Anda di halaman 1dari 18

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini dibahas mengenai hasil pengumpulan data tentang pengaruh

kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing terhadap arus puncak ekspirasi

pada pasien PPOK di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan. Data disampaikan dalam

bentuk tabel dan narasi yang meliputi data umum dan data khusus. Data umum

menjelaskan gambaran umum lokasi penelitian, karakteristik demografi responden

penelitian (jenis kelamin, umur, riwayat pekerjaan, riwayat merokok dan lama

merokok). Data khusus menjelaskan tentang variabel yang diukur berkaitan dengan

pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing terhadap arus

puncak ekspirasi pada pasien PPOK.

4.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian

RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan adalah Instansi Pemerintah yang

mempunyai tugas melaksanakan pelayanan kesehatan paripurna, pendidikan,

penelitian dan pengembangan penapisan teknologi bidang kesehatan. Rumah sakit

ini bertempat di Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo No. 1-4 Pasuruan, Kota Pasuruan,

Indonesia. Lokasi RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan sangat strategis yaitu di

persimpangan jalan utama Banyuwangi – Surabaya. Adapun fungsinya : Pelayanan

Medis, Pelayanan Penunjang Medis dan Non Medis, Pelayanan dan Asuhan

Keperawatan, Pelayanan Rujukan, Pendidikan dan Pelatihan, Penelitian dan

Pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan, Pelayanan administrasi

umum dan keuangan, Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai

dengan tugas dan fungsinya.

73
74

Penelitian ini dilakukan di Ruang Interna 2. Ruang Interna 2 merupakan

ruang rawat inap penyakit dalam kelas 3 dengan kapasitas keseluruhan 61 pasien.

Ruang Interna 2 dibagi menjadi beberapa ruang, yaitu Ruang Soka bawah no bed

1-6, Ruang Soka atas no bed 7-8, Ruang Krisan atas no bed 7-9, Ruang Krisan

bawah no bed 2-6 dan Ruang IMC (Intermediet Care). Jumlah tenaga kesehatan

yang tersedia di ruang Interna 2 sebanyak 35 orang, yaitu 1 orang kepala ruang, 2

orang ketua tim, 32 perawat, dan 1 orang tata usaha. Dengan perbandingan 30 orang

DIII Keperawatan dan 2 orang S1 Keperawatan. Pembagian shift pagi berjumlah 9

orang, siang 7 orang dan malam 7 orang.

Ruang Interna 2 yang digunakan sebagai penelitian adalah Ruang soka

bawah terdiri dari soka 1-6. Berdasarkan wawancara dengan perawat ruangan,

penatalaksanaan pada pasien PPOK di Ruang Interna 2 RSUD Dr. R Soedarsono

Pasuruan yaitu dengan pemasangan oksigen, nebulizer, dan pemberian obat. Tidak

pernah terlihat adanya pemberian tindakan non farmakologi sebagai terapi

pendukung seperti latihan pernafasan pursed lip breathing dan balloon blowing.

4.2 Karakteristik Dasar Sampel

4.2.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin


di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari 2019.
Jenis Kelamin Frequency Percent
Laki-Laki 24 80,0
Perempuan 6 20,0
Total 30 100,0

Tabel 4.1 menunjukkan sebagian besar sampel berjenis kelamin laki-laki sebanyak

24 orang (80%).
75

4.2.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur di RSUD


dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari 2019.
Klasifikasi Umur Frequency Percent
36-45 3 10,0
46-55 13 43,3
56-65 12 40,0
66-sampai atas 2 6,7
Total 30 100,0

Tabel 4.2 menunjukkan rentang umur paling banyak pada pasien PPOK pada umur

46-55 tahun yaitu sebanyak 13 orang (43,3%).

4.2.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Riwayat

Pekerjaan

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Riwayat


Pekerjaan di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari
2019.
Riwayat Pekerjaan Frequency Percent
Tidak Bekerja 1 3,3
Swasta/Buruh pabrik 9 30,0
Wiraswasta 3 10,0
Pedagang 4 13,3
Sopir 3 10,0
Petani 1 3,3
Nelayan 2 6,7
Pembantu Rumah Tangga 1 3,3
Kuli Bangunan 2 6,7
PNS 2 6,7
Serabutan 2 6,7
Total 30 100,0

Tabel 4.3 menunjukkan riwayat pekerjaan responden paling banyak sebagai pekerja

swasta/buruh pabrik yaitu sebanyak 9 orang (30%).


76

4.2.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Riwayat

Merokok

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Riwayat


Merokok di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari
2019.
Riwayat Merokok Frequency Percent
Merokok 24 80,0
Tidak Merokok 6 20,0
Total 30 100,0

Tabel 4.4 menunjukkan sebagian besar memiliki riwayat merokok dengan jumlah

24 orang (80%) dan sisanya tidak merokok sebanyak 6 orang (20%).

4.2.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Lama Merokok

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Lama Merokok


di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari 2019.
Lama Merokok Frequency Percent
0–10 tahun 9 30,0
11–20 tahun 4 13,3
21–30 tahun 11 36,7
31–40 tahun 6 20,0
Total 30 100,0

Tabel 4.5 menunjukkan paling banyak lama merokok dari responden yaitu rentang

21-30 tahun sebanyak 11 orang (36,7%).

4.3 Hasil Penelitian

4.3.1 Arus Puncak Ekspirasi Sebelum Dilakukan Kombinasi Pursed Lip

Breathing dan Balloon Blowing

Tabel 4.6 Arus Puncak Ekspirasi Sebelum Dilakukan Kombinasi Pursed Lip
Breathing dan Balloon Blowing di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7
Januari – 11 Februari 2019.
N Mean Min Max Std. Deviation
APE 30 128 100 150 17,10011

Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan nilai APE sebelum pemberian kombinasi

Pursed Lip Breathing dan Balloon Blowing pada klien PPOK yang berjumlah 30
77

orang didapatkan hasil, minimal 100 L/menit dan maksimal 150 L/menit dengan

rata rata sebesar 128 L/menit.

4.3.2 Arus Puncak Ekspirasi Setelah Dilakukan Kombinasi Pursed Lip

Breathing dan Balloon Blowing

Tabel 4.7 Arus Puncak Ekspirasi Setelah Dilakukan Kombinasi Pursed Lip
Breathing dan Balloon Blowing di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7
Januari – 11 Februari 2019.
N Mean Min Max Std. Deviation
APE 30 186,6667 150 240 24,95974

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan nilai APE setelah pemberian kombinasi Pursed

Lip Breathing dan Balloon Blowing pada klien PPOK yang berjumlah 30 orang

diberi perlakuan yang sama dan pengukuran yang sama didapatkan hasil, minimal

150 L/menit dan maksimal 240 L/menit dengan rata rata sebesar 186,7 L/menit.

4.3.3 Menganalisis pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon

blowing terhadap arus puncak ekspirasi pasien PPOK.

Tabel 4.8 Arus Puncak Ekspirasi Pre Test, Post Test dan Selisih Pre-Post Test
Kombinasi Pursed Lip Breathing dan Balloon Blowing di RSUD dr. R.
Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari 2019.
N Mean Min Max Std.
Deviation
APE Pre Test 30 128 100 150 17,10011
APE Post Test 30 186,6667 150 240 24,95974
Selisih APE Pre Test dan Post 30 58,6667 30 90 14,79360
Test

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan selisih nilai arus puncak ekspirasi antara

sebelum dan sesudah pemberian Kombinasi Pursed Lip Breathing dan Balloon

Blowing pada pasien PPOK yang berjumlah 30 orang diperoleh rata-rata selisih

58,6667 dengan minimal selisih 30 L/menit dan maksimal selisih 90L/menit.


78

Tabel 4.9 Tabel Pengaruh Kombinasi Pursed Lip Breathing dan Balloon Blowing
Terhadap Arus Puncak Ekspirasi di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7
Januari – 11 Februari 2019.
Rerata (s.b) Selisih (s.b) Nilai p
APE Pre-Test 128 (17,1)
(n=30) 58,66667 (14,7) 0,000
APE Post-Test 186,6667 (24,9)
(n=30)

Berdasarkan tabel 4.9 menunjukkan hasil uji paired t test setelah intervensi

kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing didapatkan hasil Pvalue =

0,000 < 0,05 yang artinya ada pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon

blowing terhadap arus puncak ekspirasi.

4.4 Pembahasan

4.4.1 Arus Puncak Ekspirasi Sebelum Diberikan Teknik Pursed Lip Breathing

dan Balloon Blowing pada Klien PPOK

PPOK merupakan penyakit kronis saluran pernafasan yang ditandai dengan

hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi akibat penyempitan jalan nafas

yang menyebabkan keterbatasan aliran udara (Pengembangan, 2013). Tanda

keterbatasan aliran udara ialah penurunan rasio volume ekspirasi yang dipaksa

selama 1 detik atau arus puncak ekspirasi (Yatun et all, 2016). Adapun faktor yang

mempengaruhi nilai arus puncak ekspirasi antara lain usia, jenis kelamin, riwayat

pekerjaan, dan riwayat merokok.

Pada tabel 4.1 Distribusi frekuensi klien berdasarkan jenis kelamin pada

klien PPOK di Ruang Interna 2 RSUD dr. R Soedarsono Pasuruan menunjukkan

sebagian besar sampel didominasi berjenis kelamin laki-laki sebanyak 24 orang

(80%), dan sisanya berjenis kelamin perempuan sebanyak 6 orang (20%). Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amoros (2008) menyebutkan bahwa

mayoritas penderita PPOK 92% adalah laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh
79

Kara et al, (2006) menyebutkan 75% responden dalam penelitiannya adalah laki-

laki. Volume dan kapasitas paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25 % lebih kecil

dari pada pria (Guyton & Hall, 2008). Kapasitas vital paru rata-rata pria dewasa

muda kurang lebih 4,4 L dan perempuan muda kurang lebih 3,1 L, meskipun nilai

jauh lebih besar pada beberapa orang dengan berat badan sama (Antarudin, 2003).

Secara biologis antara pria dan wanita berbeda. Nilai APE pria lebih besar dari pada

wanita berdasarkan tabel nilai normal APE karena frekuensi pernapasan pada laki-

laki lebih cepat dari pada perempuan, karena laki-laki membutuhkan banyak energi

untuk beraktivitas, berarti semakin banyak pula oksigen yang diambil dari udara

hal ini terjadi karena lelaki umumnya beraktivitas lebih banyak dari pada

perempuan sehingga recoil dan compliance parunya lebih terlatih (Guyton & Hall,

2005).

Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan rentang umur paling banyak pada

pasien PPOK pada umur 46-55 tahun yaitu sebanyak 13 orang (43,3%) dan umur

56-65 tahun sebanyak 12 orang (40%). Usia merupakan faktor utama yang

mempengaruhi gangguan fungsi paru. Usia berkaitan dengan proses penuaan

dimana semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin besar kemungkinan

terjadinya penurunan kapasitas fungsi paru (Meita, 2012). Menurut Darmojo (2011)

sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada sekitar usia 20-25

tahun, setelah itu sistem respirasi akan mulai menurun fungsinya mulai pada usia

30 tahun. Fungsi paru terutama APE dapat dipengaruhi oleh faktor usia (Guyton &

Hall, 2007 dalam Widiyani, 2015). Berdasarkan rata-rata usia responden termasuk

dalam rentang usia dewasa pertengahan yaitu usia 40-65 tahun (Potter & Perry,

2007 dalam Widiyani, 2015). Menurut Yunus (dalam Novarin, 2014) fungsi paru
80

sejak masa kanak-kanak bertambah atau meningkat volumenya dan mencapai

maksimal pada umur 19-21 tahun yang dapat dibuktikan di tabel prediksi nilai APE

dimana nilai APE akan semakin berkurang dengan bertambahnya umur seseorang,

setelah itu nilai fungsi paru terus menurun sesuai bertambahnya umur karena

dengan meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan

bertambah. Hal tersebut dikarenakan sistem biologis manusia akan menurun secara

perlahan karena terjadi penurunan elastisitas dinding dada. Perubahan struktur

pernafasan dimulai pada usia dewasa pertengahan, dan seiring bertambahnya usia

elastisitas dinding dada, elastisitas alveoli, dan kapasitas paru mengalami

penurunan serta akan terjadi penebalan kelenjar bronkial (Guyton & Hall, 2007

dalam Widiyani, 2015). Perubahan tersebut mempunyai dampak terhadap

kerentanan terhadap penyakit yang bertambah dan mudah terjadi infeksi pada

saluran pernafasan yang memicu munculnya mukus yang dapat mengobstruksi

saluran pernafasan. Adanya obstruksi yang terjadi pada saluran pernafasan dapat

menurunkan nilai dari APE seseorang (Potter & Perry, 2007 dalam Widiyani,

2015). Bertambahnya usia juga dapat mengakibatkan frekuensi pernafasan menjadi

semakin lambat. Energi yang dibutuhkan pada usia lanjut lebih sedikit

dibandingkan pada usia pertumbuhan sehingga O2 yang dibutuhkan relatif sedikit.

Kebutuhan O2 yang sedikit akan berdampak pada kadar SaO2. Kebutuhan energi

yang sedikit pada usia lanjut juga dapat menyebabkan kemampuan

menghembuskan energi juga menurun sehingga menurunkan nilai PEF (Barnett,

2006).
81

Hasil penelitian didapatkan bahwa usia responden termasuk dalam rentang

usia dewasa pertengahan yang memungkinkan mengalami penurunan dalam fungsi

paru. Hal tersebut dapat memunculkan suatu resiko penurunan nilai APE karena

seiring bertambahnya usia elastisitas dinding dada, elastisitas alveoli, dan kapasitas

paru mengalami penurunan serta akan terjadi penebalan kelenjar bronkial.

Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan riwayat pekerjaan responden paling

banyak sebagai pekerja swasta/buruh pabrik yaitu sebanyak 9 orang (30%). Faktor

lingkungan yang meliputi polusi udara didalam dan diluar ruangan seperti asap

rokok, asap kendaraan bermotor ditempat kerja akan menyebabkan terjadinya

penurunan fungsi paru (Yunus dalam Novarin, 2014). Manusia banyak

menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah (indoor) seperti rumah, tempat

kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan. Polutan indoor yang penting

antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan

pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, bahan percetakan

dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasif (Oemiati, 2013).

Paparan SO2 dapat menimbulkan bronkospasme, sebagian SO2 akan tertahan di

saluran napas atas, karena bereaksi dengan air yang terdapat di lapisan mukosa. Dan

kejadian infeksi saluran napas meningkat pada orang yang terpapar dengan NO2.

Hal itu disebabkan karena terjadi kerusakan silia, gangguan sekresi mukus dan

fungsi makrofage alveolar serta gangguan imunitas humoral. Sedangkan paparan

ozon akan dapat meningkatkan hiperaktivitas bronkus pada klien asma maupun

pada klien sehat (Yunus, dalam Novarin, 2014).

Berdasarkan kategori riwayat merokok pada tabel 4.4 menunjukkan

sebagian besar memiliki riwayat merokok dengan jumlah 24 orang (80%) yang
82

semuanya berjenis kelamin laki-laki dan sisanya tidak merokok sebanyak 6 orang

(20%) yang berjenis kelamin perempuan. Riwayat merokok merupakan salah satu

faktor yang juga dapat mempengaruhi kualitas dari fungsi paru klien (Guyton &

Hall, 2007 dalam Widiyani, 2015). Merokok merupakan faktor utama yang dapat

mempercepat penurunan fungsi paru. Merokok dapat menyebabkan perubahan

struktur jalan napas maupun parenkim paru. Perubahan struktur jalan nafas besar

berupa hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, sehingga akan mempengaruhi

nilai APE (Guyton & Hall, 2007 dalam Widiyani, 2015). Asap rokok dapat

melemahkan mekanisme pertahanan saluran napas yang dapat menyebabkan

mudahnya kolonisasi bakteri sehingga kejadian menimbulkan inflamasi, juga

semakin melemahkan mekanisme pertahanan, memudahkan terjadinya infeksi

kronis sehingga memicu terjadinya bronkitis kronis (Sutoyo, 2010).

Hasil penelitian didapatkan semua responden laki-laki memiliki riwayat

merokok sebelumnya. Keadaan tersebut memicu terjadinya PPOK karena asap

rokok dapat melemahkan sistem pertahanan yang terdapat pada saluran pernafasan

yang memudahkan kolonisai bakteri di saluran pernafasan. Mudahnya kolonisasi

bakteri menyebabkan terjadinya perubahan struktur jalan nafas besar berupa

hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, sehingga akan mempengaruhi nilai APE.

Data responden tentang lama merokok terbanyak berdasarkan tabel 4.5

yaitu 21-30 tahun sebanyak 11 orang (36,7%). Riwayat lama merokok yang paling

lama terjadi adalah 40 tahun. Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap

dan makin lama masa waktu menjadi perokok, semakin besar risiko dapat

mengalami PPOK (Suradi, 2007 dalam Widiyani, 2015). Kandungan zat nikotin

didalam rokok dapat menurunkan fungsi sel epitel pada saluran pernafasan
83

sehingga memicu terjadinya peradangan dan pengeluran mukus yang berlebih dan

pada akhirnya mengakibatkan obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas akan

menurunkan nilai APE (Guyton& Hall, 2007 dalam Wisiyani, 2015).

Hasil penelitian menunujukkan semua responden laki-laki memiliki riwayat

merokok dimana lama merokok yang paling lama yakni selama 40 tahun dan lama

merokok terbanyak berdasarkan tabel 4.5 yaitu 21-30 tahun. Merokok merupakan

salah satu penyebab yang memicu terjadinya PPOK. Rokok dapat menimbulkan

kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronkhus sehingga drainase lendir terganggu.

kumpulan lendir ini merupakan media yag baik untuk berkumpulnya pertumbuhan

bakteri, jika hal tersebut terjadi secara terus-menerus maka akan memicu terjadi

respon inflamasi yang lama dan akhirnya menyebabkan PPOK.

Pada tabel 4.6 di atas menunjukkan hasil tabulasi data arus puncak ekspirasi

sebelum diberikan intervensi pursed lip breathing dan balloon blowing pada klien

PPOK sejumlah 30 orang didapatkan hasil minimum 100 L/menit, maksimum 150

L/menit dan rata-rata 128 L/menit.

4.4.2 Arus Puncak Ekspirasi Sesudah Diberikan Teknik Pursed Lip Breathing

dan Balloon Blowing pada Klien PPOK

Berdasarkan tabel 4.7 setelah dilakukan pursed lip breathing dan balloon

blowing selama selama 3 hari dalam sehari 1 kali, semua responden mengalami

peningkatan arus puncak ekspirasi, didapatkan hasil nilai APE dari 30 responden,

minimum 150 L/menit, maksimum 240 L/menit dan rata-rata 186,7 L/menit. Rata-

rata arus puncak ekspirasi sebelum intervensi yaitu 128 L/menit. Rata-rata arus

puncak ekspirasi sesudah intervensi yaitu 186,7 L/menit dan rata rata selisih arus

puncak ekspirasi sebelum dan sesudah yaitu 58, 7.


84

Pada latihan pernafasan pursed lip breathing akan terjadi dua mekanisme

yaitu inspirasi kuat dan ekspirasi kuat dan panjang. Ekspirasi yang kuat dan

memanjang akan melibatkan kekuatan dari otot intra abdomen sehingga tekanan

intra abdomen pun meningkat yang akan meningkatkan pula pergerakan diafragma

ke atas membuat rongga torak semakin mengecil. Rongga torak yang semakin

mengecil ini menyebabkan tekanan intra alveolus semakin meningkat sehinga

melebihi tekanan udara atmosfer. Kondisi tersebut akan menyebabkan udara

mengalir keluar dari paru ke atmosfir. Ekspirasi yang dipaksa dan memanjang saat

bernafas dengan pursed lip breathing akan menurunkan resistensi pernafasan

sehingga akan memperlancar udara yang dihirup atau dihembuskan. Ekspirasi yang

dipaksa dan memanjang akan memperlancar udara inspirasi dan ekspirasi sehingga

mencegah terjadinya air trapping di dalam alveolus (Khazanah, 2013).

Latihan pursed lip breathing yaitu mengeluarkan udara pada saat ekspirasi

dengan pelan melalui mulut dengan bibir dirapatkan dan tertutup. Pada saat

melakukan pursed lip breathing tidak terdapat aliran udara pernafasan yang terjadi

melalui hidung karena sumbatan involunter nasofaring oleh palatum lunak. Latihan

pursed lip breathing dapat menurunkan tahanan udara dan meningkatkan kepatenan

jalan nafas. Latihan ini dapat membantu menurunkan pengeluaran air trapping

yang dapat membantu mengontrol ekspirasi dan memfasilitasi pengosongan alveoli

dengan maksimal (Aini, 2008 dalam Suprayitno, 2017). Adanya fasilitas

pengosongan alveoli secara maksimal akan meningkatkan peluang masuknya

oksigen kedalam ruang alveolus, sehingga proses difusi dan perfusi berjalan dengan

baik. Meningkatnya transfer oksigen ke jaringan dan otot-otot pernafasan akan

menimbulkan suatu metabolisme aerob yang akan menghasilkan suatu energi


85

(ATP). Energi ini dapat meningkatkan kekuatan otot-otot pernafasan sehingga

proses pernafasan dapat berjalan dengan baik, dengan proses pernafasan yang baik

akan mempengaruhi terhadap arus puncak ekpirasi yang meningkat pula (Guyton

et al., 2007 dalam Suprayitno, 2017).

Sedangkan Latihan pernafasan dengan meniup balon (balloon blowing) dapat

meningkatkan kapasitas paru. Meniup balon mengaktifkan otot pada intercosta dan

meningkatkan elevasi dari diafragma dan costa. Proses ini memungkinkan paru

mengabsorbsi oksigen dan mengeluarkan karbondioksida lebih banyak dari paru.

Balloon blowing merupakan latihan yang memberikan kemampuan yang efektif

bagi paru untuk melakukan pengambilan dan pengeluaran udara paru, bukan

berpengaruh terhadap ukuran alveoli paru. Selama latihan alveoli akan

mengeluarkan karbondioksida yang terjebak dalam paru selama ekhalasi dan

memasukkan oksigen dalam darah selama inhalasi. (Tunik, 2017).

Terapi ini dapat dianalogkan dengan latihan napas dalam atau pursed lip

breating. Pursed lip breathing adalah inspirasi dalam dan ekspirasi memanjang

dengan mulut dimonyongkan dengan tujuan untuk membantu pasien mengontrol

pola napas, menurunkan sesak napas, meningkatkan kekuatan otot pernapasan dan

memperbaiki kelenturan rongga dada sehingga fungsi paru menjadi meningkat.

Terapi meniup balon dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan sehingga akan

memaksimalkan recoil dan compliance paru sehingga fungsi paru akan meningkat

pula. Latihan meniup balon dapat meningkatkan kekuatan otot dan ventilasi paru

pasien asma, hal ini disebabkan karena latihan dapat menyebabkan perangsangan

pusat otak yang lebih tinggi pada pusat vasomotor di batang otak yang

menyebabkan peningkatan tekanan arteri dan peningkatan ventilasi paru. Terapi


86

bermain meniup balon sangat baik dilakukan pada pasien yang menderita asma atau

PPOK karena dapat memperbaiki kelenturan rongga dada serta diafragma, serta

dapat melatih otot-otot ekspirasi untuk memperpanjang ekhalasi dan meningkatkan

tekanan jalan napas selama ekspirasi, dengan demikian dapat mengurangi jumlah

tahanan dan jebakan udara yang akan meningkatkan arus puncak ekspirasi.

Peneliti menyimpulkan bahwa dari 30 responden setelah diberikan

intervensi semuanya mengalami peningkatan arus puncak ekspirasi. Peneliti

berpendapat bahwa teknik pursed lip breathing dan balloon blowing dapat

mengurangi terjadinya air trapping sehingga akan menghasilkan metabolisme

aerob yang akan meningkatkan kekuatan dari otot-otot pernafasan sehingga dapat

meningkatkan arus puncak ekspirasi.

4.4.3 Menganalisis Pengaruh Kombinasi Pursed Lip Breathing Dan Balloon

Blowing Terhadap Arus Puncak Ekspirasi Pasien PPOK.

Setelah dilakukan uji normalitas pada selish pre-post didapatkan hasil

Pvalue = 0,145 > 0,05 maka data disimpulkan berdistribusi normal. Berdasarkan

tabel 4.9 menunjukkan hasil uji paired t test setelah intervensi kombinasi pursed lip

breathing dan balloon blowing didapatkan hasil Pvalue = 0,000 < 0,05 yang artinya

ada pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing terhadap arus

puncak ekspirasi.

Nilai arus puncak ekspirasi pada pasien PPOK menggambarkan seberapa

berat obstruksi yang terjadi pada pasien tersebut (Guyton & Hall, 2007 dalam

Widiyani, 2015). Obstruksi yang terjadi pada pasien PPOK diakibatkan oleh adanya

mukus yang kental. Akibat adanya obstruksi yang terjadi pada saluran pernafasan

terutama saat ekspirasi mengakibatkan terperangkapnya udara di bagian distal paru


87

sehingga paru menjadi kolaps. Adanya air trapping mengakibatkan penurunan

ventilasi alveolus yang ditandai dengan penurunan PO2 (hipoksemia) dan

peningkatan PCO2 (hiperkapnia) dalam darah (Somantri, 2007). Terjadinya

hipoksemia, hipoksia dan hiperkapnia pada pasien PPOK akan menyebabkan

terjadinya asidosis respiratorik sehingga terjadi meningkatkan proses pernafasan

dan penggunaan otot-otot bantu pernafasan (Smeltze & Bare, 2007 dalam Widiyani,

2015). Hipoksia yang terjadi di dalam tubuh akan menyebabkan hipoksia terhadap

otot juga, sehingga akan terjadi metabolisme anaerob yang dapat menghasilkan

asam laktat. Peningkatan asam laktat dalam tubuh akan menyebabkan kelelahan

otot. Kelelahan otot yang terjadi di saluran pernafasan dapat menurunkan nilai APE

(Guyton & Hall, 2007 dalam Widiyani, 2015). Intervensi keperawatan yang dapat

dilakukan pada pasien dengan PPOK adalah memberikan latihan pernafasan.

Latihan pernafasan ini terdiri dari latihan dan praktik pernafasan yang dimanfaatkan

untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol, efisien dan mengurangi kerja

bernafas (Smetlzer et al., 2013 dalam Suprayitno, 2017).

Pursed Lip breathing adalah latihan pernafasan dengan menghirup udara

melalui hidung dan mengeluarkan udara dengan cara bibir lebih dirapatkan atau

dimonyongkan dengan waktu ekshalasi lebih diperpanjang. Terapi rehabilitasi

paru-paru dengan cara latihan ini adalah cara yang sangat mudah dilakukan, tanpa

memerlukan alat bantu apapun, dan juga tanpa efek negatif seperti pemakaian obat-

obatan (Smeltzer et al., 2013).

Tujuan dari latihan pursed lip breathing dapat membantu klien

memperbaiki transport oksigen, menginduksi pola nafas lambat dan dalam,

membantu pasien untuk mengontrol pernafasan, mencegah kolaps dan melatih otot
88

ekspirasi dalam memperpanjang ekshalasi, peningkatan tekanan jalan nafas selama

ekspirasi dan mengurangi terjebaknya udara dalam saluran nafas (Smeltzer et al.,

2013). PLB dapat membantu mengurangi sesak nafas sehingga pasien mampu

mentoleransi aktifitas fisik dan peningkatan kemampuan dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari. PLB yang dilakukan secara rutin dan benar mampu

meningkatkan fungsi mekanis paru-paru, pembatasan peningkatan volume akhir

ekspirasi paru dan pencegahan dampak hiperinflasi (Sheadan, 2006 dalam

Suprayitno, 2017).

Breathing relaxation, breathing exercise, indeep breathing, pursed lip

breathing merupakan latihan pernapasan yang banyak diteliti dan dilakukan untuk

memperbaiki fungsi dari paru. Metode yang digunakan dalam pelaksanaanya

bermacam-macam, salah satunya adalah dengan menggunakan balon/meniup

balon. Banyak penelitian tentang efek balloon blowing terhadap perokok,

dihasilkan bahwa dengan meniup balon secara rutin dapat memperbaiki fungsi paru

dengan meningkatkan arus puncak ekspirasi pada perokok yang mengalami

gangguan pernafasan (Tunik, 2017).

Balloon blowing atau latihan pernapasan dengan meniup balon merupakan

salah satu latihan relaksasi pernapasan dengan menghirup udara melalui hidung dan

mengeluarkan udara melalui mulut kedalam balon. Relaksasi ini dapat

memperbaiki transport oksigen, membantu pasien untuk memperpanjang ekshalasi

dan untuk pengembangan paru yang optimal (Aulia, 2015). Menurut (Aulia, 2015)

tujuan dari tindakan ini adalah, memperbaiki transport oksigen, menginduksi pola

napas lambat dan dalam, memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan

jalan napas selama ekspirasi, mengurangi jumlah udara yang terjebak dalam paru-
89

paru dan mencegah terjadinya kolaps paru.

Penelitian tentang pengaruh balloon blowing exercise terhadap fungsi paru

perokok dewasa banyak dilakukan oleh peneliti sebelumya. Tujuan dari penelitian

yang dilakukannya adalah untuk mengetahui kapasitas paru setelah dilakukan

latihan pernapasan dengan meniup balon. Subjek penelitian terdiri dari kelompok

kontrol dan intervensi, dimana kelompok intervensi melakukan latihan pernapasan

meniup balon 3 x seminggu. Responden dilakukan pengukuran fungsi paru pre dan

post intervensi. Hasil penelitian setelah di uji statistik dengan paired t test, dan

hasilnya menunjukkan nilai signifikasi terhadap perubahan fungsi paru yang dilihat

dari nilai VC, FEC, APE. Dengan balloon blowing dapat meningkatkan otot

ekspirasi selama dilakukan latihan, sehingga dapat mengeluarkan karbondioksida

yang terjebak pada paru seperti yang terjadi pada pasien PPOK, terutama yang

disebabkan oleh perokok. (Tunik, 2017).

Hal tersebut diatas sejalan dengan hasil penelitian Emdat Suprayitno (2018)

tentang pengaruh pursed lip breathing terhadap peak expiratory flow rate penderita

penyakit paru obstruktif kronis, terbukti dapat meningkatkan nilai PEF pada

penderita PPOK. Penelitian yang dilakukan Dewi Natalia et al., (2007) tentang

efektifitas pursed lip breathing dan tiup balon dalam peningkatan arus puncak

ekspirasi (APE) pasien asma bronchiale, keduanya terbukti dapat meningkatkan

APE. Latihan nafas dengan pursed lip breathing dan tiup balon pada pasien asma

bronchiale efektif untuk membantu mencapai peningkatan APE dan memperbaiki

tingkat ekspirasi. Penelitian yang dilakukan Royani (2007) tentang pengaruh terapi

aktivitas bermain meniup balon terhadap perubahan fungsi paru anak degan asma,

terbukti setelah dilakukan terapi meniup balon didapatkan distribusi frekuensi


90

responden yang parunya baik sebanyak 18 responden (60%) dan responden yang

fungsinya parunya kurang baik sebanyak 12 responden (40%), terdapat peningkatan

pada fungsi paru anak setelah dilakukan terapi meniup balon.

4.5 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian

antara lain :

1. Terdapat dua responden yang mendapat terapi oksigen. Di dalam tubuh

pasien PPOK yang mendapat terapi oksigen, kecukupan akan kebutuhan

oksigennya terpenuhi sehingga terjadi metabolisme aerob yang

menghasilkan energi sehingga dapat memperkuat otot-otot pernafasan.

Berbeda dengan pasien yang tidak mendapat oksigen yang cukup, di dalam

tubuhnya terjadi metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat yang

menyebabkan kelelahan pada otot-otot pernafasan sehingga dapat

mempengaruhi hasil pengukuran Arus Puncak Ekspirasi.

2. Responden mendapatkan terapi obat dan bronkodilator. Secara umum cara

kerja dari bronkodilator yaitu melebarkan saluran nafas, obat anti inflamasi

untuk meredakan proses inflames yang terjadi dan obat mukolitik yang

dapat memecah molekul mukus menjadi lebih kecil dan mudah bergerak

sehingga dapat mempengaruhi hasil pengukuran Arus Puncak Ekspirasi.

Anda mungkin juga menyukai