Anda di halaman 1dari 92

PERANG Asia-Pasifik atau Perang Dunia II menyisakan

berbagai kisah pilu bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bom


dan senjata yang meledak di berbagai penjuru negeri,
kemiskinan yang kian melesat bagai ular kobra yang sedang
mengejar santapannya, atau bahkan pendidikan yang begitu
menyusut hingga menyebabkan puluhan juta otak di negeri
ini menderita kebodohan.
Indonesia merupakan korban perang yang tengah
berkecamuk di antara negara-negara besar yang sedang
haus akan kekuasaan. Tahun 1943-1945, Perang Dunia II,
Jepang menduduki tempat kedua sebagai kekuatan militer
setelah Jerman. Pada saat itu, hubungan laut antara tentara
Jepang yang berada di Asia Tenggara dengan Jepang
menjadi sangat sulit. Akibatnya, para balatentara menjadi
kesulitan mendapat wanita penghibur dari Cina. Sebagai
gantinya, para gadis Indonesia dikirim ke garis depan
sebagai wanita penghibur.

1 |
Wanita penghibur atau yang dalam isilah Jepang
disebut Jugun Ianfu, merupakan bentuk penjajahan yang
secara nyata dialami oleh kaum wanita di Indonesia. Di
Indonesia sendiri, para perempuan direkrut secara paksa,
bahkan ada pula yang diiming-imingi dengan janji-janji
hidup yang enak, pendidikan yang layak, dijadikan pemain
sandiwara, dan sebagainya. Bahkan para tentara itu tak
segan-segan menculik dan memperkosa gadis-gadis tersebut
di depan keluarganya.
Praktek Jugun Ianfu yang terjadi di Indonesia
merupakan suatu kesengajaan atau bagian dalam rencana
menjaga keefektifan dan kinerja para tentara Jepang dalam
bertugas. Dimana kepuasan seks tentara akan mem-
pengaruhi kinerja para tentara Jepang dan apabila hal
tersebut tidak dituruti, maka para tentara Jepang akan
mengalami kemunduran—hal yang akan menghancurkan
reputasi Jepang dalam perang. Pengerahan Jugun Ianfu
yang diartikan sebagai “budak seks” dilakukan secara gelap,
di bawah tangan. Sistem rekrutmen yang tertutup ini tidak
menggunakan pengumuman resmi. Pemerintah militer
Jepang menggunakan bantuan pejabat daerah seperti lurah,
camat, atau melalui tipu daya muslihat mereka yang begitu
tak kasat mata. Mereka menawarkan, bahkan memaksa agar
perempuan-perempuan belia ini bersedia ikut dalam
program pengerahan tenaga kerja, di samping dengan
ancaman juga dengan mendekati keluarga yang diincar.
Kaum perempuan yang menjadi Jugun Ianfu pastinya
memiliki pendidikan yang cukup rendah, bahkan ada yang

2 |
tidak berpendidikan sama sekali, dan buta huruf. Selain
kebodohan yang dimilikinya, mereka juga berada dalam
jeratan ekonomi yang membelit. Kebodohan dan
kemiskinan membuat mereka percaya begitu saja pada
tawaran kerja yang cukup menjanjikan yang tidak
membutuhkan keahlian khusus seperti pambantu rumah
tangga, pelayan restoran, atau pekerjaan apa saja yang
hanya membutuhkan tenaga.
Kebanyakan kaum Jugun Ianfu dapat digolongkan
sebagai perempuan yang berasal dari keluarga baik-baik. Di
antara mereka ada yang masih gadis, bahkan ada yang di
bawah umur, serta ada juga yang sudah bersuami dan
mempunyai anak. Akan tetapi, ancaman pihak militer
Jepang yang kejam yang memiliki kekuatan senjata,
membuat mereka takut menolak atau melarikan diri pada
saat mereka sampai pada suatu tempat yang penuh dengan
penderitaan fisik dan batin. Penguasa militer Jepang
mendirikan tempat-tempat yang dihuni Jugun Ianfu di setiap
wilayah komando militer dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya pemerkosaan oleh tentara Jepang terhadap
penduduk lokal, menjaga moral tentara Jepang serta
mencegah penyakit kelamin yang akan melemahkan
kekuatan militernya. Para perempuan yang dijadikan Jugun
Ianfu dimasukkan ke dalam rumah bordil ala Jepang yang
disebut Ian-jo, antara lain terdapat di bekas asrama
peninggalan Belanda, markas militer Jepang dan rumah-
rumah penduduk yang sengaja dikosongkan. Tempat-
tempat itu biasanya dijaga ketat oleh tentara Jepang. Setiap

3 |
perempuan di Ian-jo biasanya mendapatkan kamar dengan
nomor kamar, bahkan namanya diganti dengan nama
Jepang seperti yang dituliskan di pintu kamar.
Kejadian ini terus menerus berakar hingga tak dapat lagi
terhitung bagaimana nasib wanita-wanita yang menjadi
korban balatentara Jepang yang keji itu. Kisah ini terjadi di
seluruh pelosok Indonesia. Di Batavia, Ian-jo yang pertama
kali dibangun di Indonesia memiliki kisah yang paling
memilukan sepanjang sejarah. Awal tahun 1944 hingga kini,
sekitar tujuh puluh dua tahun yang lalu, puncak dari
kekejaman terhadap wanita-wanita tersebut bermula.

4 |
JAKARTA, 04 Januari 2016.
“Nyonya, mereka semua telah berdiri di depan
gerbang.” Kata wanita muda yang sejak sembilan tahun lalu
menjadi pelayan di rumah tua itu.
“Mereka? Siapa?” Tanya Zizka dengan tatapan bingung,
tak mengerti maksud wanita tersebut.
“Siapa lagi? Wartawan-wartawan itu, yang sudah
menerima janji Anda beberapa hari yang lalu.” Jelasnya
sambil menuangkan teh hangat ke cangkir kecil yang telah
sekian lama menemani Zizka menghabiskan masa tuanya.
“Oh,” Zizka mengangguk kecil, “suruh saja mereka
masuk. Eh, tidak. Maksudku salah satu dari mereka saja.”
Dia kemudian meneguk teh hangat tersebut sekali, lalu
menyapu-nyapu kecil pakaian putih kusam yang dia
kenakan.
Wanita tersebut kemudian membalikkan badan,
berjalan ke arah pintu dan meraih gagangnya yang
berwarna perak, lalu menarik gagang tersebut ke bawah
5 |
hingga pintu cokelat yang menjadi batas ruangan ini dan
ruangan di sebelahnya terbuka dengan sempurna. Setelah
itu, dia kembali menutup pintu cokelat tersebut rapat-rapat.
Sekitar lima menit kemudian, seorang wanita lain yang
berseragam hitam, membawa sebuah perekam suara di
tangan kirinya, serta beberapa lembar kertas dan sebuah
balpoin di tangan yang satunya lalu masuk ke ruang
bernuansa abu-abu ini.
“Selamat pagi, Anda dengan Nyonya….?” Sapa wanita
tersebut dengan penuh sopan santun—badannya dibung-
kukkan dan sebuah senyum simpul tertera dengan mantap
di bagian bawah wajahnya. Belum juga pertanyaannya
selesai, Zizka segera memotongnya.
“Iya,” Zizka balas tersenyum, “silahkan duduk.” Dia
menunjuk sebuah sofa hitam yang berada persis di hada-
pannya.
Wanita itu duduk dengan paha yang ditekuk rapat.
Menghembuskan nafas perlahan, lalu menatapnya lekat.
“Silahkan tanya apapun yang ingin Anda ketahui.”
Zizka yang mengerti kemana arah pembicaraan akan
berjalan lalu mulai membuka percakapan.
“Pertama-tama perkenalkan, namaku Gaby. Aku se-
orang wartawan yang dikirim untuk mengais berita pada
zaman kolonial.” Dia berhenti sejenak. “Aku dengan Anda
dulu merupakan, maaf, seorang wanita pelayan para
balatentara Jepang. Aku hanya ingin mendengar cerita dari
Anda. Apa saja yang ingin Anda ceritakan.” Sambungnya.
Dia lalu mengarahkan pandangannya ke seluruh penjuru

6 |
ruangan ini, lalu kembali menatap Zizka, dan tersenyum
simpul.
Zizka menghembuskan nafas perlahan, agak sedikit ragu
untuk menceritakan permintaan wanita yang tengah duduk
di sofa hitam persis di hadapannya itu.
“Apa Anda tidak keberatan untuk menceritakannya,
Nyonya?” Tanya wanita itu meyakinkan.
Zizka tersenyum, mengangguk. Siap untuk men-
ceritakan segala yang terjadi di masa lalunya, masa yang
lebih tepat disebut sebagai neraka.
“Huh,” Zizka menghembuskan nafas sekali lagi, lalu
berdiri dan berjalan ke arah sebuah lemari yang terletak di
sudut ruangan. Dia mengambil sebuah buku berwarna
hitam dengan sampul yang bertuliskan „Jugun Ianfu’.
Setelah itu, dia kembali ke kursi malasnya yang terletak
persis di hadapan wartawan tersebut. Sekejap kemudian,
Zizka sudah tenggelam dalam ceritanya sendiri.

***

Aku Geulis, gadis asli pribumi yang berumur 18 tahun. Kata


orang-orang, aku memiliki paras yang begitu cantik. Tak
jarang aku sering digoda oleh para pemuda yang sering
bertengger di pinggir jalan ketika sedang berjalan sendirian.
Aku hidup di keluarga yang biasa-biasa saja. Ayahku
seorang peternak di ladang seorang juragan keturunan
Jepang, sedangkan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga
yang mengasuhku dan keempat adikku yang masih kecil-
kecil. Aku tinggal di sebuah desa yang tidak jauh dari kota

7 |
Batavia. Sebuah desa yang asri dan damai, tak pernah
tersentuh sedikit pun oleh tangan nakal para penjajah yang
rakus. Tapi, hari itu, semuanya berbeda. Betul-betul
berbeda.
Tujuh puluh dua tahun lalu, tepatnya pada hari Kamis.
Siang itu udara begitu panas. Matahari nampaknya tak ingin
bersembunyi di balik awan barang sedetik pun. Seperti hari-
hari biasanya, aku tidak memiliki pekerjaan di waktu siang
bolong seperti ini. Aku duduk melongo di serambi rumah,
entah apa yang sedang ada dipikiranku. Sesekali aku
mengibaskan tanganku ke udara, ke arah wajahku. Keringat
sedikit demi sedikit bercucuran dari pelipisku. Karena tak
tahan dengan udara di luar yang begitu panas, aku
memutuskan untuk masuk ke rumah. Aku pun bangkit dari
kursi rotan yang kududuki sejak tadi. Namun belum sempat
aku memalingkan badan, terlihat seseorang yang berlari ke
arahku. Tidak perlu heran, orang tersebut merupakan
ayahku. Kelihatannya ia baru saja pulang dari rumah
juragan Tou-Chi, seorang juragan ternak di desaku. Ayah
berlari dengan begitu tergesa-gesa, di wajahnya tergambar
dengan begitu jelas betapa paniknya dia.
Baiklah, apa gerangan yang terjadi? Batinku. Aku selalu
merasa takut ketika melihat ayah berlari seperti itu setiap ia
pulang kerja. Sungguh, aku tak ingin ini menjadi yang
terakhir kalinya aku duduk santai di teras rumahku. Aku
cinta keluargaku.
Kini ayah telah berdiri di hadapanku. Ia menatapku
lekat penuh arti. Aku tahu apa artinya ini, aku sudah

8 |
diperingatkan akan hal ini sejak jauh-jauh hari. Dan hari ini,
semuanya betul-betul terjadi. Kami berdua menangis sejadi-
jadinya. Ayah memelukku. Selang beberapa menit, ibu
menunjukkan batang hidungnya, berdiri di sampingku lantas
bertanya-tanya ada apa. Ibu menutup mulut dengan kedua
tangannya setelah ayah menjelaskan secara kronologis
kejadian yang menimpa kami di hari itu, seakan tak percaya
dengan kenyataan yang harus kami jalani. Ibu mengamuk,
tak rela. Beberapa detik setelahnya, ibu terjatuh tak
sadarkan diri.
Hatiku seakan tertancap ribuan anak panah. Aku tak
menyangka betapa kejinya mereka. Ayahku bekerja bukan
untuk menjual diriku, ia bekerja untuk menafkahi kami.
Penipu besar! Ternyata semua buah bibir yang melalu-
lalang di kedua telingaku adalah benar. Aku menyesal,
sungguh. Sebenarnya akulah yang memaksakan kehendak
agar ayah bekerja di tempat Tuan Tou-Chi ketika anak
buahnya mempromosikan pekerjaan yang lumayan itu.
Mereka datang ke rumah kami dengan wajah yang begitu
manis. Tawaran-tawaran yang mereka berikan dengan nada
bicara yang sangat bersahabat tidak akan sudi ditolak oleh
siapapun.
Pukul empat sore, sebuah mobil mewah zaman kolonial
terparkir tepat di depan rumah kami. Aku berniat untuk
mengintip siapa gerangan yang datang. Baru saja aku
mengibas gorden, pundakku ditarik paksa oleh ayah. Ia
menarik lenganku dan membawaku ke kamar. “Kau tetap di
sini, jangan berani keluar bahkan untuk sekedar mengintip,

9 |
paham?” Ayah sepertinya berusaha untuk menyembunyikan
aku. Aku hanya mengangguk. Paham atau tak paham, ini
semua demi kebaikanku.
Ayah keluar dari kamar, lalu mengunci kamar ini dari
luar. Aku hanya bisa terdiam, tak tahu lagi bagaimana
nasibku setelah ini. Aku dapat mendengar dengan jelas
kegaduhan yang terjadi di luar. Kursi-kursi dibanting, meja
ditendang dengan keras, perabotan-perabotan dilempar ke
dinding rumah hingga roboh. Orang-orang Jepang yang keji
itu mencariku. Aku menangis ketakutan, aku tak ingin pergi
dengan mereka. “Di mana anak gadismu yang cantik itu?”
Teriak salah satu dari mereka. “Kau tidak punya hak untuk
mengambilnya, dia anakku.” Balas ayahku dengan nada
suara yang tinggi. “Memangnya kau siapa? Berani-
beraninya membantah perintah tuan kami. Kau ini sudah
diberi nafkah olehnya, sekarang kau harus menuruti apa
yang diinginkannya.” Satu pukulan melayang. Aku dapat
mendengar jeritan ayah dari sini, ia kesakitan. Kalau aku
terus berada di sini, ayahku bisa mati dikeroyok di luar sana.
Aku harus menyerahkan diri. Ya, itulah satu-satunya pilihan.
Aku membulatkan tekad. “Bismillah…” Aku melangkah
dengan sedikit ragu. Sekarang aku berdiri kurang lebih
setengah meter dari pintu. “Hei, aku di sini. Berhenti
menyakiti ayahku.” Seketika, sebuah dobrakan dari luar
mengejutkanku. Pintu kamar yang terbuat dari tripleks
roboh ke lantai.

10 |
“Geulis, kenapa kau…?” Ayah yang tergeletak lemah di
lantai menatapku tak percaya dengan apa yang baru saja
kulakukan.
Aku duduk ketakutan memeluk lututku dan menangis.
Tiga orang Jepang yang sejak tadi memberontak tersenyum
puas. Mereka lalu menyeretku paksa untuk masuk ke
mobilnya. “Kau benar-benar manis, gadis kecil.” Salah satu
dari mereka memegangi daguku dan tertawa—yang lebih
tepat dikatakan penghinaan. Aku menangis dan terus
menangis. Perlahan, mobil ini menjauhi rumahku yang
setengah hancur. Aku terus menatap ayah dengan luka-luka
di badannya, serta ibu yang berlutut sambil menangis
kencang di depan rumah. Aku pasrah, aku menyayangi
mereka berdua. Adik-adikku? Aku tahu pasti, ayahku telah
menyembunyikan mereka semua. Aku bernapas lega,
semoga mereka berempat baik-baik saja.
Aku memberontak di dalam mobil. Siapa yang sudi
dibawa oleh tentara-tentara Jepang yang super keji ini. aku
tak tahu akan dibawa kemana, aku juga tak tahu akan
diapakan setelah ini. “Aku ingin pulang. Siapa kalian?
Kalian jahat.” Aku berteriak sekencang mungkin, namun tak
satu pun dari mereka yang menggubris teriakanku.
Mobil ini melaju kencang, menerobos tiap jalan setapak.
Setiap mil aspal disapu rata oleh keempat rodanya. Mobil ini
merupakan mobil yang termewah di zamannya. Tak butuh
waktu satu jam, kami sudah berada tepat di depan sebuah
rumah yang tidak terlalu megah. Aku diseret turun dari
mobil. Meskipun mengamuk, tapi tenagaku tak cukup kuat

11 |
dibanding dengan dua orang dewasa yang memegang erat
kedua lenganku.
Aku menatap bangunan yang berada di hadapanku.
„Ian-jo’ itulah yang tertera pada bagian tengah bangunan ala
Belanda tersebut. Berwarna putih bersih—sepertinya baru
saja selesai dicat. Pagarnya tidak terlalu besar, tapi dijaga
oleh seseorang yang berseragam. Orang tersebut me-
ngangkat tangan kanannya di udara, menyentuh bagian
atas dahinya—seperti sebuah penghormatan, yang me-
nandakan bahwa pangkatnya lebih rendah dibanding
orang-orang yang menyeret kedua lenganku. Setelah kami
masuk, pagar ditutup kembali. Kami kemudian masuk ke
dalam bangunan tersebut yang lagi-lagi dijaga ketat oleh
orang-orang berseragam—yang juga melakukan peng-
hormatan seperti yang sebelumnya. Ruangannya gelap,
pengap, cahaya yang ada hanyalah yang berasal dari
ventilasi ruangan yang begitu kecil. Aku mulai mengira-
ngira, tempat apa sebenarnya ini?
Masih dalam keadaan diseret paksa, aku dan beberapa
orang yang mengawalku seperti seorang buronan memasuki
ruangan yang dibatasi oleh pintu raksasa berwarna putih.
Ketika ruangannya dibuka, tampak seorang wanita
berpakaian seksi dengan make-up yang cukup menor di
wajahnya. Ia menyambutku dan tersenyum. “Hai, gadis
manis. Panggil aku, Nyonya Lina.” Nada suaranya ramah,
namun tatapannya tajam dan tidak bersahabat. “Segera
bawa anak itu ke ruang 01 Ian-jo.” Perintah wanita tersebut
kepada orang-orang Jepang ini. Mereka kemudian

12 |
menyeretku dengan paksa menuju tempat yang diminta
oleh wanita tersebut.
Ketika sampai di tempat yang diperintahkan, aku pun
didorong paksa ke dalam. Tubuhku terbentur ke dinding
ruangan akibat dorongan yang cukup keras. Sudah ada
belasan gadis lain di ruangan ini. Aku berteriak menangis,
selain karena kesakitan akibat benturan tadi, aku juga
ketakutan. Orang-orang Jepang itu kemudian menutup
ruangan ini rapat-rapat. Di sini gelap, lebih gelap dibanding
yang tadi, dan juga pengap, bahkan sangat pengap.
Keringat bercucuran sedikit demi sedikit melewati pelipis
hingga leherku bak sungai kecil.
Malam hari, ruangan jadi makin gelap. Wanita
berbedak tebal tadi kemudian membuka pintu seraya
menghantamkan sebuah balok ke lantai. Tiga orang dari
kami diseret keluar dari kamar pengap tersebut, salah
satunya adalah aku. Aku kemudian diperintahkan untuk
membersihkan diri. Setelah itu, aku dilemparkan sebuah
gaun yang harus kupakai dengan rapi selama satu menit.
Aku yang tidak tahu sama sekali mengenai pakaian tersebut
hanya diam. Wanita tersebut marah, balok yang tadi
dibanting di depan pintu kemudian mendarat lepas di
pahaku. Aku hanya menangis. Aku kemudian berusaha
mengenakan pakaian tersebut sebisaku. Setelah terpasang
rapi, aku diminta untuk duduk di depan cermin besar.
Wajahku lalu dipolesi berbagai macam kosmetik yang tak
pernah kugunakan sebelumnya. Aku merasa risih, ingin

13 |
menolak, tapi aku tak sanggup membayangkan bagaimana
balok itu akan menghantam pahaku lagi.
Setelah aku tampak cantik dengan berbagai polesan
mewah di wajahku, aku diperintahkan untuk keluar
melayani beberapa tamu pria. Aku yang masih polos dan
belum mengerti apa-apa hanya mengangguk karena takut
akan ancaman yang diberikan. Aku mengerjakan apa saja
yang diperintahkan. Hingga ketika aku diminta untuk masuk
ke dalam kamar dan seorang pria berumur kisaran 27 tahun
menunggu di sana, aku perlahan mulai mengerti. Saat itulah
aku tahu tempat ini. Namanya Ian-jo, tempat yang paling
nista di seluruh Batavia. Aku lalu melarikan diri dari kamar
tersebut. Wanita tadi kemudian menghadangku dengan
balok yang berada di tangannya. Aku berteriak, menangis.
Disamping itu, pukulan, tamparan, bahkan jambakan terus
menghantamku hingga aku tak sadarkan diri.
Keesokan harinya, aku membuka mataku. Ruangan ini
masih tampak gelap walaupun hari sudah pagi. Cahaya
matahari hanya bisa masuk lewat ventilasi-ventilasi ruangan
yang begitu kecil. Aku meringis kesakitan. Pahaku
memerah, bengkak. Wajahku lebam. Seorang gadis yang
berusia sekitar 18 tahun menghampiriku. Namanya Xie
Fing. Seorang gadis keturunan Tionghoa yang lahir di
Indonesia. Sama sepertiku, dia merupakan anak gadis yang
direnggut dari kedua orang tuanya. Wajahnya begitu pucat,
seperti tidak makan berhari-hari.
“….aku berasal dari Banten. Ayahku seorang supir yang
dipekerjakan oleh orang-orang Jepang. Ketika kami

14 |
sekeluarga sedang duduk santai di dalam rumah, tiba-tiba
sebuah ketukan mengejutkan kami. Ternyata itu merupakan
atasan ayahku. Ia datang bersama beberapa orang tukang
pukul. Aku ditarik paksa, dipukul, dibentak, disuruh diam.
Aku harus ikut bersama mereka. Aku kemudian dibawa
mereka ke sebuah pelabuhan, diseret masuk ke dalam kapal
yang kelihatannya menyeramkan. Aku sama sekali tidak
tahu apa yang akan terjadi denganku. Di dalam kapal aku
juga melihat beberapa gadis lain sepantaran denganku.
Kapal tersebut berlayar menuju ke Batavia, dan tibalah aku
di tempat ini, sebuah neraka yang bahkan tak pernah
terpikir olehku untuk menginjaknya.
“Mereka semua kejam, tak punya hati. Aku sudah di sini
selama tiga hari. Aku sangat merindukan ayah ibuku.” Fing
bercerita dengan tatapan kosong.
Aku tidak menjawab, aku hanya menyimak dengan baik
setiap kalimat yang diucapkannya. Mulutku masih terlalu
sakit untuk berbicara sekalipun.
“Siapa namamu?” Tanya Fing.
“Geulis.” Jawabku singkat, yang diiringi oleh sebuah
senyum persahabatan.
Sejak saat itu, aku dan Fing menjadi teman dekat. Tapi
pertemanan kami tidak berjalan lama setelah Fing menyerah
untuk tinggal di kamar pengap ini.
Setiap malam, wanita berbedak tebal tersebut
mengunjungi kami. Dia memiliki beberapa aturan yang
cukup untuk membunuh kami secara perlahan. Kami berada
di sini untuk dijadikan ‘Jugun Ianfu’ atau „budak seks‟. Jadi,

15 |
kami harus melayani para om-om, pria-pria, maupun kakek-
kakek yang berduit sepanjang malam. Apabila kami tak
ingin melakukannya atau dengan kata lain membantah
aturan main yang ada di Ian-jo ini, kami akan tetap berada
di kamar pengap ini hingga beberapa dari kami mati
kelaparan. Setiap hari, jatah makan akan berkurang
setengahnya.
Tak sedikit dari kami menyerah dengan keadaan.
Mereka tak tahan dengan siksaan fisik dan batin yang
diberikan oleh manusia-manusia keji tersebut. Mereka
menyerahkan keperawanannya dan menjadi seorang Jugun
Ianfu.
Awalnya aku juga tak ingin melakukan perbuatan nista
tersebut. Namun, keadaan memaksaku melakukannya. Aku
sudah bertahan di kamar pengap ini selama sebulan lebih
dengan jatah makan dan minum berkurang setengah setiap
harinya. Aku dan beberapa gadis lain yang masih bertahan
sudah seperti binatang buas kelaparan yang sedang berebut
makanan. Tapi, hari ini aku menyerah. Seminggu kemudian
setelah Fing menyatakan dirinya sebagai Jugun Ianfu, aku
menyusulnya.
Dengan berbagai pertimbangan aku mengacungkan jari
tanda menyerah ketika wanita berbedak tebal itu membuka
kamar pengap tersebut. Sejak malam itu aku pun resmi
menjadi seorang Jugun Ianfu.
Aku telah kalah dalam permainan manusia-manusia keji
tersebut. Awalnya aku sangat tersiksa dengan menjadi
seorang wanita pelayan. Akan tetapi perlahan aku mulai

16 |
bisa terbiasa. Aku menyesuaikan diri dengan begitu cepat.
Jika aku tidak bekerja dengan bersungguh-sungguh, maka
aku akan segera dikembalikan ke kamar pengap tersebut.
Aku kemudian dibimbing oleh wanita yang beberapa hari
lalu menyiksaku habis-habisan. Dia mengajariku cara
berdandan hingga berpakaian dengan seksi.
Hari pertama aku menjadi seorang Jugun Ianfu, aku
masih mencoba memasang senyum yang agak masam
menurutku. Setelah rapi dengan pakaian tanpa lengan yang
melekat erat di sekujur tubuhku, aku kemudian diminta
untuk berdiri sambil memasang jejeran gigi kepada para
tamu-tamu yang berdatangan. Jijik? Tentu. Aku tidak
sedang melayani pria-pria seusiaku atau usianya hanya
berbeda sedikit denganku, namun aku memberikan seluruh
malamku kepada pria-pria yang usianya jauh lebih tua
dariku. Mereka berdatangan satu per satu, memenuhi ian-jo
yang penuh gemerlap cahaya di malam hari. Minuman-
minuman keras tersedia lengkap di atas meja bulat besar
yang terletak persis di tengah ruangan. Musik yang
membuat telinga berdengung merambat ke seluruh sudut-
sudut ruangan. Wanita-wanita bersama tamu-tamu yang
lain berjoget sambil menggoyang-goyangkan kepala mereka.
Beberapa lama setelah aku berdiri mematung di pintu
masuk, seorang pria menghampiriku. “Hei, manis.” Dia
mengedipkan salah satu matanya, “kau tidak akan menik-
mati malam yang indah ini jika hanya terus berdiri di sana.”
Dia mendekatkan tubuhnya ke arahku, menggengggam erat
pergelangan tanganku.

17 |
Aku mencoba melepaskan genggaman orang tersebut,
namun aku tak punya tenaga yang cukup. Aku meronta
kecil, tapi aku sekali lagi memikirkan wajah mengerikan
Nyonya Lina kalau tahu aku bekerja dengan tidak becus.
Dengan sangat terpaksa, aku mengikuti nafsu pria belang
tersebut. Dia menggandengku menyusuri koridor-koridor
gelap, menjauhi kebisingan yang terjadi di ruang tengah ian-
jo.
Dia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu
yang dicat putih, lalu meraba saku celananya, mencoba
mengambil sebuah benda kecil. Tak lama kemudian, benda
yang dicarinya sejak tadi kini telah bertengger mantap di
jari-jarinya—sebuah kunci. Aku mulai panik, berusaha
sekuat tenaga melepaskan diri, tapi hasilnya nihil. Pria
tersebut masih menggenggam tanganku dengan sangat erat.
Dia kemudian memboyongku menuju ke kamar yang telah
tersedia, lalu pintu tersebut ditutup rapat-rapat, bahkan
dikunci. Tubuhku kemudian dihempaskan dengan kasar ke
tempat tidur. Pria tersebut tertawa, wajahnya begitu penuh
dengan nafsu. Aku ketakutan, menangis, dan menutup
wajah. Pria tersebut berjalan ke arahku. Dia tersenyum,
begitu licik dan bengis, merasa dirinya sebagai orang yang
paling beruntung sedunia. Begitu tiba di hadapanku, dia
menatapku penuh arti. Dia kemudian duduk di sampingku,
meraba wajahku dengan satu sentuhan. Aku memejamkan
mata, ingin berteriak tapi sepertinya tak berguna karena tak
akan ada orang yang menolongku. Jari-jarinya merayap
bagai seekor cicak menelusuri hidung, bibir, dan berhenti

18 |
sejenak di daguku untuk mengangkat wajahku ke atas. Jari-
jarinya terus berjalan, menuruni leherku dengan sapuan
tangan kasar yang terlalu sering menyentuh tubuh wanita.
Aku tak tahan, aku kembali menangis dan berteriak.
Tapi, sekali lagi, hal itu percuma. Tangannya lalu
menerobos masuk ke dalam gaunku dan membuatku sedikit
terkejut lantas mendorongnya ke depan. Aku menoleh ke
arahnya, wajahnya begitu menunjukkan kemurkaan. Dia
kemudian berjalan mendekatiku, menggeram kedua
pundakku dengan keras, dan sejak itu gerakannya jauh lebih
cepat. Pria tersebut kemudian melepas kancing gaunku
dengan begitu gesit. Aku tak bisa menahannya, apalagi
mencoba melarikan diri. Gerakannya memperlihatkan
sejenis nafsu yang rakus, tangannya merayap ke sana ke
mari bagai babi yang baru diberi makan selama seminggu.
“Kau gadis yang cukup menyenangkan.” Dia menghen-
tikan permainannya sebentar dan menatapku seperti
tatapan seekor buaya kepada mangsanya.
Aku tidak menggubris perkataannya, aku terlalu takut.
Pria tersebut lalu bangkit berdiri, memperbaiki posisi
pakaiannya. Setelah itu, dia membuka dengan pelan satu
per satu kancing bajunya hingga tak satu pun pakaian yang
terpasang di tubuhnya. Itu sungguh menggelikan. Dia
kemudian loncat ke arahku, mengangkat, dan membaring-
kanku ke tengah-tengah tempat tidur, lalu membuka gaun
yang kukenakan dengan paksa. Dia menjatuhkan diri-nya
ke tubuhku. Kemudian pria tersebut langsung menyerangku
dengan ganas, tanpa basa-basi, sementara aku mencoba

19 |
memejamkan mata, menangis. Aku merasakan kegelian
yang sungguh luar biasa, sebab bagaimanapun ini kali
pertamaku disentuh oleh seorang pria. Kenyataannya, aku
tak sungguh-sungguh dapat memejamkan mata, karena pria
tersebut menggoncang tubuhku dengan begitu liar. Satu-
satunya yang dapat kulakukan adalah menghindar ketika
pria belang itu ingin mencium bibirku. Aku berteriak sekali
lagi dengan begitu kencang. Dia terkejut, melepaskan
pegangannya dari tubuhku, menjatuhkan dirinya ke tempat
tidur—tepat di sampingku—dengan napasnya yang ter-
senggal-senggal.
Aku bangun, berlari menuju ke sudut ruangan sambil
meraih gaunku yang dilempar sembarangan oleh pria
tersebut. Dengan tangis yang begitu terisak-isak, aku me-
ngenakan gaunku. Aku menatap pria itu, sepertinya dia
kehabisan tenaga. Aku lalu mengalihkan pandanganku ke
pintu yang dicat putih, terlihat kunci bergelantungan di sana.
Tanpa berpikir panjang, aku berlari menuju pintu tersebut.
Memutar kuncinya, lalu berlari sekencang mungkin
meningggalkan kamar itu bagai singa yang melarikan diri
dari kandang sirkus.
Setibanya aku di ujung koridor, tampak Nyonya Lina
sedang memperhatikanku dengan tatapan tajamnya yang
khas. “Kau telah bekerja dengan cukup baik malam ini,
meskipun tidak maksimal. Tapi, setidaknya tamuku telah
merasa agak puas.” Dia memegangi pundakku, lalu segera
beranjak meninggalkanku.

20 |
Aku menyandarkan tubuhku ke dinding koridor, mere-
nungi apa yang telah terjadi padaku beberapa menit yang
lalu. Ya, Tuhan, apa aku sudah benar-benar kotor? Aku
bertanya-tanya kecil dalam hati. Aku tertunduk, merasa
tidak becus menjaga diriku sendiri. Tak terasa, bulir-bulir air
menetes dari kedua kelopak mataku. Setelah lelah meng-
habiskan air mata, aku pun memutuskan untuk kembali ke
kamar baruku untuk beristirahat.
Keesokan harinya, aku menjalani hari-hari seperti
malam sebelumnya. Berdiri mematung sambil memasang
senyum termanis di pintu masuk, melayani pria yang
datang, lalu menyesali apa yang telah kuperbuat. Namun,
beberapa hari kemudian aku sudah agak terbiasa dengan
keadaan ini. Aku mulai menjalani semuanya tanpa pernah
lagi menyesalinya, apalagi menangisinya.
Aku telah melayani beberapa pria. Tidak butuh waktu
lama, namaku menjadi buah bibir di Ian-jo. Parasku
memang cantik, aku bahkan bisa dengan mudah
mengalahkan gadis-gadis Cina yang menjadi favorit di sana.
Ketika umurku menginjak 19 tahun, aku bunting. Aku
terkejut dengan apa yang baru saja kuketahui. Aku
kemudian menyembunyikan berita tersebut dari siapapun,
termasuk dari wanita berbedak tebal yang akrab disapa
Nyonya Lina. Tapi ternyata aku tidak pandai dalam
menyembunyikan rahasia. Berita tentang kehamilanku
melesat cepat hingga ke telinga Nyonya Lina. Dia kemudian
mendatangiku dengan wajah yang begitu garang.
Memintaku untuk segera menggugurkan bayinya atau

21 |
mengembalikanku ke kamar pengap yang telah diisi oleh
beberapa gadis baru yang jauh lebih muda. Aku menolak
menggugurkannya karena aku tahu bayi ini tidak memiliki
salah apapun. Aku sadar harus memperjuangkan bayi ini.
Aku kemudian melarikan diri ketika Nyonya Lina dan yang
lainnya sedang sibuk dengan pesta tahunannya.
Mengetahui bahwa aku telah berhasil kabur, Nyonya
Lina marah besar. Dia memerintahkan semua anak
buahnya untuk mencariku ke berbagai pelosok negeri.
Namun untunglah, mereka tidak berhasil menemukanku.
Entah bagaimana nasib anak buah Nyonya Lina tersebut,
mungkin mereka sudah mendapatkan cambukan-cambukan
dari wanita berbedak tebal yang mereka agung-agungkan
itu.
Aku pergi menjauh sejauh-jauhnya. Aku terus berlari.
Aku tidak tahu sedang berada di mana, namun aku dapat
memastikan bahwa ini bukan lagi Batavia. Napasku
tersenggal, kakiku terasa seperti akan patah, tubuhku kotor
dan bau. Aku beristirahat sejenak di bawah pohon,
merenungkan kehidupanku yang begitu rusak parah. Sudah
dua tahun aku tidak melihat kedua orang tua dan adik-
adikku. Sudah dua tahun pula tubuhku telah disentuh oleh
lelaki-lelaki Jepang maupun pribumi. Dan sekarang, di
usiaku yang masih sangat muda, aku telah mengandung
seorang bayi yang tidak kuketahui siapa ayahnya. Aku
mungkin saja menebak di antara ratusan orang yang telah
kulayani sepanjang malam, namun peluangnya terlalu kecil.

22 |
“Allahu akbar… allahu akbar…” Lamunanku kemudian
dibuyarkan oleh suara adzan. Aku tersentak, sudah
bertahun-tahun aku tidak melaksanakan salat. Sudah
bertahun-tahun aku tidak mendengarkan panggilan ibadah
yang dulu tak pernah kulewatkan. Aku kemudian bangkit
mencari sumber suara tersebut. Setelah berjalan beberapa
meter, aku akhirnya menemukan bangunan masjid yang
sangat aku rindukan bentuk maupun isinya. Aku
mempercepat langkahku. Namun, baru saja aku ingin
menginjakkan kaki di bangunan suci itu, sebuah papan yang
bertuliskan „batas suci‟ mengiris hatiku. Mana mungkin aku
boleh masuk ke dalam bangunan suci ini disaat aku sadar
kalau aku merupakan manusia yang begitu kotor? Aku
bergumam dalam hati. Aku kemudian membatalkan niat
untuk masuk ke dalam. Aku pun hanya memandang orang-
orang yang melaksanakan ibadah dari luar. Air mataku
menetes. Manusia macam apa aku ini. Bagaimana mungkin
aku bisa melupakan penciptaku di saat aku sedang asik
dengan pria-pria kaya yang mengantri untuk kulayani.
“Hei.” Seseorang menepuk pundakku.
Aku terkejut. Aku spontan menoleh, memastikan kalau
tepukan itu bukanlah dari orang Jepang suruhan Nyonya
Lina.
“Kau kenapa sangat terkejut?” Tanya orang itu.
“A..anu.. tidak apa-apa.” Aku sedikit bernapas lega.
Orang itu ternyata bukanlah suruhan Nyonya Lina. Dia
mengenakan baju putih dan sebuah sujadah di lengannya.

23 |
“Sejak tadi aku memandangimu. Mengapa kau tak
masuk saat salat dimulai, padahal kau telah berdiri di sini
sejak tadi.” Tanyanya dengan raut wajah yang cukup serius.
Sepertinya dia merupakan orang yang sangat taat
beragama. “Oh, iya, namaku Faiz. Orang asli pribumi.” Dia
mengulurkan tangannya ke arahku.
“Geulis.” Aku mengulurkan tangan dan memberikan
senyum tipis.
Tak lama berbincang, Faiz meminta izin untuk pamit.
Hari sudah hampir gelap. Ketika dia menanyakan kemana
aku akan pergi, aku menggeleng. Aku sama sekali tak tahu
kemana tujuanku. Aku hanya terus berlari menghindari
orang-orang Jepang suruhan Nyonya Lina. Dia kemudian
menawarkanku sebuah tempat tinggal. Awalnya aku tidak
terlalu yakin, kami bahkan baru berbicara satu sama lain
beberapa menit yang lalu. Namun sepertinya Faiz tidak
mempedulikan hal tersebut, dia sama sekali tidak memiliki
prasangka buruk terhadapku. “Niatku hanya ingin
menolong.” Katanya sambil melengkungkan senyum di
bibirnya. Selidik punya selidik, ternyata ayah Faiz
merupakan seorang juragan tanah di desanya yang memiliki
banyak rumah kosong. Karena sudah tak tahu lagi harus ke
mana, aku kemudian menerima tawaran Faiz.
Aku dan Faiz berjalan menuju tempat yang dimaksud.
Tempatnya tidak dekat, tapi juga tidak jauh. Di tengah
perjalanan, gerimis turun membasahi jalan setapak. Faiz
menawarkan untuk beristitahat sebentar, tapi aku menolak.
Lagi pula, hujannya tidak terlalu deras. Kami berlari-lari

24 |
kecil, menerobos butiran-butiran air yang menyerupai tirai.
Beberapa lama kemudian, aku melihat sebuah rumah besar
yang tak terurus. Modelnya khas Belanda. “Rumah ini
sudah tak pernah kukunjungi sejak dua tahun yang lalu.”
Ujar Faiz, mencoba membuka percakapan.
Tanpa menunggu jawabanku, Faiz membuka gerbang
hitam besar yang berdiri kokoh di hadapan kami. “Ayo,
masuk. Tenang saja, rumah ini tidak kosong. Ada seorang
gadis yang tinggal di dalam.” Dia tersenyum ramah sambil
menggerakkan tangannya ke udara, mempersilahkanku
masuk ke dalam.
Aku balas tersenyum. Halaman rumahnya sangat luas,
dengan berbagai macam tanaman liar yang membungkus
tanah-tanahnya. Rumahnya sangat megah, tapi sepertinya
sudah sangat tua. Dindingnya dicat berwarna cokelat tua,
dilengkapi dengan cerobong asap di salah satu sudut atap.
Pintu rumah terbuka. Seorang gadis berusia lebih muda
dariku menyambut Faiz dengan begitu bahagia. “Kak Faiz,
sudah lama kau tak berkunjung kemari.” Kata gadis itu
sambil menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. “Siapa
dia?” Tanyanya kembali ketika melihatku.
“Oh, perkenalkan. Dia Geulis. Dia akan tinggal di sini
untuk sementara, bersamamu.” Kata Faiz. “Geulis, ini Dewi.
Adik kandungku.” Lanjutnya, memperkenalkan Dewi
kepadaku.
Dewi tersenyum ramah. Kami bertiga duduk di ruang
tamu yang begitu luas. Di luar masih hujan, dan gelap.
Tidak ada satu pun sinar yang dapat kulihat melalui jendela

25 |
raksasa rumah ini. Beberapa lama berbincang, Faiz meminta
izin untuk pulang. Sedangkan aku diantar oleh Dewi ke
kamar yang berada di lantai dua untuk beristirahat.
Aku terduduk diam di tempat tidur. lampu di kamar ini
remang-remang. Setelah membersihkan diri, aku langsung
merebahkan badanku ke kasur. Tak peduli seberapa
dinginnya cuaca. Gerimis yang sejak tadi mengguyur bumi
kini telah berubah menjadi hujan deras. Dari sini, aku dapat
melihat dengan jelas bayangan pepohonan yang daun-
daunnya sedang melambai kesana-kemari. Desau angin
beradu-padu dengan desing air yang menjatuhi genteng
rumah ini. Sudah lama aku tidak menikmati suasana seperti
ini. Sekejap kemudian, aku telah berada di alam mimpi.
Keesokan harinya, aku terbangun dan mendapati Dewi
tengah berdiri di samping tempat tidur. Ia tersenyum lembut.
Hari-hariku di rumah ini sangat menarik, semuanya berjalan
sebagaimana mestinya, hingga aku melupakan masa-masa
sulitku di Ian-jo yang kualami sejak dua tahun yang lalu.
Faiz datang menjenguk sesekali, dan tak jarang kami
berdua berbincang-bincang mengenai apapun. Faiz
merupakan orang yang sangat ramah. Dari raut wajahnya
dapat dilihat kalau dia merupakan seseorang yang tak
pernah membentak. Sejak saat itu, aku semakin dekat
dengan Faiz. Namun, beberapa bulan kemudian, perutku
mulai membuncit. Aku tidak bisa terus-menerus menyem-
bunyikan fakta bahwa aku sedang mengandung seorang
bayi. Lambat laun, Faiz dan Dewi akhinya mengetahuinya.
Aku dapat melihat ekspresi kebencian di mata Faiz. Tidak.

26 |
Bukan karena aku sedang mengandung, tapi karena dia
juga sudah mengetahui latar belakangku yang merupakan
seorang wanita pelayan.
Aku mati-matian menjelaskan keadaan yang
sebenarnya, membuat Faiz maupun Dewi mengerti. Hal
tersebut bukanlah kemauanku. Aku merupakan satu dari
sekian banyak wanita yang merasakan kekejian orang-orang
Jepang itu. Aku juga menjelaskan kalau aku sedang
melarikan diri, aku sedang diincar, dan entahlah apa yang
akan terjadi padaku jika suatu saat mereka berhasil
menemukanku.
Aku, gadis asli pribumi, bekas wanita pelayan. Aku pikir
dengan melarikan diri semua masalahku akan berakhir.
Namun, tidak. Aku salah, salah besar.

27 |
28 |
SETELAH mati-matian menjelaskan keadaan yang
sebenarnya kepada Faiz dan Dewi, mereka pun menerima
semuanya, mencoba memahami hal yang sedang kualami.
Hari-hariku di rumah ini pun kembali berjalan normal. Faiz
juga makin rajin mengunjungi rumah ini lebih dari biasanya.
Hal itu menyebabkanku lebih sering menghabiskan waktu
bersama Faiz, baik itu hanya untuk sekedar bercerita,
membuat makan malam bersama, bersantai di atas ayunan
yang berada di halaman rumah Faiz, atau sampai berjalan-
jalan berdua mengelilingi desa. Aku sangat senang melaku-
kan itu semua, begitu pun Faiz. Dia tak pernah melewatkan
sehari pun tanpa mengunjungiku di rumah ini.
Pagi itu turun gerimis, aku sedang duduk sendiri di
dekat tungku perapian. Ketika aku sedang asik berkhayal,
seseorang datang menepuk pundakku. Aku pun menoleh,
“sudah kuduga,” kataku sambil tertawa kecil melihat siapa
yang menepuk salah satu pundakku. “Yah, bagaimana
kamu tahu?” Faiz yang merasa kejutannya gagal

29 |
membentuk ekspresi wajah yang ditekuk. “Bagaimana aku
tidak tahu, pertama kali kau menghampiriku kan dengan
menepuk pundak. Aku memiliki kemampuan menghapal
tepukan seseorang di bagian tubuhku.” Kataku sambil
diselingi sedikit tawa.
Faiz kemudian merebahkan tubuhnya di sofa—tepat di
sampingku. “Ke mana orang tuamu?” Faiz mencoba
mengambil topik pembicaraan baru.
“Entahlah, sudah dua tahun aku tidak menemui
mereka.” Balasku dengan nada suara yang sedikit rendah.
“Aku minta maaf,” Faiz mendekatkan wajahnya ke
arahku, “karena tidak mendengarkan penjelasanmu sejak
dulu.” Sambungnya sambil menatap lekat kedua bola
mataku.
“Tidak, Faiz. Tidak masalah. Kau sudah begitu baik
ingin menampungku di rumahmu ini.” Aku balas menatap.
Aku kemudian memerhatikan dengan jelas kedua bola mata
Faiz, begitu bening dan indah. Astaga, apa yang kupikirkan?
Aku mencoba menyadarkan diri dari lamunan bodohku
barusan.
“Faiz, aku ingin ke kamar untuk istirahat. Maaf aku
tidak bisa menemanimu lama-lama.” Aku beranjak dari
sofa, malambaikan tangan ke arah Faiz, lalu berjalan
menaiki satu per satu anak tangga hingga sampai ke kamar.
Setibanya aku di ruang berukuran 6 x 6 m 2 tersebut
yang didominasi dengan cat berwarna biru dengan lantai
pualam bermotif kristal-kristal, aku langsung mendaratkan

30 |
tubuhku ke tempat tidur. Pikiranku sedang tidak karuan, aku
dirasuki sebuah perasaan yang tak seharusnya ada.
Faiz? Aku mulai menyebut-nyebut namanya dalam hati.
Entah mengapa pikiranku dipenuhi oleh nama tersebut.
Buruk, ini merupakan hal buruk. Aku tidak boleh sampai
suka kepada Faiz. Dia itu begitu baik, sangat tak pantas jika
dibandingkan denganku yang memiliki masa lalu yang
bahkan lebih buruk dari seorang pecandu narkoba. Tapi,
semakin aku mencoba mengusir bayangnya, semakin betah
otakku menggambarkan wajahnya.
Faiz memiliki paras yang tak buruk, bahkan sangat
tampan. Tubuhnya yang agak tinggi, postur wajahnya yang
tirus, bola mata yang begitu bening, kulitnya yang putih,
serta rambutnya yang dicukur hingga di atas leher
membuatnya tampil lebih menawan. Aku pun masih heran,
mengapa dia belum memiliki pendamping hidup. Aku
kemudian memejamkan mataku, memaksakan diri untuk
tertidur agar dapat menghilangkan segala khayalan
konyolku ini.
Aku mengalihkan pandanganku ke sebuah jendela
besar yang dibalut oleh gorden tipis berwarna krem, gerimis
masih saja turun membasahi apa saja yang disentuhnya.
Tak ada satu pun suara kendaraan yang berlalu-lalang di
luar sana. Udara begitu dingin, membuat siapa pun akan
betah menggeliat di tempat tidurnya. Tapi, aku, entah apa
yang sedang merasukiku, aku sepertinya telah menaruh hati
pada pria yang menolongku beberapa bulan lalu.

31 |
***

“Apa Anda baik-baik saja?” Tanya wanita yang sejak tadi


duduk di hadapan Zizka.
“Ya, tentu. Saya baik-baik saja. Saya akan melanjutkan
ceritanya.” Zizka sudah bercerita sejak sejam yang lalu, dia
menghentakkan batuk berdahaknya. Mungkin saja dia
kelelahan menceritakan semuanya.
“Anda boleh beristirahat sebentar. Tak perlu dipak-
sakan.” Ujar wanita tersebut. Dia kemudian meletakkan
kertas-kertas dan balpoinnya di meja bulat yang terletak di
samping sofa yang didudukinya. Lalu, mencoba membantu
Zizka untuk menuangkan teh hangat ke dalam cangkirnya,
namun sepertinya teh dalam cerek telah habis. Zizka
kemudian meminta kepada si wartawan agar memanggil
wanita yang menjadi pelayan di rumahnya.
Beberapa detik kemudian, wanita pelayan tersebut
membuka pintu dan memunculkan batang hidungnya.
“Terima kasih banyak.” Kata Zizka kepada wanita yang
telah mengganti cereknya yang kosong dengan cerek yang
penuh. Beberapa saat kemudian, dia kembali melanjutkan
cerita dari buku berwarna hitam yang berada di
genggamannya.

***

Hari demi hari terus bergulir sebagaimana mestinya. Aku


berusaha untuk menepis apa saja yang tak semestinya
kudambakan. Faiz, pria itu sepertinya tidak menyadari
bagaimana aku mengaguminya, bagaimana bola matanya

32 |
dapat membuat hatiku nyaman. Namun, semuanya terjadi
ibarat sebuah mimpi. Takdir berkata lain, kenyataan yang
terjadi begitu bertolakbelakang dengan apa yang kupikirkan
selama ini. Faiz, pria itu, ternyata diam-diam mengagumiku
juga.
Sembilan bulan sejak aku melarikan diri dari tempat
yang paling nista di Batavia. Kini aku terbaring lemah di atas
sebuah kasur, aku kesakitan. Terlihat Faiz yang sedang
mendampingiku memperjuangkan nyawa seorang bayi yang
tidak diketahui siapa ayahnya ini.
Ya, Faiz merupakan sosok pria yang sangat baik dan
aku sudah mengatakannya berulang-ulang kali. Cintanya
tulus, apa adanya, tidak pernah memperdulikan masa laluku
yang begitu memalukan. Dua bulan yang lalu, Faiz
menyatakan bahwa ia ingin meminangku, ingin menjadi
pendamping hidupku, bersama-sama membesarkan bayi
yang sedang kukandung itu. Tentu saja aku tidak langsung
menerima permintaannya. Aku sadar diri, aku tak pantas
untuk seorang Faiz. Namun, dia begitu bersikeras, aku dapat
melihat ketulusan dari kedua bola matanya yang selama ini
telah kuidam-idamkan. Dan sekarang, tepat di depan mata
kami, seorang bayi perempuan yang begitu cantik telah
memecah kesunyian ruangan ini dengan tangisnya.
“Lili.” Faiz menggendong bayi yang diberi nama Lili itu
dengan sangat hati-hati, lalu mengumandangkan adzan di
telinga kanannya. Lili yang cantik, wajahnya merupakan
perpaduan antara Indonesia dan Jepang. Kehadiran Lili
sepertinya sangat mengubah hidupku—dan juga hidup Faiz.

33 |
Semenjak itu, rumah tanggaku dengan Faiz menjadi
semakin lengkap. Hanya saja, ayah dan ibu yang entah
sedang berada di mana. Sudah bertahun-tahun aku tidak
menatap mata mereka.
Aku dan Faiz lalu membesarkan Lili degan penuh kasih
sayang. Di sebuah desa yang jauh dari kota, aku bisa yakin
bahwa orang-orang suruhan Nyonya Lina tidak mungkin
menemukanku. Kami hidup sangat berkecukupan, dengan
segala kesederhanaan kami membangun kehidupan baru
kami.
Faiz merupakan pewaris tunggal dari tanah-tanah yang
dimiliki ayahnya. Jumlahnya banyak, bahkan sangat
banyak. Namun, dia juga merupakan tentara nasional
Indonesia. Dia telah mengabdi kepada Negara sejak zaman
kolonial Hindia Belanda.
Faiz sungguh suami yang sangat sempurna menurutku.
Dia sangat menjagaku dan Lili. Aku senang, akhirnya
hidupku bahagia. Meskipun beberapa hari lagi kebahagiaan
yang kurasakan ini akan pudar sedikit demi sedikit.

34 |
PAGI di bulan Desember, 1944. Aku dibangunkan oleh
suara tangisan yang bersumber dari kamar sebelah. Aku
mengucek-ucek kedua mataku, sesekali menguap, menutup
mulut dengan salah satu tangan. Aku bangkit berdiri, lalu
membuka gorden tipis yang melapisi jendela kamar yang
cukup besar. Aku menengok ke tempat tidur, ingin
memastikan apakah Faiz juga sudah bangun atau tidak.
Namun, Faiz tidak ada di tempatnya. Aku kemudian
menuntun langkahku keluar kamar, berniat mencari Faiz di
kamar Lili. Mungkin saja dia ada di sana.
Nah, kan, Faiz sedang berusaha menenangkan Lili,
namun tidak berhasil. Aku tertawa kecil melihatnya, dan dia
hanya menatapku sambil nyengir lebar. “Aku pikir kau
sudah lihai dalam mengurus anak, hahaha.” Kataku sambil
mencoba untuk menenangkan Lili. Beberapa detik
kugendong, tangisannya langsung menghilang. Sungguh
ajaib.

35 |
“Kau curang. Katakan, mantera apa yang kau bacakan
sehingga Lili dengan begitu saja diam ketika kau gendong?”
Faiz menggerutu sendiri.
Aku hanya tersenyum sambil memainkan lidah ke
arahnya. Dia ini, ada-ada saja. Setelah Lili tertidur pulas di
gendonganku, aku kemudian mengembalikannya ke tempat
semula. Udara pagi ini begitu dingin. Aku dan Faiz
memutuskan untuk duduk bersantai di serambi rumah. Aku
telah membuat dua cangkir teh hangat untuk membunuh
dinginnya udara pagi.
“Kau tak bekerja?” Tanyaku, mencoba membuka
percakapan.
“Entahlah, sepertinya tidak ada kabar baru dari
pemerintah. Yang kulihat di berita semalam, keadaan
ekonomi masyarakat semakin merosot turun. Apa
sebenarnya yang diinginkan dari orang-orang Jepang
tersebut.”
“Lalu?” Aku bertanya kembali, mulai tertarik dengan
topik yang dibahas oleh Faiz.
“Aku sangat bersyukur masih memiliki banyak tabungan
dari hasil penjualan tanah-tanah peninggalan ayah. Jadi,
hidup kita boleh dibilang lebih dari cukup. Coba kau lihat
masyarakat-masyarakat yang lain, pakaian yang mereka
gunakan pun hanya terbuat dari karung goni.” Faiz
menggeleng-gelengkan kepala, meraih surat kabar yang
terletak di atas meja, lalu menunjukkan sebuah foto pria dan
wanita yang memakai pakaian karung goni yang dimaksud
Faiz tadi.

36 |
Hampir saja Faiz meletakkan surat kabar tersebut, aku
kemudian tersadar akan foto yang ditunjukkannya tadi. Aku
sepertinya mengenali orang tersebut. Setelah kuperhatikan
lebih detail, aku memang mengenalnya. Ya, aku
mengenalnya.
Aku kemudian bangkit dari tempat dudukku, berlari
masuk ke dalam. Aku berteriak kegirangan bagai anak
berumur lima tahun yang baru saja menemukan uang di
pinggir jalan. Aku melangkahkan kakiku menuju ke dalam
kamar, mengemasi barang-barang yang kira-kira diperlukan.
Setelah semuanya beres, aku keluar dengan raut wajah
yang begitu berbinar-binar.
“Kau akan kemana?” Tanya Faiz keheranan melihatku
berpakaian sangat rapi dengan menenteng sebuah tas yang
berisi pakaian.
“Kau tahu, orang yang ada di surat kabar tadi, itu ayah
dan ibuku. Aku sungguh senang, ternyata mereka masih
hidup. Aku akan pergi untuk mencari mereka. Kau tetap di
sini saja, jaga Lili baik-baik.” Tanpa menunggu jawaban
Faiz, aku segera berlari keluar dari gerbang. Sebenarnya,
aku tak tahu betul ke mana aku akan pergi mencari kedua
orang tuaku. Tapi, aku yakin, mereka ada di Batavia. Surat
kabar tadi dengan jelas menunjukkan bahwa kejadian
tersebut berlangsung di Batavia. Aku berhenti di tepi jalan,
menunggu dokar yang akan lewat, dan membawaku ke
terminal. Beberapa lama menunggu, dokar yang kunanti
pun datang. Aku satu-satunya penumpang. Dengan gesit,
dokar tersebut melaju dengan kecepatan yang tak kalah

37 |
dengan sepeda motor. Jarak yang kutempuh dengan
menggunakan dokar sekitar dua kilometer sampai akhirnya
aku menginjakkan kaki di terminal. Aku mulai mencari-cari
mobil angkutan yang akan menuju ke Batavia. Dan, dapat.
Aku langsung naik ke mobil tersebut. Satu setengah jam
berlalu, kini keempat roda mobil angkutan tersebut telah
meleset mulus di kota Batavia.
“Banzai, Batavia.” Aku menghembuskan nafas pelan,
mengerahkan pandanganku ke sekeliling, mencoba dengan
sekuat tenaga mengingat-ingat tempat yang ada di kota ini.
Sudah setahun lebih aku melarikan diri dari kota ini, dan
kini aku kembali. Aku tahu ini resiko yang sangat besar.
Tapi, mau tidak mau aku harus mencari kedua orang tuaku.
Aku tidak mungkin menjadi anak yang durhaka. Aku
kemudian berjalan, memulai untuk mencari di mana ayah
dan ibuku.
Tunggu sebentar, tempat ini sepertinya pernah aku lihat
sebelumnya. Nah, benar, ini merupakan latar dari foto yang
tertera di surat kabar tadi. Tempat di mana ayah dan ibuku
berada. Tapi, sekarang tempat ini kosong, tidak terdapat
siapa-siapa di sini—kecuali aku. Sungguh yang kulihat
sekarang sangatlah berbeda dengan apa yang sejak tadi
kuekspektasikan. Tempat ini sepi, sangat sepi. Hanya ada
suara gesekan sandal jepitku dengan aspal hitam yang
beradu dengan angin siang.
Aku terus berjalan tanpa tujuan. Aku kemudian teringat
rumah kami, rumah yang sudah setahun lebih aku
tinggalkan. Desaku tidak terlalu jauh dari kota Batavia. Aku

38 |
hanya tinggal berdiri di pinggir jalan dan menunggu dokar.
Dokar memang merupakan alat transportasi yang paling
diminati ketika itu. dokar yang kutunggu pun berhenti tepat
di hadapanku. Aku menyebutkan tujuanku, lalu kami
berangkat. Ketika kami memasuki desaku, aku sepertinya
tidak mengenal lagi tempat tersebut. semua suasananya
telah beda. Hanya beberapa yang masih bertahan.
Dokarnya terus melaju, hingga aku melihat sebuah
bangunan yang sepertinya kukenal. Aku meminta pak kusir
untuk berhenti, memberikan bayaran, lalu beranjak turun.
Aku pergi ke bangunan yang tadi kulihat. Rumah itu,
setahun lalu aku masih duduk bersantai di serambinya,
sampai pada akhirnya berita buruk itu menampar hidupku.
Air mataku menetes. Dulu, ketika akan kutinggalkan,
rumah ini setengah hancur akibat perbuatan orang-orang
Jepang biadab itu. Ayah pasti telah memperbaiki semuanya,
sekarang rumah ini kembali rapi, tidak terlihat tanda
kehancuran sedikit pun. Namun, keadaannya begitu tak
terurus, debu di mana-mana, dan sunyi. Di mana kedua
orang tuaku? Di surat kabar, tampak mereka tidak memiliki
tempat tinggal dengan duduk memakai karung goni di
pinggir jalan. Akan tetapi, rumah ini masih sangat bagus
untuk ditinggalkan. Aku mulai berpikir keras, namun
hasilnya tetap nihil. Aku tidak mendapatkan ide apapun.
Karena merasa agak kelelahan, aku pun memutuskan untuk
masuk ke dalam, menuju ke ruangan yang dulunya
merupakan kamar pribadiku. Tanpa terasa, aku mulai
memejamkan mata, tertidur.

39 |
Tidurku mungkin cukup lelap sampai-sampai aku tak
merasakan kalau seseorang baru saja mengendap-endap
masuk ke rumah ini. Ketika terdengar bunyi dorongan kursi,
aku tiba-tiba tersentak. Aku mulai ketakutan. Seingatku,
tidak ada siapapun saat aku memasuki rumah ini. Aku pun
menyiapkan telingaku sebaik-baiknya, berusaha mendengar
dengan baik. Namun, tak ada lagi suara yang terdengar.
Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Batinku,
mencoba untuk menenangkan diri.
Aku memberanikan diri untuk keluar kamar. Dan
ternyata benar, di rumah ini tidak ada siapa-siapa selain
aku. Itu tadi mungkin hanya bagian dari mimpiku—
meskipun terasa sangat nyata. Aku menatap ke luar,
sepertinya hari sudah gelap. Aku yang baru saja terbangun
dengan tiba-tiba, kini sudah merasa mengantuk lagi. Aku
rasa, aku begitu kelelahan. Aku pun kembali menuju ke
kamar, berniat untuk istirahat, dan besok pagi baru
melanjutkan untuk mencari kedua orang tuaku.
Tubuhku sudah mendarat mulus di atas tempat tidur.
Aneh, aku yang tadinya sangat mengantuk kini tak bisa
tertidur. Beberapa kali aku mencoba untuk memejamkan
mata, namun tetap saja aku tidak berhasil untuk tidur. Aku
kembali menatap sekelilingku. Ruangan yang begitu
sederhana ini tidak pernah berubah. Aku lalu membuka
jendela kecil yang berada tepat disamping tempat tidur.
Udara malam yang dingin perlahan masuk memenuhi
kamar sempitku ini. Dari sini, aku bisa menatap ribuan
bintang-bintang yang ada di langit. Aku jadi teringat dengan

40 |
Faiz. Apa yang sedang dia lakukan bersama Lili? Mungkin
saja mereka berdua sedang menikmati santapan makan
malam. Ah, aku jadi lupa kalau aku sendiri pun belum
makan sejak pagi. Tapi, siapa peduli dengan makanan, aku
sama sekali tidak merasa lapar. Aku hanya dipenuhi oleh
pikiran-pikiran aneh. Hidupku tak pernah terasa
menyenangkan semenjak satu masalah menimpa. Setelah
berusaha dengan sangat kuat untuk tertidur, akhirnya tepat
pukul 11 malam, aku berhasil memejamkan kedua mataku
dan berada di alam bawah sadar.
Keesokan harinya, aku terbangun pagi-pagi sekali.
Perutku terasa sangat keroncongan. Cacing-cacing yang
berada di dalam perut sepertinya sudah mengadakan
demonstrasi besar-besaran. Aku kemudian memeriksa tas
yang kubawa. Untunglah, aku membawa beberapa bungkus
mie instan. Aku pun bangkit dan keluar kamar. Terlebih
dahulu aku menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Setelah itu, aku mulai mengotak-atik dapur yang
peralatannya sudah sangat berdebu karena lama tak
digunakan. Beberapa menit kemudian, makanan yang
kubuat sudah jadi. Aku menyantapnya dengan begitu lahap.
Setelah itu, barulah aku bergegas untuk mandi, berpakaian
rapi, dan bersiap-siap untuk mencari kedua orang tuaku.
Aku meraih tasku, berjalan keluar meninggalkan rumah
ini. Aku memperhatikan sekeliling desa. Sunyi sekali, seperti
tak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Kemana semua
orang kampung? Aku terus saja berjalan. Aku memutuskan
untuk kembali ke tempat kemarin, tempat yang kulihat di

41 |
surat kabar. Jalanan begitu lengang, tak ada satu pun
kendaraan yang berlalu-lalang. Aku pun memutuskan untuk
berjalan saja. Kebetulan aku memang suka berjalan. Jarak
yang kutempuh sekitar tiga kilometer. Aku merasa agak
lelah, jadi kuputuskan untuk beristirahan sebentar. Setelah
itu, barulah aku melanjutkan perjalanan. Tak butuh waktu
lama, aku telah berada di tempat tersebut. Namun, sama
seperti kemarin, tempat ini masih saja sepi.
Hei, kemana semua orang-orang? Batinku. Aku merasa
agak jengkel. Setiap jalan yang kulalui selalu terasa sunyi.
Pikiranku mulai meracau ke mana-mana. Mungkin saja
ibu dan ayah hanya kebetulan berada di tempat ini. Aku
hampir saja putus asa, namun entah kenapa bayangan
masa kecil seketika menghantui sudut-sudut pikiranku. Aku
begitu merindukan keluargaku, aku sangat ingin bertemu
dengan mereka.
Hmm baiklah, besok aku akan kembali lagi ke tempat
ini. Aku kemudian membalikkan badan, kembali ke rumah.
Seperti sebelumnya, jalanan masih begitu lengang. Aku
kembali menikmati perjalanan kakiku dengan bersiul-siul
sendiri. Entah kenapa, perjalanan pulang rasanya tidak
begitu melelahkan. Kurang lebih setengah jam, aku pun tiba
di rumah.
Aku merebahkan tubuhku di sofa. Rasa lelah dan penat
sepertinya baru saja menghampiriku. Aku tak tahu lagi harus
bagaimana. Aku tidak ingin kembali ke Faiz sebelum
menemukan ayah, ibu, maupun adik-adikku. Aku menatap
lurus ke depan. Aku sepertinya melihat seseorang—orang

42 |
pertama yang kulihat hari ini. aku berniat untuk
memanggilnya. Tapi, hei, tunggu. Aku sama sekali tidak
mengenalnya, lantas untuk apa aku memanggilnya. Aku
pun mengurungkan niatku. Aku kembali melamun. Namun,
lamunanku seketika buyar.
“Aaaa….”
Pukulan itu, sangat keras. Aku masih ingat dengan jelas
bagaimana balok tersebut menghantam pundakku. Belum
sempat aku melihat siapa yang telah menghantamkan
benda tersebut kepadaku, semuanya tiba-tiba menjadi
gelap.
“Aduh…” Aku meringis kesakitan. Tubuhku begitu
lemah, tak dapat kugerakkan. Meski begitu, aku masih dapat
mendengarkan sekelilingku, menyimak perbincangan orang-
orang yang telah melayangkan balok tersebut kepadaku.
Dua pemuda berjalan mendekatiku. Seseorang kemudian
memegangi kedua lenganku, yang satunya lagi memegang
kakiku. Mereka sepertinya mengangkatku menuju ke atas
mobil. Ingin rasanya aku memberontak, tapi tidak bisa, aku
terlalu lemah. Tubuhku terkapar di jok mobil, tak banyak
yang dapat kulakukan selain mendengarkan pembicaraan
mereka.
“Apa yang akan kita lakukan?” Tanya salah seorang
pemuda kepada pemuda yang satunya.
“Entahlah, kita hanya harus…..” Belum juga kalimat
pemuda yang satunya selesai, aku sudah tidak mendengar
apa-apa lagi. Semuanya betul-betul gelap dan begitu sunyi.
Aku sudah tak sadarkan diri.

43 |
Mobil tersebut melaju dengan begitu gesit. Jalanan yang
begitu sepi membuatnya dapat dengan bebas menari di atas
aspal yang menyerupai karpet hitam tanpa adanya
gangguan kendaraan manapun. Pagi ini begitu sejuk,
namun apa yang kualami hari ini begitu bertolak belakang,
semuanya begitu tragis. Hari ini kuawali dengan peristiwa-
peristiwa yang begitu luar biasa. Ternyata begitu banyak hal
yang tidak dapat kuduga sebelumnya. Aku terlalu lugu
untuk bisa berkelana bebas di kota seperti ini. Aku memang
bodoh, tak berpendidikan sama sekali. Sejak zaman kolonial
Hindia Belanda, di desaku memang tidak pernah didirikan
sebuah sekolah.
Kami mendarat di sebuah tempat, tempat yang tak akan
diminati oleh siapapun. Tubuhku kembali diangkat oleh dua
pemuda tadi. Kali ini aku dibawa masuk ke dalam tempat
tersebut. Aku lalu dibawa ke sebuah ruang kecil, gelap, dan
pengap. Beberapa lama kemudian aku tersadar. Mataku
terbuka perlahan. Aku merasakan sakit di mana-mana,
namun aku tetap berusaha untuk melepaskan ikatan di
kedua tanganku, meski hasilnya tidak ada sama sekali. Aku
menghembuskan napas perlahan, mencoba menatap ke
sekelilingku, ingin memastikan di mana sebenarnya aku ini.
Aku pun mencoba dengan sekuat tenaga untuk mengingat-
ingat kejadian yang tadi menimpaku. Aku sangat heran,
berbagai kemungkinan terus bermunculan di sudut-sudut
otakku, aku sungguh tak dapat berpikir logis untuk saat ini.
Ya, Tuhan. Masalah apa lagi ini. Batinku sambil
menyandarkan kepala di dinding yang terletak di samping

44 |
kiriku. Bulir-bulir air kemudian mulai menetes perlahan dari
kedua mataku.
Tempat ini sangat gelap. Tak ada sedikit pun cahaya
yang dapat menembus masuk ke tempat ini. Bukan hanya
itu, di sini juga panas. Aku dapat merasakan dengan jelas
tetesan-tetesan keringat mengeremuni tubuhku. Rasa-
rasanya, aku ingin berteriak minta tolong, namun keadaan
tidak membiarkanku. Mulutku terasa kaku, setiap udara
yang keluar masuk pun kapasitasnya sangat terbatas. Jika
ini boleh dikatakan sekarat, mungkin itulah yang paling
tepat untuk menggambarkan rasa sakit yang menimpa
tubuhku.
Krek… krek…
Sebuah suara tertangkap oleh indra pendengaranku.
Jika diperhatikan, itu lebih mirip dengan suara gesekan
sepatu dengan lantai yang dilapisi semen. Aku terdiam,
memperhatikan dengan seksama, meskipun agak sedikit
ketakutan. Suara itu semakin lama semakin mendekat. Aku
semakin memfokuskan pendengaranku. Gagang pintunya,
gagang pintu tersebut juga mengeluarkan suara. Sepertinya
seseorang akan masuk ke ruangan ini. Aku mulai bertanya-
tanya dalam hati. Pintu terbuka lebar, sedikit cahaya
kemudian masuk menerobos ke ruangan ini. Aku pun dapat
melihat sekeliling dengan jelas. Dan, astaga, ternyata
semuanya benar-benar di luar dugaanku. Lihatlah, siapa
yang datang mengunjungiku, siapa yang telah menculikku
dan membawaku ke tempat ini, aku sungguh terkejut bukan
main.

45 |
“Masih ingat dengan saya?” Orang tersebut tersenyum
kepadaku. Tidak, bukan senyuman yang seperti biasanya.
Senyumannya lebih mirip dengan senyuman merendahkan.
Aku tidak menjawab. Mulutku disekap sejak tadi. Aku
hanya berteriak meronta, menangis, dan menendang segala
sesuatu yang berada di sekitarku. Aku menatap orang
tersebut, menatap dengan penuh kebencian. Aku tak
mengerti, mengapa dia masih mengejarku. Sebegitu
pentingkah aku di tempatnya sehingga dia rela melakukan
berbagai upaya agar bisa menangkapku?
“Geulis, geulis, kau ini cantik, kulitmu putih mulus, tak
biasanya orang-orang pribumi memiliki kecantikan yang kau
miliki. Aku tahu apa yang ada dipikiranmu. Kau pasti
bertanya-tanya mengapa aku begitu berambisi untuk
mencarimu. Ya, aku memang telah berusaha sekeras
mungkin untuk mendapatkanmu. Dan, kini, semua usahaku
sejak setahun yang lalu tidak berakhir sia-sia. Ternyata
cukup mudah untuk memancingmu kembali ke Batavia. Aku
tinggal bekerja sama dengan percetakan surat kabar,
menyarankan suatu berita disertai gambar ayah dan ibumu.
Dan, benar, kau kembali, kau telah termakan dengan
pancinganku, Geulis.” Dia kembali tersenyum licik.
Sekali lagi, aku berteriak mengamuk, memaksa agar
ikatan ini dapat terlepas. Meskipun sakit, aku tetap
berusaha. Aku benci semua ini. Aku tak tahan. “Ingin
melepaskan diri? Kau tidak akan bisa. Tempat ini dilengkapi
dengan penjagaan yang begitu ketat.” Sekali lagi orang
tersebut memandangku dengan tatapan meremehkan. Dia

46 |
berjalan menuju ke arahku, semakin dekat dan kini sudah
berada tepat di depan wajahku. Dia memegangi sarung
tangan yang menyekap mulutku, menariknya ke bawah
hingga aku dapat mengeluarkan perkataan yang sejak tadi
ingin kuluapkan.
“Lepaskan saya!” Aku berteriak. “Di mana kau
menyembunyikan ayah dan ibuku. Kau memasang gambar
mereka di surat kabar, otomatis kau tahu di mana mereka.
Jangan-jangan, kau juga menangkapnya. Katakan!!!” Aku
mengeluarkan segala yang ingin kukatakan.
Dia hanya tertawa, tak menjawabku sepatah kata pun.
Aku juga terdiam. Dia, Nyonya Lina yang selama ini
kuhindari, telah menemukanku. Dia ternyata mencari-cariku
sejak lama. Dia tidak pernah sepenuhnya melupakanku. Dia
kemudian membalikkan badan, berjalan keluar dan
menutup pintu ini rapat-rapat. Gelap, semuanya kembali
gelap. Aku terus saja berteriak. Jika saja tanganku tak diikat,
aku mungkin sudah melemparkan ember-ember besi ke
kepalanya.
Aku membaringkan tubuhku ke lantai dengan keadaan
tangan dan kaki terikat oleh tali yang begitu tebal. Aku telah
berusaha untuk melepaskannya, namun ikatannya begitu
kuat. Aku kembali merenungi berbagai hal yang telah
kualami, memikirkan nasibku ke depan, dan keadaan
keluargaku. Seketika kemudian, pandanganku dialihkan
oleh sebuah cahaya. Hei, lihatlah, itu sebuah kunang-
kunang. Aku memandang sekitar, mencoba mencari-cari
dari mana binatang yang lebih mirip lentera itu masuk.

47 |
Dengan bantuan secerca cahaya yang dihasilkan oleh
kunang-kunang tersbeut, aku dapat melihat sebuah lubang
kecil di sudut ruangan yang dilindungi oleh pohon besar.
Ketika kuperhatikan, beberapa kunang-kunang lain ikut
menyusul. Senyumku seketika mengembang. Aku sangat
suka dengan kunang-kunang. Mereka seperti makhluk ajaib
yang selalu ada jika dibutuhkan. Salah satu dari mereka
hinggap di kakiku, yang lainnya lagi hinggap di tempat-
tempat tertentu, menyebar, hingga seluruh ruangan menjadi
terang benderang. Ketakutanku seketika hilang, aku jadi
melupakan segala masalah yang sejak tadi menggerogoti
ketenangan otakku. Sakit di badanku juga sudah tidak
terlalu terasa. Mulutku lalu terbuka lebar, tanpa sadar aku
baru saja menguap, sepertinya cahaya-cahaya kuning
tersebut telah membuatku mengantuk. Perlahan aku
menutup mata hingga tertidur. Tidurku lelap, bahkan sangat
lelap. Entah mengapa tidur menjadi salah satu hal yang
begitu menyenangkan. Aku bisa melupakan semua masalah
ketika tidur, seketika semua beban-beban hidup menjadi
hilang. Tapi, lihatlah, masalah yang satu ini belum seberapa.
Aku masih belum bisa membayangkan kejadian esok,
apakah aku bisa bebas atau akan menetap di sini, atau
boleh jadi aku akan mati kelaparan di tempat ini. Entahlah,
tapi sepertinya berbagai penyiksaan telah menantiku. Aku
tidur begitu nyenyak tanpa mimpi apapun. Setelah bangun
nanti, aku harus menyiapkan diri dengan keadaan yang
mungkin akan lebih sulit.

48 |
SUARA ayam berkokok menyadarkanku dari tidur yang
begitu nyenyak yang pernah kualami. Aku tak tahu persis
pukul berapa ini, bahkan aku juga tak tahu apakah ini pagi,
siang, atau malam. Aku membuka mata perlahan, namun
masih dalam posisi tubuh berbaring dengan ikatan di tangan
dan kakiku. Udaranya begitu dingin, terlebih karena lantai di
tempat ini hanya dilapisi semen. Di luar sana tampaknya
sedang gerimis, aku dapat mendengar tetes tiap tetes air
yang jatuh di permukaan tanah. Akhir-akhir ini memang
sering turun hujan, meski hanya gerimis sekali pun.
Keadaan cuaca tak pernah dapat diperkirakan, meski
beberapa jam yang lalu keringat dapat bercucuran di
seluruh badanku akibat panas matahari, kini aku begitu
menggigil, dinginnya cuaca seakan menusuk seluruh pori-
poriku. Tapi, tubuhku sudah cukup kebal, aku tidak terlalu
memperdulikannya. Posisiku tidak berubah sedikit pun. Aku
hanya menikmati suara-suara air yang menyentuh genteng.

49 |
Kali ini aku tak menangis, pikiranku kosong. Mungkin
air mataku sudah kering. Aku hanya menatap lurus ke
depan, meski tak tahu apa yang sedang kulihat.
Telingaku kembali menangkap sebuah suara, beberapa
detik lagi, mungkin gagang pintu tersebut akan ditarik oleh
seseorang. Aku tidak peduli, siapa pun yang datang,
silahkan datang. Aku tahu di antara mereka tidak ada yang
mempunyai niat baik terhadapku, mereka semua kejam.
Namun, aku tak memiliki daya apapun, aku begitu lemah,
tubuhku terikat dengan kuat oleh seutas tali yang tebal.
Dugaanku benar, pintu tersebut terbuka dan membuat
cahaya masuk ke dalam hingga benda-benda yang ada di
ruangan ini dapat terlihat dengan jelas. Aku tidak tahu dan
tidak ingin tahu siapa yang datang, arah pandanganku tidak
berubah sama sekali sejak tadi, hanya lurus ke depan.
“Apa kabar?” Sapa wanita itu. Aku tidak melihat
wajahnya, namun aku kenal betul dengan suaranya.
Menjawabnya? Cih, bahkan untuk sekedar meliriknya
pun aku enggan. “Baiklah kalau kau tidak bersedia
menjawabku. Aku memiliki sebuah tawaran untukmu.
Tentunya kau sudah tahu apa yang ingin kukatakan. Apa
kau berminat bekerja lagi denganku? Seperti peraturan
biasa, kalau kau berminat maka hidupmu akan sejahtera,
dan kalau kau menolak maka kau akan jadi mayat di
ruangan pengap ini. Terserah saja, aku tidak memaksa.
Kalau malam ini kau tidak berminat, aku akan kembali
menawarkanmu besok. Beberapa menit lagi seorang
pelayan akan datang membawakan makanan untukmu, jadi

50 |
jangan khawatir. Tapi, ingat, besok jatah makanan yang kau
dapatkan akan berkurang separuhnya. Kau paham?”
Setelah semua kalimatnya selesai, dia berjalan keluar dan
kembali menunci pintu rapat-rapat.
Aku termenung. Aku tidak ingin menjadi Jugun Ianfu
lagi, itu menjijikkan. Tapi, aku juga tak mau menjadi mayat
busuk di ruangan ini. Sekarang pikiranku menjadi kacau
balau. Aku tak dapat berpikir logis. Sampai saat ini,
pilihanku adalah tetap bertahan untuk tidak menjadi Jugun
Ianfu.
Baru beberapa menit yang lalu Nyonya Lina
meninggalkan tempat ini, dia datang kembali, membuka
pintu. Mungkin ada sesuatu yang dia lupa katakan.
“Aku melupakan sesuatu, tentang keluargamu.” Dia
langsung mengucapkan kalimat tersebut ketika memasuki
ruang pengap ini.
Aku spontan menoleh. Apa? Jadi benar, dia yang telah
menculik keluargaku.
“Kau ingat setahun yang lalu ketika kau melarikan diri
dari tempat ini, aku telah melakukan berbagai upaya untuk
mencarimu, dan semuanya gagal. Ketika itu aku langsung
mendatangi kediaman keluargamu. Aku membawa
beberapa bodyguard yang langsung menculik paksa mereka
semua. Aku berpikir itulah satu-satunya cara untuk bisa
memancingmu datang kembali.
“Kau tahu? Keselamatan mereka semua bergantung
padaku. Jika kau ingin mereka selamat, maka kau harus
menuruti permintaanku. Mereka akan mendapatkan siksaan

51 |
sama sepertimu. Selama kau tidak ingin kembali bekerja
padaku, hukuman yang kau dapatkan juga didapatkan
keluargamu.” Wanita tersebut menatapku lekat, dia
sepertinya begitu berambisi untuk mempekerjakanku di
tempat kotor tersebut.
“Tidak akan.” Jawabku singkat.
“Tidak, nak. Mungkin hari ini kau bisa mengatakannya,
tapi siapa yang bisa tahu hari esok. Tak pernah ada orang
yang tahan dengan aturan mainku itu.” Dia mengacungkan
telunjuknya tepat di depan wajahku.
“Di mana keluargaku? Cepat katakan di mana mereka!
Aku ingin menemuinya…” Aku meninggikan nada suaraku.
Aku sudah cukup muak dengan berbagai permainan wanita
ini.
“Kau yakin ingin menemui mereka? Baiklah. Tapi, aku
tak akan mengizinkan kau menyentuhnya. Hanya melihat.
Kau paham?” Wanita tersebut keluar tanpa menutup pintu.
Beberapa saat kemudian, dia kembali bersama seorang pria
Jepang. “Tolong kau bawa dia menemui keluarganya.”
Perintahnya kepada pria yang masuk bersamanya. “Baik,
Nyonya.” Balas pria tersebut sambil menundukkan kepala
yang menandakan bahwa dia begitu menghormati Nyonya
Lina.
Pria tersebut kemudian mengangkatku, membantuku
untuk berdiri dengan keadaan tangan dan kaki yang masih
terikat. Aku berjalan lambat, sangat lambat karena kakiku
yang terlilit oleh tali. Sambil berjalan, aku menengok ke
sekeliling. Aku kenal betul tempat ini, Ian-jo. Aku masih

52 |
ingat ketika dulu aku bebas berlalu-lalang di sini, menjadi
wanita penghibur yang melayani setiap lelaki yang
berkunjung.
“Kita sampai.” Kata pria tersebut. Kami berhenti tepat di
depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu. Orang tua
dan adik-adikku sedang berada di dalam, aku sungguh tidak
sabar ingin melihat kondisi mereka.
“Ingat, hanya boleh melihat.” Aku menoleh, itu suara
Nyonya Lina. Ternyata dia mengikuti kami dari belakang.
Anak buah Nyonya Lina lalu meraba sakunya,
mengambil segerombol kunci. Dia kemudian berusaha
mencari satu kunci di antara puluhan kunci yang berada di
genggamannya. Dia mencocokkan beberapa kunci
sebanyak beberapa kali hingga akhirnya dia berhasil
menemukan kunci yang tepat. Gembok yang menahan
pintu kayu itu seketika terbuka lebar. Aku kemudian
menengok ke dalam, gelap, aku tidak melihat siapa-siapa.
Nyonya Lina masuk, menekan tombol sakelar yang berada
di samping pintu. Ruangan tersebut berubah menjadi
terang-benderang.
“Ayah, ibu.” Aku sangat senang. Pipiku langsung
berlinang air mata. Mereka, orang tuaku, kini sudah berada
di depan mataku. Aku terus menangis, mereka pun
demikian. Aku melihat kondisi mereka, sangat
memprihatinkan. Kaki dan tangan mereka juga terikat
dengan tali, sama seperti aku. Tapi, lihatlah badan mereka,
sangat kurus. Wajah mereka semakin tirus hingga tulang
pipinya kehilatan sangat terbentuk.

53 |
“Geulis, Nak, kau di sini?” Ayah tersenyum begitu tulus.
Di wajahnya tergambar jelas sebuah kebahagiaan.
Bagaimana tidak, kami sudah tidak pernah bertemu sejak
beberapa tahun yang lalu. Dan kini, kami dipertemukan di
sebuah tempat yang paling binasa di seluruh pelosok negeri.
“Iya, Ayah. Ayah dan ibu baik-baik saja, kan?” Aku
menatap mata kedua orang tuaku. Meskipun aku tidak bisa
menyentuh kulit mereka, tidak bisa merasakan hangatnya
peluk mereka, tapi setidaknya aku masih bisa melihat bola
mata mereka yang begitu kurindukan.
Mereka berdua mengangguk bersamaan. Ya, Tuhan,
tak ada pertemuan yang paling kuinginkan selain pertemuan
ini. Tapi, tunggu. Aku kira tadi Nyonya Lina mengatakan
„keluargaku‟, tapi yang ada di ruangan ini hanya ayah dan
ibuku. Di mana dia menyembunyikan keempat adikku. Aku
pun menanyakan perihal tersebut kepada Nyonya Lina. Dia
tidak menggubrisku. “Geulis, waktu habis. Kau harus keluar
sekarang juga.” Dia menatap anak buahnya, memberikan
isyarat agar segera membawaku keluar dari ruangan ini.
“Nyonya Lina, tolong, aku masih ingin bertemu dengan
ayah dan ibuku. Tolonglah.” Nyonya Lina terus saja
berjalan, tidak memperhatikan aku yang sedang memohon
di belakangnya. “Tapi, Nyonya, bukankah tadi kau
mengatakan kalau akan mempertemukan aku dengan
keluargaku. Namun, yang berada di ruangan tadi hanya
ayah dan ibuku. Di mana keempat adik-adikku?” Aku
berusaha berjalan cepat dengan kaki yang terikat.

54 |
“Kau tak perlu tahu. Setidaknya aku sudah berbaik hati
untuk mempertemukanmu dengan kedua orang tuamu.”
Nyonya Lina menoleh sebentar ke arah ku. “Kau bawa saja
dia ke tempat semula, kunci ruangan itu baik-baik.” Ujarnya
kembali ke arah pria yang mengawalku jalan.
Aku menyerah, tak ada gunanya berbicara dengan
wanita yang satu ini. dia tidak pernah memiliki rasa belas
kasihan. Nyonya Lina berbelok, berjalan ke arah yang
berbeda. Aku kemudian dibawa ke ruangan tadi oleh anak
buah Nyonya Lina.
“Mengapa kau tidak mengikuti apa yang dikehendaki
Nyonya Lina?” Tanya pria tersebut, mencoba membuka
percakapan.
“Siapa yang mau jadi Jugun Ianfu?” Jawabku ketus.
“Memangnya kenapa? Bukankah kau akan hidup
sengsara jika tetap bersikeras dengan keputusanmu itu?”
“Selama aku masih sanggup bertahan, aku tidak akan
sudi bekerja dengan wanita itu.”
Pria tersebut tidak mengeluarkan suara lagi. Di depan
mata sudah terlihat ruangan tempat aku dikurung. Dia
kemudian membawaku masuk ke dalam, membantuku
duduk, lalu meninggalkanku sendiri dengan mengunci pintu
rapat-rapat.
Baru saja aku duduk dalam kegelapan di ruangan ini,
seseorang datang membuka pintu. Oh, itu bukan Nyonya
Lina. Sepertinya dia merupakan pelayan makanan di sini.
Dia membawakanku sepiring nasi dan kerupuk. Tepat
sekali, perutku memang tak pernah diisi sejak pagi. Aku

55 |
kemudian memakan makanan tersebut dengan lahap.
Pelayan tersebut menungguku hingga selesai, lalu kembali
meninggalkanku sendiri.
Sejak saat itu, gudang yang pengap ini menjadi tempat
tidurku. Aku tidak diberi alas kasur, bantal, maupun selimut.
Bahkan, ikatan tali di tangan dan kakiku saja tidak pernah
dilepaskan oleh mereka.
Malam keduaku di ruang pengap ini sungguh-sungguh
merupakan horror yang mengerikan. Cahaya menghilang
begitu cepat sebagaimana seharusnya di negeri tropis,
mereka menutup semua lubang di ruangan ini sehingga
membuatnya semakin pengap. Tak ada listrik ataupun apa
saja yang dapat menerangi ruangan. Kalau saja aku anak
kecil berumur lima tahun, aku pasti akan berteriak menangis
karena ketakutan berada sendirian di ruangan ini. Lantainya
tidak dilapisi pualam, hanya semen yang mengelilingi
seluruh dasar ruangan persegi ini. Tikus-tikus menyerangku
setiap malam hari, nyamuk yang berdengung-dengung
mengganggu kedua telingaku—menjadi pengganti alunan
musik pengantar tidurku—serta suara tokek yang lebih
membuat penderitaan di ruangan ini lengkap. Hal ini
diperparah oleh kunjungan anak buah Nyonya Lina yang
dapat setiap kali menghantamkan balok ke tubuhku.
Keesokan harinya, mereka terus mendatangiku. Mereka
tak pernah berhenti menawarkanku untuk keluar dari
ruangan tersebut dengan syarat ingin kembali menjadi
Jugun Ianfu. Tapi, sama dengan hari sebelumnya, aku tetap
menolak tawaran mereka dengan resiko jatah makanan

56 |
yang dikurangi tiap hari. Hal tersebut terus-menerus terjadi
hingga hari-hari berikutnya. Kalau hanya mengenai jatah
makanan, aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Mereka
sungguh tidak pernah bosan memberikan tawaran tersebut
kepadaku. Semakin lama, hukuman yang mereka berikan
semakin menjadi-jadi. Awalnya hanya masalah
pengurangan jatah makanan. Namun, di saat mereka
mungkin sudah bosan untuk membujukku, mereka mulai
bermain tangan. Pukulan, cambukan, maupun tamparan.
Semua tindak kekerasan tersebut sudah menjadi makanan
sehari-hariku. Tak hanya itu, mereka juga memasukkan
lebih banyak tikus di ruang ini, meski mereka tahu kalau
tikus yang menemani tidurku sebelum mereka
menambahkan tikus yang lain, jumlahnya tidak sedikit.
Setiap hari, mereka selalu menambahkan satu ekor tikus.
Aku masih bisa bertahan. Aku mengabaikan semua
yang mereka katakan. Menjalani semua hukuman yang
mereka berikan. Aku mencoba untuk tidak mengeluh sedikit
pun. Sekarang aku mengerti, mereka sedang mendidikku
untuk menjadi Jugun Ianfu, mereka tidak pernah
memaksaku secara langsung, mereka hanya memberikan
tawaran-tawaran yang diselingi dengan berbagai macam
ancaman. Selain itu, mereka juga melakukannya melalui
permainan-permainan busuk yang mereka ciptakan agar
keinginan untuk menjadi seorang Jugun Ianfu muncul dari
diriku sendiri.
Empat minggu aku telah berada di tempat ini dan aku
masih bisa bertahan dengan pendirianku. Namun, setelah

57 |
beberapa bulan, tubuhku sudah terlalu lemah. Kesehatanku
mulai tidak stabil. Di permukaan kulitku terdapat luka
pukulan di mana-mana, serta darah yang sudah mongering
di beberapa bagian tubuhku.
Malam itu, mereka datang lagi, tiga orang Jepang, salah
satunya adalah Nyonya Lina. Seperti malam-malam
sebelumnya, mereka lagi-lagi menawariku hal tersebut.
Namun lagi-lagi kutolak. Aku dapat melihat raut ekspresi
yang begitu marah di wajah Nyonya Lina. Tapi, dia dapat
mengendalikan amarahnya tersebut. Dia tetap berusaha
untuk mencoba bermain tenang.
Menghadapi sikap Nyonya Lina, aku hanya tetap diam
dan sama sekali tidak berpikiran untuk menyetujui
tawarannya. Aku lebih memilih mati di sini daripada harus
keluar menjadi Jugun Ianfu. Meskipun berat badanku turun
drastis, kuku-kukuku sudah berwarna pucat akibat
kekurangan cairan, serta tikus-tikus yang sudah mencapai
puluhan ekor memenuhi ruangan ini, aku tetap saja tidak
peduli.
Aku sudah berada di tempat ini selama satu setengah
bulan. Pagi harinya, ketika aku baru saja bangun, Nyonya
Lina kembali datang ke ruang tempat pengurunganku—
tempat yang gelap dan pengap—dengan membawa sebuah
kabar yang sangat mengejutkanku. “Geulis, kau harus
dengar ini,” dia mengatakannya dalam keadaan berdiri
sambil berpangku tangan, “adikmu mati.” Lanjutnya
singkat.

58 |
“Trik apa lagi ini, Nyonya Lina?” Aku mengatakannya
enteng, sama sekali tidak percaya dengan apa yang
dikatakan oleh Nyonya Lina.
“Jadi, kau tidak mempercayaiku? Terserah saja. Di luar
sana, sedang diadakan persiapan penguburan adikmu itu.
Dia ditemukan mati kelaparan tadi malam.” Nyonya Lina
baru saja ingin memalingkan badan, tapi aku spontan
menahannya.
“Tunggu, Nyonya. Apa itu semua benar?” Aku masih
merasa ragu-ragu terhadap apa yang dikatakannya.
“Tentu saja.” Dia kemudian berjalan keluar, tapi pintu
masih tetap terbuka lebar.
“Nyonya Lina, bolehkah aku melihat jasad adikku?”
Aku memohon untuk dipertemukan dengan adikku untuk
yang terakhir kalinya meskipun aku masih setengah percaya
dan berharap kalau yang dikatakan Nyonya Lina hanya
sebuah karangannya semata.
Nyonya Lina memanggil seorang anak buahnya lalu
mengantarkanku menuju tempat di mana adikku sudah
terbaring lemah. Innalillahi wainnalillahi rodjiun… aku
terdiam sebentar. Ternyata apa yang dikatakan Nyonya
Lina adalah benar. Itu Fara, adikku yang terakhir. Aku
melihat tubuhnya terbaring kaku di tangah ruangan di
dalam sebuah peti. Aku meneteskan air mata. Ternyata Fara
sudah sebesar ini. Dulu, ketika terakhir kali kulihat,
rambutnya masih sangat pendek dan tubuhnya tidak
sekurus itu. Wajahnya begitu lugu ala anak usia lima tahun.
Ya ampun, mengapa harus Fara yang pergi. Aku sangat

59 |
ingin memeluk jasad adikku itu, tapi aku tidak mungkin
melakukannya dengan kondisi tangan dan kaki yang terikat.
Aku sudah memohon beberapa kali kepada Nyonya Lina,
tapi tetap saja tidak boleh. Aku mengalihkan pandanganku
ke orang-orang sekitar, aku baru sadar bahwa di sini tidak
terdapat sosok ayah dan ibuku.
“Nyonya, apa ayah dan ibuku mengetahui hal ini? Di
mana mereka?” Aku mencoba menanyakan perihal tersebut
kepada Nyonya Lina.
“Sudah, tadi mereka sudah melihatnya. Dan, waktunya
habis. Kau harus kembali.” Dia kemudian beranjak pergi
dan memerintahkan anak buahnya untuk membawaku
kembali ke ruang kurunganku.
Aku tak memiliki tenaga apapun untuk menolaknya.
Aku hanya bisa menerima semuanya, bersabar. Malam
harinya, ketika Nyonya Lina mengunjungiku, dia kembali
menawariku seperti malam-malam sebelumnya. Namun,
kini dia membujukku dengan cara yang lain. Dia tidak
melakukan tindak kekerasan. Caranya kali ini sungguh
sangat halus.
“Satu keluargamu telah terenggut nyawanya. Apa kau
mau yang lainnya ikut menyusul satu per satu?” Nyonya
Lina mengeluarkan kalimat pertamanya.
“Apa maksud Anda?” Aku yang sangat polos sama
sekali tidak mengerti atas maksud ucapan Nyonya Lina.
“Kau telah sebulan lebih menolak tawaranku, menerima
hukumanku, begitu pula dengan keluargamu. Mereka
menerima hukuman sepertimu. Kau sudah sebulan lebih

60 |
bertahan, begitu pula dengan keluargamu yang lain, tapi
tidak dengan adikmu yang meninggal itu. Kau mungkin saja
sanggup bertahan hingga hari-hari berikutnya. Tapi,
bagaimana dengan keluargamu? Apa kau bisa memastikan
kalau mereka tidak akan bernasib sama dengan adikmu
itu?”
Aku terdiam mendengarkan perkataan Nyonya Lina.
Sebenarnya apa yang dikatakannya memang benar. Ya,
Tuhan, apa yang harus kulakukan? Huh, aku menghela
napas pelan.
“Semuanya terserah padamu.” Sambung Nyonya Lina.
Dia sama sekali tidak memaksaku. Dia hanya memberikan
beberapa sugesti, membiarkanku memilih sendiri.
“Kalau aku mau, apa yang akan Nyonya lakukan
terhadap keluargaku?” Aku mulai mengeluarkan suara,
walaupun sangat pelan.
“Tentu saja mereka akan bebas. Mereka akan kembali
ke rumah mereka. Tapi, kau, tidak. Kau harus tetap di sini,
memberikan pelayanan kepada tamu-tamuku.” Dia
menatap tajam ke arahku, yang dikatakannya memang
sedikit membuatku lega, karena keluargaku mungkin bisa
terbebas dari kecamannya. Tapi, bagaimana denganku?
Menjadi Jugun Ianfu bukan hal yang mudah. Aku tak akan
pernah betah untuk menjalaninya. Tak hanya itu, aku sudah
memiliki suami dan anak, tidak mungkin aku melakukan hal
nista tersebut untuk yang kedua kalinya. Ya, Allah, tolong
hambamu ini. Aku meringis dalam hati. Jalanku sudah
sangat buntu, apapun yang akan kulakukan selalu

61 |
merugikan beberapa pihak, baik itu aku, ataupun
keluargaku.
“Kau mau, tidak?” Bentak Nyonya Lina. Sepertinya
kesabarannya sudah di ambang batas.
“I..iya.. aku bersedia.” Aku tertunduk. Entahlah, apakah
keputusanku kali ini sudah benar atau tidak. Tapi, ini sudah
kupertimbangkan beberapa kali. Aku tidak ingin
mengorbankan keluargaku. Mereka sama sekali tidak
memiliki urusan dengan hal ini.
“Baiklah, akhirnya kau mengatakan apa yang begitu
ingin kudengar. Kau, tahu? Mungkin jika kau melakukan ini
lebih awal, adikmu tak akan menemui ajalnya secara tragis
seperti itu.” Dia tersenyum sangat puas, seperti semua yang
dia inginkan dalam hidupnya sudah berdiri di depan mata.
“Malam ini kau tidak perlu bekerja dulu. Kau tidak akan
tidur di sini lagi, aku akan meminta seorang pelayan untuk
memindahkanmu ke kamar VIP di lantai atas. Tapi, kau
harus membersihkan diri terlebuh dahulu.” Dia
membalikkan badan, lalu beranjak pergi.
Belum lama Nyonya Lina meninggalkanku, seorang
wanita paruh baya datang ke ruang pengap ini. Mungkin dia
wanita yang akan membawaku ke kamar di lantai atas.
“Huh,” aku mengeluh kecil. Wanita itu kemudian
melepaskan ikatan di tangan dan kakiku dengan pisau yang
dibawanya. Aku memerhatikan lenganku yang sudah terikat
berbulan-bulan. Lilitan yang cukup kuat membuatnya
terlihat begitu merah, serta rasanya agak perih. Begitu pula
dengan kakiku. Lebam terlihat di sekujur pergelangannya.

62 |
Aku lalu dibawa keluar oleh wanita tersebut, meninggalkan
tempat terburuk yang pernah ada. Aku menatap seluruh isi
ruangan pengap ini sebelum beranjak pergi, tikus-tikus yang
dimasukkan setiap malam oleh anak buah Nyonya Lina,
dinding-dinding yang lembab akibat hujan, serta plafon-
plafon yang sudah roboh setengahnya. Semuanya seakan
menatapku mengucapkan salam perpisahan, huh, sungguh
konyol. Wanita tersebut memegangi pundakku, memberikan
isyarat kalau kami sebaiknya segera keluar di ruangan ini.
Jalanku tidak karuan, terlihat agak pincang. Tubuhku
kemudian digopong olehnya. Kami berjalan menyusuri
koridor-koridor Ian-jo yang sangat gelap. Di ujung koridor,
terdapat tangga putih, kami kemudian menaiki satu per satu
anak tangga tersebut. Ketika kami tiba di anak tangga yang
terakhir. Kamar tujuan kami berada tepat di ujung lorong,
jadi kami harus berjalan lagi menyusuri koridor yang begitu
gelap.
Wanita paruh baya tersebut meraba pintu kamar,
mencoba mencari gagang pintu di sekitar papan datar yang
terbuat dari kayu itu. Ia lantas menancapkan kunci yang
sudah berada di tangannya sejak tadi. Ketika kunci tersebut
sudah tertancap mantap di lubangnya, ia kemudian
memutarnya sebanyak dua kali dan menarik gagang pintu
tersebut ke arah bawah hingga pintunya berhasil terbuka.
Ketika kami memasuki kamar itu, wanita yang sejak tadi
menopangku untuk berjalan kemudian menekan tombol
sakelar, dan seketika ruangan ini menjadi terang akibat
cahaya lampu. Setelah itu, wanita tersebut meninggalkanku

63 |
sendiri di ruangan ini. Aku pun menutup pintunya, duduk
termenung di ujung tempat tidur. Beberapa lama kemudian,
aku beranjak dari dudukku, menuju ke kamar mandi untuk
membersihkan diri. Badanku kemudian terasa sangat segar,
terhitung sudah berbulan-bulan aku tidak pernah
mencipratkan air ke sekujur tubuhku. Aku menatap cermin
sebadan yang terletak di sudut ruangan. Bertanya-tanya
sendiri dalam hati, apakah setelah ini hidupku akan menjadi
lebih baik, atau malah sebaliknya?

64 |
DESEMBER, 1948.
“Lili, apa kau baik-baik saja?” Faiz mengalihkan
perhatiannya ke puteri satu-satunya yang sedang duduk
termenung di serambi rumah.
Lili yang ditanya tidak menjawab, tatapannya hanya
lurus ke depan, dan juga kosong. Lili yang sudah berumur
empat tahun itu sangat menyayangi ayahnya. Sesekali dia
menanyai mengenai ibunya, namun tidak pernah digubris
oleh sang Ayah.
“Lili,” sekali lagi Faiz menegur puterinya itu. Tapi,
seperti sebelumnya, Lili tetap saja diam seribu bahasa. “Ini
tahun 1948. Bangsa kita sudah memproklamasikan
kemerdekaan sejak tiga tahun yang lalu. Orang-orang
Jepang yang dulunya berkuasa juga telah mengangkat kaki
dari negeri kita ini. Tapi, para tentara dari Belanda datang
kembali, ingin memberontak di Negara ini, menancapkan
kembali kekuasaan yang dulu pernah lepas. Beberapa hari
kemudian, entah hari apa tepatnya, mungkin Ayah akan

65 |
pergi bertempur di medan perang,” Faiz menghela napas
perlahan, “kau hanya perlu jaga diri baik-baik.” Sambung
Faiz.
Lili menoleh terkejut. Dia seperti tak menyangka apa
yang dikatakan barusan oleh ayahnya. Ingin mencegah, tapi
mulutnya membeku, tak mampu mengeluarkan sepatah
kapapun. Lili kemudian memeluk ayahnya erat, seakan
memberikan pelukan terakhir untuk sang Ayah.
Tepat seminggu setelahnya, perang yang dimaksud Faiz
benar-benar terjadi. Faiz mendapat panggilan langsung oleh
pengawal Jenderal Sudirman. Mereka akan melakukan
perang gerilya, sebuah perang rahasia yang akan dijalankan
oleh pasukan Jenderal Sudirman dalam agresi militer
Belanda yang kedua.
Serangan yang dilakukan Belanda dibuka tanggal 19
Desember 1948. Dengan taktik perang kilat, Belanda
melancarkan serangan di semua front di seluruh pelosok
Indonesia. Serangan yang dilakukan oleh balatentara
Belanda diawali dengan penerjunan pasukan payung di
Pangkalan Udara Maguwo dan dengan gerak cepat,
pasukan Belanda berhasil menduduki beberapa kota di
Indonesia. Meskipun Belanda melakukan agresinya yang
kedua, para pemimpin negara masih tetap berada di
Batavia, mereka masih mengantisipasi adanya kegiatan
diplomasi dengan pihak Belanda.
Ketika itu, keadaan Indonesia begitu kacau balau.
Ledakan terjadi di mana-mana, bom-bom tak pernah
berhenti meledak. Sementara itu, beberapa bulan sebelum

66 |
Belanda melakukan serangan terhadap kota Yogyakarta,
Jenderal Sudirman menderita sakit paru-paru yang sangat
parah sehingga ia harus dirawat di rumah sakit dan
kemudian dirawat di rumah. Ia berpesan jika Belanda
menyerang kembali, maka ia akan memegang kembali
pimpinan Angkatan Perang dan memimpin prajurit-
prajuritnya melakukan perlawanan gerilya. Ketika itulah,
seorang ajudan Jenderal Sudirman datang membawa surat
panggilan untuk Faiz, surat panggilan untuk mengadakan
perang gerilya yang dipimpin langsung oleh Jenderal
Sudirman.
Janji itu kemudian ditepati oleh Jenderal Sudirman.
Pada saat Belanda menyerang Yogyakarta, ia bangkit dari
tempat tidurnya, mengajak presiden untuk memimpin
gerilya, tetapi ajakan tersebut ditolak. Dengan diiringi
ajudan dan pasukan pengawalnya, Jenderal Sudirman naik
gunung, turun lembah, serta keluar-masuk hutan menembus
teriknya matahari dan derasnya hujan untuk memimpin
perlawanan rakyat semesta. Bahkan beliau dan para
pengawalnya sempat menetap selama sembilan puluh
sembilan hari sejak tanggal 31 Maret 1949 hingga 7 Juli
1949 di desa Pakis, Sobo, Kecamatan Nawangan, Pacitan,
Jawa Timur.
Dari rumah markas gerilya itulah, Panglima Besar
Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya, termasuk
memberi perintah serangan umum. Pada masa yang paling
gelap bagi Republik Indonesia tersebut, Jenderal Sudirman
memberikan pegangan dan kekuatan batin kepada rakyat

67 |
dan prajurit yang berjuang untuk kelangsungan hidup
negaranya.
Menjelang dimulainya perang gerilya tersebut, Jenderal
Sudirman, ajudan-ajudannya, beserta pasukan-pasukan TNI
yang membantu dalam perang kemudian mulai bergerak
sedikit demi sedikit. Keesokan harinya, mereka berjalan
menelusuri pelosok-pelosok hutan. Gerak-gerik mereka
berhasil disembunyikan dari para tentara Belanda. Dalam
waktu satu bulan, pasukan TNI telah berhasil melakukan
konsolidasi dan mulai memberikan pukulan secara teratur
terhadap musuh. Seluruh Jawa dan Sumatra menjadi satu
daerah gerilya yang menyeluruh. Tekanan terhadap
pasukan Belanda ditingkatkan. Penghadangan terhadap
konvoi perbekalan tentara Belanda berhasil dilakukan.
Serangan umum yang dilaksanakan terhadap kota-kota
yang diduduki Belanda mulai dilaksanakan oleh pasukan
TNI. Serangan yang paling terkenal adalah Serangan Umum
1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta. Pasukan TNI
kemudian berhasil menduduki kota Yogyakarta. Namun
naasnya, Faiz mendapat sebuah tembakan yang dijuruskan
tepat di dada kirinya oleh pasukan Belanda. Tubuhnya
tergeletak jatuh ke dalam jurang hingga sulit untuk
diselamatkan.
Kabar duka tersebut kemudian sampai ke telinga Lili.
Tak ada reaksi apapun yang digambarkannya selain air
mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Dia terkejut
bukan main, tangannya dengan spontan menutup mulutnya
yang menganga. Lili masih terlalu kecil untuk hidup tanpa

68 |
orang tua, umurnya masih empat tahun. Dia belum tahu
apa-apa, dan kini, ibunya yang selalu dipuji cantik oleh sang
Ayah tak pernah dia lihat rupa wajahnya, serta ayahnya
yang kini gugur di medan perang semakin menyayat luka di
hatinya. Lili kecil kemudian dititip kepada Dewi, adik
kandung Faiz. Dewi merawat dan membesarkan Lili dengan
begitu baik dan penuh kasih sayang. Sejak saat itulah, Lili
memanggil Dewi dengan panggilan „Mama‟.
Sebelas tahun berselang, Lili tumbuh menjadi anak
yang cantik, dengan paras khas pribumi bercampur Jepang.
Dia kini sudah dewasa, berusia sekitar lima belas tahun. Lili
menganyam pendidikan di sebuah sekolah menengah atas
yang pada saat itu masih merupakan sekolah satu-satunya
di daerah tersebut.
Malam itu Lili termenung di meja belajarnya. Dia
menatap lamat-lamat langit biru yang dihiasi dengan
taburan bintang. “Andai saja ibu ada di sini. Mungkin kita
bisa menatap indahnya bintang bersama-sama. Ibu di
mana? Aku ingin bertemu dengan ibu.” Ujarnya dalam hati.
Dia begitu merindukan sosok sang Ibu yang belum pernah
ditemuinya. Sejak saat itu, dia mulai berniat untuk mencari
tahu keadaan ibunya. Namun, ketika dia menyampaikan
niatnya tersebut kepada Dewi, Dewi menolak mentah-
mentah keinginan Lili pergi ke Jakarta—yang dulu disebut
dengan nama Batavia—untuk mencari di mana ibunya
berada.
“Apa? Kau ingin ke Jakarta?” Kata Dewi dengan nada
yang cukup tinggi. Ia sangat terkejut mendengar keinginan

69 |
Lili barusan, “kau ini masih berusia lima belas tahun, belum
tahu apa-apa mengenai kehidupan di Jakarta, sebuah kota
besar dengan tindakan kriminal yang cukup tinggi. Di luar
sana sedang terjadi berbagai masalah. Pemerintah sedang
berusaha penuh memberantas berbagai permasalahan
tersebut. Bagaimana kalau terjadi apa-apa kepadamu ketika
kau sendirian di sana?” Dewi menyapu pelipisnya yang
agak basah akibat keringat. Dia sedang membersihkan
halaman rumah ketika Lili mendatanginya.
“Tapi, Lili ingin ketemu dengan ibu Lili.” Lili
menunjukkan wajah memelas, penuh dengan permohonan.
“Tidak, Lili. Mungkin lebih baik kau masuk saja ke
kamarmu untuk belajar.” Dewi kembali melanjutkan
pekerjaannya yang tadi tertunda akibat melakukan
perbincangan dengan Lili.
Lili berlari masuk ke rumah. Dia menangis sejadi-
jadinya. “Mengapa tak ada satu pun orang yang dapat
mengerti posisiku saat ini?” Ujarnya pelan sambil mengusap
air matanya. Dia kemudian bergegas beranjak, berjalan ke
arah lemari tua yang terletak di sudut kamarnya, lalu
mengambil beberapa pakaian yang sering digunakannya.
Dia kembali meraih sebuah tas besar di bagian atas lemari,
lalu memasukkan semua baju-baju yang tadi diambilnya ke
dalam tas tersebut.
Malam hari, ketika Dewi sudah tertidur pulas di
kamarnya, Lili mengendap-endap menuju ke pintu luar.
Dengan sangat hati-hati, dia menarik gagang pintu ke
bawah sampai akhirnya pintu tersebut terbuka, dengan

70 |
pelan pula dia menutupnya kembali hingga rapat. Malam ini
tujuannya adalah terminal. Jika malam ini tak ada angkot
yang akan mengantarnya menuju ke Jakarta, dia akan
menginap di sana, menunggu sampai besok pagi. Dan
benar saja, suasana terminal sangatlah sepi. Lili pun menuju
ke bangku besi panjang di pojok terminal, meletakkan
tasnya di ujung kursi tersebut untuk dijadikan pengganti
bantal, lalu dia tertidur pulas malam itu.
Keesokan harinya, Lili dibangunkan oleh seorang
petugas terminal. Dia kemudian mengucek kedua matanya,
lalu bergegas mencari angkutan umum yang akan menuju
ke Jakarta. Setelah dia mendapat angkotnya, pagi itu juga
dia menuju ke kota Jakarta, kota yang belum pernah dia
kunjungi sebelumnya. Terhitung satu setengah jam waktu
perjalanan hingga angkot yang dikendarai Lili tepat
menyandarkan keempat rodanya di terminal Jakarta.
Lili menatap sekeliling, tak ada satu pun orang yang
dikenalinya di sini. Dia mulai kebingungan ke mana
tujuannya setelah ini. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di
kepalanya. Di tepi jalan, terlihat sebuah warung makan yang
tidak terlalu besar, dia berniat untuk melamar bekerja
sebagai pelayan di tempat tersebut. Setelah dia
mengunjungi rumah makan itu dan menyampaikan
maksudnya, pemilik warung tersebut menolak. Dia hanya
menerima pekerjaan pembantu rumah tangga. Mendengar
hal tersebut, Lili langsung menganggukkan kepala tanda
semangat. Dia langsung meminta agar dipekerjakan sebagai
pembantu rumah tangga saja. Pemilik warung kemudian

71 |
setuju. Mulai hari itu juga, Lili tinggal di rumahnya dan
mengerjakan berbagai perkerjaan rumah tanggga. Untung
saja dia sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah ketika
membantu Dewi. Jadinya dia tidak terlalu repot
mengerjakan segalanya.
Lili melakukan berbagai macam pekerjaan, mulai dari
mencuci pakaian, menyapu hingga membersihkan lantai,
mencuci piring, bahkan sesekali dia juga menjaga anak
majikannya ketika rumah sedang kosong. Namun, Lili tak
begitu sadar jika sejak saat itu dia telah memasuki sebuah
zona cobaan yang tidak ringan. Kala itu rumah sedang
kosong. Hanya ada Lili dan Zee, anak majikannya yang
berumur lima tahun. Zee marupakan anak yang cukup kritis,
otaknya dipenuhi dengan rasa penasaran yang begitu tinggi.
Ketika Zee sedang bermain di sekitar rumahnya, sebuah
guci mewah jatuh dan akhirnya pecah. Zee tiba-tiba
berteriak menangis. Lili yang sedang berada di dapur
kemudian berlari untuk mengecek apa yang sedang terjadi.
Ketika melihat kepingan-kepingan guci yang pecah dan Zee
yang menangis di dekatnya, dia langsung melepas
celemeknya, membawa Zee masuk ke kamar untuk
dibiarkan tidur siang, lalu setelah itu barulah dia
membersihkan kepingan-kepingan guci yang pecah.
Ketika majikannya sudah pulang dan mendapati guci
mahal mereka yang sudah tidak di tempat, mereka langsung
memanggil Lili dan menanyakan mengenai guci tersebut.
“Eh..anu..tadi gucinya dijatuhkan oleh Zee, mungkin
tidak sengaja ketika sedang bermain.” Lili menjawab sesuai

72 |
dengan apa yang diketahuinya. Akan tetapi, majikannya
tidak serta merta memercayainya. Mereka kemudian
memberikan hukuman kepada Lili akibat sebuah insiden
yang bukan merupakan ulahnya sama sekali. Nyonya besar
di rumah tersebut marah besar. Setrika panas langsung
didaratkan mulus ke permukaan kulit Lili yang putih.
“Aaaahhhh!” Teriak Lili begitu setrika tersebut menyentuh
indera perabanya. Seketika kulitnya merah terbakar, dia
menangis. Akan tetapi, sang Majikan sama sekali tidak
memperdulikannya. Mereka hanya memaki-maki Lili,
mengancamnya, bahkan kembali memberikan hukuman
yang bertubi-tubi. Sejak saat itu, Lili sepertinya semakin
sering mendapatkan siksaan dari majikannya. Sifat mereka
kini berubah drastis, tidak sama ketika awal Lili melamar
pekerjaan di warung mereka yang menunjukkan sikap
begitu ramah.
Beberapa hari setelahnya, Lili kembali mendapat
siraman kuah sup oleh majikannya hanya karena dia
bangun kesiangan. Dia juga pernah mendapatkan
cambukan ikat pinggang di punggungnya ketika dia lupa
menjemput Zee di sekolahnya, padahal Zee sudah pulang
dengan selamat. Tak hanya itu, setelah semua kesalahan
yang diperbuatnya tanpa sengaja itu, dia lagi-lagi diberi
hukuman tidak mendapat jatah makanan selama tiga hari,
dan selama itu pula Lili berpuasa agar rasa lapar dan
dahaga yang dia rasakan tidak sia-sia.
Siksaan demi siksaan yang digolongkan oleh majikan
Lili sebagai siksaan kecil tersebut terus menimpa Lili ketika

73 |
dia melakukan sedikit saja kesalahan. Tidak tahan dengan
perilaku majikannya terhadap dirinya, Lili memutuskan
untuk kabur dan pergi mencari ibunya ke tempat lain. Lili
kemudian mencoba untuk membulatkan tekadnya dan
memulai aksi minggatnya itu.
Setelah dia berhasil melarikan diri dan terus menjauh
dari kediaman majikannya, dia berhenti tepat di sebuah
rumah kosong. Dia pun melangkahkan kakinya masuk ke
rumah tersebut. Setelah memastikan bahwa tidak ada orang
yang tinggal di rumah kecil ini, dia kemudian memutuskan
untuk tinggal di sana untuk sementara waktu. Lili yang
mandiri kemudian menjalani kehidupannya di rumah
tersebut, meskipun berbagai macam luka di sekujur
tubuhnya, namun dia tetap berambisi untuk menemukan
ibunya di kota besar ini.
Tekadnya begitu bulat, perasaan rindunya kini sudah
tak terbendung lagi. Dia berdoa dan terus berharap suatu
hari nanti akan bertemu dengan sang ibu. Ya, sebuah
harapan yang kini membawa Lili ke tempat yang belum
pernah dia kunjungi ini, Batavia.

74 |
MERDEKA? Apa maksud dari kata merdeka itu? Meskipun
manusia-manusia Jepang tesebut telah mengangkat kaki
keluar dari negeri ini, namun bekas-bekas penjajahannya
tidak sepenuhnya lenyap. Ian-jo merupakan salah satu bukti
bahwa masih adanya tindak penjajahan Jepang di Negara
ini. Terkadang aku masih bertanya-tanya sendiri dalam hati
mengenai nasib bangsa ini kedepannya. Mengapa
pemerintah tidak memberantas tempat prostitusi ini?
Mengapa mereka hanya membiarkan akar dari segala dosa
tetap berkembang di negeri mereka? Sungguh, bodoh. Apa
mereka takut? Atau justru mereka tidak terlalu
menghiraukan nasib kami yang sudah ternoda sekian ratus
kali ini. Entahlah, mungkin saja mereka masih sibuk
memikirkan perbaikan ekonomi yang begitu hancur
berantahkan.
Menginjak tahun 1960, perekonomian di negeri ini
memburuk drastis sebagai akibat dari ketidakstabilan politik,
yang menyebabkan kemiskinan dan kelaparan menimpa

75 |
hampir seluruh pelosok Indonesia. Pada saat kejatuhan
presiden pertama Indonesia, di pertengahan 1960-an,
perekonomian berada dalam kekacauan yang begitu buruk
dengan inflasi tahunan 1.000%, menyusut pendapatan
ekspor, infrastruktur hancur, pabrik beroperasi pada
kapasitas minimal, dan mengabaikan investasi.
“Geulis,” sebuah teriakan tiba-tiba menyadarkanku dari
lamunan. “Huh, siapa lagi yang memanggilku siang bolong
seperti ini.” Aku berdecak kecil dan segera meloncat dari
tempat tidur.
Setelah aku keluar dan mengecek siapa pemilik suara
yang meneriaki namaku, aku melihat Nyonya Lina. Tunggu,
kenapa lagi dia datang ke sini. Bukankah ini belum waktu
kerja? Lagi pula, ini masih pukul dua, dan semua wanita
masih menikmati tidur siang mereka.
“Tidak, tidak. Aku tidak berniat untuk mengganggumu.
Aku hanya ingin memberikanmu gaun ini. Aku baru
membelinya tadi, aku pikir, itu sangat cocok jika digunakan
olehmu.” Nyonya Lina menyerahkan sebuah gaun hitam
selutut itu kepadaku. Aku memandang gaunnya. “Wah, ini
sangat indah, Nyonya. Apa benar ini untukku?” Aku kagum
melihat gaun tersebut, motifnya sangat mewah, dan pasti
harganya sangat mahal. Nyonya Lina tidak menjawabku,
dia hanya tertawa kecil, lalu pergi meninggalkan aku.
Mungkin saja dia ingin agar aku memakai gaun tersebut
sebentar malam. Baiklah kalau begitu, aku akan
menggunakan gaunnya.

76 |
“Eh, tunggu sebentar. Aku hampir lupa dengan yang
satu ini.” Nyonya Lina kembali menghampiriku.
“Ada apa?” Tanyaku.
“Kau sudah menikah, bukan? Suamimu merupakan
anggota TNI.”
“Iya. Dari mana Nyonya tahu?” Aku mulai penasaran
dengan perkataan Nyonya Lina barusan.
“Faiz?” Dia balas bertanya tanpa sedikit pun menjawab
pertanyaanku.
“Benar. Bagaimana Nyonya mengetahuinya?” Aku
agak mendesak. Nyonya Lina memang selalu seperti itu,
membuat penasaran.
“Dia gugur di medan perang beberapa tahun lalu.”
Katanya dengan nada suara yang datar, tak terlihat raut
kesedihan sedikit pun. Ya, itulah Nyonya Lina.
“A..apa? Nyonya bercanda, bukan? Beberapa tahun
lalu? Bagaimana mungkin dan dari mana Nyonya mengeta-
hui semuanya?” Aku terkejut, berita yang dibawakan oleh
Nyonya Lina sukses membuat lututku lemas.
“Mungkin sekita sebelas tahun lalu. Dia diutus oleh
ajudan Jenderal Sudirman untuk mengikuti perang geriliya
yang bertujuan memberantas agresi militer Belanda.
Entahlah, aku tidak tahu persis bagaimana, tapi itu yang
kudengar melalui radio beberapa hari yang lalu, yang
membahas mengenai serangan umum 1 Maret beberapa
tahun yang lalu. Sungguh memilukan.” Dia hanya meng-
angkat sebelas alisnya dan kembali menatapku.

77 |
Aku menyimak setiap perkataan Nyonya Lina, tanpa
menjawabnya sedikit pun. Aku hanya menangis dan terus
menangis. Berita mengenai gugurnya Faiz di medan perang
cukup untuk membuat separuh jiwaku hilang. Mengapa aku
baru mengetahui kabar ini sekarang. Lantas, bagaimana
dengan Lili puteri kami. Apa Lili baik-baik saja, siapa yang
menjaganya? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati
dibarengi dengan mengalirnya air mata di kedua bola
mataku.
“Hei, kenapa kau terlihat begitu sedih?” Nyonya Lina
kembali menyahut.
Apa? Mengapa aku terlihat begitu sedih? Aku bukan dia
yang sama sekali tidak memiliki rasa belas kasihan, aku
punya hati. Faiz suamiku! Aku menatap Nyonya Lina yang
sama sekali tidak bersimpati terhadap apa yang baru saja
kualami.
“Baiklah, kau tidak mau menjawabku. Tapi, aku tidak
mau tahu, kau harus tetap bekerja dan segera lupakan
masalah suamimu yang mati itu. Toh, kalian juga sudah
tidak berjumpa sejak beberapa tahun lalu.” Nyonya Lina
kini berdiri dengan posisi kedua tangan yang terlipat.
Setelah itu, dia kembali pergi.
Aku menutup pintu kamar begitu Nyonya Lina sudah
beranjak menuruni anak tangga. Aku duduk termenung di
sudut tempat tidur, mengenang semua hal menyenangkan
sejak bersama Faiz dulu. Air mata kembali mengalir deras di
pipiku. Tapi, bagaimana pun, baik Faiz masih hidup atau
sudah meninggal seperti yang terjadi sekarang, aku tetap

78 |
saja tidak bisa menemuinya dan kenangan menyenangkan
yang terjadi di masa lalu tidak akan pernah bisa terulang.
Aku kemudian menyeka air mataku, mencoba untuk tenang
dan tidak memikirkan berbagai hal lain lagi. Aku menuju ke
depan cermin, mengangkat kepalaku, lantas menatap lekat
bayangan yang berada di sana, kau seorang Jugun Ianfu,
wanita kotor yang sudah tak pantas menangisi Faiz, lupakan
dia! Batinku seraya membersihkan kelopak mataku dari sisa-
sisa air mata.
Pukul 18.00 WIB. Ian-jo sudah dipenuhi oleh tamu-
tamu yang berasal dari berbagai kalangan. Aku sudah
sangat dikenal di tempat ini. Aku terkenal dengan julukan
„Hana of Jugun Ianfu’. Aku kemudian berbincang-bincang
dengan tamu-tamu pria yang berdatangan, melayaninya,
memberikan apapun yang diinginkan tamu tersebut. Aku
bekerja dengan baik, mengerahkan segala kemampuan
yang kumiliki, meskipun tak ada seorang pun yang
mengetahui bahwa aku begitu tersiksa dengan keadaan ini.
Mereka hanya melihat senyum palsu yang kupasang di
wajahku setiap hari. Diam-diam aku merasa muak dengan
diriku, aku jijik ketika memandang seluruh tubuhku di
depan cermin.
Aku telah mengabdi kepada Nyonya Lina selama
bertahun-tahun, aku mengikuti setiap yang dikatakannya.
Sebenarnya ada sesuatu yang tidak adil di sini. Mereka
mengatakan kalau aku bekerja, tapi aku sama sekali tidak
pernah diberikan upah, padahal ini bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah dilakukan. Ini adalah pengorbanan

79 |
sebuah harga diri, itu pun setelah mengalami penderitaan
fisik yang bertubi-tubi.
Kebetulan sekali, malam ini tak ada tamu yang akan
tidur bersamaku. Jadi, malam ini aku bebas. Aku hanya
berbaring termenung di kamarku, menatap sebuah bingkai
foto, sebuah foto keluarga. Aku menatap foto tersebut
lamat-lamat. Lihatlah mereka semua, senyumnya begitu
menggambarkan kebahagiaan yang tiada banding.
Sepasang orang tua lengkap dengan ekspresi yang
menunjukkan deretan gigi mereka yang begitu rapi, serta di
hadapannya berbaris lima orang anak perempuan dengan
rambut yang dibiarkan terurai.
“Ah, sudahlah. Tak ada gunanya.” Aku berdecak
jengkel. Aku kemudian bangun, berniat untuk mencari
udara segar di luar. Aku berjalan menelusuri koridor-koridor
sempit Ian-jo, lalu menuruni satu per satu anak tangganya.
Setelah kakiku menginjak anak tangga yang terakhir, aku
mendengar suara pukulan dan teriakan kesakitan oleh
seseorang di ruangan yang terletak beberapa meter dari
tempatku berdiri. Awalnya aku hanya berpikir kalau suara
tersebut milik seorang gadis yang tidak mau mengikuti
permintaan Nyonya Lina. Namun, setelah memperhatikan
dengan jelas, suara tersebut bukanlah milik seorang
perempuan, melainkan suara seorang pria yang kemudian
diikuti dengan dahakan batuk. Aku penasaran dan tertarik
untuk mengintip kejadian tersebut. Aku pun menunggu
sampai orang-orang yang menjaga ruangan pria itu keluar.
Setelah beberapa menit menunggu dan bersembunyi,

80 |
mereka akhirnya muncul di balik pintu yang sejak tadi
kuperhatikan. Aku yang memiliki kesempatan untuk masuk
lalu berjingkat-jingkat menuju pintu tersebut agar tidak
ketahuan penjaga tadi. Setelah aku berhasil masuk, aku
langsung menyalakan lampu. Dan, astaga, tebaklah apa
yang kulihat. Pria yang sejak tadi meringis kesakitan itu
adalah ayahku. AYAHKU!
Keparat! Ternyata Nyonya Lina belum membebaskan
orang tuaku. Mereka masih mengurungnya, bahkan
menyiksanya. Aku kemudian mendekati ayahku, berusaha
melepas ikatan di tangannya. Namun, belum juga aku
berhasil melepas ikatannya, para penjaga tadi tiba-tiba
memergokiku. Mereka langsung menghantamkan balok ke
pundak kiriku. Aku terjatuh kesakitan. Mereka kemudian
membawa kedua orang tuaku meninggalkan ruangan ini.
Dan aku, aku masih tetap berada di ruangan ini, tak
sadarkan diri.
Di luar sana, mereka mengurung orang tuaku di tempat
yang berbeda. Aku masih tak sadarkan diri semenjak
menerima hantaman balok dari mereka. Nyonya Lina yang
beberapa tahun lalu telah berjanji untuk membebaskan
keluargaku ternyata tidak menepati omongannya. Mulutnya
sebusuk hatinya. Dia ternyata membodohiku. Adik-adikku
juga masih dalam penjagaannya. Mereka di kurung di
tempat yang berbeda dengan orang tuaku. Apa-apaan
semua ini? Hidupku terus saja dipenuhi oleh ketidakadilan.
Masalah demi masalah terus berdatangan.

81 |
82 |
“BISAKAH kau mempercepat langkahmu itu?” bisik Zizka,
adikku yang kedua. Keesokan harinya, setelah kedua orang
tuaku dipindahkan ke ruangan lain, sedangkan aku kembali
menjadi kurungan dan bahan siksaan Nyonya Lina, ketiga
adikku berhasil menembus dinding pertahanan Nyonya Lina
dan anak buahnya. Mereka berhasil melarikan diri dan
segera menuju ke rumah kediaman kami dulu.
“Kau yakin itu adalah rumah kita?” Tanya salah
seorang di antara mereka. “Tentu saja, aku masih ingat
betul bagaimana bentuk dan warna dari rumah kita.
Semuanya tidak ada yang berubah.” Zizka kembali
bersuara, memimpin kedua adikku yang lain hingga mereka
bisa terbebas dari cengkeraman Nyonya Lina.
Mereka bertiga berlari menuju ke rumah tersebut. Rasa
rindu di wajah mereka tergambar dengan sangat jelas.
Namun, ketika mereka memasuki rumah itu, ada seseorang
yang tiba-tiba berada di rumah mereka, duduk santai di

83 |
ruang tamu sambil mengenakan baju tidur dengan secangkir
teh di hadapannya.
“Siapa kalian?” Tanya orang asing tersebut.
“Harusnya kami yang bertanya, kamu siapa? Ini rumah
kami.”
“Aku Lili. Rumah ini kosong, jadi aku memutuskan
untuk tinggal di sini. Aku tidak mempunyai tempat tinggal.
Jadi, maafkan aku.”
“Tidak apa-apa. Kau boleh tinggal di sini bersama
kami.” Kata Zizka sambil tersenyum tipis kepada Lili.
Senyum di wajah Lili seketika mengembang, membalas
senyuman Zizka. Dia sangat senang karena tidak tinggal
sendirian lagi. Kini, dia memiliki teman dan tidak kesepian
lagi.
Baiklah, ketiga adikku sudah berhasil meloloskan diri.
Bahkan, sekarang mereka tinggal bersama Lili tanpa
sepengetahuanku. Malam itu, di ruangan yang kosong dan
gelap ini, kakiku dipasung. Aku tidak dapat bergerak sedikit
pun. Aku masih tidak mengerti dari motif penyekapan yang
dilakukan oleh Nyonya Lina. Hantaman balok yang
diberikan semalam telah membuatku lemah tak berdaya.
Aku kemudian menangis. Aku lelah, sangat lelah. Cobaan
ini sama sekali tidak ringan. Aku telah mengorbankan
tubuhku agar wanita keparat itu membebaskan keluargaku.
Namun, lihatlah, setelah bertahun-tahun aku mengikuti
segala permintaannya, dia ternyata tidak menepati janji
yang dulu kami sepakati. Bahkan, sekarang aku kembali
mendapat hukumannya, hanya saja ini lebih parah lagi.

84 |
Jujur saja, aku jadi gila karena hal bodoh ini. Dipasung di
sebuah ruangan gelap dan pengap bukanlah suatu perkara
yang mudah. Aku terus menangis histeris sepanjang malam,
aku juga tak pernah melewatkan cambukan-cambukan yang
dihantamkan di punggungku dengan menggunakan rotan
yang sudah menjadi pengganti makan malamku.
Mereka gila, atau aku yang gila. Entahlah, aku tidak
dapat menerka apapun saat ini. arah pikiranku menuju ke
mana-mana.
Di sisi lain, adik dan anakku yang tak pernah kuketahui
keberadaannya sedang berbincang santai di teras rumah,
tempat kesukaanku di rumah tersebut. Mereka sudah tinggal
bersama selama beberapa bulan dan menjadi semakin
akrab, seperti teman dekat. Seandainya mereka tahu kalau
hubungan mereka bahkan lebih dekat dari seorang teman,
yakni bibi dan keponakannya. Tapi, ketika Lili menjatuhkan
sebuah foto yang merupakan foto pernikahanku dengan
Faiz dari lemari pakaiannya, dan tak sengaja dilihat oleh
Zizka, mata Zizka langsung manatap tajam ke arah Lili dan
mulai menginterogasinya. Setelah itu, semuanya sudah
jelas, mereka sudah mengetahui fakta yang sebenarnya.
Betapa senangnya hati Lili setelah mengetahui bahwa
rumah yang ditinggalinya ini merupakan kediaman ibunya,
dan kini dia sedang tinggal bersama dengan bibinya, adik
kandung sang Ibu. Lili kemudian menceritakan segalanya,
segala hal mengenai dirinya dan aku, mulai dari ayahnya,
Dewi, maupun mengenai masa kecilnya. Zizka hanya
terbelakak mendengar semua cerita Lili. Dia tidak

85 |
menyangka kalau ternyata aku sudah melangsungkan
pernikahan tanpa sepengetahuannya.
Keesokan harinya, Zizka dan Lili kemudian menyusun
sebuah rencana, sebuah rencana pemberantasan Ian-jo.
Awalnya, mereka mencoba untuk melapor ke pihak
berwajib, namun usaha mereka sia-sia. Tidak ada pihak
mana pun yang ingin berurusan dengan tempat tersebut.
Mereka terus berusaha untuk membebaskanku beserta
kedua orang tuaku dari tempat terkutuk ini. Namun, sama
seperti usaha sebelumnya, tetap saja gagal.
Aku berteriak histeris. Aku gila. Tubuhku menjadi kurus
kering akibat kekurangan asupan bahan makanan.
Bayangkan saja, makan pun aku hanya melakukannya
sekali sehari dengan porsi yang semakin lama semakin
berkurang. Aku tidak tahu bagaimana nasib kedua orang
tuaku. Orang yang selama ini kupikir telah bebas dari
siksaan Nyonya Lina. Aku tak pernah lagi memikirkan apa-
apa semenjak itu. Aku lebih sering tertawa-tawa sendiri,
mungkin lebih kepada menghibur diri. Rambutku terlihat
sangat berantahkan. Tubuhku bau dan kotor. Aku gila, aku
sungguh gila. Aku tak pernah bisa menebak apa yang akan
terjadi padaku selanjutnya. Bahkan, Lili dan Zizka pun tak
akan pernah bisa memastikan bahwa mereka akan berhasil
membawaku pulang, mengakhiri segala penderitaan yang
telah kurasakan selama belasan tahun. Sebuah penderitaan
yang kualami sejak meletusnya perang dunia II hingga
bangsa kita telah merdeka.

86 |
***

Gemuruh petir semakin menambah duka di hari itu. Tepat


pada 21 September 1961, kayu yang memasung kedua
kakiku dilepas. Aku sudah tidak tertaw-tertawa geli lagi bak
orang yang kehilangan akalnya. Penderitaanku berakhir,
semuanya telah berakhir.
Kondisi ekonomi pemerintahan yang begitu hancur
memberikan dampak pada berbagai kalangan, tak terkecuali
aku. Menjadi seorang Jugun Ianfu tentu saja tak pernah
diinginkan oleh siapapun. Tapi, aku telah memberikan
pengabdian dengan menjadi bagian dari Jugun Ianfu selama
belasan tahun lamanya.
Kini, apa yang kuinginkan telah terjadi. Bangunan yang
bertuliskan „Ian-jo’ di bagian depannya itu telah disegel oleh
pihak yang berwajib. Tempat tersebut sudah tidak boleh
beroperasi lagi, dan orang-orangnya pun sudah diberi
hukuman yang seberat-beratnya. Aku sungguh puas.
Mengapa hal ini tidak terjadi sejak dulu? Tapi, itu tidak jadi
masalah. Lihatlah, Lili, Zizka, adik-adikku yang lain, serta
kedua orang tuaku. Mereka kini dapat tertawa puas,
terbebas dari cengkeraman bangsa penjajah. Mereka kini
dapat menikmati arti kemerdekaan secara utuh.
Kediamanku di kala itu dipenuhi dengan tamu-tamu
yang berpakaian hitam, di halaman rumahku dikibarkan
sebuah bendera putih. Tangis memecah keheningan di
sana. Terlebih lagi dengan Lili. Liliku kini sudah beranjak
dewasa. Dia tumbuh dengan wajah yang begitu cantik. Aku
sungguh menyayanginya. Mereka, orang-orang yang

87 |
kucintai kemudian mengantarkanku ke tempat peristirahatan
terakhirku. Hanya sebuah batu nisan dan bunga melati yang
mereka tinggalkan untuk menemani hari-hariku selanjutnya.
Aku sangat lega, kini aku bukanlah seorang Jugun
Ianfu.

***

Kisah tersebut selesai dibacakan oleh Zizka. Dia


kemudian meletakkan buku hitam tebal yang sejak tadi
dibacanya itu ke meja yang berada di sampingnya.
“Itu bukan kisah Anda? Jadi Anda bukan Nyonya
Geulis?” Tanya wartawan tersebut begitu tiba di akhir cerita,
matanya terbelalak menatapku.
“Iya, perkenalkan namaku Zizka, adik kandung Geulis.”
Zizka tersenyum mantap, menjulurkan tangan kanannya
kepada wartawan yang sejak tadi mendengar ceritanya.
“Sungguh tragis kisah yang menimpah kakak Anda.
Saya turut berduka.” Balas wartawan tersebut sambil balas
menjulurkan tangannya.
Kami pun berbincang-bincang ringan. Sungguh apa
yang telah kuceirtakan merupakan hal yang sangat
mencengangkan, membuat siapa pun yang mendengarnya
akan menggelengkan kepala tanpa prihatin.
Beberapa menit kemudian, terdengar langkah seseorang
dari balik pintu. Oh, tidak, ternyata bukan hanya satu orang,
tapi tiga orang. “Hei,” sapa salah satu dari mereka.
“Oh, hei, Lili.” Balas Zizka setelah melihat siapa yang
datang. “Perkenalkan, dia Lili. Anak kandung dari Geulis.

88 |
Dan yang berada di belakangnya merupakan suami dan
anak dari Lili, lebih tepatnya cucu Geulis.” Zizka kembali
menatap wartawan tersebut, menjelaskan.
Wanita berseragam hitam yang sejak tadi duduk di
hadapan Zizka mengangguk paham. Tak lama setelah itu,
dia memutuskan untuk mengakhiri pertemuan mereka
karena berita-berita yang didapatkannya sudah cukup
memuaskan. Dia kemudian berpamitan kepada Zizka, Lili,
suami Lili, dan juga anak Lili. Setelah itu, dia berjalan keluar
diantar oleh wanita pelayan yang bekerja di rumah tersebut.

89 |
90 |
GERIMIS turun membasahi jalan setapak. Zizka menatap
keluar jendela dengan tatapan kosong seolah ada yang
sedang dipikirkannya. Zizka mengalihkan pandangannya ke
arah buku hitam yang sejak tadi dibacanya—buku yang
ditulis langsung oleh Geulis, kakaknya.
Coretan-coretannya masih tampak basah, meskipun
sudah berumur puluhan tahun. Kisah yang ditulis Geulis
sebenarnya tidak sampai selesai, hanya pada ketika dia
mendengar kabar meninggalnya Faiz. Setelah itu, Zizka
yang melanjutkan kisah kakaknya itu—kisah yang sangat
memilukan untuk dikenangnya.
Kini, setelah puluhan tahun hidup merdeka, mereka
sesungguhnya tak sepenuhnya bahagia. Kemerdekaan yang
mereka rasakan ibarat telah mengorbankan kehidupan salah
satu anggota keluarga mereka, Geulis. Ayah dan ibu mereka
telah menyusul Geulis setelah dua tahun kemudian.
Zizka kembali menatap keluar jendela. Gerimis telah
berubah menjadi hujan yang cukup deras. Orang-orang

91 |
yang sejak tadi beraktivitas di jalanan kini menghentikan
segala yang mereka lakukan, masuk ke rumah masing-
masing atau berteduh di pinggiran toko-toko.
Hujan yang mengguyur seolah menjadi saksi dalam
perjalanan kisah Geulis dan wanita-wanita lain yang
menjadi korban santapan kerakusan para penjajah. Hujan
yang selalu menemani, bahkan mewakili air mata wanita-
wanita tak bersalah tersebut dengan tetes-tetes airnya yang
jernih.
Sudah puluhan tahun berlalu, dan kini, keadaan
mengenai Jugun Ianfu baru diungkap di media, diketahui
khalayak banyak, lalu menjadi buah bibir.
Geulis, gadis asli pribumi, berusia 18 tahun ketika
dipaksa menjadi budak seks pada zaman kolonial, dan
mengakhiri hidupnya yang tragis di sebuah ruang pengap di
Ian-jo.

Tamat.

92 |

Anda mungkin juga menyukai