Anda di halaman 1dari 2

DARUL ISLAM DAN DARUSSALAM

BONDAN AGUS SURYANTO

Cita-cita Darul Islam atau Negara Islam di Indonesia memang sudah sangat lama, lebih lama dari
usia republik sendiri. Ingat polemik antara Muhammad Natsir dan Bung Karno yang terekam di
buku “DIBAWAH BENDERA REVOLUSI”. Pergulatan pemikiran antara “nasionalis Islam”
dan “nasionalis sekuler” itu dilanjutkan dengan perdebatan di konstituante, hingga
mengakibatkan dead lock, dan akhirnya Presiden Sukarno menerbitkan dekrit 5 Juli 1959 untuk
kembali ke Pancasila dan UUD 45. Jadi akar masalahnya adalah faham ideologi, yang berasal
dari faham keagamaan. Alkisah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo memilih gerakan ekstra
parlementer beserta “tentara Islam Indonesia”nya memperjuangkan berdirinya DARUL ISLAM,
melalui markasnya di Malangbong, Garut Selatan. Kalau sekarang para aktifitis NII dan
pendukung aksi terror mempunyai keinginan sama agar syariat Islam dijadikan dasar
Negara,pertanyaan berikutnya: syariat yang mana? Atau pelaksanaan syariat yang bagaimana?
Nabi Muhammad ketika hijrah ke Madinah dan di daulat untuk memimpin masyarakat disana,
yang beliau kerjakan adalah menciptakan Negara (kota) yang berdasarkan pada dasar nilai yang
disebut “PIAGAM MADINAH”. Dalam piagam Medinah itu pada hakekatnya Negara harus
mengakui hak-hak setiap kelompok berdasarkan suku atau agama, sehingga pengaturan Negara
bukan berdasarkan salah satu faham agama saja. Jadi Nabi Muhammad pada waktu itu bemaksud
tidak mendirikan darul Islam atau Negara Islam, tapi ingin menegakkan suatu Negara yang
“demokratis” untuk kesejahteraan bersama. Bukan ingin memperkosa hak-hak orang lain
berdasarkan keyakinan atau faham ideologinya sendiri. Nasrani, Yahudi, Majusi, Shabiin,
penduduk asli Madinah maupun pendatang Mekah tetap mendapatkan tempat yang sama dan
terhormat. Mungkin disinilah esensi dari turunnya ayat-ayat Alquran yang sangat menghargai
“kebhinekaan dan toleransi” berikut ini:
1. Alquran menyebutkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan berbangsa2 dan bersuku-suku
agar mereka saling mengenal dan menghargai (Q 49:13)
2. Perbedaaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan
positif, yang merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah (Q 30:22)
3. Kemajemukan dalam pandangan cara hidup tidak perlu dianggap keanehan dan hendaknya
sebagai pangkal tolak untuk berlomba-lomba menuju kebaikan. Dan Tuhanlah yang akan
menerangkan mengapa manusia berbeda-beda. (Q 5:48).
4. NAbi Muhammad saw diperintahkan untuk mengajak kaum Ahli kitab bersatu dalam satu
pandangan yang sama (kalimah sawa’), yaitu paham ketuhanan yang maha Esa (Q 3:64)
5. Islam mengakui hak-hak dasar agama lain, sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah
(Q 5:44-50)
6. Kaum muslimin diperintahkan berpegang teguh pada ajaran yang melanjutkan dan melengkapi
agama-agama yang ada dengan beriman kepada semua para nabi dan rasul tanpa kecuali dan
tanpa membeda-bedakan antara mereka, baik yang disebutkan maupun yang tak disebutkan
dalam kitab suci (Q 2:136, 4:163-165, 45:16-18).
7. Memang, Islam selaku agama besar yang terakhir, mengklaim sebagai agama yang
memuncaki proses pertumbuhan dan perkembangan agama2 dalam garis kontinuitas tersebut.
Tapi harus diingat bahwa Islam sebagai agama terakhir adalah ajaran yang mengakui keberadaan
hak agama-agama itu. Karena itu agama tidak boleh dipaksakan (Q 2:62, 10:99).
PERASAAN TERKEPUNG.
Ada suatu perasaan yang sama biasanya dimiliki oleh para penganut “garis keras” yaitu perasaan
terkepung atau terancam. Mereka berpendapat bahwa berbagai peristiwa di dunia ini seperti
konflik Palestina, Irak, Afghanistan, Moro, dekadensi moral, demokrasi dan hak azasi manusia
yang biasanya dikampanyekan oleh kebanyakan negara “barat” mempunyai tujuan
menghancurkan “keyakinan umat Islam”. Mereka sangat mudah mengatakan bahwa berbagai
peristiwa tersebut adalah hasil dari “konspirasi penganut agama tertentu” untuk memojokkan
Islam. Mereka meyakini bahwa dunia ini terbelah antara golongan Islam dan golongan kafir,
yang selalu dalam situasi konflik abadi. Ayat AlQuran yang sering disitir adalah 2:120:” Orang-
orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar). dan
Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu,
Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”. Memang ketika ada suku yang
beragama yahudi melakukan semacam pengkhianatan dan pemberontakan, Nabi dan institusi
Negara melakukan tindakan penyelamatan untuk meredam dampak negatifnya dengan tindakan
yang kadang-kadang tegas dan keras. Sehingga dalam ALquran muncullah ayat-ayat yang terasa
bernada “keras”, “mengecam”, menganjurkan melakukan “jihad” yang berarti “perang” pada
golongan tertentu.Semua ayat tersebut terjadi dalam masa tertentu di jaman Nabi Muhammad
SAW yang berkaitan dengan ancaman dan serangan terhadap existensi agama dan negara, dan
merupakan hal yang bersifat khusus, temporer dan situasional, sehingga tidak bisa diartikan
sebagai masalah abadi dan menjadi ketentuan yang tak berubah sepanjang jaman.
Penulis berkeyakinan bahwa sulit dicerna oleh logika jika Tuhan yang Maha Kasih pada semua
makhluk ciptaannya bisa mentakdirkan ada suatu bangsa atau pemeluk agama tertentu sebagai
“musuh atau pesaing abadi” bagi agama lain, jika Tuhan sendiri menghendaki terciptanya
hubungan yang rukun damai antara berbagai agama dan bangsa ((Q 49:13, 30:22, 5:48).
Jika dalam sejarah Islam telah terjadi banyak peperangan dengan “kerajaan kafir” semestinya hal
itu tidak selalu dinilai positif sebagai wujud dari kewajiban berjihad, karena dalam setiap
peperangan dan penguasaan wilayah selalu akan terjadi kekejaman, perampasan hak, kesedihan
dan penderitaan manusia, yang bukan merupakan tujuan agama itu sendiri didirikan. Karena itu
syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebenarnya tidak pernah lepas dari tujuan
untuk menegakkan suatu masyarakat yang sejahtera, aman dan penuh ampunan Tuhan (Baldatun
Thoyibatun Wa Robbun Ghofur), dimana filsafat yang termaktub dalam “PIAGAM MADINAH”
menjadi haluan Negara. Pemerintahan diatur dan dikelola atas dasar “kalimatun sawa” (nilai-
nilai yang dijunjung bersama oleh setiap pemeluk agama), yaitu ketuhanan, keadilan, persamaan,
kebaikan, kejujuran, dan kemanusiaan. Jadi bukannya Darul Islam (Negara Islam) yang
sebenarnya ingin ditegakkan oleh Nabi, namun Darussalam (Negara Kesejahteraan). (dr. Bondan
Agus Suryanto, SE, MA, AAK, pendiri lembaga PUBLIKA (PUSAT PENGEMBANGAN
ISLAM UNTUK KESADARAN KEBHINEKAAN)

Anda mungkin juga menyukai