Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN
A. Usaha Mencegah Kemunkaran
1. Matan, Syahid dan Terjemah
‫ب‬
ٍ ‫ق ب ِْن ِش َها‬ ِ ‫ار‬ َ ‫ع ْن‬
ِ ‫ط‬ َ ‫ع ْن قَي ِْس ب ِْن ُم ْسل ٍِم‬ َ ‫س ْفيَانَ ح و َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْبنُ ْال ُمثَنَّى َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْبنُ َج ْعف ٍَر َح َّدثَنَا شُ ْعبَةُ ك ََِل ُه َما‬ ُ ‫ع ْن‬ َ ‫ش ْيبَةَ َح َّدثَنَا َوكِي ٌع‬ َ ‫َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ِر ْب ُن أَبِي‬
‫سعِي ٍد أ َ َّما َهذَا‬ ْ ‫ص ََلة ُ قَ ْب َل ْال ُخ‬
َ ‫طبَ ِة فَقَا َل قَ ْد ت ُ ِركَ َما ُهنَالِكَ فَقَا َل أَبُو‬ َّ ‫ام إِلَ ْي ِه َر ُج ٌل فَقَا َل ال‬
َ َ‫ص ََلةِ َم ْر َوانُ فَق‬ ْ ‫ِيث أَبِي بَ ْك ٍر قَا َل أ َ َّو ُل َم ْن بَ َدأ َ بِ ْال ُخ‬
َّ ‫طبَ ِة يَ ْو َم ْالعِي ِد قَ ْب َل ال‬ ُ ‫َو َهذَا َحد‬
‫ان‬ ِْ ‫ف‬
ِ ‫اْلي َم‬ ُ َ‫ضع‬ْ َ ‫سانِ ِه َفإ ِ ْن َل ْم َي ْستَطِ ْع َف ِب َق ْل ِب ِه َو َذلِكَ أ‬
َ ‫سلَّ َم َيقُو ُل َم ْن َرأَى مِ ْن ُك ْم ُم ْنك ًَرا فَ ْليُغ َِي ْرهُ ِب َي ِد ِه َفإ ِ ْن َل ْم َي ْستَطِ ْع َف ِب ِل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سمِ ْعتُ َر‬ َ ‫ع َل ْي ِه‬
َ ‫ضى َما‬ َ ‫فَ َق ْد َق‬
‫ب‬
ٍ ‫ق ب ِْن ِش َها‬ِ ‫ار‬
ِ ‫ط‬َ ‫ع ْن‬ َ ‫ع ْن قَي ِْس ب ِْن ُم ْسل ٍِم‬ َ ‫سعِي ٍد ْال ُخد ِْري ِ َو‬ َ ‫ع ْن أَبِي‬ َ ‫ع ْن أَبِي ِه‬ َ ٍ‫ع ْن إِ ْس َمعِي َل ب ِْن َر َجاء‬ َ ‫ش‬ ُ ‫ب ُم َح َّم ُد ْبنُ ْال َع ََلءِ َح َّدثَنَا أَبُو ُم َعا ِويَةَ َح َّدثَنَا ْاْل َ ْع َم‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ُك َر ْي‬
)‫س ْف َيانَ (رواه مسلم‬
ُ ‫ش ْعبَةَ َو‬ ِ ‫سلَّ َم بِمِ ثْ ِل َحدِي‬
ُ ‫ث‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫ع ْن النَّبِي‬ َ ‫ث أَبِي‬
َ ‫سعِي ٍد‬ َّ ِ‫سعِي ٍد ْال ُخد ِْري ِ فِي ق‬
ِ ‫ص ِة َم ْر َوانَ َو َحدِي‬ َ ‫ع ْن أَبِي‬
َ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan. (dalam
riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah keduanya dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab
dan ini adalah hadits Abu Bakar, "Orang pertama yang berkhutbah pada Hari Raya sebelum shalat Hari Raya didirikan ialah
Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, "Shalat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca
khutbah." Marwan menjawab, "Sungguh, apa yang ada dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan." Kemudian Abu Said
berkata, "Sungguh, orang ini telah memutuskan (melakukan) sebagaimana yang pernah aku dengar dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah
kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga,
hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib
Muhammad bin al-Ala' telah menceritakan kepada kami Abu Mua'wiyah telah menceritakan kepada kami al-A'masy dari
Ismail bin Raja' dari bapaknya dari Abu Sa'id al-Khudri dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dari Abu Sa'id al-
Khudri dalam kisah Marwan, dan hadits Abu Sa'id dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hadits Syu'bah dan
Sufyan." (HR. Muslim No. 70, Kitab: Iman, Bab: Penjelasan bahwa mencegah kemunkaran adalah bagian dari iman, dan
bahwa iman itu bertambah dan berkurang)
a. Maksud Lafadz
Pada Hadits lain yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam Bab Shalat Hari Raya, disebutkan bahwa Abu Sa’id
menarik tangan Marwan ketika ia hendak naik ke atas mimbar. Ketika keduanya berhadapan, Marwan menolak peringatan
Abu Sa’id sebagaimana penolakannya terhadap seorang laki-laki seperti yang dikisahkan pada Hadits di atas, atau mungkin
kasus ini terjadinya berlainan waktu.
Kalimat “hendaklah ia merubahnya (mencegahnya)” dipahami sebagai perintah wajib oleh segenap kaum muslim.
Dalam Al Qur’an dan Sunnah telah ditetapkan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ini termasuk nasihat dan
merupakan urusan agama. Sebagaimana ddalam firman Allah QS. Al Maidah : 105 yang akan kami jelaskan di poin
selanjutnya.
Kalimat “hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jika ia tak sanggup, maka
dengan lidahnya (menasihatinya ; dan
jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya”, maksudnya hendaklah ia mengingkari perbuatan itu dalam hatinya. Hal
semacam itu tidaklah dikatakan telah merubah atau melenyapkan, tetapi itulah yang sanggup ia kerjakan. Dan kalimat
“demikian itu adalah selemah-lemah iman” maksudnya ialah paling sedikit hasilnya (pengaruhnya).
Orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar tidaklah punya hak untuk mencari-cari, mengontrol, memata-
matai, dan menyebarkan prasangka, tetapi jika ia menyaksikan orang lain berbuat mungkar, hendaklah ia mencegahnya. Al
Mawardi berkata : “Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah punya hak untuk menyebarkan praduga
atau memata-matai, kecuali memberitahukan kepada orang yang bisa dipercaya”. Bila ada seseorang yang membawa orang
lain ke tempat sunyi untuk dibunuh, atau membawa seorang perempuan ke tempat sunyi untuk dizinai, maka dalam keadaan
semacam ini, bolehlah ia memata-matai, mengawasi dan mengintai karena khawatir terdahului oleh kejadiannya.
Disebutkan bahwa kalimat “demikian itu adalah selemah-lemah iman” maksudnya ialah hasilnya (pengaruhnya) sangat
sedikit. Tersebut dalam riwayat lain : “Selain dari itu tidak lagi ada iman sekalipun sebesar biji sawi”.
Artinya selain dari tiga macam sikap tersebut tidak lagi ada sikap lain yang ada nilainya dari segi keimanan. Iman yang
dimaksud dalam Hadits ini adalah dengan makna islam.1
2. Jenis hadits
Jenis hadits ini tergolong hadits shahih yang merupakan hadits riwayat Muslim No. 70, Kitab: Iman, Bab: Penjelasan
bahwa mencegah kemunkaran adalah bagian dari iman, dan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.
3. Kualitas hadits
Hadits ini merupakan hadits shahih yang bisa diterima oleh kalangan ulama hadits, karena haditsnya tergolong hadits
maqbul. Adapun hadits yang digolongkan maqbul adalah jenis hadits shahih dan hasan.
4. Tashih dan I’tibar
a. Tashih
- Dari segi sanad hadits ini muttasil dan sampai kepada Rasulullah saw. Sanad awal sampai sanad akhir dalam keadaan
muttasil, tidak ada yang munfashil.
Jalur sanad ke 1: Sa'ad bin Malik bin Sinan bin 'Ubaid -> Thariq bin Syihab bin 'Abdu Syams bin Hilal bin Salamah bin
'Auf-> Qais bin Muslim-> Sufyan bin Sa'id bin Masruq -> Waki' bin Al Jarrah bin Malih-> Abdullah bin Muhammad bin
Abi Syaibah Ibrahim bin 'Utsman
Jalur Sanad Ke 2: Sa'ad bin Malik bin Sinan bin 'Ubaid -> Thariq bin Syihab bin 'Abdu Syams bin Hilal bin Salamah bin
'Auf-> Qais bin Muslim-> Syu’bah bin Al Hajjaj bin al Warad -> Muhammad bin Ja’far -> Muhammad bin Al Mutsanna
bin ‘Ubaid
Jalur Sanad Ke 3: Raja’ bin Rabi’ah -> Isma’il bin Raja’ bin Rabi’ah ->Sulaiman bin Mihran -> Muhammad bin Khazim -
> Muhammad bin Al ‘Alaa’ bin Kuraib
Jalur Sanad ke 4: Sa'ad bin Malik bin Sinan bin 'Ubaid -> Thariq bin Syihab bin 'Abdu Syams bin Hilal bin Salamah bin
'Auf-> Qais bin Muslim-> Sulaiman bin Mihran -> Muhammad bin Khazim -> Muhammad bin Al ‘Alaa’ bin Kuraib
- Dari segi matan, hadits ini baik, tidak ada pertentangan dan hadits ini juga ditakhrijkan oleh Abu Daud No. 963,
Ahmad No. 10651, Ibnu Majah No. 1265 dan Tirmidzi No. 2098
- Dari segi Rawi akhir, hadits ini diriwayatkan Muslim bin al Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi
(Muslim)
b. I’tibar
Terdapat dalam kitab shahih Muslim No. 70, Kitab: Iman, Bab: Penjelasan bahwa mencegah kemunkaran adalah bagian
dari iman, dan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.
5. Ta’ammul hadits

1 Ibnu Daqiqil ‘Ied. Syarhul arba’iina hadiitsan An-nawawiyah. Diterjemahkan oleh Muhammad Thalib.
Yogyakarta: Media Hidayah. Halaman: 50-53
Amar ma’ruf dan nahi mungkar yang dibebankan kepada setiap muslim, jika ia telah menjalankannya, sedangkan orang
yang diperingatkan tidak melaksanakannya, maka pemberi peringatan telah terlepas dari celaan, sebab ia hanya diperintah
menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tidak harus sampai bisa diterima oleh yang diberi peringatan.
Para ulama berkata : “Tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak hanya menjadi kewajiban para penguasa, tetapi tugas
setiap muslim”. Yang diperintahkan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang mengetahui tentang apa yang
dinilai sebagai hal yang ma’ruf atau mungkar. Bila berkaitan dengan hal-hal yang jelas, seperti shalat, puasa, zina, minum
khamr, dan semacamnya, maka setiap muslim wajib mencegahnya karena ia sudah mengetahui hal ini. Akan tetapi, dalam
perbuatan atau perkataan yang rumit dan hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad yang golongan awam tidak banyak
mengetahuinya, maka mereka tidaklah punya wewenang untuk melakukan nahi mungkar. Hal ini menjadi wewenang ulama.
Dan para ulama hanya dapat mencegah kemungkaran yang sudah jelas ijma’nya. Adapun dalam hal yang masih
diperselisihkan, maka dalam hal semacam ini tidak dapat dilakukan nahi mungkar, sebab setiap orang berhak memilih salah
satu dari dua macam paham hasil ijtihad. Sedang pendapat setiap mujtahid itu dinilai benar sesuai keyakinannya masing-
masing.
Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar seyogyanya dilakukan dengan sikap santun agar dapat lebih
mendekatkan kepada tujuan. Imam Syafi’i berkata: “Orang yang menasihati saudaranya dengan cara tertutup, maka orang
itu telah benar-benar menasihatinya dan berbuat baik kepadanya. Akan tetapi orang yang menasihatinya secara terbuka,
maka sesungguhnya ia telah menistakannya dan merendahkannya”.
Hal yang sering diabaikan orang dalam hal ini, yaitu ketika mereka melihat seseorang menjual barang atau hewan yang
mengandung cacat tetapi ia tidak mau menjelaskannya, ternyata mereka tidak mau menegur dan memberitahukan kepada
pembeli atas cacat yang ada pada barang itu. Orang-orang semacam itu bertanggung jawab terhadap kemungkaran tersebut,
karena agama itu adalah nasihat (kejujuran), maka barang siapa tidak mau berlaku jujur atau memberi nasihat, berarti ia
telah berlaku curang. 2
6. Munasabah dan asbab wurud
a. Munasabah
Dalam Al Qur’an dan Sunnah telah ditetapkan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ini termasuk nasihat dan
merupakan urusan agama.
١٠٥ َ‫يعا فَيُن َِبئ ُ ُكم ِب َما ُكنت ُ ۡم ت َعۡ َملُون‬ ۡ ‫ض َّل ِإذَا‬
ِ َّ ‫ٱهت َ َد ۡيت ُ ۡم ِإلَى‬
ٗ ِ‫ٱّلل َم ۡر ِجعُ ُك ۡم َجم‬ َ ‫س ُك ۡ ۖۡم ََل يَض ُُّر ُكم َّمن‬ َ ْ‫ََٰٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا‬
َ ُ‫علَ ۡي ُك ۡم أَنف‬
Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan (QS. Al Maidah: 105)
Maknanya adalah jika kalian telah melaksanakan kewajiban kalian berupa amar ma'ruf dan nahi munkar sesuai dengan
kemampuan kalian, maka sungguh kalian telah menunaikan apa yang diwajibkan atas kalian. Dan setelah itu tidak dapat
memadharratkan kalian kesesatan orang-orang yang sesat jika kalian beri petunjuk.
Dan Syaikh (guru) kami Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah tatkala menjelaskan ayat ini dalam
kitabnya Adhwaa-ul Bayaan memiliki perincian secara teliti dan mendalam dalam permasalahan amar ma'ruf dan nahi
munkar. Dan akan sangat baik jika (para pembaca) kembali kepada kitab tersebut agar mendapatkan faidah (yang banyak).
b. Asbabul wurud

2 Ibnu Daqiqil ‘Ied. Syarhul arba’iina hadiitsan An-nawawiyah. Diterjemahkan oleh Muhammad Thalib.
Yogyakarta: Media Hidayah. Halaman: 50-53
Muslim meriwayatkan Hadits ini dari jalan Thariq bin Syihab, ia berkata: Orang yang pertama kali mendahulukan
khutbah pada hari raya sebelum shalat adalah Marwan. Lalu seorang laki-laki datang kepadanya, kemudian berkata: “Shalat
sebelum khutbah?”. Lalu (laki-laki tersebut) berkata : “Orang itu (Marwan) telah meninggalkan yang ada di sana (Sunnah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam)”. Abu Sa’id berkata : “Adapun dalam hal semacam ini telah ada ketentuannya. Saya
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : ‘Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran hendaklah
ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya(kekuasaannya); jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya
(menasihatinya); dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian
itu adalah selemah-lemah iman’ “. Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan semacam itu belum pernah dilakukan oleh
siapa pun sebelum Marwan.
Jika ada yang bertanya: “Mengapa Abu Sa’id terlambat mencegah kemungkaran ini, sampai laki-laki tersebut
mencegahnya?” Ada yang menjawab : “Mungkin Abu Sa’id belum hadir ketika Marwan berkhutbah sebelum shalat. Lelaki
itu tidak menyetujui perbuatan tersebut, lalu Abu Sa’id datang ketika kedua orang tersebut sedang berdebat. Atau mungkin
Abu Sa’id sudah hadir tetapi ia merasa takut untuk mencegahnya, karena khawatir timbul fitnah akibat pencegahannya itu,
sehingga tidak dilakukan. Atau mungkin Abu Sa’id sudah berniat mencegah, tetapi lelaki itu mendahuluinya, kemudian
Abu Sa’id mendukungnya”. Wallaahu a’lam.3

7. Istinbath Ahkam dan Hikmah


a. Istinbath Ahkam
Amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan perbuatan wajib kifayah, sehingga jika telah ada yang menjalankannya,
maka yang lain terbebas. Jika semua orang meninggalkannya, maka berdosalah semua orang yang mampu
melaksanakannya, terkecuali yang ada udzur. Kemudian ada kalanya menjadi wajib ‘ain bagi seseorang. Misalnya, jika di
suatu tempat yang tidak ada orang lain yang mengetahui kemungkaran itu selain dia, atau kemungkaran itu hanya bisa
dicegah oleh dia sendiri, misalnya seseorang yang melihat istri, anak, atau pembantunya melakukan kemungkaran atau
kurang dalam melaksanakan kewajibannya.
Para ulama berkata : “Tanggung jawab amar ma’ruf dan nahi mungkar itu tidaklah terlepas dari diri seseorang hanya
Karena ia beranggapan bahwa peringatannya tidak akan diterima. Dalam keadaan demikian ia tetap saja wajib
menjalankannya. Allah berfirman: “Berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”.(QS.
51 : 55)
Telah disebutkan di atas bahwa setiap orang berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi tidak
diwajibkan sampai peringatannya itu diterima. Allah berfirman: “Tiadalah kewajiban bagi seorang Rasul melainkan hanya
menyampaikan peringatan”. (QS. 5 : 99)
Para ulama berkata : “Orang yang menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah diharuskan dirinya telah
sempurna melaksanakan semua yang menjadi perintah agama dan meninggalkan semua yang menjadi larangannya. Ia tetap
wajib menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar sekalipun perbuatannya sendiri menyalahi hal itu. Hal ini Karena seseorang
wajib melakukan dua perkara, yaitu menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Jika

3 Ibnu Daqiqil ‘Ied. Syarhul arba’iina hadiitsan An-nawawiyah. Diterjemahkan oleh Muhammad Thalib.
Yogyakarta: Media Hidayah. Halaman: 50-53
yang satu (amar ma’ruf nahi mungkar kepada diri sendiri) dikerjakan, tidak berarti yang satunya (amar ma’ruf nahi mungkar
kepada orang lain) gugur”.4

b. Hikmah
Sepatutnya para pencari akhirat dan orang yang berusaha mendapatkan keridhaan Allah memperhatikan masalah ini.
Hal ini karena kemanfaatannya amat besar, apalagi sebagian besar orang sudah tidak peduli, dan orang yang melakukan
pencegahan kemungkaran tidak lagi ditakuti, karena martabatnya yang rendah. Allah berfirman : “Sungguh, Allah pasti
menolong orang yang menolong-Nya”. (QS. 22 :40)
Ketahuilah bahwa pahala itu diberikan sesuai dengan usahanya dan tidak boleh meninggalkan nahi mungkar ini hanya
karena ikatan persahabatan atau kecintaan, sebab sahabat yang jujur ialah orang yang membantu saudaranya untuk
memajukan kepentingan akhiratnya, sekalipun hal itu dapat menimbulkan kerugian dalam urusan dunianya. Adapun orang
yang menjadi musuh ialah orang yang berusaha merugikan usaha untuk kepentingan akhiratnya atau menguranginya
sekalipun sikapnya seperti dapat membawa keuntungan duniawinya.5
8. Problematika tafhim dan tatbiq
…Jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat
petunjuk…(QS. Al Maidah: 105). Menurut para ulama ahli tahqiq adalah bahwa makna ayat tersebut ialah jika kamu
sekalian melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu, maka kamu tidak akan menjadi rugi bila orang lain menyalahi
kamu. Hal ini semakna dengan firman Allah: “Seseorang tidaklah menanggung dosa orang lain”. (QS. 6 : 164)
Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian besar ulama tahqiq. Pendapat lain mengatakan bahwa yang benar itu hanya
satu dan yang salah bisa banyak, tetapi mujtahid yang salah itu tidak berdosa. Sekalipun demikian, dinasihatkan supaya kita
menjauhi persoalan yang diperselisihkan. Hal ini adalah satu sikap yang baik. Kita dianjurkan untuk melaksanakan nahi
mungkar ini dengan santun.
Syaikh Muhyidin berkata : “Ketahuilah bahwa sejak lama amar ma’ruf nahi mungkar ini oleh sebagian besar orang
telah diabaikan. Pada masa-masa ini hanyalah tinggal dalam tulisan yang amat sedikit, padahal ini merupakan hal yang
amat besar peranannya bagi tegaknya urusan umat dan kekuasaan. Apabila perbuatan-perbuatan buruk merajalela, maka
orang-orang shalih maupun orang-orang jahat semuanya akan tertimpa adzab. Jika orang yang shalih tidak mau menahan
tangan orang yang zhalim, maka nyaris adzab Allah akan menimpa mereka semua. Allah berfirman: “Hendaklah orang-
orang yang menyalahi perintah rasul-Nya khawatir tertimpa fitnah atau adzab yang pedih”. (QS. 24 : 63)
Hadits ini juga menyatakan bahwa orang yang takut pembunuhan atau pemukulan, ia terbebas dari melakukan
pencegahan kemungkaran. Inilah pendapat para ulama ahli tahqiq zaman salaf maupun khalaf. Sebagian dari golongan yang
ekstrim berpendapat bahwa sekalipun seseorang takut, tidaklah ia terbebas dari kewajiban mencegah kemungkaran.6
B. Usaha Menyuruh Kepada Kebaikan
1. Matan, Syahid dan Terjemah

4 Ibnu Daqiqil ‘Ied. Syarhul arba’iina hadiitsan An-nawawiyah. Diterjemahkan oleh Muhammad Thalib.
Yogyakarta: Media Hidayah. Halaman: 50-53
5 Ibnu Daqiqil ‘Ied. Syarhul arba’iina hadiitsan An-nawawiyah. Diterjemahkan oleh Muhammad Thalib.
Yogyakarta: Media Hidayah. Halaman: 50-53
6 Ibnu Daqiqil ‘Ied. Syarhul arba’iina hadiitsan An-nawawiyah. Diterjemahkan oleh Muhammad Thalib.
Yogyakarta: Media Hidayah. Halaman: 50-53
‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ أ َ َّن َر‬ َ ِ‫ع ْن ْال َع ََلء‬
َ ‫ع ْن أَبِي ِه‬ َ ‫سعِي ٍد َوا ْبنُ حُجْ ٍر قَالُوا َح َّدثَنَا ِإ ْس َمعِي ُل يَ ْعنُونَ ابْنَ َج ْعف ٍَر‬ َ ُ‫ُّوب َوقُت َ ْيبَةُ ْبن‬
َ ‫َح َّدثَنَا يَحْ يَى ْبنُ أَي‬
َ‫ص ذَلِك‬ ُ ُ‫اْلثْ ِم مِ ثْ ُل آث َ ِام َم ْن تَبِعَهُ ََل يَ ْنق‬
ِ ْ ‫علَ ْي ِه مِ ْن‬َ َ‫ض ََللَ ٍة َكان‬
َ ‫عا إِلَى‬َ ‫ش ْيئًا َو َم ْن َد‬ ِ ‫ص ذَلِكَ م ِْن أ ُ ُج‬
َ ‫ور ِه ْم‬ ُ ُ‫ور َم ْن تَبِعَهُ ََل يَ ْنق‬ ِ ‫عا إِلَى ُهدًى َكانَ لَه ُ مِ ْن ْاْلَجْ ِر مِ ثْ ُل أ ُ ُج‬َ ‫َم ْن َد‬
َ ‫مِ ْن آثَامِ ِه ْم‬
)‫ش ْيئًا (رواه مسلم‬
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa'id dan Ibnu Hujr, mereka berkata; telah
menceritakan kepada kami Isma'il yaitu Ibnu Ja'far dari Al 'Ala dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwasannya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: “Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan
mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun. Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh
orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (H.R. Muslim No. 4831, Kitab: Ilmu, Bab:
Barangsiapa membuat contoh baik)
a. Maksud Lafadz
“Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-
orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” Lafadz Hadits di atas menjelaskan bahwa orang
yang mengajak kepada kebaikan akan mendapat pahala sebesar pahala orang yang mengerjakan ajakkannya tanpa dikurangi
sedikitpun.
“Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-
orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”. Begitu pula orang yang mengajak kepada kesesatan
akan mendapat dosa sebesar dosa orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikit pun.
Tidak diragukan lagi bahwa hadis ini merupakan berita gembira bagi mereka yang suka mengajak orang lain untuk
mengerjakan kebaikan, Allah Swt memberikan penghargaan tinggi bagi mereka yang suka mengajak kepada kebaikan.
2. Jenis hadits
Jenis hadits ini tergolong hadits shahih yang merupakan hadits riwayat Muslim No. 4831, Kitab: Ilmu, Bab:
Barangsiapa membuat contoh baik.
3. Kualitas hadits
Hadits ini merupakan hadits shahih yang bisa diterima oleh kalangan ulama hadits, karena haditsnya tergolong hadits
maqbul. Adapun hadits yang digolongkan maqbul adalah jenis hadits shahih dan hasan.
4. Tashih dan i’tibar
a. Tashih adalah membantu kaidah tashhih menentukan kualitas sebuah hadis dari sisi rawi apakah
termasukshahih, hasan, atau dha’if dan membantu memilah-milah mana kitab hadis yang hadis-hadisnya
berkualitas shahih, hasan, atau dha’if.
- Dari segi sanad hadits ini muttasil dan sampai kepada Rasulullah saw. Sanad awal sampai sanad akhir dalam keadaan
muttasil, tidak ada yang munfashil.
Jalur Sanad Ke 1: Abdur Rahman bin Shakhr->Abdur Rahman bin Ya'qub -> Al 'Alaa' bin 'Abdur Rahman bin Ya'qub ->
Isma'il bin Ja'far bin Abi Katsir -> Yahya bin Ayyub
Jalur sanad ke 2: Abdur Rahman bin Shakhr->Abdur Rahman bin Ya'qub -> Al 'Alaa' bin 'Abdur Rahman bin Ya'qub ->
Isma'il bin Ja'far bin Abi Katsir -> Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Tharif bin ‘Abdullah
Jalur Sanad Ke 3: Abdur Rahman bin Shakhr->Abdur Rahman bin Ya'qub -> Al 'Alaa' bin 'Abdur Rahman bin Ya'qub ->
Isma'il bin Ja'far bin Abi Katsir -> Ali bin Hajar bin Iyas
- Dari segi matan, hadits ini baik, tidak ada pertentangan dan hadits ini juga ditakhrijkan oleh Tirmidzi No. 2598 dan
Ibnu Majah No. 202.
- Dari segi Rawi akhir, hadits ini diriwayatkan Muslim bin al Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi
(Muslim)
b. I’tibar adalah mendapatkan informasi dan petunjuk dari literatur, baik kitab/diwan yang (mushanaf, musnad,
sunan dan shahih).
Terdapat dalam kitab shahih Muslim No. 4831, Kitab: Ilmu, Bab: Barangsiapa membuat contoh baik.
5. Ta’ammul(pengamalan) hadits
Hadits ini memberi motivasi terhadap orang beriman yang senantiasa melakukan kebaikan agar ia dapat berlomba-
lomba dalam kebaikan, dengan mencontohkan suatu perkara atau amal yang baik yang dapat dicontoh saudara muslim
lainnya.
6. Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-qur’an sehingga seolah-olah menjadi satu ungkapan yang
mempunyai kesatuan makna serta keteraturan redaksi.
٣٣ َ‫صل ِٗحا َوقَا َل ِإنَّنِي مِ نَ ۡٱل ُمسۡ لِمِ ين‬
َ ‫عمِ َل‬ ِ َّ ‫عا َٰٓ ِإلَى‬
َ ‫ٱّلل َو‬ َ ‫َو َم ۡن أ َ ۡح‬
َ ‫س ُن قَ ۡو َٗل ِم َّمن َد‬
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan
berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri? (Q.S. Fushilat: 33)
Orang yang mencontohkan dan menyeru untuk mengerjakan amal saleh adalah orang yang tergolong baik perkataannya.
Jangan sampai kita memberikan contoh yang melanggar syariat, yang kelak akan diikuti oleh orang yang terdorong didalam
hatinya untuk melakukan perbuatan buruk tersebut, kita akan merugi, karena hal itu merupakan amalan buruk (dosa jariyah).
َّ ‫ص ۡواْ بِٱل‬
٣ ‫ص ۡب ِر‬ ِ ‫ص ۡواْ بِ ۡٱل َح‬
َ ‫ق َوت ََوا‬ َ ‫ت َوت ََوا‬
ِ ‫ص ِل َح‬ َ ‫ إِ ََّل ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ َو‬٢ ‫سنَ لَفِي خُسۡ ٍر‬
َّ ‫عمِ لُواْ ٱل‬ ِ ۡ ‫ إِ َّن‬١ ‫َو ۡٱلعَصۡ ِر‬
َ ‫ٱْلن‬
Demi masa; Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian; kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S.
Al-Ashr: 1-3).
Manusia berada dalam kerugian, kecuali ia beriman dan melakukan amal saleh dengan cara menasehati dalam kebenran
dan kesabaran. Semua (bisikan) yang adalah perkataan yang sia-sia, kecuali bisikan (perkataan) yang mengajak kepada
ketaatan (Amar Ma’ruf Nahi Munkar).
7. Istinbath ahkam dan hikmah
a. Istinbath Ahkam
- Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang
yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.
- Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-
orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.
b. Hikmah
Sangat banyak keutamaan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, diantaranya:
 Penyeru agama Allah adalah orang yang terbaik perkataannya. Sebagai faktor yang membuat manusia bersungguh-
sungguh melakukan dakwah kepada agama Allah karena Allah mengangkat derajat ketempat yang paling tinggi. Yakni,
Allah menjadikan mereka sebagai manusia yang terbaik perkataannya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Fushilat
ayat 33.
 Pahala yang besar bagi orang yang disebabkan usahanya orang lain mendapat petunjuk.
 Allah Ta’ala dan segala makhluk di langit dan dibumi bershalawat kepada penyeru kebaikan kepada manusia.
“Sesungguhnya Allah, Malaikat-Nya serta penduduk langit dan bumi bahkan semut yang ada di dalam sarangnya
sampai ikan paus, mereka akan mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” H.R. Tirmidzi
No. 2609
8. Problematika Tafhim dan Tatbiq
Tidak terdapat permasalahan yang rumit dalam memahami hadits ini, karena kata-kata yang disampaikan sangat mudah
untuk dipahami.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Hadits “Mencegah Kemungkaran” terdapat dalam kitab shahih Muslim No. 70. Hadits ini merupakan jenis hadits shahih
(sanad, matan dan rawinya shahih tidak terdapat syadz). Hadits ini merupakan hadits maqbul. Simpulan dari hadits ini
adalah, manusia (muslim) harus mampu mencegah kemungkaran dengan tangannya, atau jika tidak mampu maka dengan
lisannya, atau jika tidak mampu maka dengan hatinya.
Hadits “Menyuruh kepada Kebaikan” terdapat dalam kitab shahih Muslim No. 4831. Hadits ini merupakan jenis hadits
shahih (sanad, matan dan rawinya shahih tidak terdapat syadz). Hadits ini merupakan hadits maqbul. Simpulan dari hadits
ini adalah, manusia (muslim) hendaknya termotivasi untuk senantiasa menyeru/mengajarkan kebaikan kepada saudara
(muslim) lainnya.
Kunya (bahasa Arab: ‫ ;كنية‬kuniyah) atau kunyah, adalah sebuah nama panggilan yang biasa digunakan oleh masyarakat
Arab untuk panggilan kehormatan atau gelar kepada seseorang, sebagai pengganti atas nama asli orang tersebut.

Anda mungkin juga menyukai