Anda di halaman 1dari 4

Permasalahan mengenai berdoa setelah shalat fardhu dengan hanya boleh dzikir saja, kemudian

berdoa yang hanya jika selesai sholat sunnah misalnya sholat sunnah rawatib atau sholat sunnah
yang lain maka merupakan perkara yang diperselisihkan oleh para ulama sejak dulu, hanya saja
yang kita pilih adalah sunatnya berdoa setelah shalat fardhu, dan shalat sunat, tanpa membeda-
bedakan antara keduanya, tentunya dengan beberapa syarat tertentu. Berikut penjelasannya:

Dalil Sunatnya Berdoa Setelah Shalat Fardhu


1. Hadis Abu Umamah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
ditanya: Doa apakah yang paling dikabulkan (oleh Allah)?, beliau menjawab: ‫الليل جوف‬
‫ المكتوبات الصلوات ودبر اآلخر‬Artinya: “(Yaitu doa) pada bagian malam terakhir, dan selepas
shalat fardhu” (HR Tirmidzi: 3499, dan dinilai hasan oleh Tirmidzi sendiri dan Al-Albani
dalam al-Ta’liq al-Raghib: 2/276)
Makna: “dubur shalawaat al-maktuubaat” dalam hadis ini adalah bisa bermakna diakhir
shalat sebelum salam –sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Taimiyah-, dan bisa bermakna
setelah salam dan setelah berdzikir –sebagaimana yang dinyatakan oleh banyak ulama-. Al-
Mubarakfuri dalam Tuhfah Al-Ahwadzi (9/331) menyatakan bahwa makna “dubur shalawaat
al-maktuubaat” dalam hadis ini adalah setelah shalat. Hal ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar
dalam Fath Al-Bari (11/134) dengan dalil hadis Shahihain tentang dzikir setelah shalat,
bahwa diantara sabda Rasulullah: ‫ صالة كل دبر تسبحون‬Artinya: “Kalian membaca tasbih
setiap selesai shalat”. Makna “dubura kulli shalaatin” disini tidak mungkin dimaknai sebelum
salam, tapi dimaknai selepas shalat karena dzikir tasbih, tahmid, dan takbir disunatkan dibaca
setelah shalat. Dari sini dapat dipahami bahwa makna hadis Abu Umamah diatas adalah
anjuran untuk berdoa setiap kali selesai shalat -bukan sebelum salam-.

2. Adanya banyak hadis yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam membaca
doa-doa -selain dzikir-dzikir- setelah shalat. Diantaranya: -HR Ibnu Hibban )2026) bahwa
َّ ‫الل َّ ُه‬
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bila selesai shalat beliau berdoa dengan doa: “َّ‫م‬
َّ‫ح‬ ْ َ‫ه الَّ ِذي ِدي ِني لِي أ‬
ْ ‫ص ِل‬ َُّ ‫ج َع ْل َت‬
َ ‫ة لِي‬ ََّ ‫م‬َ ‫ص‬ْ ‫ع‬ ِ ‫ح أَ ْم ِري‬ َّْ ‫ص ِل‬ ْ َ‫ي لِي وَأ‬ ََّ ‫ت ال َّ ِتي ُد ْنيَا‬ ََّ ‫ج َع ْل‬ َ ‫شي فِيهَا‬ ِ ‫َم َعا‬
‫م‬ َُّ ‫ك أَ ُع‬
ََّّ ‫وذ إِنِي اللَّ ُه‬ ََّ ِ‫ك ب‬ َ ‫ن بِ ِر‬
ََّ ‫ضا‬ َّْ ‫ك ِم‬ ََّ ‫ط‬ ِ ‫خ‬ َ ‫س‬ َ ‫ك‬ ََّ ‫ن َوبِ َع ْف ِو‬ َّْ ‫ك ِم‬ َ ‫وذ نِ ْق‬
ََّ ِ‫مت‬ َُّ ‫ك وَأَ ُع‬ ََّ ‫م ِم ْن‬
ََّ ِ‫ك ب‬ ََّّ ‫ل الل َّ ُه‬
ََّ ‫ع‬
ََّ ِ‫لِمَا مَان‬
ََّ ‫َل أَ ْعطَ ْي‬
‫ت‬ ََّ ‫ي و‬ ِ ‫ت لِمَا ُم ْع‬
ََّ ‫ط‬ ََّ ‫َل َمن َْع‬ ََّ ‫ع و‬ َُّ ‫َد َذا يَ ْن َف‬ َِّ ‫ك ْالج‬ ََّ ‫”الجَدَّ ِم ْن‬ ْ Ibnu Hibban meletakkan hadis ini

dibawah bab: “Penyebutan Hadis Sunatnya Bagi Seseorang Untuk Memohon Kepada Allah
Ta’ala Kebaikan Agama dan Dunianya Selepas Shalat”. Hadis ini dinilai shahih oleh Ibnu
Hibban, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (745), dan dinilai hasan oleh Ibnu Hajar dalam
Nataaij Al-Afkar (136).

3. Bahwa doa merupakan amalan mutlak, yaitu bisa dilakukan kapan dan dimana saja, tanpa
dibatasi oleh waktu dan tempat. Sehingga melaksanakannya selepas shalat tidaklah terlarang,
apalagi bila telah didukung oleh dalil-dalil yang disebutkan diatas. 4.Imam Bukhari
meletakkan dalam Shahihnya (8/72) salah satu bab berjudul: “Bab Doa Setelah Shalat”.
Hafidz Ibnu Hajar mengomentari hal ini dengan berkata: “Pada judul bab ini, merupakan
bantahan terhadap orang yang mengklaim bahwa doa setelah shalat tidaklah masyru'”. (Fath
Al-Bari: 11/134). Bahkan Imam Nawawi rahimahullah menyatakan: “Telah disebutkan –
sebelumnya- sunatnya dzikir dan doa bagi imam, makmum atau yang shalat munfarid, dan
ini hukumnya sunat disetiap selesai shalat tanpa ada perselisihan dalam masalah ini”. (Al-
Majmu’: 3/488).
Akan tetapi bolehnya berdoa setelah shalat fardhu atau shalat sunat ini harus dilakukan
sendiri-sendiri, tidak dilakukan secara berjamaah, karena tidak adanya dalil yang
menunjukkan sunatnya atau bolehnya berdoa berjamaah setelah shalat fardhu sebagaimana
yang dinyatakan oleh Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah (yang akan dinukil pada catatan kedua
dibawah ini).

Catatan (1): Sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan tidak
masyru’nya berdoa setelah shalat dengan dalil: -Bahwa makna hadis Abu Umamah adalah
doa diakhir shalat, sebelum salam, bukan setelah salam. Namun dalil ini telah dibantah
dengan ucapan Ibnu Hajar dan Al-Mubarakfuri diawal jawaban ini. -Bahwa orang yang
shalat sangat dekat dengan Rabb-nya, sehingga seharusnya ia berdoa didalam shalat sebelum
salam, bukan setelahnya. Namun ini juga terbantahkan bahwa doa itu waktunya mutlak, tidak
hanya disyariatkan dalam shalat, tetapi juga diluar shalat, apalagi bagi orang yang sangat
memerlukan doa ini.

Catatan (2): Sebagian ulama –termasuk Ibnu Baaz rahimahullah- menyatakan bahwa berdoa
setelah shalat fardhu dan berdzikir, hukumnya boleh, karena hal ini sangat utama dan lebih
diharapkan untuk dikabulkan oleh Allah ta’ala, akan tetapi hal ini jangan dilakukan dengan
mengangkat kedua tangan dan tidak pula dengan doa secara berjamaah karena kedua hal ini
yaitu berdoa mengangkat tangan selepas shalat dan berdoa secara berjamaah selepas shalat;
tidak pernah dinukil dari amalan Rasul dan para sahabatnya, yang dinukil hanyalah berdoa
tanpa mengangkat tangan dan tanpa doa berjamaah, sebagaimana yang bisa dipahami
dari hadis-hadis sebelumnya. Dan hal ini juga berlaku dalam shalat sunat. (lihat: Fatawa Nur
‘Ala Al-Darb: 9/4/no.38). Sebab itu, yang lebih pantas bagi seorang mukmin adalah
mengikuti petunjuk Rasulullah dan para sahabatnya, dengannya ia bisa meraih kemuliaan dan
kesempurnaan sikap meneladani dan mencontohi mereka; dengan berdoa selepas shalat
fardhu ataupun shalat sunat tanpa mengangkat tangan sebagaimana ini merupakan pendapat
Imam Malik. Adapun bila harus mengangkatnya, maka hanya sekali-sekali dan tidak
dirutinkan.

Catatan (3): Agar lebih dipahami, maka perlu disebutkan bahwa tatacara berdoa dalam hadis-
hadis dan amalan Nabi ada empat macam yaitu:
1. Berdoa dengan mengangkat kedua tangan sejajar dada. Ini dilakukan tatkala berdoa
dalam doa mutlak secara umum, yang tidak terikat dengan waktu dan tempat.
2. Berdoa dengan mengangkat tangan agak tinggi dengan sejajar wajah atau diatasnya. Hal
ini dilakukan ketika ibtihal/doa yang sangat diharapkan ijabahnya sesegera mungkin
sebagaimana yang Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam lakukan pada saat Perang Badr
dan dalam Shalat Istisqa’.
3. Berdoa dengan menegakkan atau mengisyaratkan jari telunjuk. Ini dilakukan dalam doa
khutbah jumat.
4. Berdoa tanpa mengangkat kedua tangan. Ini dilakukan disetiap selesai shalat.
Berdoa Setelah Sholat Wajib

َ ‫ة أَبِي‬
ْ‫عن‬ َْ ‫م‬ َ ‫ي ُأ‬
َ ‫ما‬ َْ ‫ض‬ ُْ
ِ ‫للا َر‬ ُْ ‫عن‬
‫ه‬ َ ‫ل‬
َْ ‫قا‬ َ :‫ل‬
َْ ‫ قِي‬: ‫ل يَا‬
َْ ‫سو‬ ِْ َ ‫صلَى‬
ُ ‫ّللا َر‬ ُْ َ ‫ه‬
َ ‫ّللا‬ ِْ ‫علَي‬
َ ‫م‬َْ َ ‫سل‬َ ‫ َو‬, ْ‫عا ِْء أَي‬
َ ‫الد‬
ُ‫ع‬
ْ‫م‬ َ
َ ‫ل ؟ أس‬ َ
َْ ‫ قا‬: ‫ف‬ َْ ‫جو‬َ ‫ل‬ َ
ِْ ‫ر اللي‬
ِْ ‫خ‬
ِ ‫ر اْل‬ ُ
َْ ‫واتِْ َود ُب‬ َ َ
َ ‫مك ُتوبَاتِْ الصل‬ َ ‫ال‬.

“Dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu beliau berkata : Ada yang berkata : Wahai Rasulullah
Shollallahu ‘alaihi wasallam, do’a apakah yang paling didengar (mustajabah)?”, beliau
menjawab : “(Do’a di) seperdua malam terakhir dan (do’a di) dubur (akhir) sholat-sholat yang
diwajibkan”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa`i dalam Sunan Al-Kubro (6/32/9936) dan dalam
‘Amalul Yaum wal Lailah (1/186/108) dan Imam At-Tirmidzy (5/526/3499), serta dikeluarkan
pula oleh Imam ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (2/424/3948) dengan konteks yang agak
panjang, semuanya dari jalan Ibnu Juraij –‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz- dari ‘Abdurrahman
bin Sabith dari Abu Umamah Al-Bahily radhiallahu ‘anhu.
Hadits di atas adalah hadits yang lemah karena adanya keterputusan dalam sanadnya,
‘Abdurrahman bin Sabith tidak mendengar dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu.
Yahya bin Ma’in berkata: “Dia (‘Abdurrahman bin Sabith) tidak mendengar dari Sa’ad bin Abi
Waqqosh, tidak pula dari Abu Umamah dan tidak pula dari Jabir”. Lihat Jami’ut Tahshil hal.
222.
Yahya bin Sa’id Al-Qoththon –sebagaimana dalam Nashbur Royah (2/235)- berkata: “Dan
ketahuilah bahwa apa yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman bin Sabith dari Abu Umamah
tidaklah bersambung, akan tetapi riwayatnya terputus, dia (‘Abdurrahman bin Sabith) tidak
mendengar darinya”.
Adapun tadlis Ibnu Juraij, maka tidak berbahaya, karena dia telah menegaskan bahwa dia
mendengar hadits ini dari ‘Abdurrahman bin Sabith dengan perkataannya “mengabarkan
kepadaku ‘Abdurrahman bin Sabith” sebagaimana bisa dilihat dalam riwayat ‘Abdurrozzaq di
atas.

Catatan :
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/273) bahwa Ibnu
Abid Dunya meriwayatkan sebuah hadits dengan lafadz :

ْ‫جا َء‬
َ ْ‫جل‬ َ ‫صلَى‬
ُ ‫النبِيِْ إِلَى َر‬ َ ‫للا‬ُْ ِْ ‫علَي‬
‫ه‬ َ ‫علَى‬ َ ‫و‬َ ‫ه‬ َْ َ‫ل َوسل‬
ِْ ِ‫م آل‬ َ ‫ف‬
َْ ‫قا‬ َ : ْ‫ة أَي‬ َ
ِْ َ ‫الصال‬ ُْ ‫ض‬
‫ل‬ َ ‫؟ أَف‬, ‫ل‬ َْ ‫قا‬َ :
َْ ‫جو‬
‫ف‬ َ ‫ل‬ َ
ِْ ‫ط اللي‬ ِْ ‫س‬َ ‫اْلَو‬, ‫ل‬
َْ ‫قا‬ َ
َ : ْ‫عا ِْء أي‬
َ ‫ع الد‬ُْ ‫م‬ َ
َ ‫؟ أس‬, ‫ل‬ َْ ‫قا‬َ :‫ر‬َْ ‫مك ُتوبَاتِْ ُد ُب‬ َ ‫ال‬

“Datang seorang lelaki kepada Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam lalu bertanya :
“Sholat apakah yang paling utama?”, beliau menjawab : “(Sholat di) tengah malam yang
pertengahan”, dia bertanya (lagi) : “Do’a apakah yang paling didengar (mustajabah), beliau
menjawab : “Dubur (akhir) (sholat-sholat) yang diwajibkan”.
Dan kami tidak mendapatkan di mana Ibnu Abid Dun-ya meriwayatkan hadits ini sehingga bisa
dilacak, apakah hadits ini juga dari Abu Umamah atau dari yang lainnya. Hanya saja ada kaidah
yang disebutkan oleh sebagian ulama bahwa jika sebuah hadits diriwayatkan hanya oleh Ibnu
Abid Dun-ya saja maka itu adalah hadits yang lemah. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

Anda mungkin juga menyukai