Anda di halaman 1dari 5

Manajemen Sarana Prasarana untuk BBA Total a la Jingga

“Fokus pada Kekuatan, Siasati Keterbatasan”

Kegelisahan akan generasi yang akan kita tinggalkan membawa kami pada satu titik
keberangkatan. Jingga nama lembaga yang menjadi media gerak saat itu hingga kini
bukanlah sebuah Yayasan yang memiliki asset terbaik. Bicara tentang modal awal, Jingga
menerima kami dengan kondisi minus secara finansial namun keyakinan akan pertolongan
Allah membuat kami terus bertahan.

Kami mengajak rekan sekalian menengok ke masa tujuh tahun silam, saat kami menerima
amanah untuk mengelola Jingga yang masih berbentuk SMP Terbuka dengan sebuah
bangunan permanen yang terletak di lokasi yang tak terduga. Ya. Dikelilingi dengan kebun
pisang, rawa, akses jalan tanah merah yang di atasnya dengan mudah kita akan bertemu
dengan berbagai hewan “liar” selama menempuh perjalanan ke sekolah membuat orang
tercengang dan berkomentar, “Lho, di sini ada sekolah?” Ironis memang sampai-sampai
kami sempat tidak terlayani petugas PLN ketika meminta dipasangkan tiang listrik padahal
tepat di punggung bangunan sekolah, perumahan wisma asri berdiri. Konon, komplek
tersebut adalah perumahan pertama terbesar se-asia tenggara.

Semua keterbatasan tersebut tidak membuat kami surut. Dua tahun kami mengubah
metode pembelajaran hingga manajerial internal sekolah menuju sekolah yang tertata
dengan baik. Pada saat yang sama, konsep sekolah alam mulai kami terapkan. Tidak ada
perubahan yang menyenangkan, tak semua orang senang dengan perubahan. Friksi internal
pun terjadi. Guru senior yang telah lama mengajar di SMP Terbuka Jingga satu persatu
meninggalkan kami. Maka, rekruitmen pun dilakukan secara personal. Kami “melamar”
teman-teman se-ide untuk merombak system secara keseluruhan. Tak ada yang kami
janjikan selain “merecall” kesamaan keyakinan mengenai tugas mulia yang harus ditunaikan,
yaitu mempersiapkan generasi terbaik. Beberapa kawan yang baru saja lulus akhirnya
menerima tawaran kami. Menyusul kawan-kawan lain yang sebelumnya sudah “selesai
berkelana” di perusahaan dan bank ternama. Alhamdulillah dengan paparan bahwa kita tak
memiliki apa pun saat itu selain Allah dan perencanaan matang sebuah blue print masa
depan, akhirnya mereka menerima hingga kami menjadi tim yang kokoh sampai sekarang.

Apakah infrastruktur di Jingga bisa berkembang dengan saldo yang minus? Bertahap, kami
menyatakan, iya. Namun focus pertama dan utama di tahun awal adalah perapihan internal
atau structural. Soliditas teruji manakala dua tahun pertama penerapan PBL di SMP Terbuka
mulai memperlihatkan hasil memuaskan dan memacu kami untuk membuat SD Alam.
Pertanyaan kedua, dari mana dananya? Kami memutus rantai kebergantungan dengan
pihak lain. Dengan finansial terbatas, kami berinvestasi hingga dana yang terkumpul
menjadi 30 juta. Kami meyakini bahwa ketika kita mengangkat derajat untuk tidak lagi
menikmati zona disebut sebagai “sekolah khusus dhuafa” maka Allah akan meurunkan
pertolongan. Alhamdulillah bermula dengan dua saung yang dibangun di lahan 100 meter
persegi dan 100 meter sisanya dijadikan playground dengan 2 alat permainan dari tali kapal
bekas dan bambu, kami memulai pembelajaran.
Kebutuhan akan maintenance bangunan dan renovasi semakin besar karena memang saung
yang berdiri dibuat sangat sederhana bahkan pondasi pun sangat tipis. Ditambah bahwa
kebutuhan lahan tambahan untuk arena bermain dan green lab juga mendesak. Akhirnya
dengan dana seadanya kami “melamar” kebun pisang di area sebelah sekolah seluas kurang
lebih 550 meter persegi. Alhamdulillah dengan akad “alih garap”, melalui dua tahap Jingga
berhasil “membebaskan” lahan tambahan. Dengan dana total kurang lebih hanya 6 juta
saja.

Saung-saung awal juga sudah mulai memperlihatkan kondisi yang tidak kokoh lagi.
Ditambah dengan keaktifan para siswa yang membuat saung-saung sederhana itu semakin
tidak layak pakai. 15 orang pertama siswa-siswi kami adalah anak-anak luar biasa (plus 3
ABK) dengan energi yang sangat luar biasa. Dengan dana yang ada, dibangunlah saung a la
“cucian motor” di lahan baru sebagai shelter tambahan dan saung lama diperbaiki.
Memasuki tahun kedua, tambahan dua saung di lahan baru dibangun. Bantuan dana
prasarana dari PWP Pertamina membuat Jingga memiliki area mini green house untuk
Hidroponik dan sebuah Musholla yang dibangun di lokasi saung pertama kami.

Allah memberikan amanah selanjutnya berupa dua area tanah dengan akad alih garap.
Alhamdulillah, kebutuhan area green lab terpenuhi walau hanya dikelola dan digarap
bersama oleh siswa-siswa SMP Terbuka angkatan terakhir yang loyal. Jingga mencari
pinjaman non-bank untuk membebaskan dan merapikannya. Alhamdulillah walau tertatih
hutang-hutang tersebut lunas. Tidak lama berselang, Allah kembali hadirkan “jalan” saat di
Musnas JSAN kami berhasil melobi Pak Suhendi untuk sekadar “melihat” Jingga. Bersamaan
dengan keyakinan yang makin besar akan pertolongan Allah juga perhitungan pembiayaan
yang mulai bisa dilihat ritmenya dalam cashflow, blue print pembangunan fisik pun bisa
mulai tergarap.

Jingga sadar bahwa sekolah bukanlah bisnis, bukan mesin untuk mencari uang. Pendiri
Jingga yang merupakan para entrepreneur memastikan cashflow hanya mengalir untuk
kebutuhan sekolah, untuk operasional dan sarana prasarana. Direktur Pendidikan Yayasan
Jingga, Pak Ari Maryadi dengan Bisnis Halalmart-nya menekankan bahwa konsep
teacherpreneur harus tertanam kepada para fasilitator. Fasilitator diberikan kebebasan
untuk membuat klub yang sesuai dengan hobi dan bakat mereka. Pengelolaan keuangan
klub sepenuhnya dikelola oleh masing-masing pengurus klub yang merupakan fasilitator
Jingga. Lahirlah klub renang, klub panahan, klub petualang, klub taekwondo, klub melukis,
dll. Perjalanan Jingga pun ditopang dengan unit-unit bisnis yang dibangun perlahan. Jingga
HalalMart dan Jingga Edutrip di antaranya.

Dari unit-unit bisnis, Jingga mampu menyelenggarakan training-training ke-sekolahalam-an


untuk para fasilitator bersama Pak Suhendi dan tim BMC, Ustadz Harry Santosa, hingga
Ustadz Adriano Rusfi. Juga mencicil pembenahan sarana dan prasarana sesuai permintaan
“para guru” kami. Unit-unit bisnis Jingga juga menjadi bagian dalam kegiatan sehari-hari.
Jingga Halalmart sebagai pendukung dalam gaya hidup yang sehat, alami dan halal. Jika
terjadi kondisi darurat di sekolah, maka P3K yang dipakai adalah Minyak Herba Sinergi,
Habbatussauda, Spirulina, Madu, atau gamat. Sedangkan, Jingga Edutrip turut menjadi
pelaksana dalam kegiatan live-in, magang, dan edutrip serta menjadi bagian dalam
membangun jejaring Internasional.
Kami menyadari keterbatasan kami akan konsep sekolahalam. Maka selembar demi
selembar ilmu tentang ke-sekolahalam-an yang kami dapat, sebisa mungkin kami
praktekkan dengan konsep sederhana a la Jingga. Ditambah dengan keterbatasan finansial,
lahan hingga SDM. Namun, dengan mempelajari dan berkonsultasi dengan para “pendahulu
sekolahalam” dan bedah beberapa sumber bacaan maka kami pun menyusun kurikulum
sekolah alam a la Jingga Lifeschool. Termasuk penentuan sarana prasarana yang harus ada
walau menggunakan ban-ban bekas, bekas pugaran saung lama atau pun sepetak bangunan
bekas bengkel las yang diambil alih. Semuanya bekas tapi target pembelajaran tercapai,
semua senang.

Jingga 2.0, demikian teman-teman di manajemen menyebut blue print desain impian Jingga.
Sebuah impian yang sedang kami cicil untuk dipenuhi. Kami rapikan mulai dari yang kami
bisa dan kami mampu penuhi dananya. Kami merapikan apa-apa yang masih terserak
menjadi lebih terstruktur. Kami “mendatangi” para guru dan berkhidmad pada mereka, agar
ruh perjuangan sekolah alam bisa menjadi bagian dari nafas kami. Kami mendidik jiwa kami
untuk mendengar (menyimak), tunduk, dan patuh. Tetap dengan segala keterbatasan kami,
namun cita-cita terbaik masih terus kami gantungkan untuk pencapaian yang juga terbaik
yang bisa kami lakukan. Fase ini masih fase “berdarah-darah” dan bercucur air mata. Kami
memacu diri dan sahabat Jingga lainnya untuk mampu berkiprah sebagai khalifah. Ini bukan
kerja mudah. Maka dinamika berupa keterbatasan mengenai segala hal akhirnya dapat
tersiasati dengan baik. Menggunakan yang ada bukan mengada-ada, lebih baik saldo nol
daripada berhutang dengan riba, memilih hanya produk halal, menyelenggarakan hal-hal
kerumahtangaan secara mandiri, dan mengendalikan manajerial dengan orang-orang
kepercayaan. Seperti halnya para pejuang sekolahalam lainnya, hiburan kita saat ini hingga
nanti adalah Al Quran. Dalam perjuangan ini, serasa Allah selalu berbicara dengan kita:
“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang
Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan”. (Qs. At Taubah, 9 : 105)
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, (1) dan Kami telah menghilangkan
daripadamu bebanmu, (2) yang memberatkan punggungmu? (3) Dan Kami tinggikan
bagimu sebutan (nama)mu, (4) Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
(5)
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (6) Maka apabila kamu telah selesai
(dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, (7) dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (8)” (Qs. Al Inshirah, 94: 1 -8)

Fase berat dalam perjalanan sekolahalam sedang kami nikmati satu demi satu, tahap demi
tahap:
1. Izin sekolah. Sejak tahun pertama mencoba mengurus pendirian izin sekolah, namun
“gagal”. Ternyata Allah menunjukkan jalan lain yang lebih sesuai dan pas dengan konsep
sekolahalam, yaitu PKBM. Maka kami memutuskan menggunakan izin PKBM. Terusan
tahap ini adalah sosialisasi dan penyamaan langkah dengan orang tua. Orangtua yang
sudah paham tentang pendidikan peradaban, tidak masalah dengan bentuk PKBM. Pun
fakta bahwa PKBM ijazahnya adalah ijazah kesetaraan.
2. Mendidik orangtua. Sejatinya pendidikan anak adalah tanggung jawab orangtua. Maka
orangtua siswa pun diajak terlibat aktif dalam mendidik anaknya. Konsep sekolahalam
diinternalisasi kepada orangtua, orangtua wajib mengikuti kegiatan yang diadakan oleh
sekolah. Di antaranya orangtua belajar tentang pendidikan anak melalui kegiatan
parenthood education series yang diwajibkan. Juga diwajibkan untuk mengikuti kegiatan
seperti family camp, Daddy’s Day Camp, Outbond orangtua dan anak, dll. Sejak awal
orangtua diikat dengan Surat Pernyataan yang ditandatangani di atas materai untuk
mengikuti segala aturan dan kebijakan sekolah.
3. Internalisasi keyakinan bahwa proses yang dijalankan saat ini adalah mencetak khalifah
berdasarkan alquran dan sunah yang tentu berbeda dengan kita mencetak produk. Kami
sedang menyamakan persepsi dengan para guru, staff, orangtua dan anak didik kita.
Oleh karena itu, kami menggandeng Ustadz Ferous, Ustadz Harry Santosa, Ustadz
Adriano Rusfi, dan Pak Suhendi serta Tim BMC dalam prosesnya. Mencoba bersama-
sama untuk melibatkan hati dalam mendidik agar tak kering jiwa-jiwa yang kami didik
sesuai fitrahnya.
4. Mendidik adalah pekerjaan yang tidak akan pernah selesai, sehingga penargetan waktu
agar semua orang bisa menerima akan membuat kita letih. Maka arah perjuangan harus
dikembalikan pada “keridhaan Allah” hingga kita menjadi rahmatan lil’alamiin.
5. Menjaga hubungan baik dengan “para guru” agar arah pengembangan Jingga bisa
dikawal untuk tetap “on the track”. Jingga adalah murid yang haus ilmu dan selalu
belajar terhadap berbagai hal yang sesuai dengan visi misi yang dijalankan. Maka kami
selalu belajar untuk mendengarkan dan taat kepada “para guru” kami seperti Pak
Suhendi yang di sela kesibukannya menyempatkan waktu hadir ke Jingga, Ustadz Ferous
yang begitu luar biasa membuka “mindset” para orangtua siswa, Ustadz Harry Santosa
yang menyadarkan orangtua akan tanggung jawab dalam mendidik anak, Ustadz Adriano
Rusfi yang menyediakan waktu khusus untuk para ayah dalam majelis lukmanul hakim,
Bu Septri dengan Bahasa Bundanya, dll.
6. Guru adalah para pewaris nabi, tapi Jingga sebagai lembaga yang sedang merintis,
merekrut bukan sekadar menjadi fasilitator saja. Tapi menjadi bagian dari tim yang siap
berjuang bersama membangun Jingga. Bagian ini seperti menapaktilasi perjalanan
Rasulullah dan para sahabat. Mengikat mereka bukan dengan materi, melainkan dengan
ikatan hati. Kegiatan spirit pump bulanan, tarbiyah pekanan, teacher recognition,
Sedekah Rombongan, fasilitas tabungan qurban dan umroh serta cuti birrul walidain
menjadi sarana untuk pengikat hati. Selain itu, membangun kepercayaan diri para
fasilitator dengan menjadikan diri mereka adalah mereka. Mereka harus menjadi diri
sendiri sesuai syakilah-nya. Guru sekolah alam harus tampil dengan bakat yang dipunyai,
tidak bisa semua diseragamkan. Dari banyak potensi itu sekolah alam akan kuat saling
dukung melalui kerjasama dan sesuai program yang dikembangkan.
7. Sekolah adalah rumah kedua dan menjadi tanggung jawab bersama. Itu menjadi salah
satu hal yang membuat Jingga tempat yang “bikin betah”. Banyak anak yang kalau sudah
datang ke Jingga tidak mau pulang. Siswa-siswi Jingga betah berlama-lama di sekolah
meski sudah dibatasi jam penjemputan. Bahkan seringkali kecewa kalau dijemputnya
lebih awal. Padahal dengan prinsip tersebut, Jingga tidak memiliki petugas kebersihan,
office boy, dan semacamnya. Siswa-siswi bersama fasilitator dan seluruh civitas
bertanggung jawab terhadap kebersihan, kerapihan, dan kenyamanan sekolah dan
sekitarnya. Setiap pagi semua menyapu halaman, operasi semut, membuang sampah
hingga membersihkan kamar mandi dan toilet. Makan mereka harus mengantri, wudhu
pun mengantri, mencuci alat makan sendiri dan harus mengantri karena terbatas
tempatnya. Hal-hal tersebut menjadi bagian pembelajaran kehidupan yang
menyenangkan untuk mereka sehingga membuat mereka “betah” di sekolah.
8. Berusaha Murah harus, Keren itu Kudu, dua hal ini merupakan prinsip yang terus
dipegang. Low cost high impact kalau kata Bang Lendo Novo, sang konseptor
sekolahalam. Maka efisiensi dan inklusif mampu menjangkau semuanya dengan syarat
harus berkualitas dan insitu development. Bukan alam yang harus menyesuaikan saat
membangun sarana parasarana, tapi pembangunan yang seharusnya menyesuaikan
dengan kondisi alam. Memanfaatkan yang ada, bukan mengada-adakan. Fokus pada
kekuatan siasati kelemahan bukan hanya bisa diterapkan pada talents, tapi juga bisa
dalam hal manajemen sekolahalam.

Hal-hal tersebut menjadi satu kesatuan di Jingga dalam melaksanakan program BBA Total
yang diberikan oleh Bumi Manusia Consulting. Jika salah satu saja tidak berjalan, maka
program BBA total tidak akan bisa berjalan dengan baik bahkan bisa jadi gagal. Konsepnya
harus tertanam jelas dan dipahami dengan baik oleh seluruh civitas.

Secara fisik dan sarana prasarana, penampilan Jingga masih “kere” dengan lingkungan yang
yang belum “kondusif”, bangunan apa adanya dengan budget minimalis sesuai kemampuan
kami (tak ingin memaksakan menjadi serba ideal dan “wah” jika harus melibatkan bank).
Tapi sekali lagi insyaAllah itu adalah prinsip yang kami pegang untuk terus KREATIF, Inovasi
sampai mati kalau kata para guru kami. Meskipun terlihat “kere” tapi tidak menjadikan kami
mati gaya untuk terus Aktif dala menyajikan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau
semua kalangan. Sekali lagi, Low cost tapi high impact.

Jingga belumlah apa-apa jika dibandingkan sekolah-sekolah alam yang jauh lebih “senior”.
Namun Jingga tidak akan berhenti belajar agar lebih pantas sebagai sekolahalam. Kami
berusaha memantaskan diri. Sudi kiranya para guru sekolah alam membagi ilmunya
sehingga kita bisa makin “layak” di hadapan Allah SWT. Wallahu’alam bisshowab. (FS)

*) dipresentasikan pada sesi sharing manajemen sarana prasarana dalam PPM 5 JSAN @
Omah Kebon Sentul, 12 April 2017

Anda mungkin juga menyukai