Anda di halaman 1dari 29

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Kajian Teoritis


2.1.1 Baja
Baja didefinisikan sebagai suatu campuran besi dengan karbon.
Kandungan karbon didalam baja sekitar 0,1% sampai 1,7%, sedangkan
unsure lainnya dibatasi oleh presentasenya (Amanto dan Daryanto, 2003).
Amsted, dkk. (1997) mengemukakan bahwa secara garis besar baja dapat
dapat dikelompokan menjadi dua yaitu baja karbon dan baja paduan. Baja
karbon dibagi menjadi tiga yaitu baja karbon rendah (<0,3%C), baja karbon
sedang (0,30%<C<0,70%) dan baja karbon tinggi (0,70%<C<1,40%). Baja
paduan dibagi menjadi dua yaitu baja paduan rendah ( jumlah unsur paduan
khusus <8,0% ) dan baja paduan tinggi ( jumlah unsur paduan khusus >8,0%)

Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel) bersifat lunak, kekuatan relatif
rendah, tetapi keuletannya tinggi atau sering disebut baja lunak (mild steel)
dengan kandungan karbon kurang dari 0,3%. Baja karbon rendah sangat luas
penggunaannya sebagai baja konstruksi, rangka kendaraan, mur, baut, pipa,
tangki minyak, dan lain-lain karena memiliki sifat pengerjaan yang baik
seperti sifat keuletan, sifat mampu tempa, kelunakan, dan mampu mesin yang
baik. Dengan keadaan tersebut baja karbon rendah sangat baik sekali untuk
disambung dengan proses pengelasan (Wiryosumarto, 2004).

Baja karbon memiliki sifat mampu las yang baik. Baja jenis ini dapat
dilas dengan semua cara pengelasan yang ada di dalam praktek dan hasilnya
akan baik bila persiapan dan semua persyaratannya terpenuhi. Baja karbon
memiliki kepekaan retak las yang rendah bila dibandingkan dengan baja
karbon lainnya atau baja paduan. Retak las pada baja dapat terjadi dengan
mudah pada pengelasan pelat atau bila di dalam baja tersebut terkandung
belerang bebas yang cukup tinggi (Kusmayadi, 2008).
2.1.2 Karakteristik Baja ST. 41
Baja ST 41 adalah salah satu dari baja karbon rendah. Bahan ini termasuk
dalam golongan baja karbon rendah karena dalam komposisinya
mengandung karbon sebesar 0,08%-0,20%. Baja karbon rendah sering
digunakan dalam komponen mesin-mesin industri seperti gear, rantai,skrup
dan poros. Selain itu juga baja ST 41 juga digunakan sebagai handle rem
sepeda motor, bodi mobil, pipa saluran, kontruksi jembatan, rivet. Baja ST 41
juga merupakan baja struktur sifat-sifat yang dimilki oleh baja ST 41
mempunyai kekuatan yang cukup tinggi, mempunyai nilai kekerasan yang
cukup, stabilitas dimensi yang baik. Baja ST 41 merupakan baja konstruksi
dengan kadar karbon rendah yang berarti baja memiliki kekuatan tarik 41
kg/mm2 atau memiliki tegangan 410- 500 N/mm2 (luchsinger, 1981).
Tabel 2.1 Komposisi kimia baja karbon rendah St. 41
Unsur % Komposisi Kimia
Besi (Fe) 98,985
Karbon (C) 0,10
Mangan (Mn) 0,6
Silikon (Si) 0,25
Sulfur (S) 0,035
Phosphor (P) 0,03
(Sumber : A. Nizam, 2014)

2.2 Pengertian Las


Definisi pengelasan menurut DIN ( Deutsche Industure Norman) adalah
ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang
dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dengan kata lain, las
merupakan sambungan setempat beberapa batang logam dengan
menggunakan energi panas.
Proses pengelasan (welding) merupakan salah satu proses penyambungan
material (material joining). Adapun untuk definisi dari proses pengelasan
yang mengacu pada AWS ( American Welding Society), proses pengelasan
adalah proses penyambungan antara metal atau non-metal yang
menghasilkan satu bagian yang menyatu, dengan memanaskan material yang
akan disambung sampai pada suhu pengelasan tertentu, dengan atau tanpa
penekanan dan dengan atau tanpa logam pengisi. Las (welding) adalah suatu
cara untuk menyambung benda padat dengan jalan mencairkannya melalui
pemanasan (Widharto, 2001), atau secara sederhana dapat diartikan bahwa
pengelasan merupakan proses penyambungan dua buah logam sampai titik
rekristalisasi logam baik menggunakan bahan maupun tidak dan
menggunakan energy panas sebagai pencair bahan yang dilas.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, pengelasan terbagi menjadi 3 jenis utama
yaitu:
a. Pengelasan cair
Adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan sampai mencair
dengan sumber panas dari busur listrik atau sambungan gas yang terbakar.
b. Pengelasan tekan
Adalah cara pengelasan dimana sambungan dipanaskan dengan kemudian
ditekan hingga menjadi satu.
c. Pematrian
Adalah cara pengelasan dimana sambungan diikat dan disatukan dengan
menggunakan paduan logam yang mempunyai titik cair rendah, dalam hal ini
logam induk tidak mencair.
Pengelasan yang paling banyak digunakan adalah pengelasan cair dengan
busur ( las busur listrik ) dan gas. Jenis busur listrik ada 4 yaitu las busur
dengan elektroda terbungkus, las busur gas ( GMAW, TIG, MIG), las busur
tanpa gas, las busur redam.

2.2.1 Las GMAW

Gas Metal Arc Welding (GMAW). GMAW merupakan las busur gas
yang menggunakan kawat las sekaligus sebagai elektroda. Elektroda tersebut
berupa gulungan kawat (rol) yang gerakannya diatur oleh motor listrik. Las
ini menggunakan gas mulia dan gas CO2 sebagai pelindung busur dan logam
yang mencair dari pengaruh atmosfir. Baja karbon rendah dapat dilas dengan
semua cara pengelasan. Sifat mampu las dari baja berbeda-beda tergantung
dari kualitas komposisi kimia dan sifat-sifat mekanik lainnya. Sifat mampu
las ini sangat penting untuk diketahui karena akan menentukan sifat-sifat
mekanik dan konstruksi yang akan dibuat.

Dalam las GMAW, kawat las pengisi yang juga berfungsi sebagai
elektroda diumpankan secara terus- menerus. Busur listrik terjadi antara
kawat pengisi dan logam induk (Basuki, 2009). Arus yang digunakan pada
proses pengelasan GMAW adalah arus searah (DC) dan posisi elektroda
kutub positif atau disebut dengan polaritas terbalik agar transfer logam bias
sempurna.

Gambar 2.1 Skema mesin las GMAW


2.3 Daerah Las-lasan
Pada setiap penyambungan dengan proses las, selalu dijumpai daerah-
daerah atau bagian-bagian dari sambungan las. Daerah las-lasan terdiri dari
tiga bagian yaitu : daerah logam las (weld metal), daerah pengaruh panas
(heat affectedzone) atau HAZ, dan logam induk ( parent metal) yang tak
terpengaruh panas.
a. Daerah logam las
Daerah logam las adalah bagian dari logam yang pada waktu pengelasan
mencair dan kemudian membeku. Komposisi logam las terdiri dari
komponen logam induk dan bahan tambahan dari elektroda. Karena logam
las dalam proses pengelasan ini mencair kemudian membeku, maka
kemungkinan besar terjadi pemisah komponen yang menyebabkan
terjadinya struktur yang tidak homogeny. Ketidak homogennya struktur akan
menimbulkan struktur ferit kasar dan bainit atas yang menurunkan
katengguhan logam las. Pada daerah ini struktur mikro yang terjadi adalah
struktur cor. Struktur mikro di logam las dicairkan dengan adanya struktur
berbutir panjang (columnar grains). Struktur ini berawal dari logam induk
dan tumbuh kearah tengah daerah logam las. (Sonawan,2004).

Gambar 2.2 Arah pembekuan dari logam las (Wiryosumarto,2000)

Dari gambar 2.2 diatas ditunjukkan secara skematik proses pertumbuhan


dari Kristal-kristal logam las yang pilar. Titik A dari gambar adalah titik
mulai dari struktur pilar yang terletak dari logam induk, titik ini tumbuh
menjadi garis lebur dengan arah sama dengan sumber panas. Pada garis lebur
ini sebagian dari logam dasar ikut mencair selama proses pembekuan logam
las tumbuh pada butir-butir logam induk dengan sumbu Kristal yang sama.

b. Daerah pengaruh panas atau Heat Affected Zone (HAZ)

Daerah pengaruh panas atau Heat Affected Zone (HAZ) adalah logam
dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses pengelasan
mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat sehingga daerah
ini yang paling kritis dari sambungan las. Secara visual daerah yang dekat
dengan garis lebur las maka susunan struktur logamnya semakin kasar.
Gambar 2.3 Transformasi fasa pada logam hasil pengelasan ( sonawan, 2004)

Menurut Sonawan (2006: 66), pemanasan lokal pada permukaan logam


induk selama proses pengelasan menghasilkan daerah pemanasan yang unik,
artinya disetiap titik yang mengalami pemanasan itu memiliki karakteristik
yang berbeda-beda. Pengelasan busur listrik menunjukkan permukaan logam
yang berhubungan langsung dengan busur listrik akan mengalami pemanasan
paling tinggi yang memungkinkan daerah tersebut mencapai titik cairnya.

Pada daerah HAZ terdapat tiga titik yang berbeda, titik 1 dan titik 2
menunjukkan temperatur pemanasan mencapai daerah berfasa autensit dan
ini disebut dengan transformasi menyeluruh yang artinya struktur mikro baja
mula-mula ferit+perlit kemudian bertransformasi menjadi austenite 100%.
Titik 3 menunjukkan temperature pemanasan, daerah itu mencapai daerah
berfasa ferit dan austenite yang disebut transformasi sebagai yang artinya
struktur mikro baja mula-mula ferit+perlit berubah menjadi ferit dan
austenite
c. Logam Induk

Logam induk adalah bagian logam dasar dimana panas dan suhu
pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sturktur dan
sifat. Disamping ketiga pembagian utama tersebut masih ada satu daerah
pengaruh panas, yang disebut batas las. (Wiryosumarto,2000)

Gambar 2.4 Perubahan sifat fisis pada sambungan las cair (Malau,2003)

Menurut Widharto, Sri (2013: 456), logam induk adalah bagian logam yang
jauh dari bagian las sehingga tidak terpengaruh oleh suhu panas las dan tetap
dalam struktur mikro dan sifat semula.

2.4 Faktor utama dalam pengelasan


Secara umum ada 4 faktor penting dalam pengelasan yaitu tegangan
busur las, arus pengelasan, kecepatan pengelasan dan gas pelindung.

2.4.1 Tegangan Busur Las


Tegangan ini adalah perbedaan potensial listrik antara ujung elektroda
dengan permukaan yang akan di las, tegangan pengelasan akan berubah
seiring dengan perubahan jarak antara elektroda dengan benda kerja. Jika
jarak yang terjadi membesar maka tegangan akan meningkat, jika jaraknya
mengecil maka tegangannya akan menurun. Tegangan pengelasan ini hanya
memiliki pengaruh yang kecil terhadap jumlah endapan logam las. Jumlah
endapan logam sangat dipengaruhi oleh kecepatan pengelasan dan busur las.
Tegangan pengelasan akan menentukan ukuran dari daerah leburan dan
penguatan lasan, tergantung busur yang rendah akan menghasilkan
penembusan yang kurang dalam, lebih lebar, disamping itu bila tegangan
dinaikkan maka keperluan fluks juga bertambah (Wiryosumarto,1994:240).

2.4.2 Besar Arus Listrik


Besarnya aliran listrik yang keluar dari mesin las disebut dengan arus
pengelasan. Arus pengelasan yang diperlukan tergantung pada jenis bahan
dan diameter elektroda yang digunakan dalam pengelasan. Untuk elektroda
standar American Welding Society (AWS), sebagai contoh AWS ER70S-6
untuk arus pengelasan yang digunakan sesuai diameter kawat las yang
dipakai dapat dilihat dari tabel 2.2. Daerah las mempunyai kapasitas panas
tinggi maka diperlukan arus yang tinggi.
Penyetelan kuat arus pengelasan juga akan mempengaruhi hasil lasan.
Bila arus yang digunakan untuk mengelas terlalu tinggi maka elektroda akan
cepat mencair, permukaan hasil lasan melebar, penembusan yang dalam dan
rentan akan lubang yang akan mengakibatkan kekuatan tarik yang rendah dan
menambah kerapuhan dari hasil pengelasan (Arifin, 1997). Sebalikya bila
arus pengelasan yang dipakai terlalu rendah maka elektoda las akan sukar
untuk menyala. Busur listrik akan menjadi tidak stabil panas yang terjadi
tidak cukup untuk melelehkan elektroda las, arus las memberikan pengaruh
yang terbesar pada penembusan dan penguatan (Wiryosumarto dan Okumura,
2000).
Tabel 2.2 setelan las GMAW
Diameter kawat Arus Tegangan Tebal Bahan
(mm) (Ampere) (Volt)
0,6 50 – 80 13 – 14 0,5 – 1,0 mm
0,8 60 – 150 14 – 22 0,8 – 2,0 mm
0,9 70 – 220 15 – 25 1,0 – 10 mm
1,0 100 – 290 16 – 29 3,0 – 12 mm
1,2 120 – 350 18 – 32 6,0 – 25 mm

Arus las merupakan parameter las yang langsung mempengaruhi


penetrasi dan kecepatan pencairan logam induk. Makin tinggi arus makin
besar penetrasi dan kecepatan pencairannya. Besar arus pada pengelasan
mempengaruhi hasil las bila arus terlalu rendah maka perpindahan cairan dari
ujung elektroda yang dugunakan sangat sulit dan busur listrik yang terjadi
tidak stabil. Panas yang terjadi tidak cukup melelehkan logam dasar,
sehingga menghasilkan bentuk rigi-rigi las yang kecil dan tidak rata serta
penetrasi kurang dalam.
Menurut Basuki (2009) mengatakan semakin besar arus yang digunakan
maka akan meningkatkan kekuatan mekanis. Oleh karena itu diperlukan
dilakukan pengujian dengan variasi arus yang mencakup arus rendah dan
tinggi menurut standar pemilihan arus untuk mengetahui nilai kekerasan dan
kekuatan tarik yang tinggi dan menghindari kegagalan sambungan.

2.4.3 Kecepatan Pengelasan


Kecepatan pengelasan adalah pepindahan tiap waktu dimana logam induk
yang akan dilas bergerak sepanjang logam las. Kecepatan pengelasan pada
umumnya sesuai dengan kombinasi tertentu dari arus dengan tegangan proses
busur. Dalam kata lain kecepatan maju dari busur diukur dalam inchi per
menit, millimeter permenit ataupun millimeter per detik. Kecepatan
pengelasan harus berdasarkan waktu dan dengan satuan detik, hal ini
diperuntukkan karena dimensi logam induk diatur untuk menyeimbangkan
masuk panas tiap millimeter dari logam tersebut, ketika kecepatan
pengelasan diatur, nyala busur harus ditetapkan berdasarkan banyak waktu
agar mengasilkan kecepatan rata-rata yang akurat. Untuk pengelasan secara
terus-menerus disarankan menggunakan waktu 30 detik.

Gambar 2.5 Pengaruh kecepatan pengelasan pada bentuk manic


(Wiryosumarto dan Okumura,2010)

Kecepatan pengelasan secara akurasi dapat dilakukan dengan las manual dan
semi otomatis tergantung pada welder. Namun dengan pengelkasan otomatis,
kecepatan diatur pada perjalanan kereta bermotor yang dikendalikan untuk
mengatur jalannya logam induk terhadap pembentukan busur las dari tang
elektroda (Fundeburk,1999)

2.4.4 Gas pelindung


Ada dua jenis gas mulia yang sering digunakan sebagai gas pelindung
yaitu helium dan argon. Gas helium menghasilkan busur yang paling dalam
dibandingkan gas argon. Tetapi gas argon mampu melakukan pembersihan
katodik, sehingga gas argon dapat menghasilkan sambungan las yang
bermutu tinggi.

2.5 Besar Penetrasi (Penembusan)


Kekuatan sambungan yang tinggi diperlukan penetrasi (penembusan)
yang cukup. Sedangkan besarnya penetrasi tergantung pada sifat-sifat fluks,
polaritas, besarnya arus listrik, kecepatan las dan tegangan yang digunakan.
Pada dasarnya semakin besar arus las semakin besar pula daya tembusnya.
Sedangkan tegangan memberikan pengaruh yang sebaliknya yaitu semakin
besar tegangan semakin panjang busur yang terjadi dan semakintidak
berpusat, sehingga panasnya melebar dan menghasilkan penetrasi yang lebar
dan dangkal.

2.6 Posisi Pengelasan


Adapun posisi dalam pengelasan antara lain :
1. Posisi Bawah Tangan
Posisi dibawah tangan yaitu suatu cara pengelasan yang dilakukan pada
permukaan rata /datar dan dilakukan dibawah tangan. Kemiringan
elektroda las sekitar 10° - 20° terhadap garis vertical dan 70° - 80°
terhadap benda kerja.

Gambar 2.6 Posisi di Bawah Tangan (sukaini,2005)

2. Posisi Tegak
Mengelas posisi tegak apabila dilakukan arah pengelasannya keatas atau
kebawah. Pengelasan ini termasuk pengelasan yang paling sulit karena
bahan cair yang mengalir atau menumpuk diarah bawah dapat diperkecil
dengan kemiringan elektroda sekitar 10° - 15° terhadap garis vertical dan
70° - 85° terhadap benda kerja.
Gambar 2.7. Posisi Tegak (Sukaini,2005)
3. Posisi Datar (Horisontal)
Mengelas dengan horizontal bias disebut juga mengelas merata dimana
kedudukan benda kerja dibuat tegak dan arah elektroda mengikuti
horizontal. Sewaktu mengelas elektroda dibuat miring sekitar 5° - 10°
terhadap garis vertical dan 70° - 80° kearah benda kerja.

Gambar 2.8. Posisi Datar (Sukaini,2005)

4. Posisi diatas kepala (Over Head)


Posisi pengelasan ini sangat sukar dan berbahaya karena bahan cairan
banyak berjatuhan dan mengenai juru las, oleh karena itu diperlukan
perlengkapan yang serba lengkap. Mengelas dengan posisi ini benda kerja
terletak pada bagian atas juru las dan kedudukan sekitar 5° - 20° terhadap
garis vertical dan 75° - 85° terhadap benda kerja.
Gambar 2.9 Posisi di Atas Kepala (Sukaini,2005)

2.7 Sambungan Dalam pengelasan


Wiryosumarto dan Okumura (2008), menyatakan bahwa sambungan las
dalam konstruksi baja pada dasarnya dibagi dalam sambungan tumpul,
sambungan T, sambungan tumpang, sebagai perkembangan sambungan dasar
tersebut diatas terjadi sambungan silang, sambungan berpenguat dan
sambungan sisi seperti ditunjukkan pada gambar 2.10.

Gambar 2.10 Jenis-jenis sambungan (Wiryosimarto dan Okumura, 2008)

Pada proses pengelasan terdapat lima jenis desain dasar sambungan las.
Kelima jenis dasar sambungan tersebut adalah sambungan Tumpul (Butt),
Sudut (Corner), T (Tee), Tumpang (Lap), dan Sisi (Edge). Lima jenis dasar
sambungan las dapat dibuat dalam empat posisi pengelasan yang berbeda,
yaitu posisi Flat (datar), Vertical, Horizontal, dan diatas kepala seperti
ditunjukkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.11 posisi pengelasan pada lima jenis sambungan las


(Wiryosumarto dan Okumura, 2008)

Perencanaan konstruksi yang memiliki sambungan pengelasan, harus dipilih


secara benar dan tepat ,emgemai jenis-jenis sambungan las, yang disesuaikan
dengan fungsi dan kegunaanya. Hal yang harus dipertimbangkan bahwa
sambungan pengelasan harus mampu menerima beban dinamis maupun
statis.

2.8 Prosedur dan Teknik Pengelasan


Hasil pengelasan suatu konstruksi harus memenuhi persyaratan standart,
untuk mendapatkan suatu hasil pengelasan yang memenuhi standart
pelaksanaan harus mengikuti spesifikasi prosedur maka untuk melaksanakan
setiap pengelasan harus disusun dulu suatu prosedur yaitu rancangan
pelaksanaan pengelasan.
Walaupun prosedur ini telah dirancang menurut ketentuan suatu standart,
namun keandalannya bahwa akan menjadi suatu hasil pengelasan yang baik
harus dibuktikan yaitu dengan suatu kualifikasi yang disebut kualifikasi
prosedur. Pelaksanaan kualifikasi prosedur ini juga diatur oleh standrt dan
pelaksanaannya dicatat dalam catatan kualifikasi prosedur (Procedure
Qualification Record), yang mendukung suatu spesifikasi prosedur dalam
pengelasan (Welding Procedure Specification = WPS). Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan suatu spesifikasi prosedur pengelasan ialah :
- Bahan induk : Jenis dan ukuran
- Desain sambungan las : Untuk sambungan
- Bahan las : Jenis dan ukuran kawat las
- Cara pelaksanaan pengelasan :
 Urutan pelaksanaan pengelasan
 Pemilihan parameter pengelasan

Gambar 2.12 Hasil pengelasan


Keterangan :
A. Pengelasan normal
B. Arus terlalu rendah
C. Arus terlalu tinggi
D. Kecepatan terlalu cepat
E. Kecepatan terlalu rendah
F. Jarak busur terlalu tinggi

2.9 Cacat Pengelasan Secara Umum


Secara umum semua proses pengelasan dapat menghasilkan cacat
pengelasan antara lain :
 Undercutting (pengerukan)
 Porositas (Keropos)
 Incluisi slag
 Over spatter ( percikan las yang terlalu banyak)
 Retak manik
 Penetrasi kurang sempurna
 Cold cracking (Retak dinding pada Bahan Las)
 Hot cracking (Retak panas)
Penyebab terjadinya cacat las antara lain :
a. Teknik dan alat pengelasan yang kurang sempurna (persiapan dan
pelaksanaan pengelasan)
b. Pemilihan parameter pengelasan yang tidak tepat.
c. Pemilihan material yang tidak tepat : base metal, filler metal, dan fluks

2.10 Kawat Las (Filler Metal) GMAW


Gas Metal Arc Welding (GMAW). GMAW merupakan las busur gas
yang menggunakan kawat las sekaligus sebagai elektroda. Elektroda tersebut
berupa gulungan kawat (rol) yang gerakannya diatur oleh motor listrik.
Ketika kawat las didekatkan dengan benda kerja maka terjadilah busur las
yang mampu mencairkan kedua logam. Tangkai las dilengkapi dengan nosel
logam untuk menghubungkan gas pelindung yang dialirkan dari botol gas
melalui slang gas, gas yang di pakai adalah CO2 untuk pengelasan baja lunak
dan baja. Argon dan helium untuk pengelasan alumunium dan baja anti karat.

Gambar 2.13 Pengertian kode Filler Metal


Keterangan :
 ER-70S-6
E : Elektroda
R : Rod (Dapat digunakan untuk GMAW, tanpa flux)
70 : kekuatan tarik minimum KSI (70, 80, 90, 100)
S : Solid (Jenis elektroda Solid atau tanpa flux)
6 : Komposisi kimia, 6 : High Silicon.

2.11 Kampuh I
Kampuh las disini dipaparkan mengingat ada kaitannya dengan judul
skripsi tersebut. Menurut Sonawan (2006:17) kampuh las merupakan bagian
dari logam induk yang nantinya akan diisi oleh deposit las atau logam las
(weld metal. Kampuh las, awalnya adalah berupa kubangan las (weld pool)
yang kemudian diisi dengan logam las.
Sambungan kampuh I terbuka dipergunakan untuk menyambung pelat
dengan ketebalan 2 - 3 mm dengan jarak akar 2 mm. Alur pengelasan
dinyatakan oleh sepasang sisi ujung dari dua logam yang akan disambung
dengan pengelasan. Sebuah kampuh las harus dirancang untuk pengelasan
yang efisien secara ekonomis dan mudah pelaksanaannya serta untuk
meminimalkan jumlah endapan tanpa menyebabkan cacat las.

Gambar 2.14 Bentuk kampuh I

Kampuh las dapat dipersiapkan dengan proses pemesinan atau


pemotongan panas lainnya. Metode pemotongan panas yang dapat dipakai
meliputi: pemotongan gas, pemotongan busur plasma, pemotongan busur
udara, pemotongan laser, dan sebagainya. Pada penelitian ini penulis akan
menggunakan jenis sambungan alur berbentuk I tunggal karena pemilihan
bentuk alur kampuh tersebut berdasarkan ketentuan dari ketebalan bahan,
elektroda dan sebagainya.

2.12 Pengujian Logam


Proses pengujian adalah suatu proses penelitian atau pemeriksaan bahan-
bahan untuk mengetahui sifat-sifat dan karakteristiknya meliputi sifat
mekanik, sifat fisik, bentuk struktur dan komposisi unsure-unsur yang terdapat
pada logam.
Metode pengujian menurut proses pengujiannya dikelompokkan menjadi tiga
yaitu :
1. Destructive Test (DT) adalah suatu proses pengujian logam yang dapat
menimbulkan kerusakkan pada logam yang diuji.
2. Non Destructive Test (NDT) adalah suatu proses pengujian logam yang
tidak dapat menimbulkan kerusakkan pada logam atau benda yang diuji.
3. Metallography adalah suatu proses pemeriksaan logam tentang komposisi
kimianya, unsur-unsur yang terkandung didalam logam dan bentuk
strukturnya.

2.12.1 Pengujian Tarik


Uji ketahanan tarik ialah suatu pengujian logam yang berguna untuk
mengetahui sifat-sifat mekanis dalam logam tersebut. Pengujian terhadap
benda uji akan menghasilkan diagram tarik yaitu diagram beban tarik terhadap
perubahan panjang, diagram tersebut kemudian diubah menjadi diagram
tegangan renggangan.
Informasi tentang beberapa sifat mekanis akan diperoleh melalui pengujian
tarik antara lain :
1. Kekuatan (strenghth) : Kekuatan tarik (tensile strength) atau batas
luluh.
2. Keuletan (ductility) :Perpanjangan (elongation) .
3. Modulus elastisitas : Perubahan panjang/deformasi.

Dalam pengujian tarik ini akan dapat pula diamati beberapa fenomena
yang terjadi dalam deformasi antara lain :
1. Elastisitas : Menyatakan kemampuan bahan untuk menerima tegangan
tanpa menyebabkan terjadinya perubahan bentuk secara tetap (permanen)
setelah tegangan tersebut dihasilkan.
2. Fenomena luluh : Merupakan kecenderungan dari logam untuk patah bila
mkenerima tegangan berulang (cyclic stress) yang besarnya masih jauh
dibawah batas kekuatan elastis.
3. Plastisitas : Menyatakan kemampuan bahan untuk mengalami
sejumlah deformasi plastis (secara permanen) tanpa mengakibatkan
kerusakan.
4. Bidang patah : Menyatakan kemampuan bahan untuk menyerap sejumlah
energi tanpa mengakibatkan terjadinya kerusakan atau sebagai ukuran
banyaknya energi yang diperlukan untuk mematahkan suatu benda kerja
pada suatu kondisi tertentu

.
Gambar 2.15 Diagram Tegangan-Regangan
 Diagram tegangan –regangan teknis
Dari uji teknis diagram pertambahan panas sebenarnya, diagram ini
sebangun dengan diagram tegangan dan regangan. Panjang uji mula-mula
dari regangan teknis diperoleh dari perubahan panjang uji mula-mula dan
kedua pembagi tersebut adalah konstan.

Gambar 2.16 Kurva Tegangan Regangan


Keterangan :
A = Batas Proposional OC =Tegangan luluh
A’ =Batas Elastis 0,2 offset
B = Batas Luluh ∑ = Tegangan (𝑘𝑔/𝑚𝑚2 )
D = Batas Maksimum 𝜎𝑢 = Tegangan Ultimate (𝑘𝑔/𝑚𝑚2 )
E = Batas Patah 𝞮 =Regangan (%)
𝜎𝑌 = Tegangan Luluh 0,2 offset
Dari kurva tersebut kemudian dihitung besarnya tegangan teknis regangan
teknisnya , yaitu dengan persamaan berikut :
𝑝 ∆𝐿
σ= 𝐴 𝜀 =
0 𝐿0

Dimana :
𝞂= Tegangan Teknis (𝑘𝑔/𝑚𝑚2 )
∆𝐿 = Perubahan Panjang (mm)
𝐴0 = Luas Panjang Mula –Mula(𝑚𝑚2)
= Regangan Teknis
P = Bebean (kg)
𝐿0 = Panjang uji mula-mula (mm)
 Tegangan Sebenarnya – Rengangan Sebenarnya
Tegangan sebenarnya adalah beban dibagi dengan luas penampang sesaat :
𝑃 𝑃 𝐴0 𝑃 𝐿1
𝞂= = × = ×
𝐴1 𝐴0 𝐴1 𝐴 𝐼1

𝑃(𝐼0 +∆𝐿
=
𝐴 0 𝑙𝑜

= 𝞂 (1 +𝑒)
Regangan sebenarnya dapat dinyatakan dengan persamaan yang
menggambarkan besarnya deformasi yang sebenarnya, yaitu perubahan
panjang sepecimen ataupun berubahnya luas penmpang.

𝑙𝑛 𝑙𝑜 +∆𝐿
𝞮=𝐿 = 𝑙𝑛 = ln⁡(1 + 𝑒)
𝑂 𝐿𝑂

Bila besarnya tegangan sebesar diplot terhadap renggangan sebenarnya,


maka diperoleh kurva 𝞂s-𝞮 yang berbeda bentuknya dengan kurva 𝞂-
(tegangan regangan teknis). Perlu diketahui pengecilan beban tarik setelah
beban maksimum adalah disebabkan karena terjadinya pengecilan
penampang setempat. Hal ini yang menyebabkan menurunnya tegangan
teknis setelah mencapai harga maksimum.disamping itu di setiap titk
didaerah plastis dari diagram P-∆𝐿 akan mempunyai tegangan sebenarnya
yang lebih besar dari pada tegangan teknisnya, serta regangan sebenarnya
yang lebih besar dari pada regangan teknisnya.

Posisi yang tepat untuk harga n (pengerasan regangan) terjadi pada


saat benda uji mulai mengalami deformasi plastis sampai mencapai beban
malsimum. Pada logam yang mempunyai harga n besar akan mempunyai
kekuatan tarik yang besar, sedangkan nilai n di peroleh dengan cara
sebagai berikut :
1. Menentukan beberapa beban dan perubahan panjang berdasarkan
grafik mesin dengan menggunakan sekala bebean dan perpanjangan.
2. Menentukan tegangan teknis dan tegangan teknisnya (𝞂-𝞮).
3. Menentukan tegangan sebenarnya dan regangan sebenarnya (𝜎𝑠 − 𝜀)
4. Menentukan log 𝜎𝑠 , log 𝞮 sehingga dapat garis linier.
Dengan demikian maka kemiringan diagaram log 𝜎𝑠 , log 𝞮 adalah sama
harga koefisien pengerasan renggangan.

2.12.2 Pengujian Kekerasan (Hardness Test)


Kekerasan (hardness) adalah kemampuan material untuk melakukan
perlawanan terhadap penetrasi benda keras dari luar. Logam disebut keras jika
mempunyai nilai kekerasan tinggi dibandingkan dengan benda lain yang
sejenis yang dipakai sebagai pembanding. Adapun kekerasan sering
didefinisikan sebagai ketahanan terhadap goresan, ketahanan terhadap
deformasi plastis, energi yang diserap pada pembebanan dinamis. Penekanan
pada uji kekerasan dapat berupa mekanisme penggoresan (scratching),
pantulan (rebound) atau pun indentasi (indentation). Berdasarkan mekanisme
penekanan tersebut, dikenal metode kekerasan.

Gambar 2.17 mesin pengujian kekerasan

Proses pengujian kekerasan logam dapat diartikan sebagai kemampuan


suatu bahan terhadap pembebanan dalam perubahan yang tetap. Besar tingkat
kekerasan dari bahan tersebut dapat dianalisi melalui besarnya pembebanan
diberikan terhadap luasan bidang yang menerima pembebanan. Pengujian
yang banyak dipakai adalah dengan cara menekan penekanan yang terbentuk
diatasnya (Surdia dan saito,1992:31).
1. Metode gores

Metode ini dikenalkan oleh Mohs yaitu dengan membagi kekerasan


material didunia ini berdasarkan skala (dikenal sebagai skala Mohs) Skala ini
bervariasi dari 1 untuk kekerasan yang paling rendah hingga skala 10 untuk
nilaikekerasan yang tertinggi. Dalam skala Mohs urutan nilai kekerasan
material didunia diwakili oleh :
1.Talk
2. Gipsum
3. Calcite
4. Flucrite, dll

2. Metode Elastik/Pa yang dipantul (Rebound)


Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat
scloroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan
berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan
benda uji. Tinggi pantulan yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji.
Semakin tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat
pengukur, maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.

3. Metode Indentasi
Pengujian metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan
indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan
suatu material ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang
dihasilkan . Berdasarkan prinsip kerjanya metode uji kekerasan dengan cara
indentasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Metode Brinell
Pengujian ini berupa pembentukan lekukan pada permukaan logam dengan
memakai bola baja yang diperkeras berdiameter 10 mm dan diberi beban
3000 kg. untuk logam lunak menggunakan beban 500 kg untuk menghindari
jejak yang dalam untuk beban yang sangat keras digunakan paduan
karbidatungstan tujuannya untuk memperkecil terjadinya distorsi indentor.
Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran bulat, yang harus dihitung
diameternya dibawah mickroskop khusus pengukur jejak. Contoh pengukuran
hasil penjajakan diberikan oleh gambar 2.21. pengukuran nilai kekerasan
suatu material diberika rumus :

BHN = 2P = P Kg/mm2
( π D ) (D - D2 - d2 ) πDi

Dimana :
P = beban (kg)
D = diameter indentor (mm)
D = diameter jejak (mm)
T = kedalaman jejak

Gambar 2.18. Parameter Dasar Pada Metode Brinell

b. Metode Vickers
Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut
136°, seperti diperlihatkan gambar 2.22. Prinsip pengujian adalah sama
dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur
sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop
pengukur jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh :
VNH = 2 P sin α/2 = 1,854 p
d² d²
Dimana (d) = panjang diagonal rata – rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.

Gambar 2.19. Metode Penjajakan Pada Metode Vickers

c. Metode Meyer

Definisi mengenai kekerasan berdasarkan luas proyeksi jejak. Tekanan rata-


rata antara luas penumbuk (indentor) dan lekukan :

Pm = P = 4P kg/mm²
π r² πd²

yang dapat diambil sebagai ukuran kekerasan Meyer


 Untuk bahan – bahan yang mengalami pengerjaan dinding kekerasan
Meyer tetap dan tidak tergantung beban.
 Untuk logam yang dilunakkan, kekerasn Meyer bertambah sejalan
pertambahn beban, karena lekukan yang terjadi mengakibatkan pengerasan
regang.

Persamaan Meyer juga dapat ditulis dengan P=K.d²


Dimana P adalah beban (kg), d adalah diameter lekukan (mm), dan n adalah
konstanta bahan.

d. Metode Rockwell

Metode rockwell merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung


(direct reading). Metode ini banyak dipakai dalam industri, karena
pertimbangan praktis. Variasi dalam beban dan indentor yang digunakan
membuat mode ini memiliki banyak macamnya. Metode yang paling umum
dipakai adalah rockwell B ( dengan bola baja berdiameter 16 inci dan beban
100 kg) dan Rockwell C (dengan indentor kerucut yang bersudut puncak 120°
dan ujungnya berbentuk bulat dengan radius 0,2 mm dengan beban 150 kg).
Harga kekerasan rockwell langsung dibaca pada skala antara 0 – 100.
Contohnya 75HRB, yang menyatakan material diukur dengan skala B
indentor 1/6 inci dan beban 100 kg . pengukuran biasanya diawali dengan
beban yang rendah 10 kg ( beban minor ), hal ini digunakan untuk
meninimalisir pengukuran yang salah akibat retak kekerasan permukaan dan
lainnya. Setelah itu ditambahkan beban mayor 10 kg, 20 kg, 30 kg.

Gambar 2.20.Proses Pengujian dengan Menggunakan Rockwell


Tabel 2.4 Skala Kekerasan dan Pemakaiannya.
Skala Pemakaian
A Untuk carbide cementite, baja tipis dan baja dengan lapisan keras
yang tipis
B Untuk paduan tembaga, baja lunak, paduan aluminium dan besi
tempa
C Untuk baja tuang keras, besi tempa peritik, titanium, baja dengan
lapisan keras yang dalam dan bahan-bahan lain yang lebih keras dari
pada skala B-100
D Untuk baja tipis, baja dengan lapisan keras yang sedang dan besi
tempa peritik.
E Untuk besi tuang, paduan aluminium, magnesium, dan logam-logam
bantalan.
F Untuk paduan tembaga yang dilunakkan dan plat lunak yang tipis
G Untuk besi tempa, paduan tembaga, nikel-seng dan tembaga-nikel.
H Untuk aluminium, seng, dan timbal.
K Untuk logam, bantalan, dan logam yang sangat lunak lainnya atau
bahan-bahan tipis
L Untuk logam, bantalan dan logam dan logam yang sangat lunak
lainnya atau bahan-bahan tipis.
M Untuk logam, bantalan dan logam dan logam yang sangat lunak
lainnya atau bahan-bahan tipis.
P Untuk logam, bantalan dan logam dan logam yang sangat lunak
lainnya atau bahan-bahan tipis.
R Untuk logam, bantalan dan logam dan logam yang sangat lunak
lainnya atau bahan-bahan tipis.
S Untuk logam, bantalan dan logam dan logam yang sangat lunak
lainnya atau bahan-bahan tipis.
V Untuk logam, bantalan dan logam dan logam yang sangat lunak
lainnya atau bahan-bahan tipis.

Pembebanan dalam proses pengujian kekerasan metode Rockwell diberikan


dalam dua tahap. Tahap pertama disebut beban minor dan tahap kedua (beban
utama) yang disebut beban mayor. Beban minor besarnya maksimal 10 kg
sedangkan beban mayor bergantung pada skala kekerasan yang digunakan.
Pada pengujian metode Rockwell skala yang umumnya dipakai ada tiga jenis,
yaitu :
 HRA (Untuk material yang sangat keras)
 HRB (Untuk material yang lunak). Indentor berupa bola baja dengan
diameter 1/16 Inci dan benda uji 100 kgf
 HRC (Untuk material dengan kekerasan sedang). Indentor berupa kerucut
intan dengan sudut puncak 120° dan beban uji 150 kgf.
HR itu sendiri merupakan suatu singkatan kekerasan Rockwell atau
Rockwell Hardness Number dan kadang-kadang disingkat dengan huruf R
saja.
Untuk mencari besarnya suatu nilai kekerasan dengan menggunakan
metode Rockwell, yaitu pada langkah 1 benda uji ditekan oleh indentor dengan
beban minor (Minor Load F0) setelah itu ditekan oleh mayor (Major Load Fi)
pada langkah 2 dan pada langkah 3 beban mayor diambil sehingga yang
tersisa adalah Minor Load dimana kondisi 3 ini indentor ditahan seperti
kondisi pada saat total load F. Besarnya minor load maupun major load
tergantung dari jenis material yang akan diuji. Di bawah ini merupakan rumus
yang digunakan untuk mencari besarnya kekerasan dengan metode Rockwell.
𝐻𝑅 = ⁡⁡𝐸 − 𝑒
Dimana :
F0 = Beban awal/minor load (kgf)
F1 = Beban utama/major load (kgf)
F = Total beban (kgf)
E = Skala kekerasan
e = Jarak antara kondisi 1 dan kondisi yang akan dibagi dengan
0,002 mm
HR = Besarnya nilai Kekerasan Rockwell
Sehingga dapat di tuliskan secara sederhana :
HRB = 130 – (h/0,002)
HRC = 100 – (h/0,002)
Keterangan :
HRB = nilai kekerasan Rockwell B
HRC = Nilai kekerasan Rockwell C
h = Kedalaman (mm)
Tabel 2.5 Standar pengujian Rockwell
Beban Beban Beban
Skala Indentor Minor Mayor Total E Jenis material uji
( Kgf) (Kgf) (Kgf)
A Diamond 10 90 100 100 Extremely hard materi-als,
cone tungsten carbides
B 1/16” 10 90 100 130 Medium hard materials,
steel Ball low dan medium carbon
steels,kuningan,perunggu,
dll
C Diamond 10 50 60 130 Hardened steels,
cone hardened and tempered
alloy
D Diamond 10 140 150 130 Annealed kuningan dan
cone tembaga
E 1/8” steel 10 50 60 130 Berrylium copper,
ball phosphor broze, dll
F 1/16”steel 10 140 150 130 Alumunium sheet
Ball
G 1/16” 10 50 60 130 Cast iron, aluminium
steel ball alloys
H 1/8” steel 10 90 100 130 Plastic dan soft metals
ball seperti timah
K 1/8” steel 10 140 150 130 Sama dengan H scale
ball
L 1/4” steel 10 50 60 130 Sama dengan H scale
ball
M 1/4” steel 10 90 100 130 Sama dengan H scale
ball
P 1/4” steel 10 140 150 130 Sama dengan H scale
ball
R 1/2” steel 10 50 60 130 Sama dengan H scale
ball
S 1/2” steel 10 90 100 130 Sama dengan H scale
ball
V 1/2” steel 10 140 150 130 Sama dengan H scale
ball
Manual book of ASTM, standart test method for Rockwell hardness of
metallic materials ASTM E 18.

Anda mungkin juga menyukai