap

pada pertengahan masa kehamilan, tetapi laktasi terhambat sampai

kadar estrogen menurun, yakni setelah janin dan plasenta lahir.

Konsentrasi hormon yang menstimulasi perkembangan payudara

selama hamil menurun dengan cepat setelah bayi lahir. Waktu yang

dibutuhkan hormon kembali ke kadar sebelum hamil sebagian

ditentukan oleh apakah ibu menyusui atau tidak. Pada ibu yang

tidak menyusui kadar prolaktin akan turun dengan cepat. Pada hari

ketiga dan keempat postpartum bisa terjadi pembengkakan

(engorgement), payudara teregang, keras, nyeri bila ditekan dan

hangat jika diraba. Distensi payudara terutama disebabkan oleh

kongesti sementara vena dan pembuluh limfatik bukan akibat

penimbunan air susu. Pembengkakan dapat hilang dengan

sendirinya dan rasa tidak nyaman biasanya berkurang dalam 24

jam sampai 36 jam.


24

Pada ibu yang menyusui, sebelum laktasi dimulai payudara

teraba lunak dan suatu cairan kekuningan yakni kolostrum

dikeluarkan dari payudara. Setelah laktasi dimulai, payudara teraba

hangat dan keras ketika disentuh (Bobak dkk, 2005).

4. Sistem Urinaria

Uretra/Kandung kemih dan jaringan sekitar meatus

urinarius dapat mengalami trauma mekanik akibat desakan oleh

bagian yang berpresentasi selama persalinan kala II, Hal ini dapat

menyebabkan kehilangan sensasi untuk buang air kecil (Ambarwati

& Wulandari, 2009).

5. Sistem Sirkulasi dan Vital Sign

Adanya hipervolemi, dimana terjadi peningkatan plasma

darah saat persalinan menyebabkan ibu toleran terhadap kehilangan

darah saat persalinan. Segera setelah kelahiran terjadi peningkatan

cardiac output yang dapat tetap ada selama 28 jam setelah

kelahiran dan akan turun secara perlahan pada keadaan normal

sekitar 12 minggu setelah persalinan (Bobak dkk, 2004; Derek &

Jones, 2005).

6. Sistem Muskuloskeletal

Selama beberapa hari hormon relaxin menurun, dan

ligamen kartilago pelvis mulai kembali ke keadaan sebelum hamil.

Pada sebagian ibu, otot abdomen dapat melemah dan kendur. Hal

ini mempengaruhi resiko konstipasi selama postpartum karena


25

penurunan tonus dinding abdomen mempengaruhi motilitas usus.

Stasis vena yang dapat terjadi selama hamil tua, berkontribusi

terhadap terbentuknya bekuan darah (trombosis) pada ekstremitas

bawah. Hal ini dapat dicegah dengan mobilisasi dini setelah

persalinan (Burrougs & Leifer, 2001; Bobak dkk, 2004).

7. Sistem Gastrointestinal

Ibu akan sering haus dan lapar setelah melahirkan, akibat

kehabisan tenaga dan restriksi cairan selama persalinan.

Pembatasan asupan nutrisi dan cairan dapat menyebabkan

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta keterlambatan

pemulihan fungsi tubuh (Bobak dkk, 2004; Derek & Jones, 2005).

8. Sistem Endokrin

Level estrogen dan progesteron menurun setelah ekspulsi

plasenta. Jika ibu tidak menyusui, level estrogen akan kembali

meningkat sekitar tiga minggu setelah kelahiran yang diikuti

dengan kembalinya menstruasi. Pada ibu menyusui level estrogen

dan progesteron lebih lambat kembali pada level sebelum hamil

(Derek & Jones, 2005; Ambarwati & Wulandari, 2009).

B. Perubahan Psikologis pada Masa Postpartum.

Ada tiga fase penyesuaian Ibu terhadap perannya sebagai orang

tua yaitu:
26

1. Fase Dependen

Selama satu atau dua hari pertama setelah melahirkan,

ketergantungan ibu menonjol. Pada waktu ini ibu mengharapkan

segala kebutuhannya dapat dipenuhi orang lain. Rubin (1961)

menetapkan periode ini sebagai fase menerima (taking-in phase),

suatu waktu dimana ibu memerlukan perlindungan dan perawatan

(Bobak dkk, 2004).

2. Fase Dependen-Mandiri

Apabila ibu telah menerima asuhan yang cukup selama

beberapa jam atau beberapa hari pertama setelah persalinan, maka

pada hari kedua atau ketiga keinginan untuk mandiri timbul dengan

sendirinya. Secara bergantian muncul kebutuhan untuk mendapat

perawatan dan penerimaan dari orang lain dan keinginan untuk bisa

melakukan segala sesuatu secara mandiri. Keadaan ini disebut juga

fase taking-hold yang berlangsung kira-kira sepuluh hari (Bobak

dkk, 2004).

3. Fase Interdependen

Pada fase ini perilaku interdependen muncul, ibu dan para

anggota keluarga saling berinteraksi. Hubungan antar pasangan

kembali menunjukkan karakteristik awal. Fase yang disebut juga

letting-go ini merupakan fase yang penuh stres bagi orangtua.

Suami dan Istri harus menyesuaikan efek dan perannya masing-


27

masing dalam hal mengasuh anak, mengatur rumah dan membina

karier (Bobak dkk, 2004).

2.1.5. Perilaku Mobilisasi Dini Ibu Postpartum

Adapun pelaksanaan mobilisasi dini pada ibu pasca persalinan

adalah: pada hari pertama berbaring miring kekiri dan kekanan yang dapat

dimulai sejak 6-10 jam setelah ibu sadar, kemudian latihan pernapasan

yang dilakukan sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar. Pada

hari kedua setelah 24 jam ibu dapat duduk 5 menit dan diminta untuk

bernapas dalam dalam lalu menghembuskannya disertai batuk batuk kecil

yang gunanya untuk melonggarkan pernapasan dan sekali gus

menumbuhkan kepercayaan pada diri ibu bahwa ia benar benar telah pulih

Kosier (2004). Kemudian 24-48 jam pasca persalinan posisi terlentang

dirubah menjadi setengah duduk yang selanjutnya secara berturut turut

hari hari demi hari belajar duduk selama sehari.

Macam-macam mobilisasi Dini Ibu Postpartum Menurut Kosier

(2004), yaitu:

a. Mobilisasi penuh, yaitu seluruh anggota dapat melakukan

mobilisasi secara normal dan mempunyai peranan penting dalam

menjaga kesehatan baik secara fisiologis dan psikologis

b. Mobilisasi sebagian, yaitu sebagian dari anggota badan yang dapat

melakukan mobilisasi secara normal yang terjadi pada pasien

dengan gangguan saraf motorik dan sensorik


28

c. Mobilisasi temporer, yaitu tidak dapat beraktivitas yang disebabkan

oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal seperti

dislokasi sendi dan tulang.

Berdasarkan teori diatas maka dapat dibuat skema jenis-jenis

perilaku Mobilisasi Dini Ibu Postpartum sebagai berikut:

Mobilisasi Penuh

Perilaku Mobilisasi Dini


Mobilisasi Sebagian
Ibu Postpartuum

Mobilisasi Temporer

Skema 2.2 Jenis-jenis Perilaku Mobilisasi Dini Ibu Postpartum


Sumber: Disesuaikan dengan Kosier (2004)

2.1.6. Rentang Gerak dalam Mobilisasi Dini Ibu Postpartum

Menurut Carpenito (2002), dalam mobilisasi terdapat 3 (tiga) rentang

gerak yaitu:

1. Rentang gerak pasif berguna untuk menj aga kelenturan otot otot dan

persendian dengan menggerakan otot orang lain secara pasif, misalnya:

perawat mengangkat dan menggerakan kaki pasien pasien.

2. Rentang gerak aktif berguna untuk melatih kelenturan dan kekuatan

otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif,

misalnya sambil berbaring pasien menggerakan kakinya.


29

3. Rentang gerak fungsional berguna untuk memperkuat otot-otot dan

sendi dengan melakukan aktifitas yang diperlukan.

2.1.7. Tujuan Mobilisasi Dini Ibu Postpartum

Menurut Carpenito (2002), tujuan mobilisasi dini yaitu:

a. Membantu jalannya penyembuhan pasien/ibu setelah melahirkan

b. Untuk menghindari terjadinya infeksi pada luka bekas sayatan

setelah operasi sectio caesaria

c. Menguragi resiko terjadi konstipasi

d. Mengurangi terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot-

otot di seluruh tubuh

e. Mengatasi gangguan sirkulasi darah, pernapasan, peristaltik maupun

berkemih

f. Mengembalikan aktifitas tertentu sehingga pasien dapat kembali

normal dan atau dapat memenuhi kebutuhan gerak harian

g. Memberikan kesempatan perawat dan pasien untuk berinteraksi atau

berkomunikasi

2.1.8. Manfaat Mobilisasi Dini Ibu Postpartum

Menurut Mochtar (2005), berikut adalah manfaat dalam melakukan

mobilisasi dini, yaitu:

1. Melancarkan pengeluaran lochia, mengurangin infeksi puerperium

2. Mempercepat involusi alat kandungan

3. Melancarkan fungsi alat gastrointestinal dan alat perkemihan


30

4. Meningkatkan kelancaran peredarahan darah, sehingga mempercepat

produksi ASI dan pengeluaran sisa metabolisme

5. Ibu merasa lebih sehat dan kuat

6. Faal usus dan kandung kencing lebih baik

7. Kesempatan yang baik untuk mengajarkan ibu cara merawat bayinya

Sedangkan Menurut Manuaba (2010), manfaat dalam melakukan

mobilisasi dini adalah:

1. Mempercepat involusi alat kandungan

2. Melancarkan fungsi alat gastrointestinal dan alat perkemihan

3. Meningkatkan kelancaran peredaran darah sehingga mempercepat

fungsi ASI dan pengeluaran sisa metabolisme.

2.1.9. Tahap-tahap Mobilisasi Dini Ibu Postpartum

Menurut Kasdu (2008), berikut tahap-tahap mobilisasi dini:

1. Pasca Persalinan, setelah 6-10 jam pertama Persalinan normal harus

tirah baring dulu, mobilisasi yang bisa dilakukan adalah menggerakan

lengan, tangan, menggerakan ujung jari dan memutar pergelangan

kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan

menggeser kaki.

2. Setelah 10-24 jam ibu diharuskan umtuk dapat miring kekiri dan

kekanan untuk mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli.

3. Setelah 24-48 jam ibu dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk

duduk.dan berjalan.

4. Setelah 48-72 jam ibu dapat duduk, berjalan, merawat diri dan bayi.
31

2.1.10. Faktor-faktor dalam Mobilisasi Dini Ibu Postpartum

Hal-hal yang mempengaruhi mobilisasi Menurut Carpenito (2002),

antara lain:

1. Gaya Hidup, Perubahan pola seseorang akan menyebabkan stress,

sehingga akan menimbulkan kecerobohan dalam beraktifitas, sehingga

dapat mengganggu koordinasi antara sistem muskuloskletal dan

neurologi, yang akhirnya akan mengakibatkan perubahan mekanika

tubuh, gaya hidup seseorang sangat bergantung dari tingkat

pendidikannya, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan diikuti

oleh prilaku yang dapat meningkatkan kesehatannya.

2. Proses penyakit dan injuri, adanya penyakit tertentu yang diderita

seseorang akan mempengaruhi mobilitasnya.

3. Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan

aktifitas.

4. Tingkat energy setiap orang mobilisasi jelas memerlukan tenaga atau

energy, orang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya

dibandingkan dengan orang sehat apalagi dengan seorang pelari.

5. Usia dan status perkembangan seorang anak akan berbeda tingkat

kemampuan mobilitasnya dibandiingkan dengan seorang remaja. anak

yang selalu sakit dalam masa pertumbuhannya akan berbeda pula

tingkat kelincahannya dibandingkan dengan anak yang sering sakit.


32

6. Status kesehatan. Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi

sistem muskuloskletal dan sistem syaraf berupa penurunan koordinasi,

sehingga dapat mempengaruhi mekanika tubuh.

7. Pengetahuan yang baik terhadap mekanika tubuh akan mendorong

seseorang untuk mempergunakannya secarabenar, sehingga akan

mengurangi energy yang akan dikeluarkan.

8. Situasi dan kebiasaan

9. Emosi seseorang yang mengalami perasaan tidak aman, tidak

bersemangat dan harga diri yang rendah akan mengalami perubahan

mekanika tubuh.

10. Nutrisi, kekurangan nutrisi bagi tubuh dapat menyebabkan kelemahan

otot dan memudahkan terjadinya penyakit.

Pada ibu hamil boleh melakukan kegiatan atau aktifitas fisik biasa

selama tidak terlalu melelahkan, ibu hamil dapat melakukan pekerjaan

seperti menyapu, mengepel, memasak dan mengajar. Semua pekerjaan

tersebut harus sesuai degan kemampuan wanita tersebut dan mempunyai

cukup waktu istirahat. Pada saat ibu bersalin mobilisasi juga diperhatikan

untuk ibu post partum mobilisasi sesudah bersalin dipengaruhi oleh rasa

nyeri yang ditimbulkan oleh robeknya perineum, mobilisasi post partum

dibagi menjadi 4-6 jam sesudah bersalin dan 6-8 jam sesudah bersalin

selanjutnya diperbolehkan untuk berjalan setelah 8 jam post partum,

mobilisasi ini mempunyai variasi bergantung pada komplikasi persalinan,

nifas dan sembuhnya luka-luka.


33

Menurut Kasdu, 2003 mobilisasi dini dilakukan secara bertahap,

sedangkan untuk post section baru bisa mobilisasi setelah 24 jam.

1. Gaya hidup
2. Proses injury dan penyakit
3. Kebudayaan
4. Tingkat energy Mobilisasi Dini

5. Usia
6. Pengetahuan
7. Emosi
8. Status kesehatan
9. Situasi dan kebiasaan
10. Nutrisi

Skema 2.3 Pengaruh Mobilisasi Dini


Sumber: Disesuaikan dengan Roper (1996) Carpenito (2002)

Penilaian toleransi aktifitas sangat penting terutama pada kliean

dengan gangguan kardiovaskuler seperti angina pectoris, infark myocard

atau pada klien dengan immobilisasi lama seperti akibat kelumpuhan. Hal

ini dikaji sejak waktu sebelum melakukan mobilisasi, saat mobilisasi dan

setelah mobilisasi, tanda-tanda yang dapat dikaji pada intoleransi aktifitas

antara lain, yaitu denyut nadi mengalami peningkatan irama tidak teratur,

penurunan tekanan darah baik systole maupun diastole, peningkatan

frekuensi pernafasan, penurunan suhu tubuh dan perubahan warna kulit,

kecepatan dan ketidakstabilan posisi tubuh dan status emosi labil (Gordon,

2006). Upaya mencegah terjadinya masalah akibat kurangnya mobilisasi

antara lain: Perbaikan status gizi, memperbaiki kemampuan mobilisasi,


34

melaksanakan latihan pasif dan aktif, mempertahankan posisi tubuh secara

benar sesuai dengan body ligment (struktur tubuh) dan melakukan

perubahan posisi tubuh secara periodic. Mobilisasi untuk menghindari

terjadinya dekubitus/pressure area akibat tekanan yang menetap pada

bagian tubuh.

2.1.11. Kerugian bila tidak melakukan Mobilisasi Dini Ibu Postpartum

Menurut Fauzi (2007), bila tidak melakukan mobilisasi secara dini

maka akan terjadi peningkatan suhu tubuh karena adanya involusi uterus

yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan dan

menyebabkan infeksi dan salah satu dari gejala infeksi adalah peningkatan

suhu tubuh. Perdarahan yang abnormal, dengan mobilisasi dini kontraksi

uterus akan baik sehingga fundus uteri keras, maka resiko resiko

perdarahan yang abnormal dapat dihindari karena kontraksi membentuk

penyempitan pembuluh darah yang terbuka. Involusi uterus yang tidak

baik, tidak dilakukan mobilisasi secara dini akan menghambat pengeluaran

darah dan sisa plasenta sehingga menyebabkan terganggunya kontraksi

uterus.

2.1.12. Cara Pengukuran

Banyak cara untuk mengukur perilaku, namun secara garis besar

cara pengukuran perilaku menurut Walgito (2003), ada dua cara yaitu:

pertama secara langsung yaitu subjek secara langsung dimintai pendapat

bagaimana perilkunya terhadap sesuatu masalah atau hal yang dihadapkan

kepadanya, dalam hal ini langsung dibedakan yaitu: secara langsung yang
35

berstuktur dengan menggunakan pelayanan-pelayanan yang disusun

sedemikian rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan, dan langsung

diberika kepada subjek yang diteliti misalnya dengan skala Bogardus,

Thrustone dan likert. Secara langsung yang tidak berstuktur melalui

wawancara bebas atau pengamatan langsung atau dengan survey. Kedua

secara tidak langsung yaitu pegukuran perilaku menggunakan alat-alat test

baik yang proyektif maupun yang non-proyektif.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan dengan manilai pertanyaan

perilaku seseorang. Pertanyaan perilaku adalah serangkaian kalimat yang

mengatakan sesuatu mengenai objek perilku yang hendak diungkap.

Pernyataan perilaku mungkin berisi atau mengatakan hal yang positif

mengenai obyek perilaku yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau

memihak pada obyek perilaku. Pernyataan perilaku tersebut dengan

pernyataan yang favorurble. Sebaliknya pernyataan perilaku yang mugkin

pula berisi hal-hal yang negatif mengenai objek perilaku yang bersifat

tidak mendukung kontra terhadap objek perilaku. Pernyataan ini yang

disebut dengan pernyataan yang unfovourble. Suatu skala perilaku sedapat

mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan fovourable dan

unfavourble dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan

yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua negatif yang seolah-

olah ini skala memihak atau tidak mendukung sama sekali objek perilaku

(Arikunto, 2006).
36

Dalam penelitian ini diukur dengan skala Diferensi Semantik

(Semantic Differential Technique) merupakan skala yang dikembangkan

oleh Osgood, Suci dan Tanembaum (1975) dalam Azwar (2005).

Keunikan skala ini responden menjawab dengan memberikan bobot

penilaian terhadap suatu stimulus menurut kata sifat pada setiap kontinum

dalam skala.

Contoh pengukuran perilaku:

Apakah pasca persalinan ibu dapat beraktifitas seperti biasa?

Tidak Dapat Dapat

1 2 3 4 5

2.1.13. Sintesis

Berdasarkan paparan teori diatas maka dapat disintesiskan bahwa

Perilaku Mobilisasi Dini Ibu Postpartum merupakan tindakan yang

diperlukan seorang ibu untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan

fisiologis setelah melahirkan. Dengan Indikator Jenis Mobilisasi Dini,

Keteraturan dan Tahapan Mobilisasi Dini.

2.2. Pengetahuan

2.2.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan, kata dasarnya ‘tahu’, mendapatkan awalan dan

akhiran pe dan an. Imbuhan ‘pe-an’ berarti menunjukkan adanya proses

(Suhartono, 2005). Menurut Setiawati (2008), pengetahuan adalah hasil

dari proses pembelajaran dengan melibatkan indra penglihatan,


37

pendengaran, penciuman dan pengecap. Pengetahuan akan memberikan

penguatan terhadap individu dalam setiap mengambil keputusan dan

dalam berperilaku.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah

seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.

Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku

seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan adalah segala apa yang di ketahui atau akan diketahui

dengan satu hal (Purwadarminto, 1998). Pengetahuan adalah kumpulan

pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah

orang yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangun yang teratur

(Ahmadi, 2004).

Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan merupakan hasil tahu

dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek

tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu: indera

penglihatan, penciuman, pendengaran, raba dan rasa. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui pendengaran dan penglihatan.

Pengetahuan merupakan dasaruntuk terbentuknya tindakan seseorang.

Menurut Meliono (2007) dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan

adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh


38

seseorang. Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide,

konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala

isinya termasuk manusia dan kehidupannya. Pengetahuan mencakup

penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu.

Juga mencakup praktik atau kemampuan teknis dalam memecahkan

berbagai persoalan hidup yang belum dibakukan secara sistematis dan

metodis.

Menurut Gomes (1997) dalam Irham (2012), pengetahuan adalah

suatu tafsiran psikologis terhadap ilmu pengetahuan dimulai dengan

kesadaran tinggi, bahwa ilmu pengetahuan merupakan ciptaan manusia

dan bukan sesuatu yang otonom, tidak manusiawi atau yang sifatnya

tersendiri dengan nilai-nilai intrinsiknya sendiri, agar dapat untuk

diciptakan, diperbaharui dan dipelihara oleh umat manusia.

Pengetahuan merupakan suatu usaha yang mendasari seseorang

berpikir secara ilmiah, sedang tingkatannya tergantung pada ilmu

pengetahuan atau dasar pendidikan orang tersebut (Nursalam, 2001).

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui

tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu. Ilmu

merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui manusia disamping

berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Pengetahuan

merupakan khasanah kekayaan mental. Tiap jenis pengetahuan pada

dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Secara

Ontologis ilmu membatasi diri pada kajian obyek yang berada dalam
39

lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki daerah

penjelajahan yang bersifat trasendental yang berada di luar pengalaman

kita.

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu obyek tertentu.

Pengetahuan terjadi melalui pancaindera manusia yakni indra penglihatan,

pandengaran, penciuman, rasa dan raba, dan sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan adalah segala apa yang diketahui atau akan diketahui

dengan satu hal (Purwadarminto, 1998). Pengetahuan adalah kumpulan

pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah

orang yang dipadukan secara harmonik dalam suatu bangun yang teratur

(Ahmadi, 2004).Cara menyusun pengetahuan dalam kajian filsafati

disebut epistemologi, dan landasan epistemologi ilmu disebut metode

ilmiah. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik

mengenai apa(ontologi), bagaimana (epistemologi),dan untukapa (aksiolo)

pengetahuan tersebut disusun.

Dari segi isi, ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan yang

bersifat terpadu atau kumpulan dari pengetahuan-pengetahuan yang saling

berkaitan dan mengikat dalam satu kesatuan kebenaran yang sahi.

Sedangkan dalam segi proses, ilmu dapat diartikan sebagai kegiatan yang

ditujukan untuk menemukan variabel-variabel alami yang penting dan

kemudian menerangkan dan meramalkan hubungan tersebut


40

(Serdamayanti, 2002). Pengetahuan merupakan suatu usaha yang

mendasari seseorang berpikir secara ilmiah, sedang tingkatannya

tergantung pada ilmu pengetahuan atau dasar pendidikan orang tersebut

(Nursalam dan Pariani, 2010).

Menurut peneliti pengetahuan adalah kemampuan individu dalam

mengetahui dan memahami suatu hal yang didasari oleh pengindraan, baik

diperoleh dari pendidikan formal maupun non formal berdasarkan

pengalaman yang yang telah dilewati dan memahami sesuatu berdasarkan

ide, opini dan gagasan.

2.2.2. Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010), tingkat pengetahuan dalam domain

kognitif mempunyai 6 tingkatan:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingatkan suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya.Termasuk pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan

yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.Tahu merupakan

tingkat pengetahuan yang paling rendah.Kata kerja untuk

mengukurnya antara lain menyebutkan, mendefenisikan, menyatakan

dan sebagainya.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan suatu kemampuan menjelaskan secara

benar tentang suatu objek yang diketahui dan dapat


41

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap objek dan materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang

sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau

pengalaman hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya

dalam konteks atau situasi lain.

4. Analisis (Analisysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam

suatu struktur organisasi tersebut, masih ada kaitannya satu sama

lain.Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunanan kata kerja,

dapat menggambarkan, membedakan dan memisahkan,

mengelompokkkan dan lain sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian didalam suatu bentuk

kesatuan yang baru, dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan

untuk menyusun formulasi baru dari formula-formula yang ada.

Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas,


42

dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau

rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-

penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau

penggunaan kriteria-kriteria yang ada (Notoatmodjo, 2010).

Dari keterangan tingkatan pengetahuan diatas dapat dibuat

bagan skema pengetahuan sebagai berikut:

Tahu

Memahami

Aplikasi Pengetahuan

Analisis

Sintesis

Evaluasi

Skema 2.4 Tingkatan Pengetahuan


Sumber: Lawrence Green dalam Notoadmodjo (2010)

2.2.3. Cara Memperoleh Kebenaran Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010), dari berbagai cara yang telah

digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah

dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:


43

Menurut Notoatmodjo (2007), untuk memperoleh pengetahuan ada

berbagai cara yaitu:

1) Cara tradisional atau non ilmiah yang terdiri dari:

a) Cara coba-salah (Trial and Error)

Cara ini di pakai orang sebelum adanya kebudayaan,

bahkan mungkin sebelum adanya peradaban apabila seseorang

menghadapi persoalan atau masalah upaya pemecahannya di

lakukan dengan coba-coba. Bila percobaan pertama gagal, di

lakukan percobaan yang kedua dan seterusnya sampai masalah

tersebut terpecahkan.

b) Cara kekuasaan atau otoritas

Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali kebiasaan dan

tradisi yang di lakukan oleh orang tanpa melalui penalaran apakah

yang di lakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan ini biasanya di

wariskan turun temurun. Kebisaan ini seolah-olah diterima dari

sumbernya sebagai kebenaran mutlak. Sumber pengetahuan dapat

berupa pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli

agama, pemegang pemerintahan dan sebagainya. Para pemegang

otoritas pada prinsipnya adalah orang lain menerima pendapat yang

dikemukakan oleh yang mempunyai otoritas tanpa terlebih dahulu

menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan

perasaannya sendiri.
44

c) Berdasarkan pengalamannya sendiri

Pengalaman adalah guru terbaik demikian bunyi pepatah.

Pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman itu

merupakan sumber pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara

mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam

memecahkan permasalahan yang dihadapi. Pada masa lain apabila

dengan cara yang digunakan tersebut orang dapat memecahkan

masalah yang dihadapi, maka untuk memecahkan masalah lain

yang sama, orang dapat pula menggunakan cara tersebut.

d) Melalui jalan pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia,

cara manusia berpikir ikut berkembang. Dari sini manusia mampu

menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuan.

Induksi dan deduksi pada dasarnya merupakan cara melahirkan

pemikiran secara tidak langsung melalui pernyataan-pernyataan

yang dikemukan. Apabila proses pembuatan kesimpulan itu

melalui pernyataan-pernyataan yang khusus kepada yang umum

dinamakan induksi, sedangkan deduksi adalah pembuatan

kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum ke khusus.

2. Cara Modern

a. Cara baru atau dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini

lebih sistematis, logis dan ilmiah atau lebih populer disebut

metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh


45

Francis Bacon (1561-1626), kemudian dikembangkan oleh

Deobold Van Daven. Akhirnya lahir suatu cara untuk melakukan

penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan penelitian ilmiah.

b. Segala Sesuatu yang positif, yakni gejala tertentu yang muncul

pada saat dilakukan pengamatan.

c. Segala sesuatu yang negative yakni gejala tertentu yang tidak

muncul pada saat dilakukan pengamatan.

a. Gejala-gejala yang timbul bervariasi, yaitu gejala-gejala yang

berubah-ubah pada kondisi tertentu.

2.2.4. Syarat-syarat Pengetahuan

Menurut Karlina Supeli Laksono dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan

(Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 1998/1999,

pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat, yaitu:

1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai

suatu sistem.

2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut

terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian

bersifat universal.

3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang

bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima oleh orang-orang

lain/ahli-ahli lain.
46

2.2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Cahyono (2009), ada beberapa faktor yang mempengaruhi

pengetahuan seseorang, yaitu:

1. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan

kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan

berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar,

makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk

menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan

cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun

dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin

banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.

Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana

diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut

akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan

bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak

berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak

diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada

pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek

juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua

aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap

obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari obyek yang


47

diketahui akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek

tersebut.

2. Media Massa/informasi

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun

non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate

impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan

pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam

media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat

tentang inovasi baru.

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa

seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai

pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang.

Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa

membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat

mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai

sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya

pengetahuan terhadap hal tersebut.

3. Sosial budaya dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa

melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan

demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak

melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan

tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,


48

sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan

seseorang.

4. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu,

baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan

berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu

yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya

interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai

pengetahuan oleh setiap individu.

5. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara

untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang

kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah

yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang

dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan

professional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat

mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan

manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang

bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

6. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir

seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula

daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang


49

diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih

berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih

banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri

menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak

menggunakan banyak waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual,

pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak

ada penurunan pada usia ini.

Ada dua faktor utama yang mempengaruhi pengetahuan Menurut

Notoadmodjo (2010), diantaranya adalah:

1. Faktor Intrinsik

a) Sifat Kepribadian

Tingkah laku individu bersifat unit sesuai kepribadian yang

dimiliki karena dapat dipengaruhi oleh aspek kepribadian seperti

pengalaman hidup, perubahan usia, watak, temperamen system

nilai serta kepercayaan.

b) Bakat pembawaan

Bakat sangat berpengaruh dalam tingkah laku karena

merupakan interaksi dari faktor keturunan dan lingkungan.

c) Intelegensi

Seseorang yang mempunyai intelegensi rendah akan

bertingkah laku lambat dalam pengambilan keputusan.


50

d) Motivasi

Motivasi dapat diartikan sebagai kecenderungan atau

keinginan yang tinggi terhadap sesuatu (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 1997). Motivasi merupakan kekuatan dari dalam dan

dampak dari luar sebagai gerak-gerik dalam menjalankan

fungsinya. Motivasi berhubungan erat dengan pikiran dan perasaan

(Saifudin, 2008).

e) Usia dan pengalaman

Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat

dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur,

tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang

dalam berfikir dan logis (Nursalam dan Pariani, 2001).

Seperti yang dikatakan Hurlock (1997) yang dikutip oleh

Nursalam (2003), bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan

dan kekuatan seseorang lebih dipercaya dari orang-orang yang

belum cukup tinggi dewasanya.

f) Pendidikan

Koentjoroningrat (1997), mengatakan bahwa pendidikan

diperlukan untuk mendapatkan informasi, misalnya hal-hal yang

menunjang kesehatan sehingga meningkatkan kualitas hidup. Oleh

sebab itu, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin

mudah menerima informasi sehingga makin banyak pengetahuan

yang dimiliki dan semakin mudah orang tersebut menerima


51

informasi, sehingga seseorang lebih mudah menerima terhadap

nilai-nilai yang baru dikembangkan.

g) Pekerjaan

Menurut Markum (1991), bekerja umumnya merupakan

kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan

mempunyai pengaruh terhadap kehidupannya sehingga ibu tidak

punya banyak waktu untuk mendapatkan informasi.

Manusia memerlukan suatu pekerjaan untuk dapat

berkembang dan berubah. Seseorang bekerja bertujuan untuk

mencapai suatu keadaan yang lebih daripada keadaan sebelumnya.

Dengan bekerja seseorang dapat berbuat yang bernilai, bermanfaat

dan memperoleh berbagai pengalaman.

h) Informasi

Informasi adalah penerangan, pemberitahuan, kabar atau

berita tentang sesuatu keseluruhan makna yang menunjang amanat.

Pengetahuan diperoleh melalui informasi yaitu kenyataan (fakta)

dengan melihat dan mendengar sendiri, misalnya membaca surat

kabar, mendengarkan radio, melihat film atau televisi dan

sebagainya (Fajri, 2005).

2. Faktor Ekstrinsik

1. Lingkungan, baik lingkungan alam seperti air, hewan, laut,

tumbuh-tumbuhan dan sebagainya maupun lingkungan asal seperti

keluarga, teman, guru dan masayarakat yang mempengaruhi kita


52

semua secara langsung masupun tidak langsung seperti informasi

dari radio, televisi, surat kabar, majalah dan sebagainya.

2. Agama, agama menjadikan orang bertambah pengetahuan yang

berkaitan dengan kehidupan spiritual.

3. Kebudayaan, kebudayaan yang berlaku disuatu wilayah secara

tidak langsung akan memberikan pengaruh yang besar kepada

seseorang dalam memperoleh pengetahuan. Masyarakat yang

memegang teguh adat dan budayanya cenderung lebih susah untuk

memperoleh pengetahuan dibandingkan dengan masyarakat yang

mempunyai kultur budaya terbuka (Arimurti, 2002).

2.2.6. Cara Pengukuran

Cara mengukur pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara

atau angket yang menanyakan isi materi yang diukur dari subjek penelitian

atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui kita ukur

dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan. Menurut Arikunto (2006),

pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala

yang bersifat kualitatif, yaitu:

1. Baik: Hasil presentase 76%-100%

2. Cukup: Hasil presentase 56%-75%

3. Kurang: Hasil presentase <56%

Pendukung dan pendorong dengan Skala semantic defferensial

yaitu skala untuk mengukur pengetahuan dan lainnya, tetapi bentuknya

bukan pilihan ganda atau checklist tetapi tersusun dalam satu garis
53

kontinue. Dimana jawaban yang sangat positif terletak dibagian kanan

garis, dan jawaban negatif disebelah kiri garis, atau sebaliknya. Data yang

diperoleh melalui pengukuran dengan Skala semantic differensial adalah

data interval. Skala ini di gunakan untuk mengukur pengetahuan atau

karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang. Adapun skala yang dipakai

untuk menilai perilaku Mobilisasi Dini Ibu Postpartum adalah dengan

skala semantic differensial.

Contoh:

Apakah Ibu tahu bahwa Mobilisasi Dini Ibu Postpartum sangat

baik jika dijalankan dengan Benar

Tahu 5 4 3 2 1 Tidak tahu

2.2.7. Hubungan Pengetahuan Ibu Post Partum Dengan Perilaku Mobilisasi

Dini

Penanganan dan pengenalan kesakitan setelah persalinan ini cukup

problematis karena pada masa kini kaum wanita, kecil kemungkinan untuk

tetap berhubungan dengan penyediaan pelayanan kesehatan terutama jika

masalah tersebut baru muncul beberapa saat setelah persalinan (Hasyim,

2003). Pengetahuan ibu post partum yang memadai akan berpengaruh

terhadap perilaku selama masa nifas, hal ini sangat diperlukan untuk

mencapai status kesehatan ibu post partum yang optimal, membantu,

memantau dan mempertahankan kesehatannya.


54

Hasil penelitian United Nations Developed Populations (UNDP) di

21 Negara juga memperlihatkan bahwa di Indonesia, sebagian besar

wanita melahirkan yang meninggal dunia disebabkan komplikasi

melahirkan, seperti perdarahan. Sementara itu, sang suami pada saat yang

bersama tidak ada di tempat. Salah satu tradisi yang mempunyai andil

terhadap hal ini adalah tidak berani mengambil keputusan untuk segera

mencari pelayanan kesehatan ke dokter pada saat terjadi komplikasi

(Arifin, 2004).

Upaya yang dilakukan dalam menambah pengetahuan ibu post

partum yaitu dengan memberikan informasi dan keterampilan yang tepat,

mengontrol perilaku serta mengambil keputusan yang tepat, agar dapat

terwujud maka perlu dilakukan tentang bagaimana memberikan

pengarahan terhadap ibu-ibu postpartum yang berguna untuk

meningkatkan pengetahuan tentang perawatan masa nifas dan mobilisasi

dini (Imami, 2003).

Bagi ibu post partum yang pada saat melahirkan dibantu oleh

tenaga medis yaitu bidan kemungkinan dalam perilaku mobilisasi dini

akan dijalankan sesuai anjuran, tetapi apabila penanganan melahirkan

dibantu oleh dukun beranak, terkadang tidak ada penyuluhan untuk

melakukan mobilisasi dini yang berakibat terjadi gangguan aliran darah

serta fungsi otot, tetapi dengan bekal pengetahuan yang memadai pada ibu

post partum, pada saat mobilisasi dini mungkin akan berjalan lancar dan

benar.
55

Pada ibu post partum biasanya takut dan enggan untuk bergerak

karena mereka merasa letih, sakit dan khawatir. Mereka berasumsi bahwa

gerakan yang akan dilakukan dapat menimbulkan dampak yang buruk.

Maka perlu dilakukan suatu pendekatan serta dukungan pada ibu post

partum yang dilakukan pada periode post partum (Mochtar, 2006).

Menurut Skiner mengemukakan bahwa perilaku adalah respon atau reaksi

seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar) (Notoatmodjo, 2010),

maka dengan pengetahuan tentang mobilisasi dini dan penyembuhan

adanya luka pada ibu post partum yang benar dan tepat merupakan salah

satu tujuan utama dalam perilaku mobilisasi dini.

Berdasarkan teori diatas dapat dibuat skema hubungan

pengetahuan Ibu Postpartum dengan perilaku mobilisasi dini Ibu

postpartum sebagai berikut:

1. Letih
2. Sakit
3. Khawatir

Perilaku Dampak
Pengetahuan Mobilisasi yang buruk
Dini Ibu
Postpartum

Skema 2.5 Hubungan Pengetahuan Ibu Postpartum dengan Perilaku


Mobilisasi Dini Ibu Postpartum
Sumber: Disesuaikan dengan Moctar (2006)
56

2.2.8. Sintesis

Berdasarkan dari uraian diatas dapat disintesiskan bahwa

pengetahuan adalah hasil dari tahu setelah melakukan penginderaan

terhadap suatu objek. Ibu Postpartum dapat memahami perubahan-

perubahan yang terjadi, khususnya perubahan fisiologis pasca persalinan

dalam melakukan mobilisasi pasca persalinan.

2.3. Kecemasan

2.3.1. Definisi Kecemasan

Cemas adalah suatu situasi yang dirasakan oleh individu mengenai

ketidaknyamanan perasaan karena aktifitas sistem nervus otonomi pada

respons ancaman non spesifik, biasanya tidak jelas penyebabnya atau tidak

dikenal sumbernya (Rawlin & Heacok, 1993). Kecemasan berkaitan

dengan tingkat perkembangan, jenis kelamin, social budaya dan

pengalaman (Stuart & Sundeen, 1998 dalam Notoadmodjo, 2010).

Kecemasan merupakan aspek yang selalu ada dan menjadi bagian

dari kehidupan. Kelainan kecemasan merupakan masalah jiwa terbesar di

Amerika, menyerang antara 10%-25% populasi. Kecemasan melibatkan

tubuh, persepsi tentang dirinya dan hubungan dengan yang lain.

Kecemasan merupakan ketakutan yang bercampur baur samar-samar dan

berhubungan dengan perasaan ketidakpastian dan tidak berdaya, perasaan

terisolasi, pengasingan dan kegelisahan. Kecemasan merupakan


57

pengalaman yang menjengkelkan dimulai dari bayi dan berlanjut di

sepanjang kehidupan (Stuart dan Laraia, 2005).

Hawari (2006), mendefenisikan kecemasan sebagai gangguan alam

perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekahwatiran yang

mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai

realitas, kepribadian masih utuh, perilaku dapat terganggu tetapi masih

dalam batas normal.

Kecemasan adalah respon individu terhadap suatu keadaan yang

tidak menyenangkan yang dialami oleh semua mahluk hidup dalam

kehidupan sehari-hari (Suliswati, 2005).

Kecemasan adalah perasaan ketakutan yang disebabkan oleh

dugaan bahaya, yang mungkin berasal dari dalam atau luar (Kaplan

Saddock, 1979). Kecemasan atau anxietas adalah perasaan yang tidak

menyenangkan yang bersifat subyektif (Depkes RI, 2000). Kecemasan

adalah suatu sinyal yang menyadarkan dan memperingatkan adanya

bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil

tindakan untuk mengatasi ancaman (Kaplan & Saddock, 1997).

Hawari (2006), mendefinisikan kecemasan sebagai gangguan

perasaan yang ditandai dengan perasaan takut atau kekhawatiran yang

mendalam dan berkelanjutan, sehingga perilaku yang dihasilkan masih

dalam batas-batas normal. secara subjektif dialami dan dikomunikasikan

secara interpersonal.
58

Kecemasan merupakan perasaan bingung, khawatir pada sesuatu

yang dapat terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dapat

dihubungkan dengan perasaan yang tidak menentu dan tidak berdaya

(EGC, 2005). Kecemasan terjadi sebagai akibat dari adanya ancaman

terhadap diri, harga diri atau identitas seseorang. Selain itu kecemasan bisa

berhubungan dengan ketakutan dan hukuman penolakan, kurang kasih

sayang, rusaknya hubungan, isolasi atau kehilangan fungsi tubuh

(Stuart&Sundeen, 1998).

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar

yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan

emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik, dialami secara subyektif dan

dikomunikasikan secara interpersonal. Cemas diperlukan untuk bertahan

hidup tetapi tingkat ansietas yang berat tidak sejalan dengan kehidupan

(Hawari, 2001).

Respon Adaptif Respon Maladaftif

Antisipasi ringan sedang berat panik

Skema 2.6 Rentang Respon Kecemasan menurut Stuart & Sunden


(2005)

Kecemasan adalah keadaan yang tidak dapat diletakkan pada

kehidupan manusia dalam memelihara keseimbangan (Herawati, 2002).

Pengalaman kecemasan tidak sama pada beberapa situaai dan hubungan


59

interpersonal, ada dua ancaman besar yang dapat menimbulkan

kecemasan, yaitu:

1) Ancaman integritas diri meliputi ketidakmampuan fisiologis atau

gangguan terhadap kebutuhan dasar

2) Ancaman sistem diri, antara lain ancaman terhadap identitas diri, harga

diri, dan hubungan interpersonal dan kehilangan perubahan status atau

peran

Kecemasan tidak dapat dihindarkan dari kehidupan individu dalam

memelihara keseimbangan. Pengalaman cemas seseorang tidak sama pada

beberapa situasi dan hubungan interpersonal. Hal yang dapat menimbulkan

kecemasan biasanya bersumber dari:

1) Ancaman integritas biologi meliputi gangguan terhadap kebutuhan

dasar akan minum, kehangatan dan seks.

2) Ancaman terhadap keselamatan diri:

a. Tidak menemukan integritas diri

b. Tidak menemukan status dan prestise

c. Tidak memperoleh pengakuan dari orang lain

a. Ketidaksesuaian pandangan diri dengan lingkungan nyata

2.3.2. Fungsi Adaptif dari Kecemasan

Kecemasan sebagai suatu sinyal peringatan, kecemasan dapat

dianggap pada dasarnya merupakan emosi yang sama seperti ketakutan.

Kecemasan memperingatkan adanya ancaman eksternal dan internal. Pada

tingkat yang lebih rendah, kecemasan memperingatkan ancaman cedera


60

pada tubuh, rasa takut, keputusasaan, kemungkinan hukuman, atau frustasi

dari kebutuhan social atau tubuh, perpisahan dari orang yang dicintai,

gangguan pada keberhasilan atau status seseorang dan akhirnya ancaman

pada kesatuan atau keutuhan seseorang. Kecemasan akan mengarahkan

seseorang untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah

ancaman dan meringankan akibatnya (Notoadmodjo, 2010).

2.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Kecemasan adalah keadaan yang tidak dapat dipungkiri pada

kehidupan manusia dalam memelihara keseimbangan. Pengalaman

kecemasan seseorang tidak sama pada beberapa situasi dan hubungan

interpersonal (Gerungan, 2006). Faktor yang mempengaruhi kecemasan

adalah sebagai berikut:

a. Usia

Pada ibu primigravida dengan usia dibawah 20 tahun kesiapan

mental sangat kurang. Sehinga berbanding terbalik dengan usia yang

>35 tahun yang secara fisik beresiko tinggi tetapi mereka lebih siap

dalam kesiapan mental dan sudah memiliki anak lebih dari satu dapat

dikarena sudah berpengalaman dalam menghadapi persalinan.

b. Tingkat pendidikan

Pendidikan dan pengetahuan ibu dapat mempengaruhi

kecemasan karena kurangnya informasi tentang hubungan seksual baik

dari orang terdekat, keluarga ataupun berbagai media masa dan tenaga

kesehatan itu sendiri.


61

c. Penghasilan

Pendapat yang dihasilkan setiap bulan dari hasil bekerja.

penghasilan ini dapat mempengaruhi kecemasan dikarenakan semakin

rendah penghasilan seseorang semakin tinggi tingkat kecemasannya.

d. Pekerjaan

Suatu kegiatan yang dilakukan terus menerus untuk memenuhi

kebutuhan. Baik kebutuhan primer maupun sekunder.

e. Dampingan orang terdekat (suami)

Dukungan dari suami atau dari keluarga memberikan dorongan

fisik dan moral sehingga akan membuat ibu lebih nyaman, dalam hal

bergantian untuk mengurus.

Berdasarkan Tingkat kecemasan dalam menghadapi persalinan

diatas, maka dapat dibuat skema sebagai berikut:

1. Usia
2. Pendidikan
3. Penghasilan Kesiapan Tingkat

4. Pekerjaan kecemasan

5. Dukungan orang
terdekat
Skema 2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Sumber: Mengadop dari Stuart and Sundeen (1998) dalam
Notoadmodjo (2010)
2.3.4. Tingkat Kecemasan

Tingkat kecemasan di bagi menjadi 4 (Stuart, 2001), yakni:

Kecemasan Ringan, Berat, Sedang dan Panik.


62

1. Kecemasan ringan

Kecemasan yang berhubungan dengan ketegangan dalam

kehidupan sehari-hari. Kecemasn ini menyebabkan individu menjadi

waspada dan meningkatkan lapang persepsi. Kecemasan ini dapat

memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.

2. Kecemasan sedang

Kecemasan ini memungkinkan individu untuk berfokus pada

hal yang penting dan mengesampingkan hal yang lain. Kecemasan ini

mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian individu

mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada

lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.

3. Kecemasan berat

Kecemasan ini sangat mengurangi lapang persepsi individu.

Individu cenderung berfokus pada suatu yang rinci dan spesifik serta

tidak berpikir tentang yang lain. Semua perilaku ditujukan untuk

mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan

untuk berfokus pada area lain.

4. Tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terperangah,

ketakuatan dan teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya, karena

mengalami kehilangan kendali, individu yang panik tidak mampu

melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup

disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktifitas

motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang


63

lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang

rasional. Tingkat kecemasan ini sejalan dengan kehidupan, jika

berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan dan

kematian.

Berdasarkan uraian teori diatas dapat dibuat skema Tingkatan

Kecemasan sebagai berikut:

Kecemasan Ringan

Kecemasan Sedang
Tingkat Kecemasan

Kecemasan Berat

Tingkat Panik

Skema 2.8 Tingkatan Kecemasan


Sumber: Disesuaikan dengan Stuart (2001)

2.3.5. Teori Kecemasan

1. Teori Psikoanalitik

Menurut Freud, kecemasan timbul akibat reaksi psikologis

individu terhadap ketidakmampuan mencapai orgasme dalam

hubungan seksual. Energi seksual tidak terekspresikan akan

mengakibatkan rasa cemas. Kecemasan dapat timbul secara otomatis

akibat dari stimulus internal dan eksternal yang berlebihan sehingga

melampaui kemampuan individu untuk menanganinya. Ada 2 tipe


64

kecemasan yaitu kecemasan primer dan kecemasan subsekuensi.

a) Kecemasan primer

Kejadian traumatic yang diawali saat bayi akibat adanya

stimulasi tiba-tiba dan trauma saat persalinan, kemudian tidak

tercapainya rasa puas akibat kelaparan atau kehausan. Penyebab

kecemasan primer adalah keadaan ketegangan atau dorongan yang

diakibatkan oleh faktor eksternal.

b) Kecemasan subsekuensi

Sejalan dengan peningkatan ego dan usia, Freud melihat

ada jenis kecemasan lain akibat konflik emosional diantara dua

elemen kepribadian yaitu: Id dan Super Ego. Freud menjelaskan

bila terjadi kecemasan maka posisi ego sebagai pengembang Id dan

Super Ego berada pada kondisi bahaya.

2. Teori Interpersonal

Sulivan dalam Suliswati (2005), mengemukakan bahwa

kecemasan timbul akibat ketidakmampuan untuk berhubungan

interpersonal dan sebagai akibat penolakan. Kecemasan bisa dirasakan

bila individu mempunyai kepekaan lingkungan. Kecemasan pertama

kali ditentukan oleh hubungan ibu dan anak pada wal kehidupannya.

Bayi berespon seolah-olah ia dan ibunya adalah satu unit. Dengan

bertambahnya usia, anak melihat ketidaknyamanan yang timbul akibat

tindakannya sendiri dan diyakini bahwa ibunya setuju atau tidak setuju

dengan perilaku itu. Adanya trauma seperti perpisahan dengan orang


65

berarti atau kehilangan dapat menyebabkan kecemasan pada individu.

Kecemasan yang timbul pada saat berikutnya muncul saat individu

mempersepsikan bahwa ia akan kehilangan orang yang dicintainya.

Harga diri seseorang merupakan faktor penting yang berhubungan

dengan kecemasan. Orang yang mempunyai predisposisi mengalami

kecemasan adalah orang yang mudah terancam, mempunyai opini

negatif terhadap dirinya atau meragukan kemampuannya.

3. Teori perilaku

Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan

hasil frustasi akibat berbagai hal yang mempengaruhi individu dalam

mencapai tujuan yang diinginkannya, misalnya memperoleh

pekerjaan, berkeluarga, kesuksesan dalam sekolah. Perilaku

merupakan hasil belajar dari pengalaman yang pernah dialami.

Kecemasan dapat juga muncul melalui konflik antar dua pilihan yang

saling berlawanan dan individu harus memilih satu. Konflik

menimbulkan kecemasan akan meningkatkan persepsi terhadap

konflik dengan timbulnya perasaan ketidak berdayaan. Konflik

muncul dari dua kecenderungan yaitu “approach” dan “avoidance”.

Approach merupakan kecenderungan untuk melakukan atau

menggerakkan sesuatu. Avoidance adalah kebalikannya yaitu tidak

melakukan atau menggerakkan sesuatu melalui sesuatu.


66

4. Teori keluarga

Studi pada keluarga dan epidemiologi mempelihatkan bahwa

selalu ada tiap-tiap keluarga dalam berbagai bentuk dan sifatnya

heterogen.

5. Teori biologik

Otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiazepine,

reseptor tersebut berfungsi membantu regulasi kecemasan. Regulasi

tersebut berhubungan dengan aktifitas neurotransmitten gamma

amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktifitas neuron

dibagian otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

Bila GABA bersentuhan dengan sinaps dan berikatan dengan

reseptor gaba pada membrane post-sinaps akan membuka saluran

atau pintu reseptor sehingga terjadi perpindahan ion perubahan ini

akan mengakibatkan eksitasi sel dan memperlambat sel. Teori ini

menjelaskan bahwa individu yang sering mengalami kecemasan

mempunyai masalah dengan proses neurotransmitter ini. Mekanisme

koping dapat terganggu karena pengaruh toksik, defesiensi nutrisi,

menurunnya suplai darah, perubahan hormaon dan sebab fisik

lainnya. Kelelahan dapat meningkatkan iritabilitas dan perasan

cemas.

2.3.6. Reaksi Kecemasan

Kecemasan dapat menimbulkan reaksi konstruktif maupun

destruktif Menurut Kasdu (2004), bagi individu:


67

a) Konstruktif

Individu termotivasi untuk belajar mengadakan perubahan

terutama perubahan terhadap perasaan tidak nyaman dan terfokus pada

kelangsungan hidup. Contohnya Individu yang melanjutkan

pendidikan kejenjang yang lebih tinggi karena akan dipromosikan

untuk naik jabatan.

b) Destruktif

Individu bertingkah laku maladaptif dan disfungsional

contohnya individu menghindari kontak dengan orang lain atau

mengurung diri dan tidak mau makan.

Berdasarkan uraian teori diatas dapat dibuat skema Reaksi

Kecemasan sebagai berikut:

Konstruktif

Reaksi Kecemasan
Destruktif

Skema 2.9 Reaksi Kecemasan


Sumber: Disesuaikan dengan Kasdu (2004)
2.3.7. Respon Terhadap Kecemasan

Menurut Stuart & Sudeen (2007), respon terhadap kecemasan

meliputi respon fisiologis, perilaku, kognitif dan afektif yaitu:

a) Respon fisiologis

Respon kecemasan terhadap kardiovaskuler adalah palpitasi,

tekanan darah meningkat, rasa ingin pingsan, tekanan darah menurun.

Respon kecemasan terhadap sitem pernafasan nafas cepat, sesak nafas,


68

tekanan pada dada, nafas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan,

sensasi tercekik, terenga-engah.Respon kecemasan terhadap sistim

neuromuskuler adalah reflek meningkat, reaksi terkejut, mata

berkedip-kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisa, mondar-mandir,

wajah tegang, kelemahan umum, tungkai lemah, gerakan yang

janggal.Respon kecemasan terhadap system gastrointestinal adalah

kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak nyaman pada

abdomen, nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati dan diare. Respon

kecemasan pada sistem perkemihan adalah tidak dapat menahan

kencing, sering berkemih. Respon kecemasan terhadap kulit adalah

wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak tangan), gatal, rasa

panas, rasa dingin pada kulit, wajah pucat dan berkeringat seluruh

tubuh.

b) Respon perilaku

Respon kecemasan terhadap perilaku adalah gelisah,

ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang

koordinasi, cenderung mengalami cidera, menarik diri dari hubungan

interpersonal, inhibisi, melarikan diri dari masalah, menghindar,

hiperventilasi dan sangat waspada.

c) Respon kognitif

Respon kecemasan pada kognitif adalah perhatian terganggu,

konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam memberi penilaian, preokupasi,

hambatan berpikir, lapangan persepsi menurun, kreatifitas menurun,


69

produktifitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri,

kehilangan objektifitas, takut kehilangan kendali, takut pada gambaran

visual, takut cidera atau kematian, mimpi buruk.

d) Respon afektif

Respon kecemasan pada afektif adalah mudah terganggu, tidak

sabar, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada kengerian,

kekawahtiran, kecemasan, mati rasa, rasa bersalah dan malu.

Respon Fisiologis

Respon Kognitif Kecemasan

Respon Afektif

Skema 2.10 Respon Kecemasan


Sumber: Disesuaikan dengan Stuart & Sudeen (2007)

Menurut Hawari (2001), pada individu yang cemas, gejalanya

didominasi oleh keluhan psikis (ketakutan dan kekhawatiran), tetapi dapat

pula disertai keluhan somatis (fisik). Adapun gejala pada individu yang

mengalami kecemasan adalah cemas, khawatir, bimbang, firasat buruk,

takut akan pikirannya sendiri dan mudah tersinggung; merasa tegang, tidak

tenang, gelisah, gerakan sering serba salah dan mudah terkejut; takut

sendirian, takut keramaian dan banyak orang; gangguan pola tidur, mimpi-

mimpi yang menegangkan; gangguan konsentrasi dan daya ingat; keluhan

somatik seperti rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdengung
70

(tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala

dan lain sebagainya.

Secara klinis, gejala cemas yang biasa disertai dengan kecemasan

yang menyeluruh dan menetap (paling sedikit berlangsung selama 1 bulan)

dapat dikategorikan sebagai respon psikologis, dan respon psikos. Respon

psikologis terdiri dari ketegangan motorik/alat gerak (gemetar, tegang,

nyeri oto, letih, tidak dapat santai, kelopak mata bergetar, kening berkerut,

muka tegang, gelisah, tidak dapat diam, dan muka kaget), hiperaktivitas

saraf otonom (simpatis/parasimatetis, yang terdiri dari berkeringat

berlebihan, jantung berdebar-debar, telapak tangan/kaki basah, muka

kering, pusing, kepala terasa ringan, kesemutan, rasa mual, rasa aliran

panas/dingin, sering buang air seni, diare, rasa tidak enak di hulu hati,

kerongkongan tersumbat, muka merah atau pucat, dan denyut nadi dan

nafas cepat.

Respon psikis merupakan rasa khawatir berlebihan tentang hal-hal

yang akan datang, dan kewaspadaan berlebihan. Rasa khawatir berlebihan

bisa dalam bentuk cemas, khawatir, takut, bimbang, membayangkan akan

datangnya kemalangan terhadap dirinya atau orang lain, berfirasat buruk.

Kewaspadaan berlebihan bisa dalam bentuk mengalami lingkungan secara

berlebihan sehingga mengakibatkan perhatian mudah teralih, sukar

berkonsentrasi, gerakan serba salah, sukar tidur, merasa grogi, mudah

tersinggung, dan tidak sabar.


71

Menurut Ramaiah (2003), gejala kecemasan paling lazim adalah

kejengkelan umum (seperti rasa gugup, jengkel, tegang dan rasa panik),

sakit kepala (seperti ketegangan otot khususnya kepala, di daerah lengkuk

dan di tulang punggung, menyebabkan sakit kepala atau rasa tidak enak

(denyut kesakitan), gemetaran pada sekujur tubuh, khusunya lengan dan

tangan, aktivitas sistem motorik. Menurut Blakburn dan Davidson (1990),

ada beberapa gejala kecemasan, di antaranya adalah suasana hati, pikiran,

motivasi, perilaku gelisah, reaksi biologis, ketakutan, ketegangan, dan

kekhawatiran. Menurut Sue dkk dalam Haber dan Runyon (2004), ada

empat cara untuk mengetahui ada tidaknya kecemasan, yaitu secara

koginitif, motorik, somatik dan afeksi. Secara kognitif, kecemasan

dimanifestasikan ke dalam pikiran individu. Gejala yang tampak dalam

diri individu menjadi cemas, sulit untuk berkonsentrasi, sulit untuk tidur,

sulit untuk membuat keputusan, dan terlalu terpaku pada bahaya yang

tidak jelas asalnya. Secara motorik, kecemasan dimanifesatikan ke dalam

perilaku motorik seperti gerakan tidak beraturan, gerakan yang tidak

terarah, yang bermula pada gemetaran secara halus kemudian meningkat

intensitasnya. Secara somatic, kecemasan dimanifestasikan ke dalam

reaksi fisik dan biologis. Perubahan somatik dapat dilihat dari pernafasan

tidak teratur, dahi berkerut, muka pucat, berdebar-debar, tangan dan kaki

dingin, mulut kering, sesak nafas, gangguan pencernaan dan sebagainya.

Secara afeksi kecemasan dimanifestasikan pada perasaan emosi individu

seperti adanya bahaya yang mengancam dan menimpa dirinya sehingga


72

individu merasa tidak nyaman dan sangat khawatir dan gelisah yang

berlebihan.

Cemas merupakan reaksi terhadap persepsi adanya bahaya baik

yang nyata maupun yang hanya dibayangkan (Brunner & Suddarth, 1996).

Rasa khawatir, gelisah, takut, was-was, tidak tentram, panik dan

sebagainya merupakan gejala umum akibat cemas. Sering kali cemas

menimbulkan keluhan fisik berupa berdebar-debar, berkeringat, sakit

kepala, bahkan gangguan fungsi seksual dan lain-lain (Sinar Harapan,

2003).

Tahapan perkembangan merupakan salah satu stressor psikologis.

Misalnya, masa remaja, masa dewasa, menopause, usia lanjut; yang secara

alamiah akan dialami oleh setiap orang. Dan, apabila tahapan

perkembangan tersebut tidak dapat dilampaui dengan baik (tidak mampu

beradaptasi) akan terjadi kecemasan (Hawari, 2006). Sindroma menopause

dialami oleh banyak wanita hampir di seluruh dunia, sekitar 70- 80%

wanita Eropa, 60% wanita di Amerika, 57% wanita di Malaysia, 18%

wanita di Cina, 10% wanita di Jepang dan Indonesia (Sinar Harapan,

2003).

Diperkirakan jumlah orang yang menderita kecemasan baik akut

maupun kronik mencapai 5% dari jumlah penduduk dengan perbandingan

antara wanita dan pria 2 banding 1 (Hawari, 2006).


73

2.3.8. Mekanisme Koping Kecemasan

Menurut Stuart dan Laraia (2005), mekanisme koping merupakan

cara yang digunakan individu dalam menghadapi masalah, mengatasi

perubahan yang terjadi dan situasi yang mengancam baik secara kognitif

maupun perilaku. Mekanisme koping dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Reaksi yang berorientasi pada tugas

Upaya yang disadari dan berorientasi pada tindakan untuk

memenuhi tuntutan secara realistik. Perilaku menyerang digunakan

untuk menghilangkan dan mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan.

Perilaku menyerang digunakan untuk mengubah cara yang biasa

dilakukan individu, mengganti tujuan atau mengorbankan aspek

kebutuhan personal.

2. Mekanisme Pertahanan Ego

Membantu mengatasi kecemasan ringan dan sedang. Tetapi

karena mekanisme tersebut berlangsung secara relatif pada tingkat

sadar dan mencakup penipuan diri dan distorsi realitas, maka

mekanisme ini merupakan respon maladaptif terhadap stres.

2.3.9. Hubungan Kecemasan dengan Perilaku Mobilisasi Dini Ibu

Postpartum

Salah satu masalah gangguan emosional yang sering ditemui di

masyarakat dan menimbulkan dampak psikologis cukup serius adalah

ansietas/kecemasan. Menurut Stuart dan Laraia (2005) kecemasan adalah

kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar berkaitan dengan perasaan


74

tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek

yang spesifik, dialami secara subjektif dan dikomunikasikan secara

interpersonal.

Perhatian tentang mobilisasi dini merupakan salah satu perawatan

yang perlu dilakukan, setelah melahirkan sekitar delapan jam sesudahnya,

walaupun ibu postpartum merasa letih tapi ibu postpartum diharuskan

melakukan mobilisasi dini, minimal sudah turun dari tempat tidur, belajar

duduk dan berjalan sendiri. Pada Ibu postpartum diharapkan tidak perlu

khawatir dengan pengalaman persalinan yang sudah dilewatinya karena

melakukan mobilisasinya lebih lamban dan perlu mencermati serta

memahami bahwa mobilisasi dini jangan dilakukan apabila kondisi ibu

postpartum masih lemah atau memiliki penyakit jantung, tetapi mobilisasi

yang terlambat dilakukan bisa menyebabkan gangguan fungsi organ tubuh,

aliran darah tersumbat, serta fungsi otot (laraia, 2005). Berdasarkan teori

diatas maka dapat dibuat skema hubungan kecemasan dengan perilaku

mobilisasi dini ibu postpartum sebagai berikut:

Trauma

Perilaku Mobilisasi
Kecemasan
Dini Ibu Postpartum
Beraktivitas

Skema 2.11 Hubungan Kecemasan dengan Perilaku Mobilisasi Dini Ibu


Postpartum
Sumber: Disesuaikan dengan Laraia (2005)
75

2.3.10. Sintesis

Berdasarkan paparan teori diatas maka dapat disintesiskan bahwa

kecemasan Ibu Postpartum merupakan keadaan kekhawatiran yang tidak

jelas dan menyebar yang dirasakan oleh Ibu Postpartum dalam melakukan

mobilisasi dini yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak

berdaya. Dengan Indikator Tingkat Kecemasan, Reaksi Kecemasan dan

Respon terhadap Kecemasan.

2.4. Rasa Nyeri

2.4.1. Definisi Nyeri

Secara umum, nyeri diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak

menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut

dalam serabut saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik,

fisiologis, maupun emosional (Musrifatul, 2008).

Nyeri merupakan kondisi perasaan yang tidak menyenangkan.

Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang

dalam hal skala atau tingkatannya. Nyeri sangat mengganggu dan

menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun. Nyeri

adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan

akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Bare dan

Smeltzer, 2001).

Menurut Telfer (1997), nyeri merupakan fenomena multifaktorial,

yang subjektif, personal, dan kompleks yang dipengaruhi oleh faktor


76

psikologis, biologis, sosial budaya, dan ekonomi (Cooper dan Fraser,

2009). Nyeri adalah perasaan tertekan, menderita atau kesakitan yang

disebabkan oleh stimulasi ujung-ujung saraf tertentu (O’Toole, 1997

dalam Myles, 2009). Nyeri adalah pengalaman sensori atau emosional

yang tidak menyenangkan yang diakibatkan dari kerusakan jaringan

potensial atau aktual (Brunner & Suddarth, 2001).

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik

ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang

mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang

pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association

for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional

yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun

potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

Menurut Engel (1970), menyatakan nyeri sebagai suatu dasar

sensasi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh

dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa

yang nyata, ancaman atau fantasi luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan

oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya

mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti bahwa anak harus

mengatakan bila sakit. Nyeri dapat diekspresikan melalui menangis,

pengutaraan, atau isyarat perilaku (McCaffrey dalam Sowden, 2002).

Nyeri merupakan kondisi perasaan yang tidak menyenangkan.

Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang
77

dalam hal skala atau tingkatannya. Nyeri sangat mengganggu dan

menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun. Nyeri

adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan

akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smeltzer, 2002).

Menurut peneliti nyeri adalah perasaan yang tidak menyenangkan

akibat dari adanya kerusakan jaringan dalam serabut darah didalam tubuh

yang menimbulkan reaksi perasaan tidak menyenangkan.

2.4.2. Teori-teori Nyeri

Terdapat beberapa teori tentang terjadinya ransangan nyeri, di

antaranya:

a. Transmisi nyeri, impuls nyeri berjalan sepanjang saraf sensorik ke

ganglion akar dorsal dari saraf spinal terkait dan masuk ke dalam

kornu posterior medula spinalis. Hal ini disebut neuron pertama.

Neuron kedua muncul di kornu posterior, melintang di dalam medula

spinalis (persimpangan sensorik) dan mengantarkan impuls melalui

medula oblongata, pons varolli dan otak tengah ke talamus. Dari sini

impuls berjalan sepanjang neuron ketiga menuju korteks sensorik.

b. Teori Pengendalian Gerbang (gate control theory), mekanisme

hambatan neurol atau spinal terjadi dalam substansi gelatinosa yang

terdapat di kornu dorsal medula spinalis. Impuls saraf yang diterima

oleh nosiseptor, reseptor nyeri pada kulit dan jaringan tubuh

dipengaruhi oleh mekanisme tersebut. Posisi hambatan menentukan

apakah impuls saraf berjalan bebas atau tidak ke medula dan talamus
78

sehingga dapat mentransmisikan impuls atau pesan sensori ke korteks

sensorik. Jika hambatan tersebut tertutup, hanya terdapat sedikit

konduksi atau bahkan tidak sama sekali. Jika hambatan terbuka,

impuls dan pesan dapat melewatinya dan ditransmisikan secara bebas

(Fraser, 2009).

2.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rasa Nyeri

Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang

mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Hal ini sangat

penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang

baik.

1. Budaya

Nyeri memiliki makna tersendiri pada individu dipengaruhi

oleh latar belakang budayanya (Marrie, 2002). Nyeri biasanya

menghasilkan respon efektif yang diekspresikan berdasarkan latar

belakang budaya yang berbeda. Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam

dua kategori yaitu tenang dan emosi (Marrie, 2002) pasien tenang

umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki sikap

dapat menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan

berekspresi secara verbal dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri

dengan merintih dan menangis (Marrie, 2002).

Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai

budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya

perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan,


79

seperti menangis atau meringis yang berlebihan. Pasien dengan latar

belakang budaya yang lain bisa berekspresi secara berbeda, seperti

diam seribu bahasa ketimbang mengekspresikan nyeri klien dan bukan

perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien lain.

Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan

memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan

lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien

berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang. Bidan yang

mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang

lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji

nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam

menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer& Bare, 2003).

2. Ansietas

Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan

meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua

keadaaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten

antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan

pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat pascaoperatif.

Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat

meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak

berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual

dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif


80

untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan

nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2002).

3. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri

Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri

yang dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa

menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih

sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda

sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti

terjadi jika individu tersebut mengetahui ketakutan dapat

meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat. Cara

seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian

nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri masa

lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti padda nyeri

berkepanjangan atau kronis dan persisten.

Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman

sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap

pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi

dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan

terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi nyeri

dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).

4. Efek Plasebo

Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap

pengobatan atau tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa


81

pengobatan tersebut benar benar bekerja. Menerima pengobatan atau

tindakan saja sudah merupakan efek positif.

Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan

keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak

petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin

efektif intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa

suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan

mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu

bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek apapun.

Hubungan pasien –perawat yang positif dapat juga menjadi peran yang

amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Smeltzer & Bare,

2002).

5. Pola Koping

Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di

rumah sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-

menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol

lingkungan termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk

mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis. Penting untuk

mengerti sumber koping individu selama nyeri. Sumber-sumber

koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan

bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien

dan menurunkan nyeri klien.


82

Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien

mungkin tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga

atau teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan

kesendirian. Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan

untuk berdo’a, memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi

ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 2003).

6. Keluarga dan Support Sosial

Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri

adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam

keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport,

membantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman

terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran

orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam

menghadapi nyeri (Potter & Perry, 2003).

2.4.4. Etiologi Rasa Nyeri

a. Persepsi Nyeri

Persepsi tentang nyeri bergantung pada jaringan kerja

neurologis yang utuh (Wals, 2007). Neurofisiologi nyeri mengikuti

proses yang dapat diperkirakan:

1. Rangsangan bahaya diketahui melalui reseptor yang ditemukan di

kulit, jaringan subkutan, sendi, otot, periosteum, fascia, dan visera.

Nosiseptor (reseptor nyeri) adalah terminal serat delta A kecil yang

diaktivasi oleh rangsangan mekanis atau panas dan serat aferen C


83

yang diaktivasi oleh rangsangan mekanis, termal, dan kimiawi

(Bonica dan McDonald, 2010). Rangsangan nosiseptif di bawah

tingkat kepala ditransmisikan melewati serat-serat aferen ini ke

kornu dorsal medula spinalis.

2. Rangsangan kemudian ditransmisikan melalui struktur yang sangat

rumit yang mengandung berbagai susunan neuron dan sinaptik

yang memfasilitasi derajat tinggi pemprosesan input sensori.

Beberapa impuls kemudian ditrasmisikan melalui neuron

internunsial ke sel kornu anterior dan anterolateral, tempatnya

merangsang neuron yang mempersarafi otot skelet dan neuron

simpatik yang mempersarafi pemuluh darah, visera, dan kelenjar

keringat. Impuls nosiseptif lain ditransmisikan ke sistem asenden

yang berarktikulasi dengan batang otak.

3. Implus yang naik ke otak kemudian masuk ke hipotalamus yang

mengatur sistem autonomik dan respons neuroendokrin terhadap

stres dan ke korteks serebral yang memberi fungsi kognitif yang

didasarkan pada pengalaman masa lalu, penilaian, dan emosi.

b. Ekspresi Nyeri

Rasa nyeri muncul akibat respons psikis dan refleks fisik.

Kualitas rasa nyeri fisik dinyatakan sebagai nyeri tusukan, nyeri

terbakar, rasa sakit, denyutan, sensasi tajam, rasa mual, dan kram. Rasa

nyeri dalam persalinan menimbulkan gejala yang dapat dikenali.

Peningkatan sistem saraf simpatik timbul sebagai respon terhadap


84

nyeri dan dapat mengakibatkan perubahan tekanan darah, denyut nadi,

pernapasan dan warna kulit. Serangan mual, muntah dan keringat

berlebihan juga sangat sering terjadi (Bobak, 2004).

2.4.5. Fisiologis Nyeri

Menurut Torrance & Serginson (1997) dalam Dewi (2007), ada

tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf aferen

atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen

atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya

yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang

dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang

merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang

berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor.

Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan

zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin, bradikinin,

leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan

mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak (Dewi,

2007).

Menurut Smeltzer & Bare (2002), kornu dorsalis dari medula

spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer

berakhir disini dan serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga

terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori

asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian

tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri.


85

Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden

harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri

yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron

dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan, menghambat atau

memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan atau yang

menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut

“gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua

input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan

mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa

perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi

dari neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri

dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).

Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi

interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang

mengirim sensasi tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui

sirkuit gerbang penghambat. Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula

spinalis mengandung eukafalin yang menghambat transmisi nyeri

(Smeltzer & Bare, 2002).

2.4.6. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri

akut biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cidera spesifik,

jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri

akut biasanya menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri akut


86

didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam

bulan (Brunner & Suddarth, 2002).

Berger (2000), menyatakan bahwa nyeri akut merupakan

mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan. Secara

fisiologis terjadi perubahan denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah,

aliran darah perifer, tegangan otot, keringat pada telapak tangan, dan

perubahan ukuran pupil.

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan

yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini

tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada

penyebabnya. Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang

berlangsung selama enam bulan atau lebih (Brunner & Suddarth, 2002).

Menurut Taylor (2009), nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti

berbagai macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan

setelahnya, dimulai setelah detik pertama dan meningkat perlahan sampai

beberapa detik atau menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan

jaringan, ini bersifat terusmenerus atau intermitten.

Nyeri secara umum terdiri dari nyeri akut dan nyeri kronis. (a)

Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat

menghilang, tidak melebihi enam bulan, dan ditandai adanya peningkatan

tegangan otot dan cemas, (b) Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul

secara perlahan-lahan biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama,


87

yaitu lebih dari enam bulan meliputi nyeri terminal, sindrom nyeri kronis

dan psikosomatik.

Selain klasifikasi nyeri di atas, terdapat jenis nyeri yang spesifik, di

antaranya (a) Nyeri somatic dan visceral yaitu bersumber dari kulit dan

jaringan di bawah kulit (supervisial) pada otot dan tulang. Nyeri somatic

dan visceral berbeda karakteristiknya terutama kualitas nyeri, lokalisasi,

sebab-sebabnya, dan gejala yang menyertainya, (b) Nyeri menjalar

(Referrent pain) di mana nyeri terasa pada daerah lain daripada yang

mendapat ransang, misalnya pada serangan jantung akan mengeluh nyeri

yang menjalar ke bawah lengan kiri sedangkan jaringan yang rusak terjadi

pada miokardium, (c) Nyeri psikogenik yaitu nyeri yang tidak diketahui

secara fisik, biasanya timbul dari pikiran pasien atau psikologis, (d) Nyeri

phantom dari ektremitas yaitu nyeri pada salah satu ekstremitas yang telah

diamputasi, (e) Nyeri neurologis yang timbul dalam berbagai bentuk,

dimana neuralgia adalah nyeri yang tajam (Smeltzer, 2002).

Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua menurut

Musrifatul Hidayat (2008), yaitu:

1. Nyeri akut

Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan

cepat menghilang. Tidak melebih enam bulan, serta ditandai dengan

adanya peningkatan tegangan otot.


88

2. Nyeri kronis

Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara berlahan-

lahan, biasanya berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yaitu lebih

dari enam bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah

nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis.

2.4.7. Penatalaksanaan Nyeri

Menghilangkan rasa nyeri ialah hal yang penting, bukan jumlah

nyeri yang dirasakan tetapi yang perlu dipertimbangkan adalah apakah ada

harapan bagi dirinya sendiri dalam mengatasi rasa nyeri (Bobak, 2004).

Manajemen secara nonfarmakologis sangat penting karena tidak

membahayakan bagi ibu maupun janin, tidak memperlambat persalinan

jika diberikan kontrol nyeri yang kuat, dan tidak mempunyai efek alergi

maupun efek obat. Banyak teknik nonfarmakologis untuk mengurangi

nyeri selama pasca Persalinan meliputi, relaksasi, akupresur, kompres

dingin atau hangat, terapi musik, hidroterapi dan masase (Bobak. 2004).

2.4.8. Manajenen Nyeri Non-Farmakologi: Teknis Distraksi

Distraksi adalah teknis memfokuskan perhatian pasien pada

sesuatu selain pada nyeri (Brunner & Suddarth, 2002). Distraksi diduga

dapat menurunkan nyeri, menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi

sistem kontrol desendens, yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi

nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada

kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori

selain nyeri (Brunner & Suddarth, 2002).


89

Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan menoton sampai

menggunakan aktivitas fisik dan mental yang sangat kompleks. Kunjungan

dari keluarga dan teman-teman sangat efektif dalam meredakan nyeri.

Orang lain mungkin akan mendapatkan peredaan nyeri melalui permainan

dan aktivitas yang membutuhkan konsentrasi. Tidak semua pasien

mencapai peredaan nyeri melalui distraksi, terutama mereka yang

mengalami nyeri hebat. Dengan nyeri hebat klien mungkin tidak dapat

berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta dalam aktivitas mental atau

fisik yang kompleks (Smeltzer & Bare, 2002).

Menurut Taylor (2009), cara-cara yang dapat digunakan pada

teknik distraksi antara lain: (1) penglihatan: membaca, melihat

pemendangan dan gambar, menonton TV, (2) pendengaran: mendengarkan

musik, suara burung, gemercik air, (3) taktil kinestik: memegang orang

tercinta, binatang peliharaan atau mainan, pernafasan yang berirama, (4)

projek: permainan yang menarik, puzzle, kartu, menulis cerita, mengisi

teka-teki silang.

2.4.9. Cara pengukuran

Bidan dan pasien mempunyai perbedaan dalam mendeskripsikan

rasa nyeri. Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan

nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor

Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima

kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang


90

garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang

tidak tertahankan (Bare dan Smeltzer, 2002).

Alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk mengkaji

persepsi neyri seseorang (Suddarth, 2002). Agar alat-alat pengkajian nyeri

dapat bermanfaat, alat tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) Mudah dimengerti dan digunakan

2) Memiliki sedikit upaya pada pihak pasien

3) Mudah dinilai, dan

4) Sensitif terhadap perubahan kecil dalam intensitas nyeri.

Intensitas nyeri tergantung dari sensasi keparahan nyeri itu sendiri.

Intensitas nyeri persalinan bisa ditentukan dengan cara menanyakan

tingkatan intensitas atau merujuk pada skala nyeri sesuai dengan yang

dirasakan oleh pasien, apabila nyeri ringan dengan skore 1-3, skore nyeri

sedang 4-7 dan nyeri berat yaitu >7 (Wiknjosastro, 2002).

Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan

karenanya harus diminta untuk menggambarkan dan membuat tingkatnya

(Suddarth, 2001).
91

Pendeskripsian ini diranking dari “tidak nyeri” sampai “nyeri yang

tidak tertahankan”. Bidan menunjukkan klien skala tersebut dan meminta

klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini

memungkinkan klien memilih sebuah ketegori untuk mendeskripsikan

nyeri.

Skala penilaian numerik lebih digunakan sebagai pengganti alat

pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan

menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji

intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi.

Skala analog visual (Visual Analog Scale) merupakan suatu garis

lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat

pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya.


92

Intensitas nyeri dibedakan menjadi lima dengan menggunakan

skala numerik, yaitu:

1. 0 : Tidak Nyeri

2. 1-2 : Nyeri Ringan

3. 3-5 : Nyeri Sedang

4. 6-8 : Nyeri Berat

5. 8-10 : Nyeri Sangat Berat (Perry., Potter, 20005)

2.4.10. Hubungan Rasa Nyeri dengan Perilaku Mobilisasi Dini Postpartum

Perhatian tentang mobilisasi dini merupakan salah satu perawatan

yang perlu dilakukan, setelah melahirkan sekitar delapan jam sesudahnya,

walaupun ibu post partum merasa letih tapi ibu post partum diharuskan

melakukan mobilisasi dini, minimal sudah turun dari tempat tidur, belajar

duduk dan berjalan sendiri. Pada Ibu post partum diharapkan tidak perlu

khawatir dengan adanya jahitan karena mobilisasi dini baik buat jahitan,

agar tidak terjadi pembengkakan akibat tersumbatnya pembuluh darah, dan

untuk ibu post partum yang bedah sesar dalam melakukan mobilisasinya

lebih lamban dan perlu mencermati serta memahami bahwa mobilisasi dini

jangan dilakukan apabila kondisi Ibu Postpartum masih lemah atau

memiliki penyakit jantung, tetapi mobilisasi yang terlambat dilakukan bisa

menyebabkan gangguan fungsi organ tubuh, aliran darah tersumbat, serta

fungsi otot (Imam, 2006).

Nyeri merupakan suatu hal secara psikologis yang timbul pada

persalinan, namun banyak wanita yang merasakan nyeri tersebut lebih


93

parah dari seharusnya karena banyak dipengaruhi oleh rasa panik dan

stress faer-tension-pain concept (takut-tegang-sakit), dimana rasa takut

menimbulkan ketegangan dan kepanikan yang menyebabkan otot-otot

menjadi kaku dan akhirnya menyebabkan rasa sakit (Abidin, 2006).

Persepsi nyeri yang dirasakan seseorang berbeda-beda dan tergantung

adaptasinya selama proses persalinan (Pilliteri, 1999 dalam Alit, 2006).

Berdasarkan teori diatas dapat dibuat skema hubungan hubungan

Rasa Nyeri dengan Perilaku Mobilisasi Dini Ibu Postpartum berikut:

Perilaku Mobilisasi
Rasa Nyeri
Dini Ibu Postpartum

Skema 2.12 Hubungan Rasa Nyeri dengan Perilaku Mobilisasi Dini Ibu
Postpartum
Sumber: Disesuaikan dengan Potter dan Perry (2006)

2.4.11. Sintesis

Berdasarkan paparan teori diatas dapat disintesiskan bahwa rasa

nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan/kondisi

perasaan bagi seorang ibu, dikarenakan terdapat kerusakan organ dan

sistem tubuh yang dapat dirasakan oleh tubuh.

2.5. Kerangka Teori Menuju Konsep

Postpartum adalah masa enam minggu sejak bayi baru lahir sampai

organ-organ reproduksi kembali ke keadaan normal seperti sebelum hamil.


94

Periode ini disebut juga puerperium atau trimester keempat kehamilan

(Hockenberry, 2002). Menurut Sherwen, Scoloveno dan Weingarten

(2002), periode postpartum adalah waktu yang diperlukan seorang ibu

untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan fisiologis setelah

melahirkan. Menurut Pillitteri (2003), periode postpartum adalah waktu

yang diperlukan seorang ibu untuk mengalami perubahan yaitu

kemunduran (involusi uterus) dan kemajuan (produksi ASI untuk

menyusui, pemulihan siklus menstruasi, dan memulai peran sebagai orang

tua).

Periode postpartum terdiri dari tiga periode, immediate postpartum

yaitu masa 24 jam pertama setelah persalinan, early postpartum yaitu satu

minggu pertama setelah persalinan dan late postpartum yaitu setelah satu

minggu pertama persalinan sampai periode postpartum selesai (Coad &

Dunstall, 2006).

Periode immediate postpartum merupakan masa kritis bagi ibu

maupun bayinya. Ibu sedang menjalani pemulihan fisik dan hormonal

yang disebabkan oleh proses kelahiran serta pengeluaran plasenta.

Menurunnya hormon-hormon plasenta memberi isyarat kepada tubuh ibu

untuk mulai memproduksi ASI dalam jumlah cukup untuk segera

menyusui bayinya. Bayi baru lahir yang lahir sehat secara normal akan

terlihat sadar dan waspada, serta memiliki refleks rooting dan refleks

sucking untuk membantunya mencari puting susu ibu, mengisapnya dan

mulai minum ASI (Linkages, 2004).


95

Dalam 12 jam pertama setelah melahirkan fundus uteri teraba satu

cm dibawah pusat, lima sampai enam minggu kemudian kembali ke dalam

ukuran tidak hamil. Dinding endometrium pada bekas implantasi plasenta

pada lapisan superfisial akan mengalami nekrotik dan akan keluar cairan

berupa sekret sebagai lochea. Luka bekas implantasi plasenta akan sembuh

sempurna sekitar enam minggu setelah kelahiran (Bobak dkk, 2004).

Perubahan psikologis yang terjadi pada periode postpartum adalah

penyesuaian ibu terhadap perannya sebagai orang tua. Terdapat tiga fase

penyesuaian ibu menurut Rubin (1960) dalam May dan Mahlmeister

(1994), Pillitteri (2003) dan Bobak (2005), yaitu:

1. Fase dependen (taking in)

Fase ini berlangsung selama satu sampai dua hari. Ibu berharap

semua kebutuhannya dapat dipenuhi oleh orang lain sebagai respon

terhadap kebutuhan ibu akan istirahat dan makanan. Ketergantungan

ini disebabkan karena ketidaknyamanan fisik, luka episiotomi,

afterpains, hemorroid, ketidaktahuan merawat bayi dan kelelahan

setelah melahirkan. Ibu lebih terfokus pada dirinya sendiri. Ibu merasa

perlu untuk menyampaikan pengalaman ibu tentang kehamilan dan

kelahiran dengan kata-kata. Kecemasan dan keasyikan ibu terhadap

peran barunya sering mempersempit lapangan persepsi ibu.

2. Fase dependen-mandiri (taking hold)

Fase ini berlangsung kira-kira selama 10 hari. Secara

berangsur-angsur energi/tenaga ibu mulai meningkat. Ibu merasa lebih


96

nyaman dan dapat mengurangi fokus terhadap dirinya dan mulai

berfokus pada bayinya. Keinginan ibu muncul secara bergantian akan

kebutuhan untuk mendapatkan perawatan dan penerimaan oleh orang

lain dan keinginan untuk bisa melakukan segala sesuatu secara

mandiri.

Ibu berespon dengan semangat. Pada fase ini sering terjadi

depresi. Perasaan mudah tersinggung bisa muncul akibat berbagai

faktor. Secara psikologis ibu mungkin jenuh dengan banyaknya

tanggung jawab sebagai orang tua, kelelahan akibat tuntutan merawat

bayi dan merasa kehilangan dukungan dari anggota keluarga dan

teman-teman yang pernah diterimanya ketika hamil.

3. Fase interdependen (letting go)

Pada fase ini perilaku mandiri muncul, ibu dan keluarganya

bergerak maju sebagai suatu sistem dengan para anggota saling

berinteraksi. Tuntutan utama adalah menciptakan suatu gaya hidup

yang melibatkan anak. Fase ini merupakan fase penuh stres bagi orang

tua. Kesenangan dan kebutuhan sering terbagi dalam masa ini. Suami

dan istri harus menyelesaikan efek dari perannya masing-masing

dalam hal menagsuh anak, mengatur rumah tangga dan membina karir.

Perhatian tentang mobilisasi dini merupakan salah satu perawatan

yang perlu dilakukan, setelah melahirkan sekitar delapan jam sesudahnya,

walaupun ibu post partum merasa letih tapi ibu post partum diharuskan

melakukan mobilisasi dini, minimal sudah turun dari tempat tidur, belajar
97

duduk dan berjalan sendiri (Kasdu, 2005). Pada Ibu post partum

diharapkan tidak perlu khawatir dengan adanya jahitan karena mobilisasi

dini baik buat jahitan, agar tidak terjadi pembengkakan akibat

tersumbatnya pembuluh darah, dan untuk ibu post partum yang bedah

sesar dalam melakukan mobilisasinya lebih lamban dan perlu mencermati

serta memahami bahwa mobilisasi dini jangan dilakukan apabila kondisi

ibu post partum masih lemah atau memiliki penyakit jantung, tetapi

mobilisasi yang terlambat dilakukan bisa menyebabkan gangguan fungsi

organ tubuh, aliran darah tersumbat, serta fungsi otot (Imam, 2006).

Mobilisasi dini adalah kebijakan untuk selekas mungkin

membimbing pasien keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya

selekas mungkin berjalan (Soeleman, 2003). Menurut Carpenito (2006),

mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi

fisiologis karena hal tersebut essensial untuk mempertahankan

kemandirian. Mobilisasi postpartum merupakan suatu kemampuan

seseorang untuk berjalan bangkit berdiri dan kembali ke tempat ridur,

kursi dan sebagiannya disamping kemampuan menggerakan ekstrimitas

atas (Suchinchliff, 2009). Oleh karena itu mobilisasi dini berkaitan dengan

suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara

mulai untuk mempertahankan fungsi fisiologis.

Anda mungkin juga menyukai