Anda di halaman 1dari 21

KEPERAWATAN JIWA

“PERMASALAHAN KASUS GANGGUAN JIWA DI MSYARAKAT”

OLEH :

1. CAHYA NURYATI (P07220216008)


2. DANDY SUKMA ANGGARA (P07220216010)
3. SRI DEVI MU’AMMAMAH (P07220216036)

KEMENTRIAN KESAHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Jiwa
tentang “Permasalahan Kasus Gangguan Jiwa di Masyarakat”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Permasalahan Kasus Gangguan Jiwa
di Masyarakat dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Samarinda, 29 Mei 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................................... i

Daftar Isi ................................................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan ................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................... 2

1.3 Tujuan ................................................................................................................................. 2

Bab II Pembahasan .................................................................................................................. 3

2.1 Kesehatan Jiwa.................................................................................................................... 3

2.2 Gangguan Jiwa .................................................................................................................... 4

2.3 Permasalahan Kasus GJ di Masyarakat .............................................................................. 5

Bab III Penutup ....................................................................................................................... 17

3.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 17

3.2 Saran ................................................................................................................................. 17

Daftar Pustaka

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi, dan sosial yang terlihat
dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang
positif, dan kestabilan emosi. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan perorangan, lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat yang didukung sarana
pelayanan kesehatan jiwa dan sarana lain seperti keluarga dan lingkungan sosial. Lingkungan
tersebut selain menunjang upaya kesehatan jiwa juga merupakan stressor yang dapat mempengaruhi
kondisi jiwa seseorang, pada tingkat tertentu dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam kondisi
gangguan jiwa (Videbeck, 2008).
Menurut Maramis (2009), masalah kesehatan jiwa tidak menyebabkan kematian secara
langsung, namun akan menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan baik bagi individu,
keluarga, masyarakat dan negara karena penderitanya menjadi tidak produktif dan bergantung pada
orang lain. Masalah kesehatan jiwa juga menimbulkan dampak sosial antara lain meningkatnya
angka kekerasan, kriminalitas, bunuh diri, penganiayaan anak, perceraian, kenakalan remaja,
penyalahgunaan zat, HIV/AIDS, perjudian, pengangguran dan lain-lain. Oleh karena itu masalah
kesehatan jiwa perlu ditangani secara serius (Depkes RI, 2006).
Menurut Depkes RI (2005) dari studi Bank Dunia tahun 1995 di beberapa Negara
menunjukkan bahwa hari produktif yang hilang sebesar 8,1 % dari Global Burden of Disease
disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Angka ini lebih tinggi dari dampak yang disebabkan oleh
penyakit TBC(7,2%), kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%) maupun malaria (2,6%). Menurut
National Institute of Mental Health gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan
dan diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030 (WHO, 2009).
WHO (2001), menyatakan bahwa 12 % dari disability-adjusted life years (DALYs)
disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa, dan diperkirakan akan menjadi 15% pada tahun 2020.
Angka ini lebih besar dari penyakit dengan penyebab lainnya (fisik). Meskipun tidak tercatat
sebagai penyebab kematian maupun kesakitan utama di Indonesia, bukan berarti kesehatan jiwa
tidak ada atau kecil masalahnya. Kurang tersedianya data merupakan masalah kesehatan jiwa
disebabkan kesehatan jiwa belum mendapat perhatian.
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia sebesar 6,0 persen. Provinsi
dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi di Indonesia adalah Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (Riskesdas, 2013).

1
Fokus kesehatan jiwa bukan lagi hanya menangani orang sakit, melainkan pada peningkatan
kualitas hidup. Menurut WHO (1995) cit. Bobes et al. (2007) kualitas hidup adalah persepsi
individu mengenai posisi kehidupannya dalam suatu sistem nilai dan budaya dimana mereka tinggal
dan berhubungan dengan tujuan, harapan, standar dan perhatian mereka. Kualitas hidup merupakan
indikator penting untuk menilai keberhasilan intervensi pelayanan kesehatan baik dari segi
pencegahan maupun pengobatan (Suharmiati, 2003 cit. Sudiani, 2004). Menurut WHO (1994)
seseorang dapat dinilai memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi apabila ia dapat berperan serta
dalam kehidupan komunitasnya dan berpartisipasi dalam berbagai interaksi sosial.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Kesehatan Jiwa?
2. Apa itu Gangguan Jiwa?
3. Bagaimana Permasalahan Gangguan Jiwa di Masyarakat?

1.3 Tujuan
1. Tujuan umum :
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami secara umum
tentang permasalahan gangguan jiwa di masyarakat seperti pasung, gelandangan psikotik,
penolakan pasien oleh keluarga dan masyarakat, resiko kakmbuhan pasien, peran serta keluarga
dan lingkungan dalam asuhan keperawatan jiwa.
2. Tujuan khusus :
Mahasiswa mampu memahami secara baik tentang permasalahan gangguan jiwa di msyarakat,
yaitu :
a. Apa itu pasung
b. Apa itu gelandangan psikotik
c. Bagaimana penolakan pasien oleh keluarga dan masyarakat
d. Bagaimana resiko kekambuhan pasien, dan
e. Bagaimana peran serta keluarga dan lingkungan dalam asuhan keperawatan jiwa

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kesehatan Jiwa


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai “keadaan sehat
fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan.” Definisi
ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan sejahtera yang positif, bukan sekedar keadaan
tanpa penyakit. Orang yang memiliki kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial dapat
memenuhi tanggung jawab kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari,
dan puas dengan hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri. Tidak ada satupun definisi
universal kesehatan jiwa, tetapi kita dapat menyimpulkan kesehatan jiwa seseorang dari
perilakunya. Karena perilaku seseorang dapat dilihat atau ditafsirkan berbeda oleh orang lain,
yang bergantung kepada nilai dan keyakinan, maka penentuan definisi kesehatan jiwa menjadi
sulit.
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat
dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri
yang positif, dan kestabilan emosional. Kesehatan jiwa memiliki banyak komponen dan
dipengaruhi oleh berbagai factor (Johnson, 1997) :
1. Otonomi dan kemandirian : Individu dapat melihat ke dalam dirinya untuk menemukan
nilai dan tujuan hidup. Opini dan harapan orang lain dipertimbangkan, tetapi tidak
mengatur keputusan dan perilaku individu tersebut. Individu yang otonom dan mandiri
dapat bekerja secara interdependen atau kooperatif dengan orang lain tanpa kehilangan
otonominya.

2. Memaksimalkan potensi diri : Individu memiliki orientasi pada pertumbuhan dan


aktualisasi diri. Ia tidak puas dengan status quo dan secara kontinu berusaha tumbuh
sebagai individu.

3. Menoleransi ketidakpastian hidup : Individu dapat menghadapi tantangan hidup sehari-hari


dengan harapan dan pandangan positif walaupun tidak mengetahui apa yang terjadi di masa
depan.

4. Harga diri : Individu memiliki kesadaran yang realistis akan kemampuan dan
keterbatasannya.

5. Menguasai lingkungan : Individu dapat mengahadapi dan mempengaruhi lingkungan


dengan cara yang kreatif, kompeten, dan sesuai kemampuan.

3
6. Orientasi realitas : Individu dapat membedakan dunia nyata dari dunia impian, fakta dari
khayalan, dan bertindak secara tepat.

7. Manajemen stress : Individu dapat menoleransi stress kehidupan, merasa cemas atau
berduka sesuai keadaan, dan mengalami kegagalan tanpa merasa hancur. Ia menggunakan
dukungan dari keluarga dan teman untuk mengatasi krisis karena mengetahui bahwa stress
tidak akan berlangsung selamanya.

Faktor yang mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang dapat dikategorikan sebagai faktor
individual, interpersonal, dan sosial/budaya. Faktor individual meliputi struktur biologis,
memiliki keharmonisan hidup, vitalitas, menemukan arti hidup, kegembiraan atau daya tahan
emosional, spritualitas, dan memiliki identitas yang positif (Seaward, 1997). Faktor
interpersonal meliputi komunikasi yang efektif, membantu orang lain, keintiman, dan
mempertahankan keseimbangan antara perbedaan dan kesamaan. Faktor sosial budaya meliputi
keinginan untuk bermasyarakat, memiliki penghasilan yang cukup, tidak menoleransi
kekerasan, dan mendukung keragaman individu.

2.2 Gangguan Jiwa


Di masa lalu gangguan jiwa dipandang sebagai kerasukan setan, hukuman karena
pelanggaran sosial atau agama, kurang minat atau semangat, dan pelanggaran norma sosial.
Penderita gangguan jiwa dianiaya, dihukum, dijauhi, diejek, dan dikucilkan dari masyarakat
“normal”. Sampai abad ke-19, penderita gangguan jiwa dinyatakan tidak dapat disembuhkan
dan dibelenggu dalam penjara tanpa diberi makanan, tempat berteduh, atau pakaian yang
cukup.
Saat ini gangguan jiwa diidentifikasi dan ditangani sebagai masalah medis. American
Psychiatric Association (1994) mendefinisikan gangguan jiwa sebagai “suatu sindrom atau pola
psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang yang dikaitkan
dengan adanya distress aatau disabilitas.
Kriteria umum untuk mendiagnosis gangguan jiwa meliputi ketidakpuasan dengan
karakteristik, kemampuan, dan prestasi diri; hubungan yang tidak efektif atau tidak
memuaskan; tidak puas hidup di dunia; atau koping yang tidak efektif terhadap peristiwa
kehidupan dan tidak terjadi pertumbuhan personal. Selain itu, perilaku individu yang tidak
diharapkan atau dikenakan sanksi secara budaya bukan perilaku menyimpang yang menjadi
indikasi suatu gangguan jiwa (DSM-IV, 1994).
Faktor yang menyebabkan gangguan jiwa juga dapat dipandang dalam tiga kategori, yaitu :
1. Faktor individual : meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawatiran dan ketakutan,
ketidakharmonisan dalam hidup, dan kehilangan arti hidup (Seaward, 1997).

4
2. Faktor interpersonal : meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang
berlebihan atau menarik diri dari hubungan, dan kehilangan kontrol emosional

3. Faktor budaya dan sosia l: meliputi tidak ada penghasilan, kekerasan, tidak memiliki tempat
tinggal, kemiskinan, dan diskriminasi seperti perbedaan ras, golongan, usia dan jenis
kelamin.

2.3 Permasalahan Kasus Gangguan Jiwa di Masyarakat


Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa di masyarakat,
khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan (urban mental health).
Beberapa masalah kesehatan jiwa dimasyarakat, yakni:
1. Pasung

Pemasungan penderita gangguan jiwa adalah tindakan masyarakat terhadap penderita


gangguan jiwa (biasanya yang berat) dengan cara dikurung, dirantai kakinya dimasukan
kedalam balok kayu dan lain-lain sehingga kebebasannya menjadi hilang. Pasung
merupakan salah satu perlakuan yang merampas kebebasan dan kesempatan mereka untuk
mendapat perawatan yang memadai dan sekaligus juga mengabaikan martabat mereka
sebagai manusia. Di Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau
pengurungan terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang
melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya (Broch, 2001, dalamMinas & Diatri,
2008). Pengekangan fisik terhadap individu dengan gangguan jiwa mempunyai riwayat
yang panjang dan memilukan.
Penyebab ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang tidak
kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan keluaga untuk
mengamankan lingkungan merupakan penyebab keluarga melakukan pemasungan
(Depkes, 2005).
Alasan keluarga melakukan pemasungan diantaranya:
a) Mencegah klien melakukan tindak kekerasan yang dianggap membahayakan terhadap
dirinya atau orang lain

b) Mencegah klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang lain

c) Mencegah klien menyakiti diri seperti bunuh diri

d) Ketidaktahuan serta ketidakmampuan keluarga menangani klien apabila sedang


kambuh.

e) Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan salah satu penyebab
pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung

5
Terapi bagi penderita
a) Dirawat sampai sembuh di Rumah Sakit Jiwa, kemudian dilanjutkan dengan rawat
jalan.

b) Untuk menghilangkan praktek pasung yang masih banyak terjadi dimasyarakat perlu
adanya kesadaran dari keluarga yang dapat diintervensi dengan melakukan terapi
keluarga. Salah satu terapi keluarga yang dapat dilakukan adalah psikoedukasi keluarga
( Family psichoeducation Therapy). Terapi keluarga ini dapat memberikan support
kepada anggota keluarga. Keluarga dapat mengekspresikan beban yang dirasakan
seperti masalah keuangan, sosial dan psikologis dalam memberikan perawatan yang
lama untuk anggota keluarganya.

c) Family Psychoeducation Terapy

Family Psychoeducation Terapy adalah salah satu bentuk terapi perawatan kesehatan
jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasimelalui komunikasi yang
terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan
pragmatis (Stuart & Laraia, 2005).Carson (2000) menyatakan bahwa psikoedukasi
merupakan suatu alatterapi keluarga yang makin populer sebagai suatu strategi untuk
menurunkan faktor – faktor resiko yang berhubungan dengan perkembangan gejala –
gejala perilaku.
 Tujuan umum dari Family psychoeducation
Menurunkan intensitas emosi dalam keluarga sampai pada tingkatan yang
rendah sehingga dapat meningkatkan pencapaian pengetahuan keluarga tentang
penyakit dan mengajarkan keluarga tentang upaya membantu mereka melindungi
keluarganya dengan mengetahui gejala-gejala perilaku serta mendukung kekuatan
keluarga (Stuart & Laraia, 2005).
 Manfaat Family Psychoeducation
Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan tehnik
yang dapat membantu keluarga untuk mengetahui gejala – gejala penyimpangan
perilaku, serta peningkatan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. Indikasi
dari terapi psikoedukasi keluarga adalah anggota keluarga dengan aspek
psikososial dan gangguan jiwa.
Menurut Carson (2000), situasi yang tepat dari penerapan psikoedukasi keluarga
adalah:
a) Informasi dan latihan tentang area khusus kehidupan keluarga, seperti latihan
keterampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua yang efektif.

6
b) Informasi dan dukungan terhadap kelompok keluarga khusus stress dan krisis,
seperti pada kelompok pendukung keluarga dengan penyakit Alzheimer.

c) Pencegahan dan peningkatan seperti konseling pranikah untuk keluarga sebelum


terjadinya krisis

2. Gelandangan Psikotik

Gelandangan psikotik adalah mereka yang hidup di jalan karena suatu sebab mengalami
gangguan kejiwaan yakni mental dan sosial, sehingga mereka hidup mengembara,
berkeliaran, atau menggelandang di jalanan. Dalam gelandangan psikotik ini mereka sudah
tidak memiliki pola pikir yang jelas dan mereka sudah tidak lagi mementingkan mengenai
norma dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat, selain itu juga mereka sudah tidak
memiliki rasa malu dan memiliki amarah yang tidak bisa di kontrol jika sedang marah.
a) Ciri-ciri gelandangan psikotik

 Tingkah laku dengan relasi sosialnya selalu asosial, eksentrik (kegilaan-gilaan dan
kronis patologis). Kurang memiliki kesadaran sosial dan intelegensi sosial, ama
fanatik dan sangat individualistis selalu bertentangan dengan lingkungan dan
norma.
 Sikapnya masih sering berbuat kasar, kurang ajar dan ganas, marah tanpa ada
sebabnya.
 Pribadinya tidak stabil, responnya kurang tepat dan tidak dapat untuk dipercaya.
 Tidak memiliki kelompok
b) Kriteria Psikotik

 Psikotik organik yaitu psikotik yang faktor penyebabnya adalah gangguan pada
pusat susunan syaraf dan psikotik yang di sebabkan oleh kondisi fisik, gangguan
endoktrin, gangguan metabolisme, intoksikasi obat setelah pembedahan atau
setelah melakukan pengobatan.
 Psikotik fungsional (psikogenik) yaitu psikotik yang di sebabkan oleh adanya
gangguan pada kepribadian seseorang yang bersifat psikogenitik yaitu skizofrenia
(perpecahan kepribadian), atau seperti psikotik paranoid atau selalu curiga pada
orang lain
c) Faktor-faktor penyebab

 Tekanan- tekanan kehidupan (emosional)


 Kekecewaan (frustasi) yang tidak pernah mendapat penyelesaian.
 Adanya hambatan yang terjadi pada masa tumbuh dan kembang seorang individu.

7
 Kecelakaan yang menimbulkan kerusakan pada gangguan otak.
 Tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan ataupun masyarakat sekitar
(sosio budaya).
 Layanan yang dibutuhkan oleh gelandangan psikotik
 Kebutuhan fisik, meliputi kebutuhan makan, pakaian, perumahan dan kesehatan.
 Kebutuhan layanan psikis meliputi terapi medis psikiatris dan psikologis.
 Kebutuhan sosial meliputi rekreasi, kesenian dan olahraga.
 Layanan kebutuhan ekonomi yang meliputi keterampilan usaha, keterampilan
kerja dan penempatan dalam masyarakat.
 Kebutuhan rokhani (keimanan dan ketaqwaan) di dalamnya terdapat pelajaran dan
bimbingan keagamaan dan kebutuhan konseling kerohanian.
d) Prinsip-prinsil Penanganan bagi Gelandangan Psikotik

Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi gelandangan didasarkan pada prinsip umum dan
khusus untuk menjamin berlangsungnya pelayanan secara profesional dan tidak
melanggar hak azasi mereka sebagai manusia, prinsip-prinsip tersebut adalah :
1) Prinsip-prinsip Umum:

Pelayanan rehabilitasi bagi gelandangan pada prinsipnya:


 Penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, dimana setiap warga
binaan bisa diterima dan dihargai sebagai pribadi yang utuh dalam artian
memanusiakan manusia.

 Memberikan penghidupan dan pelayanan yang layak terhadap warga binaan.

 Pemberian kesempatan seluas-luasnya bagi para warga binaan tersebut unuk


lebih mengembangkan dirinya dan diikutsertakan dalam kegiatan yang ada
didalam panti rehabilitasi tersebut.

 Menanamkan sifat tanggung jawab sosial yang melekat pada setiap warga
binaan yang dilayani dan direhabilitasi.

2) Prinsip-prinsip Khusus

Prinsip-prinsip khusus dalam rehabilitasi sosial adalah:


 Prinsip peneriamaan warga binaan secara apa adanya.

 Tidak menghakimi (Non judgement) warga binaan.

8
 Prinsip individualisasi, setiap warga binaan tidak diperlakukan sama rata,
tetapi harus difahami secara khusus sesuai dengan problemnya masing-masing.

 Prinsip kerahasiaan, setiap informasi yang diperoleh mengenai gelandangan


tersebut dapat dijaga kerahasiaannya sebaik dan sekuat mungkin, terkecuali
informasi tersebut digunakan untuk kepentingan pelayanan dan rehabilitasi
sosial klien tersebut.

 Prinsip partisipasi, setiap warga binaan dan orang-orang terdekatnya ikut


berpartisipasi dalam proses penyembuhan dan rehabilitasinya dalam upaya
unuk mengembalikan kesadaran individu tersebut.

 Prinsip komunikasi, dalam hal ini diusahakan agar kualitas dan intensitas
komunikasi antara warga binaan dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya
dapat ditingkatkan seoptimal mungkin sehingga dapat berdampak positif
terhadap upaya rehabilitasi warga

3. Penolakan Pasien Oleh Keluarga dan Masyarakat


Penderita gangguan jiwa seringkali mendapat stigma dari lingkungan sekitarnya.
Stigma tersebut melekat pada penderita sendiri maupun keluarganya. Hal ini karena
menderita gangguan jiwa sendiri sudah dinamakan secara berbeda dari penderita penyakit
fisik lainnya. Beberapa orang percaya bahwa gangguan jiwa merupakan hasil dari pilihan-
pilihan yang buruk, dalam penelitian Tyas (2008), Wardhani, dkk (2011) dan Colucci
(2013) disebutkan bahwa gangguan jiwa terjadi akibat sebab supranatural dan ada pula
yang mempercayai akibat keturunan dari orang tua atau kerabat terdekatnya. Selain itu,
orang dengan gangguan jiwa dipercaya sebagai orang yang berbahaya dan tidak bisa
diprediksi, kurang kompeten, tidak dapat bekerja, harus dirawat di RSJ, dan tidak akan
pernah sembuh.
Stigma terhadap penderita gangguan jiwa akan semakin kompleks apabila
penanganannya tidak berlanjutan. Sikap pasrah keluarga penderita gangguan jiwa, yang
membiarkan penderita gangguan jiwa untuk dipasung karena tidak ada biaya untuk
pengobatan lebih lanjut. Pemilihan untuk memasung penderita gangguan jiwa beralasan
agar keluarga bisa lebih dapat mengawasi penderita supaya tidak menyakiti diri sendiri dan
orang lain. Selain itu rasa malu yang ditanggung oleh keluarga merupakan stigma yang
dibuat sendiri oleh keluarga terhadap anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
Sehingga bantuan dari lingkungan sekitar untuk mengobati penderita tidak diperhatikan
lagi. Rasa malu tersebut menyebabkan keluarga penderita gangguan jiwa menutup diri dari
lingkungan.

9
Stigma pada penderita gangguan jiwa berat menyangkut pengabaian, prasangka dan
diskriminasi. Pengabaian merupakan masalah pengetahuan dari masyarakat terkait
gangguan jiwa itu sendiri. Prasangka merupakan masalah dari sikap, baik itu dari penderita
yang mengarah pada stigma diri maupun dari masyarakat yang menimbulkan stigma
terhadap penderita gangguan jiwa. Sedangkan diskriminasi merupakan masalah dari
perilaku, baik itu dari penyedia layanan penanganan kesehatan jiwa maupun dari
masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa berat (Thornicroft, et al, 2008).
Kurangnya pemahaman keluarga dan masyarakat akan gejala dini dari gangguan jiwa
atau gejala penyakit lainnya dan tidak adanya komunikasi yang baik antara dokter dan
keluarga pasien terkait penyakit yang didiagnosa epilepsi dan autisme membuat
penanganan kesehatan yang tidak tepat terjadi.
Reaksi masyarakat sangat dipengaruhi oleh kejadian penderita gangguan jiwa yang
sedang kambuh dan tidak mendapat penanganan yang benar secara medis. Hal ini
mendorong masyarakat memiliki persepsi bahwa orang dengan gangguan jiwa melakukan
kekerasan, perusakan, dan tidak terkendali. Masyarakat sebagian besar masih kurang
informasi tentang proses penyakit gangguan jiwa berat, dan banyak yang membayangkan
bahwa penderita gangguan jiwa kehilangan pikiran mereka secara permanen dan lebih baik
dilakukan pemasungan. Bahkan ketika dalam keadaan baik, tanpa adanya penyimpangan
perilaku penderita gangguan jiwa berat mungkin menemukan dirinya dijauhi atau
dicemooh.
Tak dapat disangkal, penderita gangguan jiwa berat ada yang tetap sakit dan cacat.
Namun, ada juga yang terkontrol secara medis, dan mereka tidak melakukan gangguan di
lingkungan sekitarnya, tetapi masih mengalami diskriminasi sosial dan penolakan akibat
dari stigma.
4. Resiko Kekambuhan
Kekambuhan merupakan keadaan pasien dimana muncul gejala yang sama seperti
sebelumnya dan mengakibatkan pasien harus dirawat kembali (Andri, 2008). Keadaan
sekitar atau lingkungan yang penuh stres dapat memicu pada orang-orang yang mudah
terkena depresi, dimana dapat ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami kekambuhan
lebih besar kemungkinannya daripada orang-orang yang tidak mengalami kejadian-
kejadian buruk dalam kehidupan mereka. Pada gangguan jiwa kronis diperkirakan
mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan 70% pada tahun kedua (yosep,
2006). kekambuahn biasanya terjadi karena adanya kejadian-keadian buruk sebelum
mereka kambuh (Wiramihardja, 2007).
Salah satu upaya penting dalam penyembuhan dan pencegahan kekambuhan kembali
adalah dengan adanya dukungan keluarga yang baik. Keluarga merupakan sumber bantuan
terpenting bagi anggota keluarga yang sakit, keluarga sebagai sebuah lingkungan yang

10
penting dari pasien, yang kemudian menjadi sumber dukungan sosial yang penting.
Menurut Friedman (1998) dukungan sosial dapat melemahkan dampak stress dan secara
langsung memperkokoh kesehatan jiwa individual dan keluarga, dukungan sosial
merupakan strategi koping penting untuk dimiliki keluarga saat mengalami stress.
Dukungan sosial keluarga juga dapat berfungsi sebagai strategi preventif untuk mengurangi
stress dan konsekwensi negatifnya.
Menurut Friedman (2003) dukungan keluarga adalah bagian integral dari dukungan
sosial. Dampak positif dari dukungan keluarga adalah meningkatkan penyesuaian diri
seseorang terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan. Dukungan keluarga meliputi
informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang
diberikan oleh anggota keluarga yang lain yang dapat memberikan keuntungan emosional
atau berpengaruh pada tingkah laku penderita gangguan jiwa.
Keluarga merupakan unit paling dekat dengan penderita, dan merupakan “perawat
utama” bagi penderita. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau perawatan yang
diperlukan penderita di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit akan sia-sia jika tidak
diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan penderita harus dirawat kembali
(kambuh). Peran serta keluarga sejak awal perawatan di rumah sakit akan meningkatkan
kemampuan keluarga merawat penderita di rumah sehingga kemungkinan kambuh dapat
dicegah. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab
terjadinya kekambuhan penderita gangguan jiwa adalah kurangnya peran serta keluarga
dalam perawatan terhadap anggota keluarga yang menderita penyakit tersebut. Salah satu
penyebabnya adalah karena keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku penderita
dirumah. Keluarga jarang mengikuti proses keperawatan penderita karena jarang
mengunjungi penderita di rumah sakit, dan tim kesehatan di rumah sakit juga jarang
melibatkan keluarga (Anna K, dalam Nurdiana, 2007).
Penderita gangguan jiwa sering mendapat stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari
masyarakat di sekitarnya bahkan dalam beberapa kasus oleh keluarganya sendiri. Mereka
sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi seperti perlakuan keras. Perlakuan ini
disebabkan ketidaktahuan atau pengertian yang salah dari keluarga atau anggota
masyarakat. Hal inilah yang biasanya menyebabkan penderita gangguan jiwa untuk sulit
sembuh dan sering kambuh kembali (Stuart dan Laraia, 2001).
Kekambuhan gangguan jiwa adalah peristiwa timbulnya kembali gejala-gejala
gangguan psikis atau jiwa yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan (Stuart dan
Laraia, 2001). Pada kasus gangguan jiwa kronis, diperkirakan 50% penderita gangguan
jiwa kronis akan mengalami kekambuhan pada tahun pertama, dan 70% pada tahun yang
kedua. Kekambuhan biasa terjadi karena ada hal-hal buruk yang menimpa penderita
gangguan jiwa, seperti diasingkan oleh keluarganya sendiri (Wiramisharjo, 2007).

11
Faktor-faktor kekambuhan :
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekambuhan penderita gangguan jiwa
dalam Keliat (1996), meliputi :
1. Pasien
Secara umum bahwa pasien yang minum obat secara tidak teratur mempunyai
kecenderungan untuk kambuh. Hasil penelitian menunjukkan 25% sampai 50%
pasien skizofrenia yang pulang dari rumah sakit jiwa tidak memakan obat secara
teratur. Pasien kronis, khususnya skizofrenia sukar mengikuti aturan minum obat
karena adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan mengambil keputusan. Di
rumah sakit perawat bertanggung jawab dalam pemberian atau pemantauan
pemberian obat sedangkan di rumah tugas perawat digantikan oleh keluarga.
2. Dokter
Minum obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun pemakaian obat
neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping yang mengganggu
hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol. Pemberian obat oleh dokter
diharapkan sesuai dengan dosis terapeutik sehingga dapat mencegah kekambuhan.
3. Penanggung Jawab Pasien (Case Manager)
Setelah pasien pulang ke rumah, maka penanggung jawab kasus mempunyai
kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu dengan pasien, sehingga dapat
mengidentifikasi gejala dini pasien dan segera mengambil tindakan.
4. Keluarga
Ekspresi emosi yang tinggi dari keluarga diperkirakan menyebabkan kekambuhan
yang tinggi pada pasien. Hal lain adalah pasien mudah dipengaruhi oleh stress yang
menyenangkan maupun yang menyedihkan. Keluarga mempunyai tanggung jawab
yang penting dalam proses perawatan di rumah sakit jiwa, persiapan pulang dan
perawatan di rumah agar adaptasi klien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas
perilaku keluarga akan membantu proses pemulihan kesehatan pasien sehingga status
kesehatan pasien meningkat.
5. Dukungan lingkungan sekitar
Dukungan lingkungan sekitar tempat tinggal klien yang tidak mendukung dapat juga
meningkatkan frekuensi kekambuhan, misalnya masyarakat menganggap klien
sebagai individu yang tidak berguna , mengucilkan klien, mengejek klien dan
seterusnya.

12
Faktor resiko kekambuhan :
Menurut Murphy, MF, &Moller MD, faktor resiko untuk kambuh dalam Videbeck (2008),
adalah:
1. Faktor risiko kesehatan
a) Gangguan sebab dan akibat berpikir
b) Gangguan proses informasi
c) Gizi buruk
d) Kurang tidur
e) Kurang olahraga
f) Keletihan
g) Efek samping pengobatan yang tidak dapat ditoleransi
2. Faktor resiko lingkungan
a) Kesulitan keuangan
b) Kesulitan tempat tinggal
c) Perubahan yang menimbulkan stress dalam peristiwa kehidupan
d) Keterampilan kerja yang buruk, ketidakmampuan mempertahankan pekerjaan
e) Tidak memiliki transportasi. f) Keterampilan sosial yang buruk, isolasi sosial,
kesepian
f) Kesulitan interpersonal
3. Faktor resiko perilaku dan emosional
a) Tidak ada control, perilaku agresif, atau perilaku kekerasan
b) Perubahan mood
c) Pengobatan dan penatalaksanaan gejala yang buruk
d) Konsep diri rendah
e) Penampilan dan tindakan berbeda
f) Perasaan putus asa
g) Kehilangan motivasi

Gejala-gejala kambuh :

Menurut Keliat (1996), gejala kambuh yang diidentifikasi oleh klien dan keluarganya,
yaitu nervous, tidak nafsu makan, sukar konsentrasi, sulit tidur, depresi, tidak ada minat
dan menarik diri. Pada gangguan jiwa psokotik akan timbul gejala positif yang lebih aktif
seperti; waham, halusinasi, gangguan pikiran, ekoprasia, asosiasi longer, Flight of ideas.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan keluarganya yaitu :

13
a. Menjadi ragu-ragu dan serba takut (nervous).
b. Tidak nafsu makan
c. Sukar konsentrasi
d. Sulit tidur
e. Depresi
f. Tidak ada minat
g. Menarik diri

Strategi yang dapat membantu keluarga untuk mencegah kekambuhan :

1) Mengenali tanda kambuh


2) Menjalani pengobatan yang sesuai
3) Menghindari situasi yang mungkin memicu timbulnya gejala seperti film-flm atau
program di televisi.
4) Mempelajari tentang keadaan sakit yang diderita anggota keluarganya.
5) Melaksanakan pelatihan teknik manajemen stress. Contoh meditasi, berpikir positif,
dan napas dalam.
6) Melaksanakan aktifitas secara terstruktur

Seorang yang menderita gangguan jiwa harus diberi semangat dan nasehat untuk
mengatur keadaaan dirinya dan untuk menghindari kekambuhan. Tim kesehatan
menyatakan bahwa klien menyimpan catatan harian mengenai perasaan dan perilakunya
sehingga mereka secara signifikan dapat mengalami perubahan dan peringatan tanda akan
kekambuhannya. Banyak klien yang mempelajari dan mengenali peribadi mereka dengan
adanya catatan tersebut.

Memelihara pola hidup juga penting untuk setiap orang khususnya klien gangguan
jiwa. Mengambil dosis obat yang benar pada waktu yang sama setiap hari sangat
diperlukan. Membantu mengingatkan klien dalam meminum obat dengan menggunakan
pil untuk setiap dosis harian. Hal tersebut akan menolong mereka bila mereka harus
mengambil dosis pengobatan.

Dalam sebuah riset menyatakan bahwa tidur yang cukup dapat mempengaruhi
pikirannya dan dapat mencegah kekambuhan. Jika intensitas tidurnya terlalu banyak,
dapat diidentifikasi jika hal tersebut adalah tanda dari depresi. Namun sebaliknya, jika
intensitas tidurnya kurang munkin menandakan jika klien merasa khawatir.

14
Memelihara pola hidup sehat, memonitor dan memeriksakan anggota keluarga yang
mengalami kekambuhan gangguan jiwa dapat membantu mencegah kekambuhan yang
dialaminya.

5. Peran Serta Keluarga dan Lingkungan Dalam Askep Jiwa

Keluarga adalah orang-orang yang sangat dekat dengan pasien dan dianggap paling
banyak tahu kondisi pasien serta dianggap paling banyak memberi pengaruh pada pasien.
Sehingga keluarga sangat penting artinya dalam perawatan dan penyembuhan pasien.
Alasan utama pentingnya keluarga dalam perawatan jiwa adalah :

1. Keluarga merupakan lingkup yang paling banyak berhubungan dengan pasien


2. Keluarga (dianggap) paling mengetahui kondisi pasien
3. Gangguan jiwa yang timbul pada pasien mungkin disebabkan adanya cara asuh yang
kurang sesuai bagi pasien
4. Pasien yang mengalami gangguan jiwa nantinya akan kembali kedalam masyarakat;
khususnya dalam lingkungan keluarga
5. Keluarga merupakan pemberi perawatan utama dalam mencapai pemenuhan kebutuhan
dasar dan mengoptimalkan ketenangan jiwa bagi pasien.
6. Gangguan jiwa mungkin memerlukan terapi yang cukup lama, sehingga pengertian dan
kerjasama keluarga sangat penting artinya dalam pengobatan

Hal-hal yang perlu diketahui oleh keluarga dalam perawatan Gangguan Jiwa :

1. Pasien yang mengalami gangguan jiwa adalah manusia yang sama dengan orang
lainnya; mempunyai martabat dan memerlukan perlakuan manusiawi
2. Pasien yang mengalami gangguan jiwa mungkin dapat kembali ke masyarakat dan
berperan dengan optimal apabila mendapatkan dukungan yang memadai dari seluruh
unsur masyarakat. Pasien gangguan jiwa bukan berarti tidak dapat “sembuh”
3. Pasien dengan gangguan jiwa tidak dapat dikatakan “sembuh” secara utuh, tetapi
memerlukan bimbingan dan dukungan penuh dari orang lain (dan keluarga)
4. Tujuan perawatan adalah :
o Meningkatkan Kemandirian pasien
o Pengoptimalan peran dalam masyarakat
o Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
5. Pasien memerlukan pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum
dan berpakaian serta kebersihan diri dengan optimal. Keluarga berperan untuk
membantu pemenuhan kebutuhan ini sesuai tahap-tahap kemandirian pasien

15
6. Kegiatan sehari-hari seperti melakukan pekerjaan rumah (ringan), membantu usaha
keluarga atau bekerja (seperti orang normal lainnya) merupakan salah satu bentuk
terapi pengobatan yang mungkin berguna bagi pasien.
7. Berilah peran secukupnya pada pasien sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki.
Pemberian peran yang sesuai dapat meningkatkan harga diri pasien.
8. Berilah motivasi pada pasien sesuai dengan kebutuhan (tidak dibuat-buat) dalam
rangka meningkatkan moral dan harga diri.
9. Kembangkan kemampuan yang telah dimiliki oleh pasien pada waktu yang lalu.
Kemampuan masa lalu berguna untuk menstimulasi dan meningkatkan fungsi klien
sedapat mungkin

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gangguan jiwa bukan penyakit fisik yang menimbulkan dampak kematian, namun deteksi
gejala dini tentang gangguan jiwa sangat perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas agar tidak
terjadi keterlambatan penanganan pada fase awal yang bisa disembuhkan.

Perlu adanya pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan mengenai apa dan
bagaimana tentang gangguan jiwa dan gangguan emosional pada level-level tertentu agar tidak
menimbulkan stigma terhadap penderita gangguan jiwa yang bisa disembuhkan.

Penderita gangguan jiwa di masyarakat kurang didiagnosis dan diobati dengan tepat. Karena
secara fisik penderita gangguan jiwa adalah normal, namun psikisnya yang butuh pertolongan
medis. Pelayanan kesehatan pemerintah dan pembuat kebijakan berkontribusi terhadap stigma
secara sistematik, perhatian yang minim karena bukan program prioritas membuat pelayanan
kesehatan jiwa pada masyarakat juga mendapat anggaran yang minim pula.

3.2 Saran

Salah satu komponen penting adalah upaya untuk mengurangi stigma akan penyebaran
pengetahuan dasar tentang gangguan jiwa di masyarakat. Pengetahuan tentang informasi lebih
lanjut tentang gangguan jiwa di masyarakat akan meminimalisir prasangka terhadap penderita
gangguan jiwa dan keluarganya. Sehingga pertolongan terhadap pelayanan kesehatan jiwa akan
dengan cepat didapatkan.

Keberlanjutan penanganan gangguan jiwa pada penderita juga perlu mendapat perhatian
penting dari berbagai pihak, karena kasus drop out masih banyak ditemukan, sehingga
menimbulkan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa berat yang masih banyak terjadi di
Indonesia.

17
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta : EGC

Videback, Sheila. L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

http://repositori.uin-alauddin.ac.id/2376/1/Muhammad%20Ali.pdf

https://media.neliti.com/media/publications/20892-ID-stigma-and-management-on-people-with-
severe-mental-disorders-with-pasung-physica.pdf

Anda mungkin juga menyukai