Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

“Seorang Perempuan 60 Tahun dengan Keluhan Badan Terasa Lemas”

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu syarat dalam
menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Dalam

di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo

Disusun oleh :

Salza Azen Ul Haque

H2A015010

Pembimbing :

dr. Prahastya, M.Sc, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

SEMARANG

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Salza Azen Ul Haque


NIM : H2A015010
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing : dr. Prahastya, M.Sc, Sp.PD

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal 28 Mei 2019.

Pembimbing,

dr. Prahastya, M.Sc, Sp.PD

2
DAFTAR MASALAH

Tanggal Masalah Aktif Masalah Pasif

13 Mei 2019 DM tipe II Ulkus DM

Hipertensi Emergency

Insufisiensi Renal

3
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Tanggal lahir : 25 Mei 1958
Umur : 60 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Glagah RT 02/V, Leban, Boja, Kendal
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Bangsal : Dahlia 4
No. RM : 57-97-XX
Tanggal Masuk RS : Jumat, 10 Mei 2019
Tanggal Dikasuskan : Senin, 13 Mei 2019

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di bangsal Dahlia 4 RSUD Tugurejo Semarang
pada tanggal 13 Mei 2019 pukul 15.10 WIB secara autoanamnesis dan
alloanamnesis.
1. Keluhan Utama : Badan terasa lemas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo Semarang dengan keluhan
badan terasa lemas sejak 2 hari SMRS. Badan lemas dirasakan pasien
secara tiba-tiba setelah beraktivitas. Badan sangat lemas sehingga tidak
kuat untuk berdiri. Lemas dirasakan secara terus menerus tidak
bertambah baik ataupun buruk. Selain badan lemas, pasien juga
mengeluhkan nyeri kepala senut-senut yang hilang timbul, leher terasa
kaku, mual (+) setiap mau makan, muntah (-), sesak (-), nyeri dada (-),
pandangan kabur (-). BAK sering, warna kuning, tidak nyeri saat BAK,

4
tidak panas saat BAK, lendir (-), darah (-). BAB normal, konstipasi (-),
BAB cair (-), lendir (-), darah (-).
Satu minggu yang lalu, jari ke 2 kaki kanan pasien terkena paku
yang menyebabkan luka pada jari. Pasien mengeluhkan kaki terasa nyeri
terus menerus sehingga dibawa ke puskesmas untuk diobati dan langusng
diperbolehkan rawat jalan dengan diminta untuk selalu dibersihkan.
Setiap dua kali sehari luka pada jari pasien dibersihkan oleh saudara
perawat pasien. Sehingga pada luka tersebut tidak terjadi kondisi yang
lebih parah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa : Diakui, 1 tahun yll opname
dengan keluhan yang sama
b. Riwayat hipertensi :Diakui, sejak 2 tahun yll
minum obat amlodipin tetapi
tidak rutin
c. Riwayat DM : Diakui, sejak 5 tahun yll
rutin kontrol dan minum
obat metformin
d. Riwayat sakit jantung : Disangkal
e. Riwayat sakit ginjal : Disangkal
f. Riwayat alergi obat dan makanan : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat sakit serupa : Disangkal
b. Riwayat hipertensi : Disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
d. Riwayat DM : Diakui, ibu pasien
e. Riwayat alergi : Disangkal
5. Riwayat Pribadi
a. Riwayat merokok : Disangkal
b. Riwayat minum alkohol : Disangkal

5
c. Riwayat olahraga : Jarang
d. Riwayat konsumsi makanan : Asin (sudah dibatasi), manis
(sudah dibatasi), bersantan
(jarang, sudah dibatasi)
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tidak bekerja. Pasien tinggal bersama anak dan cucunya.
Biaya pengobatan menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup.

C. ANAMNESIS SISTEMIK
Kepala Pusing (+)
Mata Penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-)
Hidung Pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
Pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar cairan (-),
Telinga
darah (-).
Sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir pecah-pecah (-),
Mulut
gusi berdarah (-), mulut kering (-).
Leher Pembesaran kelenjar limfe (-), leher terasa kaku (+).
Tenggorokan Sulit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).
Sistem respirasi Sesak nafas (-), batuk (-).
Sistem Sesak nafas saat aktivitas ringan(-), nyeri dada (-), berdebar-
kardiovaskuler debar (-).
Sistem Mual (+), muntah (-), diare (-), nyeri perut (-), nafsu makan
gastrointestinal menurun (-), konstipasi (-).
Sistem Nyeri sendi (-), kaku otot (-), badan lemas (+), gemetar (-)
muskuloskeletal
Sering kencing(+), nyeri saat kencing (-), keluar darah (-),
Sistem
berpasir (-), kencing nanah(-), sulit memulai kencing (-),
genitourinaria
anyang-anyangan (-), berwarna seperti teh (-),
Luka (-), kesemutan (-), kaku digerakan (-) bengkak (-),
Ekstremitas atas
sakit sendi (-) panas (-)

6
Ekstremitas Luka (+) di jari ke 2 kaki kakan, kesemutan (-), bengkak
bawah (-), sakit sendi (-), panas (-)
Sistem Kejang (-), gelisah (-), emosi tidak stabil (-)
neuropsikiatri
Sistem Kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-), keringat dingin (-)
Integumentum

D. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum : Tampak lemas
B. Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5 = 15
C. Tanda vital
- TD : 217/97 mmHg
- Nadi : 75 x/menit (reguler, isi dan tegangan cukup)
- RR : 18 x/menit
- Suhu : 36,60C (per axilla)
D. Status Gizi
1. Berat Badan : 55 kg
2. Tinggi Badan : 155 cm
3. IMT : 22,9 (normal)
E. Skala nyeri : 2
F. Risiko Jatuh : Morse Fall Score : 35 (risiko sedang)
No Resiko Nilai skor

1 Riwayat jatuh yang baru/dalam 3 bulan terakhir 0

2 Diagnosis sekunder 15

2 Alat bantu jalan 0

3 Terapi intravena 20

4 Gait/cara berjalan/berpindah 0

5 Status mental 0

Jumlah 35 (risiko sedang)

7
G. Status Internus
1. Kepala : mesocephal (+),distribusi rambut merata, jejas (-).
2. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek pupil
direct (+/+), reflek pupil indirect (+/+), edem palpebral (-/-),
pupil isokor (3 mm/ 3 mm)
3. Telinga : serumen (-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
4. Hidung : nafas cuping hidung (-), deformitas (-), secret (-)
5. Mulut : sianosis (-), lidah kotor (-), stomatitis (-)
6. Leher : pembesaran limfonodi (-), otot bantu pernapasan (-),
pembesaran tiroid (-)
7. Thoraks :
a. Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat, pulsus parasternal (-), pulsus
epigastrik (-), sternal lift (-)
Perkusi :
- Batas atas jatung : ICS II linea parasternal sinistra
- Pinggang jantung : ICS III linea parasternal sinistra
- Batas kiri bawah jantung : ICS V linea axillaris anterior sinistra
- Batas kanan bawah jantung : ICS V linea parasternal dextra
Auskultasi : suara jantung I dan II reguler, gallop (-), Bising
jantung (-)

8
b. Pulmo
Dextra Sinistra
Pulmo Depan

Inspeksi
Bentuk dada Normal Normal
Hemitohorax Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis
Warna Sama seperti kulit sekitar Sama seperti kulit sekitar
Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem fremitus
kanan = kiri

Perkusi Sonor sonor

Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan
- Wheezing (-) (-)
- Ronki (-) (-)
- Stridor (-) (-)
Pulmo Belakang

Inspeksi
Bentuk dada Normal Normal
Hemitohorax Simetris, statis, dinamis Simetris, statis, dinamis
Warna Sama seperti kulit sekitar Sama seperti kulit sekitar
Palpasi
Nyeri tekan (-) (-)
Stem fremitus Kanan = kiri

Perkusi Sonor Sonor

Auskultasi
Suara dasar Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan
- Wheezing (-) (-)
- Ronki (-) (-)
- Stridor (-) (-)

8. Abdomen
Inspeksi : permukaan sedikit cembung, warna sama seperti kulit sekitar
Auskultasi : bising usus (+), peristaltic 15x /menit
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen, pekak sisi (+), pekak alih(-)
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), hepar, lien dan renal tidak teraba

9
9. Ektremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Oedem -/- +/+
Sianosis -/- -/-
Capillary Refill <2 detik / <2 detik <2 detik / <2 detik
Luka -/- +/-
Gerak Dalam batas normal Dalam batas normal
5/5 5/5
5/5 5/5

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Lengkap (WB EDTA) [10 Mei 2019]
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit 8.02 10^3/ul 3.6 – 11
Eritrosit L 3.39 10^6/ul 3.8 – 5.2
Hemoglobin L 10.20 g/dl 11.7 – 15.5
Hematokrit L 31.00 % 35 – 47
MCV 91.40 fL 80 – 100
MCH 30.10 pg 26 – 34
MCHC 32.90 g/dl 32 – 36
Trombosit 328 10^3/ul 150 – 440
RDW L 11.20 % 11.5 – 14.5
PLCR 27.4 %
Eosinofil absolute 0.14 10^3/ul 0.045 – 0.44
Basofil absolute 0.02 10^3/ul 0 – 0.02
Neutrofil absolute 4.86 10^3/ul 1.8 – 8
Limfosit absolute 2.24 10^3/ul 0.9 – 5.2
Monosit absolute 0.76 10^3/ul 0.16 – 1
Eosinofil L 1.70 % 2–4
Basofil 0.20 % 0–1

10
Neutrofil 60.70 % 50 – 70
Limfosit 27.90 % 25 – 40
Monosit H 9.50 % 2– 8

2. Kimia klinik (SERUM B) [10 Mei 2019]


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Glukosa sewaktu HH 418 mg/dL <125
Ureum H 109.0 mg/dL 10.0 – 50.0
Kreatinin H 3.59 mg/dL 0.60 – 0.90
Kalium H 5.23 mmol/L 3.5 – 5.0
Natrium 141.7 mmol/L 135 – 145
Chlorida 102.6 mmol/L 95.0 – 105

(140−𝑢𝑚𝑢𝑟)x 𝐵𝐵 (140−60) 𝑥 55 4400


GFR = 72 x 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 x 0,85 = = 219,7 = 20,02
72 𝑥 3,59 𝑥 0,85

11
3. EKG (10 Mei 2019)

Intepretasi
a. Irama : Normosinus, reguler
b. Frekuensi : 65x/menit
c. Aksis : lead I defleksi(+) aVF defleksi(-) = LAD
(deviasi kiri)
d. Zona transisi : V4-V5
e. Morfologi gelombang :
1) Gel P : tidak ada inverted, tidak ada P pulmonal dan P
mitral, lebar 2 kk = 0,08 s dan tinggi 2 kk = 0,08 s
2) Interval P-R : 3 kotak kecil = 0,12 s
3) Kompleks QRS : lebar 2 kotak kecil = 0,08 s
4) Segmen ST : isoelektrik
5) Gel T : T wave
6) Gel Q :-
7) Interval Q-T : memanjang

12
8) Gel U :-
Kesan : Normosinus, regular, T wave, QT memanjang

4. Foto Thorax AP Supine (13 Mei 2019)

Interpretasi :
 Cor : CTR > 50%, apeks bergeser ke laterokaudal.
Aorta baik
 Pulmo : Corakan vaskuler kasar.
Tidak tampak infiltrate pada kedua paru.
 Diafragma : baik
 Sinus costophrenicus : tumpul
Kesan :
 Cor : cardiomegali (LV)
 Pulmo : dalam batas normal

13
F. DAFTAR ABNORMALITAS

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang

1. Lemas 12. Tampak lemas 16. Eritrosit L 3.39 [3.8-5.2]


2. Nyeri kepala 13. TD : 217/97 17. Hemoglobin L 10.20 [11,7-
3. Leher terasa mmHg 15,5]
kaku 14. Udem di 18. Hematokrit L 31.00 [35-47]
4. Mual ekstremitas 19. RDW L 11.20 [11.5-14.5]
5. Sering kencing inferior 20. Eosinofil L 1.70 [2-4]
6. Luka di jari 2 15. Terdapat luka di 21. Monosit H 9.50 [2-8]
kaki kanan jari ke 2 kaki 22. Glukosa Sewaktu HH 418
7. Riwayat kanan [<125]
opname dengan 23. Ureum H 109,0 [10.0-50.0]
keluhan yang 24. Creatinin H 3.59 [0.60-0.90]
sama 25. Kalium H 5.23 [3.5-5.0]GFR
8. Riwayat 20,02 [IR grade IV]
hipertensi
9. Riwayat DM
10. Riwayat DM
pada keluarga
11. Riwayat jarang
olahraga

G. ANALISIS MASALAH
1. DM tipe 2 : 1, 4, 5, 7, 9, 10, 11, 12, 15, 22
2. Hipertensi emergensi : 2, 3, 7, 8, 12, 13
3. Insufisiensi Renal : 1, 4, 5, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 17, 22, 23, 24, 25
4. Ulkus DM : 6, 9, 10, 11, 14, 15, 22

14
H. RENCANA PEMECAHAN MASALAH
1. Diabetes Melitus tipe II
Assesment
a. Etiologi
 Tidak terkontrolnya kadar gula darah
 Sekresi insulin abnormal
 Resistensi terhadap kerja insulin
b. Faktor resiko
 Usia > 45 tahun
 Jarang olahraga
 Riwayat diabetes pada keluarga dekat
c. Komplikasi
 Akut :
o Keto asidosis diabetik
o Hiperosmolar non keton
 Kronik :
o Mikroangiopati : retinopati diabetikum, nefropati
diabetikum, neuropati diabetikum
o Makroangiopati : stroke, peripheral vaskuler disease,
penyakit jantung koroner
Initial Plan
a. Diagnosis:
 HbA1c
b. Terapi:
Farmakologi
 Inj. Novorapid 8-8-8 sc
Non farmakologi
 Latihan jasmani 3 kali seminggu minimal 30 menit :
jalan/jogging/bersepeda
c. Monitoring:

15
 KU
 Vital Sign
 GDS
d. Edukasi:
 Jaga pola makan
 Kurangi makan-makanan manis
 Konsumsi obat secara teratur

2. Hipertensi Emergensi
Assesment:
a. Etiologi
Faktor genetik
b. Faktor risiko
- Usia >40 tahun
- Stress
c. Komplikasi
- Stroke
- Kelemahan jantung
- Penyakit Jantung Koroner
- Infark Myocard
- Retinopati hipertensi
Initial Plan
a. Diagnosis
Funduskopi
b. Terapi
Injeksi furosemid 20 mg 2x1
Amlodipin 10 mg tab 1x1
c. Monitoring
KU, Vital Sign
d. Edukasi
- Batasi konsumsi garam

16
- Minum obat secara teratur
- Kontrol tekanan darah

3. Insufisiensi Renal
Assesment:
a. Etiologi
 Diabetes Melitus
 Hipertensi
 Penyakit ginjal : glomerulonefritis, ginjal polisiklik
b. Faktor risiko
- Usia > 50 tahun
- Riwayat keluarga dengan Penyakit Ginjal Koroner
- Konsumsi air minum ≤ 2000 ml/hari, konsumsi minum bersoda
- Pernah didiagnosis gangguan glomerulus, batu ginjal, hipertensi,
diabetes melitus
c. Komplikasi
- Perikarditis
- Efusi pericardial
- Anemia
- Gagal Jantung
Initial Plan
a. Diagnosis
Darah rutin, ureum, kreatinin, GFR, elektrolit
b. Terapi
Injeksi furosemid 20 mg 2 x 1
c. Monitoring
KU, TTV, ureum, kreatinin
d. Edukasi
Minum disesuaikan dengan banyaknya kencing yang keluar

17
4. Ulkus DM Digiti 2 pedis dextra
Assesment:
a. Etiologi
 Trauma
 Infeksi
b. Faktor risiko
- Riwayat DM
- Pola diet tinggi glukosa
- Hiperglikemi
- Jarang memakai alas kaki
- Usia > 40 tahun
- Kurangnya higenitas perawatan kaki
c. Komplikasi
- Infeksi local/ sistemik
- Sepsis
- Amputasi
Initial Plan
a. Diagnosis
- Pemeriksaan pulsasi nadi arteri dorsalis pedis
- Pemeriksaan neuropati sensorik
- HbA1c
b. Terapi
- Ganti balut/hari
- Injeksi ceftriaxone 2x1
c. Monitoring
- GDS/hari
- Kondisi luka : ada atau tidak tanda-tanda nekrosis (palpasi
A.dorsalis pedis, kulit dingin, tidak terasa nyeri)
d. Edukasi
- Setiap melakukan aktivitas selalu menggunakan alas kaki,
- usahakan balut selalu kering,

18
- perawatan kuku,
- kontrol teratur dan ganti balut secara teratur.

I. PROGRESS NOTE
13/05/2019 S Lemas berkurang, pusing (-), kaku pada leher (+)
O KU : baik
Kesadaran : CM
TD : 146/78 mmHg
HR : 103 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 21 x/menit
T : 36,7oC
GDS : 306 mg/dl
A DM tipe 2, Hipertensi, Ulkus digiti II pedis dextra
P Monitor KU dan vital sign
Cek GDS pagi dan sore
Cek Ureum dan creatinin
Injeksi Novorapid 8-8-8
Injeksi Ondansetron 3x1 iv
Injeksi Ranitidin 2x1iv
Injeksi Ceftriaxone 2x1
PCT 3x1 tab
Amlodipin 10 mg tab 1x1
Lisinopril 10 mg tab 1x1
Ganti balut/hari
14/05/2019 S Lemas berkurang, pusing(-), kaku pada leher(-)
O KU : baik
Kesadaran : CM
TD : 126/76 mmHg
HR : 84 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR : 22 x/menit
T : 36,4oC

19
GDS pagi : 225
A DM tipe 2, Hipertensi, Ulkus digiti II pedis dextra
P Monitor KU dan TTV
Cek GDS
Injeksi Novorapid 8-8-8
Injeksi Ondansetron 3x1 iv
Injeksi Ranitidin 2x1iv
Injeksi Ceftriaxone 2x1
Injeksi Furosemid 2x1
Amlodipin 10 mg tab 1x1
Lisinopril 10 mg tab 1x1
Clindamycin 300 mg tab 3x1
Ganti balut/hari

20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DIABETES MELITUS
A. Definisi
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kinerja insulin atau kedua-duanya (ADA, 2010).
Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu
penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang
ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi
fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi
insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh
kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2008).
B. Klasifikasi
Klasifikasi etiologi Diabetes mellitus menurut American Diabetes
Association, 2010 adalah sebagai berikut :
a. Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut):
1) Autoimun.
2) Idiopatik.
Pada Diabetes tipe 1 (Diabetes Insulin Dependent), lebih sering
ternyata pada usia remaja. Lebih dari 90% dari sel pankreas yang
memproduksi insulin mengalami kerusakan secara permanen. Oleh
karena itu, insulin yang diproduksi sedikit atau tidak langsung dapat
diproduksikan. Hanya sekitar 10% dari semua penderita diabetes mellitus
menderita tipe 1. Diabetes tipe 1 kebanyakan pada usia dibawah 30
tahun. Para ilmuwan percaya bahwa factor lingkungan seperti infeksi
virus atau faktor gizi dapat menyebabkan penghancuran sel penghasil
insulin di pankreas (Merck, 2008).

21
b. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi
insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek
sekresi insulin disertai resistensi insulin).
Diabetes tipe 2 ( Diabetes Non Insulin Dependent) ini tidak ada
kerusakan pada pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin,
bahkan kadang-kadang insulin pada tingkat tinggi dari normal. Akan
tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin, sehingga tidak ada
insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe ini
sering terjadi pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi
lebih umum dengan peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko
utama pada diabetes tipe 2. Sebanyak 80% sampai 90% dari penderita
diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas dapat menyebabkan
sensitivitas insulin menurun, maka dari itu orang obesitas memerlukan
insulin yang berjumlah sangat besar untuk mengawali kadar gula darah
normal (Merck, 2008).
c. Diabetes tipe lain.
1) Defek genetik fungsi sel beta :
2) DNA mitokondria.
3) Defek genetik kerja insulin.
4) Penyakit eksokrin pankreas :
a) Pankreatitis.
b) Tumor/ pankreatektomi.
c) Pankreatopati fibrokalkulus.
5) Endokrinopati.
a) Akromegali.
b) Sindroma Cushing.
c) Feokromositoma.
d) Hipertiroidisme.
6) Karena obat/ zat kimia.
7) Pentamidin, asam nikotinat.
8) Glukokortikoid, hormon tiroid.

22
Kriteria Diagnostik Diabetes melitus menurut American Diabetes
Association 2010 :

23
C. Patofisiologi
Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak di
belakang lambung. Di dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk
seperti pula dalam peta, sehingga disebut dengan pulau-pulau Langerhans
pankreas. Pulau-pulau ini berisi sel alpha yang menghasilkan hormon
glukagon dan sel beta yang menghasilkan hormon insulin. Kedua hormon
ini bekerja secara berlawanan, glukagon meningkatkan glukosa darah
sedangkan insulin bekerja menurunkan kadar glukosa darah (Schteingart,
2006).
Insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas dapat diibaratkan
sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam
sel. Dengan bantuan GLUT 4 yang ada pada membran sel maka insulin
dapat menghantarkan glukosa masuk ke dalam sel. Kemudian di dalam sel
tersebut glukosa di metabolisasikan menjadi ATP atau tenaga. Jika insulin
tidak ada atau berjumlah sedikit, maka glukosa tidak akan masuk ke dalam
sel dan akan terus berada di aliran darah yang akan mengakibatkan keadaan
hiperglikemia (Sugondo, 2009).
Pada DM tipe 2 jumlah insulin berkurang atau dapat normal,
namun reseptor di permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat
diibaratkan lubang kunci masuk pintu ke dalam sel. Meskipun anak
kuncinya (insulin) cukup banyak, namun karena jumlah lubangnya
(reseptornya) berkurang maka jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel
akan berkurang juga (resistensi insulin). Sementara produksi glukosa oleh
hati terus meningkat, kondisi ini menyebabkan kadar glukosa meningkat
(Schteingart, 2006).
Penderita diabetes mellitus sebaiknya melaksanakan 4 pilar
pengelolaan diabetes mellitus yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani, dan intervensi farmakologis (ADA, 2010). Latihan jasmani secara
teratur dapat menurunkan kadar gula darah. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki

24
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah
(Vitahealth, 2006).

D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititikberatkan pada 4 pilar, yaitu:
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.

a. Edukasi

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang


memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi
dilakukan secara komprehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien
untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah
mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan
alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan atau
komplikasi yang mungkin timbul secara dini atau saat masih reversible,
ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan
perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada
penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki,
ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas
fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.

b. Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang


seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadw al makan, jenis dan jumlah makanan.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%,
lemak 20%-25%, protein 10%-20%, natrium kurang dari 3g, dan diet cukup
serat sekitar 25g/hari.

c. Latihan Jasmani

Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama


kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik

25
seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
meningkatkan sensitifitas insulin.

d. Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan


latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan (Perkeni, 2011).

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:


a) Pemicu sekresi insulin/ insulin secretagogue (sulfonilurea dan glinid)

1) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien
dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan
pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati,
kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.

2) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,


dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan
ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini
dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

b) Peningkat sensitivitas terhadap insulin (metformin dan tiazolidindion)

26
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi
cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
Golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena befek
sampingnya.

c) Penghambat glukoneogenesis (metformin)

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati


(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada
awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut.

d) Penghambat absorpsi glukosa/penghambat glukosidase alfa (akarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,


sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping
yang paling sering ditemukan ialah kembungdan flatulens.

e) DPP-IV inhibitor

27
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa
usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan.

2. Injeksi
a) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
1) Penurunan berat badan yang cepat
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3) Ketoasidosis diabetic
4) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5) Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
7) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

8) Kehamilan dengan DM atau diabetes mellitus gestasional yang tidak


terkendali dengan perencanaan makan
9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
1) Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2) Insulin kerja pendek (short acting insulin)
3) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
4) Insulin kerja panjang (long acting insulin)
5) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin:
1) Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

2) Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
b) Agonis GLP-1/incretin mimetic

28
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan
insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain
rasa sebah dan muntah.
3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-
combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat
dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga
OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.

29
HIPERTENSI
A. Definisi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik
dengan konsisten di atas 140/90 mmHg. Diagnosis hipertensi tidak
berdasarkan pada peningkatan tekanan darah yang sekali.
B. Tanda Gejala dan Gambaran Klinis Hipertensi
Gambaran klinis hipertensi biasanya asimtomatis, sampai
kerusakan organ-organ tertentu (Silent Killer) (Baradero dkk., 2008).
Kenaikan tekanan darah baru diketahui sewaktu pemeriksaan skrining
kesehatan. Gejala umum hipertensi (sakit kepala, pusing, tinitus, dan
pingsan) hampir sama dengan kebanyakan orang normotensi (Gray, et al,
2005). Namun, sebagain besar nyeri kepala pada hipertensi ternyata tidak
berhubungan dengan tekandan darah. Fase hipertensi yang berbahaya bisa
ditandai oleh nyeri kepala dan hilangnya penglihatan (papiledema) (Gray, et
al, 2005 & Davy, 2006).
C. Faktor Resiko dan Etiologi
Berdasarkan Etiologinya, hipertensi dibagi menjadi dua macam,
yaitu hipertensi esensial (primer) dan hipertensi skunder. (Baradero dkk.,
2008).
a. Hipertensi Esensial (Primer)
Sembilan puluh lima persen dari semua kasus hipertensi adalah
primer (Esensial). Tidak ada penyebab yang jelas tentang hipertensi
primer, meskipun ada beberapa teori yang menunjukkan adanya faktor-
faktor genetik, perubahan hormon, dan perubahan simpatis yang
berhubungan dengan hipertensi. (Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008).
Grey, et al (2005) menyebutkan hipertensi dapat disebabkan oleh
bebrapa faktor yaitu :
1. Keturunan
Sekitar 70-80% penderita hipertensi esensial ditemukan riwayat
hipertensi di dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan
pada kedua orang tua, maka dugaan hipertensi lebih besar.

30
Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita yang monozigot
(satu telur) apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini
menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran terjadinya
hipertensi.
2. Jenis kelamin
Hipertensi lebih mudah menyerang kaum laki-laki daripada
perempuan. Hal ini karena laki-laki banyak memiliki faktor
pendoerong terjadinya hipertensi, seperti stres, kelelahan, merokok,
dan makan tidak terkontrol. Adapun pada perempuan peningkatan
risiko terjadi setelah masa menopose (sekitar 45 tahun).
3. Umur
Pada umumnya, hipertensi menyerang pria di atas 31 tahun,
sedangkan pada wanita terjadi setelah umur 45 tahun. Tekanan
darah akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur
seseorang. Ini disebabkan karena dengan bertambahnya umur,
dinding pembuluh darah mengalami perubahan struktur dan fungsi.
Jumlah sel otot polos berkurang dan elasitas berkurang sehingga
tahanan tepi meningkat yang dapat menyebabkan jantung bekerja
lebih untuk memompa darah yang berakibat peningkatan pembuluh
dara (Grey, et al 2005).
Insiden hipertensi meningkat dengan bertambahnya uisa.
Prevalensi hipertensi ringan sebesar 2% pada usia 25 tahun atau
kurang, meningkat menjadi 25% pada usia 50 tahun dan 50% pada
usai 70 tahun (Davy, 2006).
4. Obesitas
Berdasarkan penelitian, kegemukan merupakan ciri khas dari
populasi hipertensi. Obesitas sangat berperan terhadap kejadian
penyakti tidak menular seperti stroke, diabetes, dan penyakit
kadiovaskular.

31
5. Konsumsi garam berlebih
Garam mempunyai sifat menahan air. Konsumsi garam
berlebihan dengan sendirinya akan menaikkan tekanan darah (Grey
et al, 2005). Garam yang mempunyai fungsi sebagai osmolalitas
plasma berperan penting terhadap hemodinamik darah (Corwin,
2009). Secara fisiologis jika kadar garam dalam tubuh berlebih,
maka tubuh akan mengeluarkannya melalui urin atau keringat,
namun hal ini tida terjadi pada pasien hipertensi, tubuh tidak mamu
mengeluarkan kelebihan garam dalam tubuh, sehingga volme
retensi cairan meningkat dan berakibat pada kenaikan tekanan darah
(Soenardi &Soetarjo, 2005).
6. Kurang Olahraga
Olahraga seperti bersepeda, jogging, dan aerobik yang teratur
dapat memperlancar peredaran darah sehingga dapat menurunkan
tekanan darah. Orang yang kurang aktif berolah raga pada umunya
cenderung mengalami kegemukan. Dengan berolah raga akan
mencegah obesitas, serta mengurangi asupan garam, dengan
mengeluarkannya dari tubuh bersama keringat.
7. Merokok dan konsumsi alkohol
Hipertensi juga dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang
rokok yang dihisap seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh
darah. Selain itu, nikotin juga dapat menyebabkan terjadinya
pengapuran pada dinding pembuluh darah.
Efek dari konsumsi alkohol juga merangsang hipertensi karena
adanya peningkatan sintesis katekolamin yang dalam jumlah besar
dapat memicu kenaikan tekanan darah (Grey et al, 2005).
b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder diakibatkan oleh penyakit atau gangguan
tertentu seperti:
a. Penyakit ginjal (glomerunefrotis, gagal ginjal)

32
b. Masalah kelenjar adrenal
 Sindrom Cushing yang menyebabkan peningkatan volume
darah.
 Aldosteronisme primer yaitu kelebihan aldosteron yang
menyebakan retensi natrium dan air, sehingga menyebabkan
volume darah meningkat.
 Fenokromositoma menyebabkan sekresi berlebihan dari
kateklamin (noreprinefrin yang membuat tahanan vaskular
perifer meningkat)
c. Koartasi aorta yaitu tekanan darah meningkat pada ekstremitas atas
dan berkurangnya perfusi pada ekstremitas bawah,
d. Trauma kepala atau tumor kranial yang meningkatkan tekanan
intrakranial sehingga mengakibatkan perfusi serebral berkurang;
iskemia yang timbul akan merangsang pusat vasometer medula
untuk meningkatkan tekanan darah.
e. Obat-obatan
f. Hipertensi dalam kehamilan
Merupakan peningkatan tekanan darah saat
kehamilan(Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008).
D. Patofisiologi
(Corwin, 2009) Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan
relaksasi pembuluh darah terletak di pusat kardiovaskular di otak, yaitu
bagian dari farmasioretikularis dan terletak di medula bagain bawah dan
posn. Sinyal-sinyal yang berkaitan dengan tekanan darah di integrasikan di
sini. Apabila terjadi perubahan tekanan darah, puat kardiovaskular
mengaktifkan sistem saraf otonom, sehingga terjadi perubahan stimulasi
simpatis dan parasimpatis ke jantung, dan terjadi perubahan stimulasi
simpatis ke seluruh sistem vaskular. Resistensi pembuluh darah berubah
dan aliran darah serta tekanan darah juga terpengaruh.
Saraf simpatis merangsang kecepatan denyut dan kontraktilitas
jantung melalui ikatan dengan reseptor- β1 di jantung. Saraf parasimpatis

33
menurunkan kecepatan denyut jantung melalui ikatan dengan reseptor
kolinergik. Saraf simpatis mengeluarkan norepinefrin di sebagian besar
pembuluh darah, yang berikatan dengan reseptor spesifik di sel-sel otot
polos yang disebut reseptor alfa (α). Perangsangan reseptor alfa
menyebabkan sel otot polos berkontraksi, sehingga pembuluh darah
mengalami penyempitan. Hal ini meningkatkan TPR dan akibatnya tekanan
darah meningkat.
Terdapat beberapa hormon yang mengendalikan resistensi sistem
vaskular. Hormon-hormon ini dilepaskan secara langsung sebagai respon
terhadap perubahan tekanan darah, dan sebagai respon terhadap rangsangan
saraf atau keduanya (Corwin, 2009).
a. Norepinefrin dan epinefrin
Norepinefrin dan Epinefrin di keluarkan dari medula adrenal
sebagai reson terhadap pengaktifan sistem saraf simpatis. Kedua zat
tersebut bekerja dengan berikatan pada reseptor α untuk meningkatkan
vasokontriksi, atau dengan reseptor β2 untuk menyebabkan vasodilatasi
atriol yang memperdarahi otot rangka. Norepinefrin dan epinefrin juga
berikatan dengan reseptor β1 dan meningkatkan kecepatan denyut jantung.
b.Sistem Renin Angiotensin
Perubahan tekanan darah juga dirasakan oleh baroreseptor di
ginjal. Apabila tekanan darah meningkat, pelepasan hormon renin
menurun. Apabila tekanan darah menurun, pelepasan renin meningkat.
Pelepasan renin juga dirangsang oleh saraf simpatis ke ginjal. Renin
mengendalikan pembentukan hormon lain, yaitu angiotensin II.
Angiotensin II merupakan suatu vasokontriktor kuat yang terutama
menyebabkan vasokontriksi ateriol halus. Hal ini menyebabkan
peningkatan retensi terhadap aliran darah dan peningkatan tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah. Angiotensin II juga bersrkulasi menuju
kelenjar adrenal dan menyebabkan sel korkes adrenal membentuk hormon
lain, yaitu aldosteron.

34
c. Aldosteron
Aldosteron bersirkulasi dalam darah menuju ginjal dan
menyebabkan sela tubulus distal meningkatkan reabsorbsi natrium dalam
berbagai keadaan, reabsorbsi air mengikuti penyerapakn natrium sehingga
terjadi peningkatan volume plasma. Peningkatan voume plasma
meningkatkan volume sekuncup dan curah jantung. Hal ini juga
menyebabkan peningkatan tekanan darah.
d.Hormon Antidiuretik (ADH)
Hormon anti diuretik (ADH) atau vasopresin, dikeluarkan oleh
hipofisi posterior sebagai respon terhadap peningkatan osmolitas plasama
(penurunan konsentrasi air) atau penurunan tekanan darah. ADH adalah
suatu vasokonstrikor kuat yang berpotensi meningkatkan tekanan darah
dengan meningktkan resistensi terhadap aliran darah (Crwin, 2009).
Brashers (2008), hipertensi esensial melibatkan interaksi yang
sangat rumit antara faktor genetik dan lingkungan yang dihubungkan oleh
pejamu mediator nuro-hormonal. Secara umum disebabkan oleh
peningkatan tahanan perifer dan/atau peningkatan volume darah.
Brasher (2008) menyebutkan teori terkini mengenai hipertensi
primer meliputi :
a. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis (SNS)
 respon maladaptif terhadap stimulus saraf simpatis
 perubahan gen pada reseptor ditambah kadar katekolamin serum
yang menetap.
b. Peningkatan aktivitas sistem renin angiotensin – aldosterion (RAA)
Produksi renin antara lain dipengaruhi oleh stimulus syaraf
simpatis. Renin berperan pada proses konversi angiotensin I menjadi
angiotensi II yang mempunyai efek vasokontriksi. Dengan adanya
angiotensin II sekresi aldosteron meningkat menyebabakan retensi
garam Natrium dan Air (Soenardi, &Soetardjo, 2005). Berikut efek
RAA:

35
 Secara langsung menyebabkan vasokontriksi tetapi juga
meningkatan aktivitas SNS dan menurunkan kadar prostaglandin
vasodilator dan oksitosin nitrat.
 Memediasi remodeling arteri (perubahan strukur pada dinding
pembuluh darah), dan
 Memediasi kerusakan organ akhir pada jantung (hipertrofi),
pembuluh darah dan ginjal
c. Defek pada transport garam dan air.
 Gangguan aktivitas pada natriuretik otak (brain natriuretik
peptide, BNF), pada atrial (atrial natriuretik peptide, ANF),
adrenomedulin, urodilatin, dan endotelin.
 Berhubungan dengan asupan diet kalsium, magnesium, dan
kalium rendah.
d. Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan fungsi
endotel.
 Hipertensi sering terjadi pada penderita diabetes, dan resistensi
insulin sitemukan pada banyak pasien hipertensi yang tidak
memiliki diabetes klinis.
 Resistensi insulin berhubungan dengan penurunan pelepasan
endotelial oksida nirat dan vasodilator lain serta mempengaruhi
fungsi ginjal.
 Resistensi insulin yang tinggi meningkatkan aktivitas SNS dan
RAA (Brashers 2008).
E. Pengobatan Hipertensi
Kelas obat utama yang digunakan untuk mengendalikan tekanan
darah adalah :
1. Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis.
Pengurangan volume plasma dan Stroke Volume (SV) berhubungan
dengan dieresis dalam penurunan curah jantung (Cardiac Output, CO)
dan tekanan darah pada akhirnya. Penurunan curah jantung yang utama

36
menyebabkan resitensi perifer. Pada terapi diuretik pada hipertensi
kronik volume cairan ekstraseluler dan volume plasma hampir kembali
kondisi pretreatment.
a. Thiazide
Thiazide adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi,
golongan lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah.
Penderita dengan fungsi ginjal yang kurang baik Laju Filtrasi
Glomerolus (LFG) diatas 30 mL/menit, thiazide merupakan agen
diuretik yang paling efektif untuk menurunkan tekanan darah.
Dengan menurunnya fungsi ginjal, natrium dan cairan akan
terakumulasi maka diuretik jerat Henle perlu digunakan untuk
mengatasi efek dari peningkatan volume dan natrium tersebut. Hal
ini akan mempengaruhi tekanan darah arteri. Thiazide menurunkan
tekanan darah dengan cara memobilisasi natrium dan air dari
dinding arteriolar yang berperan dalam penurunan resistensi
vascular perifer.
b. Diuretik Hemat Kalium
Diuretik Hemat Kalium adalah anti hipertensi yang lemah jika
digunakan tunggal. Efek hipotensi akan terjadi apabila diuretik
dikombinasikan dengan diuretik hemat kalium thiazide atau jerat
Henle. Diuretik hemat kalium dapat mengatasi kekurangan kalium
dan natrium yang disebabkan oleh diuretik lainnya.
c. Antagonis Aldosteron
Antagonis Aldosteron merupakan diuretik hemat kalium juga tetapi
lebih berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset aksi yang
lama (hingga 6 minggu dengan spironolakton).
2. Beta Blocker
Mekanisme hipotensi beta bloker tidak diketahui tetapi dapat
melibatkan menurunnya curah jantung melalui kronotropik negatif dan
efek inotropik jantung dan inhibisi pelepasan renin dan ginjal.

37
a. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan
kardioselektif pada dosis rendah dan mengikat baik reseptor β1
daripada reseptor β2. Hasilnya agen tersebut kurang merangsang
bronkhospasmus dan vasokontruksi serta lebih aman dari non
selektif β bloker pada penderita asma, penyakit obstruksi
pulmonari kronis (COPD), diabetes dan penyakit arterial perifer.
Kardioselektivitas merupakan fenomena dosis ketergantungan dan
efek akan hilang jika dosis tinggi.
b. Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol memiliki aktivitas
intrinsik simpatomimetik (ISA) atau sebagian aktivitas agonis
reseptor β.
3. Inhibitor Enzim Pengubah Angiotensin (ACE-inhibitor)
ACE membantu produksi angiotensin II (berperan penting dalam
regulasi tekanan darah arteri). ACE didistribusikan pada beberapa
jaringan dan ada pada beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada
prinsipnya merupakan sel endothelial. Kemudian, tempat utama
produksi angiotensin II adalah pembuluh darah bukan ginjal. Pada
kenyataannya, inhibitor ACE menurunkan tekanan darah pada
penderita dengan aktivitas renin plasma normal, bradikinin, dan
produksi jaringan ACE yang penting dalam hipertensi.
4. Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)
Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin-angiotensin
(termasuk ACE) dan jalur alternatif yang digunakan untuk enzim lain
seperti chymases. Inhibitor ACE hanya menutup jalur renin-
angiotensin, ARB menahan langsung reseptor angiotensin tipe I,
reseptor yang memperentarai efek angiotensin II. Tidak seperti
inhibitor ACE, ARB tidak mencegah pemecahan bradikinin.
5. Antagonis Kalsium
CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan
menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan sehingga
mengurangi masuknya kalsium ekstra selluler ke dalam sel. Relaksasai

38
otot polos vasjular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan
reduksi tekanan darah. Antagonis kanal kalsium dihidropiridini dapat
menyebbakan aktibasi refleks simpatetik dan semua golongan ini
(kecuali amilodipin) memberikan efek inotropik negative.
Verapamil menurunkan denyut jantung, memperlambat konduksi
nodus AV, dan menghasilkan efek inotropik negative yang dapat
memicu gagal jantung pada penderita lemah jantung yang parah.
Diltiazem menurunkan konduksi AV dan denyut jantung dalam level
yang lebih rendah daripada verapamil.
6. Alpha blocker
Prasozin, Terasozin dan Doxazosin merupakan penghambat
reseptor α1 yang menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vascular
perifer yang memberikan efek vasodilatasi. Kelompok ini tidak
mengubah aktivitas reseptor α2 sehingga tidak menimbulkan efek
takikardia.
7. VASO-dilator langsung
Hedralazine dan Minokxidil menyebabkan relaksasi langsung otot
polos arteriol. Aktivitasi refleks baroreseptor dapat meningkatkan
aliran simpatetik dari pusat fasomotor, meningkatnya denyut jantung,
curah jantung, dan pelepasan renin. Oleh karena itu efek hipotensi dari
vasodilator langsung berkurang pada penderita yang juga mendapatkan
pengobatan inhibitor simpatetik dan diuretik.
8. Inhibitor Simpatetik Postganglion
Guanethidin dan guanadrel mengosongkan norepinefrin dari
terminal simpatetik postganglionik dan inhibisi pelepasan norepinefrin
terhadap respon stimulasi saraf simpatetik. Hal ini mengurangi curah
jantung dan resistensi vaskular perifer .
9. Agen-agen obat yang beraksi secara sentral

39
F. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat diakibatkan oleh hipertensi adalah :
1. Stroke
Hipertensi dapat menyebabkan dua jenis stroke, yaitu stroke
iskemik dan hemoragik. Jenis stroke yang paling sering (sekitar 80 %)
adalah stroke iskemik (Williasms, 2007). Stroke Iskemik terjadi karena
pembuluh arteri tersumbat plak yang timbul karena tekanan darah tinggi
ataupun penumpukan lemak. Seorang pria yang menderita tekanan darah
di atas 170/100 mmHg, memiliki resiko stroke 3:1 dibandingkan wanita.
Tekanan darah diastol di atas 100 mmHg akan meningkatakan risiko
stroke 2,5 kali.
2. Penyakit Jantung
Penyakit ini terjadi akibat dari pembesaran oto jantung kiri
sehingga mengalami gagal Jantung. Pembesaran oto jantung terjadi
akibat upaya keras jantung untuk memompa darah.
3. Gagal Ginjal
Kerusakan pada ginjal diakibatkan oleh rusaknya pembuluh darah
di ginjal karena tingginya tekanan darah sehngga penurunan fungsi
ginjal jika terus menuerus berdampak pada gagal ginjal.
4. Kerusakan pada Mata
Pembuluh darah pada mata termasuk pembuluh darah yang lunak
dan resisten, jika terjadi tekanan darah yang tinggi mengakibatkan
kerusakan pembuluh darah dan saraf pada mata sehingga penglihatan
terganggu.

40

Anda mungkin juga menyukai