Anda di halaman 1dari 12

I.

Sistem Rujukan
A. Definisi
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo (2008) mendefinisikan sistem rujukan sebagai
suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan
tanggung jawab timbal balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan
secara vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani), atau secara horizontal (antar
unit-unit yang setingkat kemampuannya) (Notoatmojo, 2008).
Sederhananya, sistem rujukan mengatur darimana dan harus kemana seseorang
dengan gangguan kesehatan tertentu memeriksakan keadaan sakitnya.
Kegiatan Yang Tercakup Dalam Sistem Rujukan
1. Pengiriman pasien
Pengiriman pasien rujukan harus dilaksanakan sedini mungkin untuk perawatan
dan pengobatan lebih lanjut ke sarana pelayanan yang lebih lengkap.Unit pelayanan
kesehatan yang menerima rujukan harus merujuk kembali pasien ke sarana kesehatan
yang mengirim, untuk mendapatkan pengawasan pengobatan dan perawatan termasuk
rehabilitasi selanjutnya.
2. Pengiriman spesimen atau penunjang diagnostik lain
a. Pemeriksaan
Bahan Spesimen atau penunjang diagnostik lainnya yang dirujuk, dikirimkan
ke laboratorium atau fasilitas penunjang diagnostik rujukan guna mendapat
pemeriksaan laboratorium atau fasilitas penunjang diagnostik yang tepat.
b. Konfirmasi
Sebagian Spesimen yang telah di periksa di laboratorium Puskesmas, Rumah
Sakit atau laboratorium lainnya boleh dikonfirmasi ke laboratorium yang lebih
mampu untuk divalidasi hasil pemeriksaan pertama.
3. Pengalihan pengetahuan dan keterampilan
Dokter Spesialis dari Rumah Sakit dapat berkunjung secara berkala ke Puskesmas.
Dokter Asisten Spesialis / Residen Senior dapat ditempatkan di Rumah Sakit
Kabupaten / Kota yang membutuhkan atau Kabupaten yang belum mempunyai dokter
spesialis. Kegiatan menambah pengetahuan dan ketrampilan bagi Dokter umum,
Bidan atau Perawat dari Puskesmas atau Rumah Sakit Umum Kabupaten / Kota dapat
berupa magang atau pelatihan di Rumah Sakit Umum yang lebih lengkap.
4. Sistem informasi rujukan
Informasi kegiatan rujukan pasien dibuat oleh petugas kesehatan pengirim dan di
catat dalam surat rujukan pasien yang dikirimkan ke dokter tujuan rujukan, yang
berisikan antara lain : nomor surat, tanggal dan jam pengiriman, status pasien
keluarga miskin (gakin) atau non gakin termasuk umum, ASKES atau JAMSOSTEK,
tujuan rujukan penerima, nama dan identitas pasien, resume hasil anamnesa,
pemeriksaan fisik, diagnosa, tindakan dan obat yang telah diberikan, termasuk
pemeriksaan penunjang, kemajuan pengobatan dan keterangan tambahan yang
dipandang perlu.
Informasi balasan rujukan dibuat oleh dokter yang telah menerima pasien rujukan
dan setelah selesai merawat pasien tersebut mencatat informasi balasan rujukan di
surat balasan rujukan yang dikirimkan kepada pengirim pasien rujukan, yang
berisikan antara lain: nomor surat, tanggal, status pasien keluarga miskin (gakin) atau
non gakin termasuk umum, ASKES atau JAMSOSTEK, tujuan rujukan penerima,
nama dan identitas pasien, hasil diagnosa setelah dirawat, kondisi pasien saat keluar
dari perawatan dan follow up yang dianjurkan kepada pihak pengirim pasien.
Informasi pengiriman spesimen dibuat oleh pihak pengirim dengan mengisi Surat
Rujukan Spesimen, yang berisikan antara lain : nomor surat, tanggal, status pasien
keluarga miskin (gakin) atau non gakin termasuk umum, ASKES atau JAMSOSTEK,
tujuan rujukan penerima, jenis/bahan spesimen dan nomor spesimen yang dikirim,
tanggal pengambilan spesimen, jenis pemeriksaan yang diminta, nama dan identitas
pasien asal spesimen dan diagnos klinis.
Informasi balasan hasil pemeriksaan bahan/spesimen yang dirujuk dibuat oleh
pihak laboratorium penerima dan segera disampaikan pada pihak pengirim dengan
menggunakan format yang berlaku di laboratorium yang bersangkutan. Informasi
permintaan tenaga ahli / dokter spesialis dapat dibuat oleh Kepala Puskesmas atau
Rumah Sakit Umum Kab/Kota yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kab/Kota atau oleh Dinas Kesehatan Kab/Kota yang ditujukan ke Dinas Kesehatan
Provinsi dengan mengisi Surat Permintaan Tenaga Ahli, yang berisikan antar lain :
nomor surat, tanggal, perihal Permintaan Tenaga Ahli dan menyebutkan jenis
spesialisasinya, waktu dan tempat kehadiran jenis spesialisasi yang diminta, maksud
keperluan tenaga ahli diinginkan dan sumber biaya atau besaran biaya yang
disanggupi.
Informasi petugas yang mengirim, merawat atau meminta tenaga ahli selalu ditulis
nama jelas, asal institusi dan nomor telepon atau handphone yang bisa dihubungi
pihak lain. Keterbukaan antara pihak pengirim dan penerima untuk bersedia
memberikan informasi tambahan yang diperlukan masing-masing pihak melalui
media komunikasi bersifat wajib untuk keselamatan pasien, spesimen dan alih
pengetahuan medis.

B. Alur Rujukan
Alur rujukan pasien berlaku secara umum, kecuali bagi rujukan kasus
kegawatdaruratan, bencana atau rujukan khusus. Ada beberapa aspek yang harus
diperhatikan dalam alur rujukan yaitu:

a) Klasifikasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Rumah sakit umum dan khusus kelas A sebagai rujukan bagi rumah sakit
umum kabupaten/kota dengan klasifikasi B, C atau D atau fasilitas pelayanan
kesehatan lain, termasuk rumah sakit TNI / Polri dan swasta di Provinsi.
Rumah sakit umum kelas B menjadi tujuan rujukan dari rumah sakit umum
kelas C. Rumah sakit umum kelas C menjadi tujuan rujukan dari rumah sakit
umum kelas D terdekat yang belum mempunyai spesialisasi yang dituju.
Rumah sakit umum kelas D menjadi tujuan rujukan dari puskesmas. Dalam
hal keterbatasan fasilitas, peralatan dan atau ketenagaan yang sifatnya
sementara atau menetap rumah sakit yang dituju maka rujukan tidak harus
mengikuti rujukan berjenjang.(misal bisa RS kelas D atau RS kelas D ke A).
b) Lokasi / Wilayah Kabupaten/Kota
Berdasarkan hasil pemetaan wilayah dan tujuan rujukan masing-masing
Kabupaten/Kota bisa berdasarkan lokasi geografis, fasilitas pelayanan
kesehatan yang lebih mampu dan terdekat.
c) Koordinasi unsur-unsur pelaksana Teknis
Unsur-unsur pelaksana teknis rujukan lain sebagai sarana tujuan rujukan
yang dapat dikoordinasikan di tingkat Daerah, antara lain: Balai Laboratorium
Kesehatan.

Rujukan upaya kesehatan adalah pelimpahan wewenang dan tanggung-jawab


secara timbal balik, baik horisontal dan vertikal maupun struktural dan fungsional
terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan. Rujukan
dibagi dalam rujukan medik yang berkaitan dengan pengobatan dan pemulihan berupa
pengiriman pasien (kasus), spesimen, dan pengetahuan tentang penyakit; sedang
rujukan kesehatan dikaitkan dengan upaya pencegahan dan peningkatan kesehatan
berupa sarana, teknologi, dan operasional.
Upaya kesehatan primer adalah upaya kesehatan dimana terjadi kontak pertama
secara perorangan atau masyarakat dengan pelayanan kesehatan melalui mekanisme
rujukan timbal-balik, termasuk penanggulangan bencana dan pelayanan gawat
darurat.
Upaya kesehatan sekunder dan tersier adalah upaya kesehatan tingkat rujukan
maupun rujukan tingkat lanjut.
1) Upaya Kesehatan Primer
Upaya Kesehatan Primer terdiri dari pelayanan kesehatan perorangan
primer dan pelayanan kesehatan masyarakat primer.
a) Pelayanan Kesehatan Perorangan Primer (PKPP)
Pelayanan kesehatan perorangan primer adalah pelayanan kesehatan
dimana terjadi kontak pertama secara perorangan sebagai proses awal
pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan perorangan primer memberikan
penekanan pada pelayanan pengobatan, pemulihan tanpa mengabaikan
upaya peningkatan dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan
kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style).
Pelayanan kesehatan perorangan primer diselenggarakan oleh tenaga
kesehatan yang dibutuhkan dan mempunyai kompetensi seperti yang
ditetapkan sesuai ketentuan berlaku serta dapat dilaksanakan di rumah,
tempat kerja, maupun fasilitas kesehatan perorangan primer baik
Puskesmas dan jaringannya, serta fasilitas kesehatan lainnya milik
pemerintah, masyarakat, maupun swasta. Dilaksanakan dengan dukungan
pelayanan kesehatan perorangan sekunder dalam sistem rujukan yang
timbal balik.
Pelayanan kesehatan perorangan primer diselenggarakan berdasarkan
Norma, Sstandar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) pelayanan yang
ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan masukan dari
organisasi profesi dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan perorangan primer dapat diselenggarakan sebagai
pelayanan yang bergerak (ambulatory) atau menetap; dapat dikaitkan
dengan tempat kerja, seperti klinik perusahaan; dan dapat disesuaikan
dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra, seperti:
kesehatan haji, kesehatan kelautan, kesehatan penerbangan, kesehatan
wisata).
Pemerintah wajib menyediakan pelayanan kesehatan perorangan
primer di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
kebutuhan, terutama bagi masyarakat miskin, daerah terpencil, perbatasan,
pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak diminati swasta.
Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan primer untuk penduduk
miskin dibiayai oleh pemerintah, sedangkan golongan ekonomi lainnya
dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh pemerintah.
Dalam pelayanan kesehatan perorangan termasuk pula pelayanan
kesehatan berbasis masyarakat dalam bentuk seperti Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) dan pengobatan tradisional serta pengobatan alternatif yang
secara ilmiah telah terbukti terjamin keamanan dan khasiatnya.
b) Pelayanan Kesehatan Masyarakat Primer (PKMP)
Pelayanan kesehatan masyarakat primer adalah pelayanan peningkatan
dan pencegahan tanpa mengabaikan pengobatan dan pemulihan dengan
sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat primer menjadi
tanggung-jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan
operasionalnya dapat didelegasikan kepada Puskesmas. Masyarakat
termasuk swasta dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan
masyarakat primer sesuai peraturan yang berlaku dan berkerjasama dengan
pemerintah.
Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat primer ditanggung oleh
pemerintah bersama masyarakat, termasuk swasta. Pemerintah wajib
melaksanakan dan membiayai pelayanan kesehatan masyarakat primer
yang berhubungan dengan prioritas pembangunan kesehatan melalui
kegiatan perbaikan lingkungan, peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit dan kematian serta paliatif.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat primer didukung
kegiatan lainnya, seperti surveilans, pencatatan, dan pelaporan.Pemerintah
dapat membentuk fasilitas kesehatan yang secara khusus ditugaskan untuk
melaksanakan upaya kesehatan masyarakat sesuai keperluan.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat primer mendukung
upaya kesehatan berbasis masyarakat dan didukung oleh pelayanan
kesehatan masyarakat sekunder.
2) Upaya Kesehatan Sekunder
Upaya kesehatan sekunder adalah upaya kesehatan rujukan lanjutan, yang
terdiri dari pelayanan kesehatan perorangan sekunder dan pelayanan
kesehatan masyarakat sekunder.
a) Pelayanan Kesehatan Perorangan Sekunder (PKPS)
Pelayanan kesehatan perorangan sekunder adalah pelayanan kesehatan
spesialistik yang menerima rujukan dari pelayanan kesehatan perorangan
primer, yang meliputi rujukan kasus, spesimen, dan ilmu pengetahuan
serta wajib merujuk kembali ke fasilitas kesehatan yang merujuk.
Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dilaksanakan oleh dokter
spesialis atau dokter yang sudah mendapatkan pendidikan khusus dan
mempunyai ijin praktik serta didukung tenaga kesehatan lainnya yang
diperlukan. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dilaksanakan di
tempat kerja maupun fasilitas kesehatan perorangan sekunder baik Rumah
Sakit setara kelas C serta fasilitas kesehatan lainnya milik pemerintah,
masyarakat, maupun swasta.
Pelayanan kesehatan perorangan sekunder harus memberikan
pelayanan kesehatan yang aman, sesuai, efektif, efisien dan berbasis bukti
(evidence based medicine) serta didukung pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan.
Pelayanan kesehatan perorangan sekunder yang bersifat tradisional dan
komplementer dilaksanakan dengan berafiliasi dengan atau di rumah sakit
pendidikan.Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dapat dijadikan
sebagai wahana pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pendidikan dan pelatihan.
b) Pelayanan Kesehatan Masyarakat Sekunder (PKMS)
Pelayanan kesehatan masyarakat sekunder menerima rujukan
kesehatan dari pelayanan kesehatan masyarakat primer dan memberikan
fasilitasi dalam bentuk sarana, teknologi, dan sumber daya manusia
kesehatan serta didukung oleh pelayanan kesehatan masyarakat tersier.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat sekunder menjadi
tanggung- jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan atau Provinsi
sebagai fungsi teknisnya, yakni melaksanakan pelayanan kesehatan
masyarakat yang tidak sanggup atau tidak memadai dilakukan pada
pelayanan kesehatan masyarakat primer.
Dalam penanggulangan penyakit menular yang tidak terbatas pada
suatu batas administrasi pemerintahan (lintas kabupaten/ kota), maka
tingkat yang lebih tinggi (provinsi) yang harus menanganinya.
Fasilitas kesehatan penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat
sekunder dibangun sesuai dengan standar. Bagi fasilitas pelayanan
kesehatan masyarakat milik swasta harus mempunyai izin sesuai peraturan
yang berlaku serta dapat bekerjasama dengan unit kerja Pemerintah
Daerah, seperti laboratorium kesehatan, Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan (BTKL), Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK), dan
lain-lain.
3) Upaya Kesehatan Tersier
Upaya kesehatan tersieradalah upaya kesehatan rujukan unggulan yang
terdiri dari pelayanan kesehatan perorangan tersier dan pelayanan
kesehatan masyarakat tersier.
a) Pelayanan Kesehatan Perorangan Tersier (PKPT)
Pelayanan kesehatan perorangan tersier menerima rujukan sub-
spesialistik dari pelayanan kesehatan di bawahnya, dan wajib merujuk
kembali ke fasilitas kesehatan yang merujuk.
Pelaksana pelayanan kesehatan perorangan tersier adalah dokter sub-
spesialis atau dokter spesialis yang telah mendapatkan pendidikan khusus
atau pelatihan dan mempunyai izin praktik dan didukung oleh tenaga
kesehatan lainnya yang diperlukan.
Pelayanan kesehatan perorangan tersier dilaksanakan di Rumah Sakit
Umum, Rumah Sakit Khusus setara kelas A dan B, baik milik pemerintah
maupun swasta yang mampu memberikan pelayanan kesehatan sub-
spesialistik dan juga termasuk klinik khusus, seperti pusat radioterapi.
Pemerintah mengembangkan berbagai pusat pelayanan unggulan
nasional yang berstandar internasional untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan dan menghadapi persaingan global dan regional.
Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tersier dapat didirikan
melalui modal patungan dengan pihak asing sesuai dengan peraturan dan
kebijakan yang berlaku. Pelayanan kesehatan perorangan tersier wajib
melaksanakan penelitian dan pengembangan dasar maupun terapan dan
dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan
sesuai dengan kebutuhan.
b) Pelayanan Kesehatan Masyarakat Tersier (PKMT)
Pelayanan kesehatan masyarakat tersier menerima rujukan kesehatan
dari pelayanan kesehatan masyarakat sekunder dan memberikan fasilitasi
dalam bentuk sarana, teknologi, sumber daya manusia kesehatan, dan
rujukan operasional.
Pelaksana pelayanan kesehatan masyarakat tersier adalah Dinas
Kesehatan Provinsi, Unit kerja terkait di tingkat Provinsi, Departemen
Kesehatan, dan Unit kerja terkait di tingkat nasional.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat tersier menjadi
tanggung-jawab Dinas Kesehatan Provinsi dan Departemen Kesehatan
yang didukung dengan kerja sama lintas sektor. Institut pelayanan
kesehatan masyarakat tertentu secara nasional dapat dikembangkan untuk
menampung kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat.

Ketentuan Umum
1. Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
c. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
2. Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang
diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
3. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan spesialistik
yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.
4. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan sub
spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter gigi sub spesialis
yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub spesialistik.
5. Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama dan
tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan
perundangundangan yang berlaku
6. Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.
7. Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan
dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan
dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.
8. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang
berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke
tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.
9. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan
pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:
a. pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
b. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan.
10. Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan
pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila :
a. permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan
kesehatan yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya;
b. kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik
dalam menangani pasien tersebut;
c. pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan
pelayanan kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi
dan pelayanan jangka panjang; dan/atau
d. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau
ketenagaan.

Sebagai tambahan dalam Permenkes RI no. 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan, mengatur tata cara rujukan sebagai berikut :
1. Setiap pemberi pelayanan kesehatan berkewajiban merujuk pasien bila keadaan
penyakit atau permasalahan kesehatan memerlukannya, kecuali dengan alasan
yang sah dan mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.
2. Alasan tersebut adalah pasien tidak dapat ditransportasikan atas alasan medis,
sumber daya, atau geografis.
3. Rujukan harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya.
4. Persetujuan diberikan setelah pasien dan/atau keluarganya mendapatkan
penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang.
5. Penjelasan sekurang-kurangnya meliputi:
a. diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan;
b. alasan dan tujuan dilakukan rujukan;
c. risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan;
d. transportasi rujukan; dan
e. risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan.
6. Perujuk sebelum melakukan rujukan harus:
a. melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisi pasien
sesuai indikasi medis serta sesuai dengan kemampuan untuk tujuan
keselamatan pasien selama pelaksanaan rujukan;
b. melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa
penerima rujukan dapat menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat
darurat; dan
c. membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima
rujukan.
7. Dalam komunikasi, penerima rujukan berkewajiban:
a. menginformasikan mengenai ketersediaan sarana dan prasarana serta
kompetensi dan ketersediaan tenaga kesehatan; dan
b. memberikan pertimbangan medis atas kondisi pasien.
8. Surat pengantar rujukan sekurang-kurangnya memuat:
a. identitas pasien;
b. hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang)
yang telah dilakukan;
c. diagnosis kerja;
d. terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan;
e. tujuan rujukan; dan
f. nama dan tanda tangan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.
9. Transportasi untuk rujukan dilakukan sesuai dengan kondisi pasien dan
ketersediaan sarana transportasi.
10. Pasien yang memerlukan asuhan medis terus menerus harus dirujuk dengan
ambulans dan didampingi oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
11. Dalam hal tidak tersedia ambulans pada fasilitas pelayanan kesehatan perujuk,
dapat dilakukan dengan menggunakan alat transportasi lain yang layak.
12. Rujukan dianggap telah terjadi apabila pasien telah diterima oleh penerima
rujukan.
13. Penerima rujukan bertanggung jawab untuk melakukan pelayanan kesehatan
lanjutan sejak menerima rujukan.
14. Penerima rujukan wajib memberikan informasi kepada perujuk mengenai
perkembangan keadaan pasien setelah selesai memberikan pelayanan.
15. Pembiayaan rujukan dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku pada asuransi
kesehatan atau jaminan kesehatan.
16. Pembiayaan rujukan bagi pasien yang bukan peserta asuransi kesehatan atau
jaminan kesehatan menjadi tanggung jawab pasien dan/atau keluarganya.

Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang


1. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai
kebutuhan medis, yaitu:
a. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas kesehatan
tingkat pertama
b. Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien dapat dirujuk
ke fasilitas kesehatan tingkat kedua
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat diberikan
atas rujukan dari faskes primer.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat diberikan atas
rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
2. Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung ke faskes
tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan diagnosis dan rencana terapinya,
merupakan pelayanan berulang dan hanya tersedia di faskes tersier.
3. Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam kondisi:
a. terjadi keadaan gawat darurat;
Kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku
b. bencana;
Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah
Daerah
c. kekhususan permasalahan kesehatan pasien;
untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi tersebut
hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan
d. pertimbangan geografis; dan
e. pertimbangan ketersediaan fasilitas
4. Rujukan Parsial
a. Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke pemberi
pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan diagnosis atau pemberian
terapi, yang merupakan satu rangkaian perawatan pasien di Faskes tersebut.
b. Rujukan parsial dapat berupa :
1) pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang atau tindakan
2) pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
c. Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka penjaminan
pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk.

REFERENSI
Notoatmojo, S. (2008). Kesehatan Masyarakat: Ilmu & Seni. Jakarta: Rineka Cipta.
BPJS Kesehatan. Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang. Diunduh dari
http://rsmargono.jatengprov.go.id/home/downloadfile/Panduan_Praktis_Sistem_R
ujukan_Berjenjang.pdf
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2012 tentang
Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan

Anda mungkin juga menyukai