Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Komitmen adalah sesuatu yang membuat seseorang membulatkan hati, bertekad
berjerih payah, berkorban dan bertanggung jawab demi mencapai tujuan dirinya dan
tujuan organisasi atau perusahaan yang telah disepakati atau ditentukan sebelumnya.
Komitmen memiliki peranan penting terutama pada kinerja seseorang ketika
bekerja, hal ini disebabkan oleh adanya komitmen yang menjadi acuan serta dorongan
yang membuat mereka lebih bertanggung jawab terhadap kewajibannya.
Namun kenyataannya banyak organisasi atau perusahaan yang kurang
memperhatikan mengenai komitmen/ loyalitas karyawannya/ Anggotanya sehingga
kinerja mereka kurang maksimal.
Seharusnya organisasi atau perusahaan ketika melakukan perekrutan hendaknya
mereka memilih calon–calon yang komitmennya tinggi pada perusahaan, ini
dimaksudkan untuk mendeteksi sejak dini pekerja yang kurang maksimal sehingga tidak
terjadi hal yang dapat merugikan organisasi atau perusahaan.
Melihat begitu pentingnya komitmen, maka kami akan membahas lebih jauh
mengenai komitmen dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Bendasarkan latar belakang masalah diatas, penulis menentukan rumusan
masalah sebagai berikut :
a) apa pengertian dari komitmen?
b) Bagaimana bentuk-bentuk komitmen?
c) Bagaimana proses terjadinya komitmen?
d) Apa saja factor-faktor yang dapat mempengaruhi komitmen?
C. Tujuan Masalah
a) Untuk Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komitmen
b) Untuk mengetahui bentuk – bentuk komitmen
c) Untuk mengetahui proses terjadinya komitmen
d) Untuk Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komitmen
e) Untuk Mengetahui cirri-ciri komitmen

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KOMITMEN ORGANISASI


Synder (1994) berpendapat Komitmen berasal dari kata Latin “Committer” yang
berarti menggabungkan, menyatukan, mempercayai dan mengerjakannya.
Robbins (2001) menyebutkan Komitmen adalah tingkatan di mana seseorang
mengidentifikasikan diri dengan organisasi dan tujuantujuannyua dan berkeinginan untuk
memelihara keanggotaannya dalam organisasi.
Bansal, Irving dan Taylor (2004) mendefenisikan Komitmen sebagai kekuatan yang
mengikat seseorang pada suatu tindakan yang memiliki relevansi dengan satu atau lebih
sasaran.
Feldman (1996) menyatakan, bahwa komitmen adalah kecenderungan seseorang untuk
melibatkan diri kedalam apa yang dikerjakan dengan keyakinan bahwa kegiatan yang
dikerjakan penting dan berarti. Komitmen ada ketika manusia memiliki kesempatan untuk
menentukan apa yang akan dilakukan.
Robbins (2000) mengemukakan, bahwa komitmen adalah rencana-rencana lebih
mutakhir yang mempengaruhi tanggung jawab masa depan dengan kerangka waktu
panjang untuk perencanaan kebutuhan manajer.
Jadi pengertian komitmen lebih dari sekedar menjadi anggota saja, tetapi lebih dari itu
orang akan bersedia untuk mengusahakan pada derajat upaya yang tinggi bagi kepentingan
organisasi, demi memperlancar mencapai tujuan organisasi.

B. DIMENSI PEMIKIRAN
Dimensi Komitmen Dalam Berorganisasi
Meyer dan Allen (1991) merumuskan tiga dimensi komitmen dalam
berorganisasi, yaitu: affective, continuance, dan normative. Ketiga hal ini lebih tepat
dinyatakan sebagai komponen atau dimensi dari komitmen berorganisasi, dari pada
jenis-jenis komitmen berorganisasi. Hal ini disebabkan hubungan anggota organisasi
dengan organisasi mencerminkan perbedaan derajat ketiga dimensi tersebut.
a) Affective commitment

2
Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap
organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan
di organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi akan terus
menjadi anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu.
b) Continuance commitment
Continuance commitment berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan
mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan
continuance commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi
karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut.
c) Normative commitment
Normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus
berada dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang tinggi
akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam
organisasi tersebut.
C. PEMBENTUKAN KOMITMEN
Komitmen dalam berorganisasi dapat terbentuk karena adanya beberapa faktor,
baik dari organisasi, maupun dari individu sendiri. Dalam perkembangannya affective
commitment, continuance commitment, dan normative commitment, masing-masing
memiliki pola perkembangan tersendiri (Allen & Meyer, 1997).
1. Proses terbentuknya Affective commitment
Ada beberapa penelitian mengenai antecedents dari affective commitment.
Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan tiga kategori besar. Ketiga kategori tersebut
yaitu :
Karakterisitik Organisasi. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi
perkembangan affective commitment adalah sistem desentralisasi (bateman & Strasser,
1984; Morris & Steers, 1980), adanya kebijakan organisasi yang adil, dan cara
menyampaikan kebijakan organisasi kepada individu (Allen & Meyer, 1997). Dalam
penelitian ini karakteristik organisasi kepemudaan yang dilihat adalah aliran organisasi
yang digunakan, bagaimana praktek kelompok sel dalam organisasi tersebut dan
bagaimana kedudukan kelompok sel sebagai strategi organisasi.
Karakteristik Individu. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gender
mempengaruhi affective commitment, namun ada pula yang menyatakan tidak demikian

3
(Aven, Parker, & McEvoy; Mathieu &Zajac dalam Allen & Meyer, 1997). Selain itu
usia juga mempengaruhi proses terbentuknya affective commitment, meskipun
tergantung dari beberapa kondisi individu sendiri (Allen & Meyer, 1993), organizational
tenure (Cohen; Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer, 1997), status pernikahan,
tingkat pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja, dan persepsi individu
mengenai kompetensinya (Allen & Meyer, 1997)

Pengalaman Kerja. Pengalaman kerja individu yang mempengaruhi proses


terbentuknya affective commitment antara lain Job scope, yaitu beberapa karakteristik
yang menunjukkan kepuasan dan motivasi individu (Hackman & Oldham, 1980 dalam
Allen & Meyer, 1997). Hal ini mencakup tantangan dalam pekerjaan, tingkat otonomi
individu, dan variasi kemampuan yang digunakan individu. Selain itu peran individu
dalam organisasi tersebut (Mathieu & Zajac, 1990 dalam Allen & Meyer, 1997) dan
hubungannya dengan atasan. Pengalaman berorganisasi individu didapatkan dari
pelayanan yang dilakukannya dalam organisasi tersebut dan juga interaksinya dengan
anggota organisasi lain seperti pemimpinnya.

2. Proses terbentuknya Continuance commitment


Continuance commitment dapat berkembang karena adanya berbagai tindakan
atau kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan organisasi.
Beberapa tindakan atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua variable, yaitu investasi
dan alternatif. Selain itu proses pertimbangan juga dapat mempengaruhi individu (Allen
& Meyer, 1997).
Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha ataupun uang,
yang harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi. Sedangkan alternatif adalah
kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses pertimbangan adalah saat di mana
individu mencapai kesadaran akan investasi dan alternatif, dan bagaimana dampaknya
bagi mereka sendiri (Allen & Meyer, 1997).
Investasi dan alternatif yang dialami individu dalam organisasi organisasi
berbeda dengan organisasi lain. Investasi dan alternatif yang terjadi lebih terkait dengan
kegiatan-kegiatan khas organisasi dibandingkan keuntungan materi atau kedudukan
yang bisa didapat dari organisasi profit biasa.

3. Proses terbentuknya Normative commitment

4
Wiener (Allen & Meyer, 1997) menyatakan normative commitment terhadap
organisasi dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama
proses sosialisasi (dari keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru
masuk ke dalam organisasi. Selain itu normative commitment juga berkembang karena
organisasi memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi individu yang tidak dapat
dibalas kembali (Allen & Meyer; Scholl dalam Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya
adalah adanya kontrak psikologis antara anggota dengan organisasinya (Argyris;
Rousseau; Schein dalam Allen & Meyer, 1997). Kontrak psikologis adalah kepercayaan
dari masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal balik memberi.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen dalam berorganisasi karakteristik
pribadi individu, karakteristik organisasi, dan pengalaman selama berorganisasi (Allen
& Meyer, 1997). Yang termasuk ke dalam karakteristik organisasi adalah struktur
organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan bagaimana kebijaksanaan
organisasi tersebut disosialisasikan. Karakteristik pribadi terbagi ke dalam dua variabel,
yaitu variabel demografis; dan variabel disposisional. Variabel demografis mencakup
gender, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja pada
suatu organisasi. Dalam beberapa penelitian ditemukan adanya hubungan antara
variabel demografis tersebut dan komitmen berorganisasi, namun ada pula beberapa
penelitian yang menyatakan bahwa hubungan tersebut tidak terlalu kuat (Aven Parker,
& McEvoy; Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer, 1997).
Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki anggota
organisasi (Allen & Meyer, 1997). Hal-hal lain yang tercakup ke dalam variabel
disposisional ini adalah kebutuhan untuk berprestasi dan etos kerja yang baik
(Buchanan dalam Allen & Meyer, 1997). Selain itu kebutuhan untuk berafiliasi dan
persepsi individu mengenai kompetensinya sendiri juga tercakup ke dalam variabel ini.
Variabel disposisional ini memiliki hubungan yang lebih kuat dengan komitmen
berorganisasi, karena adanya perbedaan pengalaman masing-masing anggota dalam
organisasi tersebut (Allen & Meyer, 1997).
Sedangkan pengalaman berorganisasi tercakup ke dalam kepuasan dan motivasi
anggota organisasi selama berada dalam organisasi, perannya dalam organisasi tersebut,

5
dan hubungan antara anggota organisasi dengan supervisor atau pemimpinnya (Allen &
Meyer, 1997).

1. Indikator Affective commitment


Individu dengan affective commitment yang tinggi memiliki kedekatan
emosional yang erat terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa individu tersebut akan
memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi
dibandingkan individu dengan affective commitment yang lebih rendah.
Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment memiliki hubungan yang
sangat erat dengan seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam
organisasi.
Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job performance, atau hasil
pekerjaan yang dilakukan, individu dengan affective commitment akan bekerja lebih
keras dan menunjukkan hasil pekerjaan yang lebih baik dibandingkan yang
komitmennya lebih rendah. Kim dan Mauborgne (Allen & Meyer, 1997) menyatakan
individu dengan affective commitment tinggi akan lebih mendukung kebijakan
perusahaan dibandingkan yang lebih rendah. Affective commitment memiliki hubungan
yang erat dengan pengukuran self-reported dari keseluruhan hasil pekerjaan individu
(e.g., Bycio, Hackett, & Allen; Ingram, Lee, & Skinner; Leong, Randall, & Cote;
Randal, Fedor, & Longenecker; Sager & Johnston dalam Allen & Meyer, 1997).
Berdasarkan penelitian yang didapat dari self-report tingkah laku (Allen &
Meyer; Meyer et al.; Pearce dalam Allen & Meyer, 1997) dan assesment tingkah laku
(e.g., Gregersen; Moorman et al.; Munene; Shore & Wayne dalam Allen & Meyer,
1997) karyawan dengan affective commitment yang tinggi memiliki tingkah laku
organizational citizenship yang lebih tinggi daripada yang rendah.

Berdasarkan penelitian Ghirschman (1970) dan Farrell (1983), Meyer et al.


(1993) meneliti tiga respon ketidakpuasan, yaitu voice, loyalty, dan neglect. Dalam
penelitian yang diadakan pada perawat, affective commitment ditemukan memiliki
hubungan yang positif dengan keinginan untuk menyarankan suatu hal demi kemajuan
(voice) dan menerima sesuatu hal sebagaimana adanya mereka (loyalty) dan
berhubungan negatif dengan tendency untuk bertingkah laku pasif ataupun
mengabaikan situasi yang tidak memuaskan (neglect).

6
Individu dengan affective commitment yang tinggi cenderung untuk melakukan
internal whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian yang berwenang
dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu melaporkan
kecurangan atau kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).

Berdasarkan beberapa penelitian affective commitment yang tinggi berkorelasi


negatif dengan keadaan stress yang dialami anggota organisasi (Begley & Czajka;
Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer, 1997).

2. Indikator Continuance commitment


Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan dalam
organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam
individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi.
Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk memiliki
keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi. Jika individu tersebut tetap
bertahan dalam organisasi, maka pada tahap selanjutnya individu tersebut dapat
merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan kinerja yang buruk. Meyer
& Allen (1991) menyatakan bahwa continuance commitment tidak berhubungan atau
memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota organisasi atau indikator hasil
pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam kasus-kasus di mana job retention jelas sekali
mempengaruhi hasil pekerjaan.
Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan lebih bertahan
dalam organisasi dibandingkan yang rendah (Allen & Meyer, 1997). Continuance
commitment tidak mempengaruhi beberapa hasil pengukuran kerja (Angle & Lawson;
Bycio et al.; Morrman et al. dalam Allen & Meyer, 1997). Berdasarkan beberapa
penelitian continuance commitment tidak memiliki hubungan yang sangat erat dengan
seberapa sering seorang anggota tidak hadir atau absen dalam organisasi.
Continuance commitment tidak berhubungan dengan tingkah laku organizational
citizenship (Meyer et al., dalam Allen & Meyer, 1997), sedangkan dalam penelitian
lain, kedua hal ini memiliki hubungan yang negatif. Continuance commitment juga
dianggap tidak berhubungan dengan tingkah laku altruism ataupun compliance, di mana
kedua tingkah laku tersebut termasuk ke dalam organizational citizenship ataupun extra-
role.

7
Komitmen juga berhubungan dengan bagaimana anggota organisasi merespon
ketidakpuasannya dengan kejadian-kejadian dalam pekerjaan (Allen & Meyer, 1997).
Continuance commitment tidak berhubungan dengan kecenderungan seorang anggota
organisasi untuk mengembangkan suatu situasi yang tidak berhasil ataupun menerima
suatu situasi apa adanya (Allen & Meyer, 1997). Hal menarik lainnya, semakin besar
continuance commitment seseorang, maka ia akan semakin bersikap pasif atau
membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan baik.

3. Indikator Normative commitment


Individu dengan normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan dalam
organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer & Allen (1991)
menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan memotivasi individu untuk
bertingkahlaku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi. Namun
adanya normative commitment diharapkan memiliki hubungan yang positif dengan
tingkah laku dalam pekerjaan, seperti job performance, work attendance, dan
organizational citizenship. Normative commitment akan berdampak kuat pada suasana
pekerjaan (Allen & Meyer, 1997).
Hubungan antara normative commitment dengan ketidakhadiran seseorang
jarang sekali mendapat perhatian. Normative commitment dianggap memiliki hubungan
dengan tingkat ketidakhadiran dalam suatu penelitian (Meyer et al., dalam Allen &
Meyer, 1997). Namun suatu penelitian lain menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara kedua variable tersebut (Hackett et al.; Somers dalam Allen & Meyer, 1997).
Sedikit sekali penelitian yang mengukur normative commitment dan role-job
performance. Berdasarkan hasil penelitian normative commitment berhubungan positif
dengan pengukuran hasil kerja (Randall et al., dalam Allen & Meyer, 1997) dan
pengukuran laporan kerja dari keseluruhan pekerjaan (Ashfort & Saks dalam Allen &
Meyer, 1997).
Normative commitment memiliki hubungan dengan tingkah laku organizational
citizenship (Allen & Meyer, 1997). Walaupun demikian hubungan antara normative
commitment dengan tingkah laku extra-role lebih lemah jika dibandingkan affective
commitment.

8
Berdasarkan beberapa penelitian, sama seperti affective commitment, normative
commitment yang tinggi berkorelasi negatif dengan keadaan stress anggota organisasi
(Begley & Czajka; Jamal; Ostroff & Kozlowski; Reilly & Orsak dalam Allen & Meyer,
1997).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang negatif antara komitmen


terhadap organisasi dengan intensi untuk meninggalkan organisasi dan actual turnover
(Allen & Meyer; Mathieu & Zajac; Tett & Meyer dalam Allen & Meyer, 1997).
Meskipun hubungan terbesar terdapat pada affective commitment, terdapat pula
hubungan yang signifikan antara komitmen dan turnover variable diantara ketiga
dimensi komitmen (Allen & Meyer, 1997). Sebagian besar organisasi menginginkan
anggota yang berkomitmen, dan tidak hanya bertahan dalam organisasi saja.

E. CARA MEMBENTUK KOMITMEN


Tidak ada satu pimpinan organisasi manapun yang tidak menginginkan seluruh
jajaran anggotanya tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap organisasi/perusahaan
mereka. Bahkan sampai sejauh ini banyak pimpinan organisasi sedang berusaha
menggiatkan peningkatan komitmen anggotanya terhadap organisasi. Menurut Martin
dan Nicholls (dalam Armstrong, 1991) menyatakan bahwa ada 3 (tiga) pilar untuk
membentuk komitmen seseorang terhadap organisasi, yaitu:
1) Menciptakan rasa kepemilikan terhadap organisasi, untuk menciptakan kondisi ini
orang harus mengidentifikasi dirinya dalam organisasi, untuk mempercayai bahwa ada
guna dan manfaatnya bekerja di organisasi, untuk merasakan kenyamanan didalamnya,
untuk mendukung nilai-nilai, visi, dan misi organisasi dalam mencapai tujuannya. Salah
satu faktor penting dalam menciptakan rasa kepemilikan ini adalah meningkatkan
perasaan seluruh anggota organisasi bahwa perusahaan (organisasi) ini adalah benar-
benar merupakan “milik” mereka. Kepemilikan ini tidak sekedar dalam bentuk
kepemilikan saham saja (meskipun kadangkala ini juga merupakan cara yang cukup
membantu), namun lebih berupa meningkatkan kepercayaan di seluruh anggota
organisasi bahwa mereka benar-benar (secara jujur) diterima oleh manajemen sebagai
bagian dari organisasi. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk itu, mengajak mereka
anggota organisasi untuk terlibat memutuskan penciptaan dan pengembangan produk
baru, terlibat memutuskan perubahan rancangan kerja dan sebagainya. Bila mereka

9
anggota organisasi merasa terlibat dan semua idenya dipertimbangkan maka muncul
perasaan kalau mereka ikut berkontribusi terhadap pencapaian hasil. Apalagi ditambah
dengan kepercayaan kalau hasil yang diperoleh organisasi akan kembali pada
kesejahteraan mereka pula.
2) Menciptakan semangat dalam bekerja, cara ini dapat dilakukan dengan lebih
mengkonsentrasikan pada pengelolaan faktor-faktor motivasi instrinsik dan
menggunakan berbagai cara perancangan pekerjaan. Menciptakan semangat kerja
bawahan bisa dengan cara membuat kualitas kepemimpinan yaitu menumbuhkan
kemauan manajer dan supervisor untuk memperhatikan sepenuhnya motivasi dan
komitmen bawahan melalui pemberian delegasi tanggung jawab dan pendayagunaan
ketrampilan bawahan.
3) Keyakinan dalam manajemen, cara ini mampu dilakukan manakala organisasi benar-
benar telah menunjukkan dan mempertahankan kesuksesan. Manajemen yang sukses
menunjukkan kepada bawahan bahwa manajemen tahu benar kemana organisasi ini
akan dibawa, tahu dengan benar bagaimana cara membawa organisasi mencapai
keberhasilannya, bahkan sampai pada kemampuan menterjemahkan rencana ke dalam
realitas. Pada konteks ini karyawan akan melihat bagaimana ketegaran dan kekuatan
perusahaan dalam mencapai tujuan hingga sukses, kesuksesan inilah yang membawa
dampak kebanggaan pada diri karyawan. Apalagi mereka sadar bahwa keterlibatan
mereka dalam mencapai kesuksesan itu cukup besar dan sangat dihargai oleh
manajemen.

F. Aspek-Aspek Komitmen Organisasi


a) identifikasi
Identifikasi yang berwujud dalam bentuk kepercayaan anggota terhadap organisasi. Guna
menumbuhkan identifikasi dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi/organisasi,
sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para anggota atau dengan kata lain organisasi
memasukan pula kebutuhan dan keinginan anggotan dalam tujuan organisasi atau organisasi.
Hal ini akan menumbuhkan suasana saling mendukung di antara para anggota dengan
organisasi. Lebih lanjut membuat anggota dengan rela menyumbangkan tenaga, waktu, dan
pikiran bagi tercapainya tujuan organisasi.
b) keterlibatan

10
Keterlibatan atau partisipasi anggota dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk diperhatikan
karena adanya keterlibatan anggota menyebabkan mereka bekerja sama, baik dengan
pimpinan atau rekan kerja. Cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan anggota
adalah dengan memasukan mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan yang
dapat menumbuhkan keyakinan pada anggota bahwa apa yang telah diputuskan adalah
keputusan bersama. Juga anggota merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian dari
organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk melaksanakan bersama
apa yang telah mereka putuskan, karena adanya rasa keterikatan dengan apa yang mereka
ciptakan. Hasil yang dirasakan bahwa tingkat kehadiran anggota yang memiliki rasa
keterlibatan tinggi umumnya akan selalu disiplin dalam bekerja.
c) loyalitas
Loyalitas anggota terhadap organisasi memiliki makna ksesediaan seseorang untuk bisa
melanggengkan hubungannya dengan organisasi kalau perlu dengan mengorbankan
kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apa pun. Keinginan anggota untuk
mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang dapat menunjang komitmen
anggota terhadap organisasi di mana mereka bekerja. Hal ini di upayakan bila anggota
merasakan adanya keamanan dan kepuasan dalam tempat kerjanya.

G. Ciri-Ciri Komitmen Organisasi

Michaels (2003) dalam ciri-ciri komitmen organisasi dijelaskan sebagai berikut :

1. Ciri-ciri komitmen pada pekerjaan : menyenangi pekerjaan, tidak pernah meilhat


jam untuk segera bersiap-siap pulang, mampu berkonsentrasi pada pekerjaan,
tetap memikirkan pekerjaan walaupun tidak bekerja.

2. Ciri-ciri komitmen dalam kelompok : sangat memperhatikan bagaimana orang


lain bekerja, selalu siap menolong teman kerja, selalu berupaya untuk
berinteraksi dengan teman kerja, memperlakukan teman kerja sebagai keluarga,
selalu terbuka pada kehadiran teman kerja baru.

11
3. Ciri-ciri komitmen pada organisasi antara lain : selalu berupaya untuk
mensukseskan organisasi, selalu mencari informasi tentang kondisi organisasi,
selalu mencoba mencari komplementaris antara sasaran organisasi dengan
sasaran pribadi, selalu berupaya untuk memaksimalkan kontribusi kerja sebagai
bagian dari usaha organisasi keseluruhan, menaruh perhatian pada hubungan
kerja antar unit organisasi, berpikir positif pada kritik teman-teman,
menempatkan prioritas di atas departemen, tidak melihat organisasi lain sebagai
unit yang lebih baik, memiliki keyakinan bahwa organisasi tersebut memiliki
harapan untuk berkembang, berpikir positif pada pimpinan puncak organisasi.

H. PROSES TERJADINYA KOMITMEN ORGANISASI

Bashaw dan Grant (dalam Amstrong, 1994) menjelaskan bahwa komitmen


karyawan terhadap organisasi merupakan sebuah proses berkesinambungan dan
merupakan sebuah pengalaman individu ketika bergabung dalam sebuah organisasi.
Gary Dessler (1999) mengemukakan sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk
membangun komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:

1. Make it charismatic: Jadikan visi dan misi organisasi sebagai sesuatu yang
karismatik, sesuatu yang dijadikan pijakan, dasar bagi setiap karyawan dalam
berperilaku, bersikap dan bertindak.
2. Build the tradition: Segala sesuatu yang baik di organisasi jadikanlah sebagai
suatu tradisi yang secara terus-menerus dipelihara, dijaga oleh generasi
berikutnya.
3. Have comprehensive grievance procedures: Bila ada keluhan atau komplain dan
pihak luar ataupun dan internal organisasi maka organisasi harus memiliki
prosedur untuk mengatasi keluhan tersebut secara menyeluruh.
4. Provide extensive two-way communications: Jalinlah komunikasi dua arah di
organisasi tanpa memandang rendah bawahan.
5. Create a sense of community: Jadikan semua unsur dalam organisasi sebagai
suatu community di mana di dalamnya ada nilai-nilai kebersamaan, rasa
memiliki, kerja sama, berbagi, dll.
6. Build value-based homogeneity: Membangun nilai-nilai yang didasarkan adanya
kesamaan. Setiap anggota organisasi memiliki kesempatan yang sama, misalnya

12
untuk promosi maka dasar yang digunakan untuk promosi adalah kemampuan,
ketrampilan, minat, motivasi, kinerja, tanpa ada diskri-minasi.
7. Share and share alike: Sebaiknya organisasi membuat kebijakan di mana antara
karyawan level bawah sampai yang paling atas tidak terlalu berbeda atau
mencolok dalam kompensasi yang diterima, gaya hidup, penampilan fisik, dll.
8. Emphasize barn raising, cross-utilization, and teamwork: Organisasi sebagai
suatu community harus bekerja sama, saling berbagi, saling mem¬beri manfaat
dan memberikan kesempatan yang sama pada anggota organisasi. Misalnya
perlu adanya rotasi sehingga orang yang bekerja di "tempat basah" perlu juga
ditempatkan di "tempat yang kering". Semua anggota organisasi merupakan
suatu tim kerja. Semuanya harus mem¬berikan kontribusi yang maksimal demi
keberhasilan organisasi tersebut.
9. Get together: Adakan acara-acara yang melibatkan semua anggota organisasi
sehingga kebersamaan bisa tedalin. Misalnya, sekali-kali produksi dihentikan
dan semua karyawan terlibat dalam event rekreasi bersama keluarga,
pertandingan olah raga, seni, dll. yang dilakukan oleh semua anggota organisasi
dan keluarganya.
10. Support employee development: Hasil studi menunjukkan bahwa karyawan akan
lebih memiliki komitmen terhadap organisasi bila organisasi mem-perhatikan
perkembangan karier karyawan dalam jangka panjang.
11. Commit to Actualizing: Setiap karyawan diberi kesempatan yang sama untuk
mengaktualisasikan diri secara maksimal di organisasi sesuai dengan kapasitas
masing-masing.
12. Provide first-year job challenge: Karyawan masuk ke organisasi dengan
membawa mimpi dan harapannya, kebutuhannya. Berikan bantuan yang
kongkret bagi karyawan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya dan
mewujudkan impiannya. Jika pada tahap-tahap awal karyawan memiliki
persepsi yang positif terhadap organisasai maka karyawan akan cenderung
memiliki kinerja yang tinggi pada tahap-tahap berikutnya.
13. Enrich and empower. Ciptakan kondisi agar karyawan bekerja tidak secara
monoton karena nitinitas akan menimbulkan perasaan bosan bagi karyawan. Hal
ini tidak baik karena akan menurunkan kinerja karyawan. Misalnya dengan
rotasi kerja, memberikan tantangan dengan memberikan tugas, kewajiban dan
otoritas tambahan, dll.
14. Promote from within. Bila ada lowongan jabatan, sebaiknya kesempatan
pertama diberikan kepada pihak intern perusahaan sebelum merekrut karyawan
dan luar perusahaan.
15. Provide developmental activities. Bila organisasi membuat kebijakan untuk
merekrut karyawan dari dalam sebagai prioritas maka dengan sendirinya hal itu
akan memotivasi karyawan untuk terus tumbuh dan berkembang personalnya,
juga jabatannya.
16. The question of employee security. Bila karyawan merasa aman, baik fisik
maupun psikis, maka komitmen akan muncul dengan sendirinya. Misalnya,
karyawan merasa aman karena perusahaan membuat kebijakan memberikan
kesempatan karyawan bekerja selama usia produktif. Dia akan merasa aman dan
tidak takut akan ada pemutusan hubungan kerja. Dia merasa aman karena
keselamatan keija diperhatikan perusahaan.

13
17. Commit to peoplefirst values. Membangun komitmen karyawan pada organisasi
merupakan proses yang panjang dan tidak bisa dibentuk secara instan. Oleh
karena itu perusahaan hams benar-benar memberikan perlakuan yang benar pada
masa awal karyawan memasuki organisasi. Dengan demikian karyawan akan
mempunyai persepsi yang positif terhadap organisasi.
18. Put it in writing. Data-data tentang kebijakan, visi, misi, semboyan, filosofi,
sejarah, strategi, dll. organisasi sebaiknya dibuat dalam bentuk tulisan, bukan
sekedar bahasa lisan.
19. Hire "Right-Kind" managers. Bila pimpinan ingin menanamkan nilai-nilai,
kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan, disiplin, dll pada bawahan, sebaiknya
pimpinan sendiri memberikan teladan dalam bentuk sikap dan perilaku sehari-
hari.
20. Walk the talk. Tindakan jauh lebih efektif dan sekedar kata-kata. Bila pimpinan
ingin karyawannya berbuat sesuatu maka sebaiknya pimpinan tersebut mulai
berbuat sesuatu, tidak sekedar kata-kata atau berbicara.

I. MEMBANGUN KOMITMEN ORGANISASI

Dan konsep teori organisasi, telah dijelaskan bahwa komitimen organisasi itu
merupakan hal yang penting bagi organisa terutama untuk menjaga kelangsungan dan
pencapaian tujuan. Namun untuk memperoleh komitmen yang tinggi, diperlukan
kondisi-kondisi yang memadai untuk mencapainya. Berikut ini sejumlah cara yang
digunakan untuk membangun komitmen tersebut berdasarkan empat kategori teori
tersebut.
Dalam teori sosialisasi kelompok, idealnya satu organisasi sudah menuntut
komitmen organisasi sejak pertama masuk sehingga efisiensi biaya dapat ditekan, dan
aktivitas organisasi tidak terganggu oleh adanya loyalitas. Namun untuk melakukan hal
tersebut tidak mudah. Karena sistem seleksi atau rekrutmen untuk mengukur komitmen
itu belum mampu mendeteksi adanya komitmen untuk mengukur komitmen itu belum
mampu mendeteksi adanya komitmen ini dan komitmen ini dapat berubah seirama
dengan perkembangan zaman.
Bila metode observasi gagal mendeteksi, komitmen kerja bisa dibangun melalui
sosialisasi kelompok. Upaya ini akan berhasil manakala para anggota memiliki

14
kecocokan value dengan organisasi. Namun bila pertemuan kepentingan antara anggota
dan kelompok belum dicapai, maka komitme masih akan rendah, dan bahkan bisa
berbuntut terjadinya konflik internal.
Dalam teori pertukaran sosial, komitmen organisasi akan bisa dicapai apabila
apa yang diberikan organisasi sesuai dengan apa yang dituntut anggotanya, dan
sebaliknya apa yang diharapkan organisasi sesuai dengan besarnya kontribusi anggota.
Dengan prinsip ini, maka komitmen akan dicapai apa bila sejak awal rekrutmen dan
kontrak. Oleh karena itu, kesepakatan reward dan cost antara kedua belah pihak menjadi
dasar terbangun tidaknya komitmen organisasi.
Komitmen organisasi akan bersifat dinamis bila teori kategorisasi diri digunakan
untuk menjelaskannya. Karena kategorisasi diri ini setiap saat berubah seiring dengan
perubahan anggota untuk mengidentifikasikan dirinya pada kelompok. Meskipun
kategorisasi diri itu selalu terjadi dalanm organisasi, komitmen organisasi akan bisa
dibangun melalu proses similarisasi sifat antar-anggota.
Artinya selama per¬bedaan struktur organisasi tidak dibuat jelas atributnya, dar selama
sense of belongingness organisasi selalu ditanamkan, maka komitmen organisasi akan
tercapai.

15
BAB I
PENUTUP

A. Kesimpulan
Komitmen sangatlah penting dalam suatu organisasi demi menunjang tercapainya
tujuan dari organisasi tersebut. Gambaran atau wujud dari komitmen sering diidentikan
dengan ikrar atau ikatan atas suatu tindakan yang tertentu. Komitmen memiliki berbagai
macam bentuk. Yang pertama adalah komitmen pada tugas, yang kedua komitmen pada
karir, yang ketiga komitmen pada organisasi. Komitmen individu terhadap organisasi
bersifat sukarela dan pribadi, sehingga tidak dapat dipaksakan, dan karena itu setiap
individu anggota organisasi dapat secara bebas menarik kembali komitmennya.
Komitmen dan motivasi sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang ada di dalam
suatu perusahaan.
Dalam teori sosialisasi kelompok, idealnya satu organisasi sudah menuntut
komitmen organisasi sejak pertama masuk sehingga efisiensi biaya dapat ditekan, dan
aktivitas organisasi tidak terganggu oleh adanya loyalitas. Namun untuk melakukan hal
tersebut tidak mudah. Karena sistem seleksi atau rekrutmen untuk mengukur komitmen
itu belum mampu mendeteksi adanya komitmen untuk mengukur komitmen itu belum

16
mampu mendeteksi adanya komitmen ini dan komitmen ini dapat berubah seirama
dengan perkembangan zaman.
Bila metode observasi gagal mendeteksi, komitmen kerja bisa dibangun melalui
sosialisasi kelompok. Upaya ini akan berhasil manakala para anggota memiliki
kecocokan value dengan organisasi. Namun bila pertemuan kepentingan antara anggota
dan kelompok belum dicapai, maka komitme masih akan rendah, dan bahkan bisa
berbuntut terjadinya konflik internal.

B. Saran
Kami menyarankan agar seluruh sumber daya manusia di dalam perusahaan
memiliki komitmen yang tinggi pada pekerjaannya, maka seluruh pihak di dalam
organisasi harus selalu termotivasi dan untuk mampu memotivasi ini, diperlukan
komitmen dari pimpinan puncak dalam sebuah organisasi atau perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

Anna ,Partina. 2005. Menjaga Komitmen Organisasional Pada Saat Downsizing. Dalam

Jurnal Telaah Bisnis Vol 6. No 2.

Garry, Dessler. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Kesepuluh Jilid 1.

Jakarta : Indeks,2010

http://library.binus.ac.id/eColls/e Thesisdoc/ Bab2/2012-1-00235-MN%20Bab2001.pdf.


diakses tanggal 20/05/2017

Judge dan Robbins SP. Perilaku Organisasi, Jakarta : Salemba Empat,2007

Michel T. M Ivancevich, J. M., Robert, K. Perilaku dan Manajemen Organisasi,

Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama,2007

17
SahputraAgung.TeoriOrganisasiPublik,Medan : Umsu Pems,2016

Sopiah. Perilaku Organisasi, Yogyakarta : Andi prakarya,1997

18

Anda mungkin juga menyukai