Anda di halaman 1dari 39

Presentasi Kasus

STEMI ANTERIOR
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada :
dr. Bagus Andi Pramono, Sp.JP

Disusun Oleh :
Alif Rasyid Humanindio
20184010139

KSM ILMU PENYAKIT DALAM


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2018
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

STEMI ANTERIOR

Disusun oleh :
ALIF RASYID HUMANINDIO
20184010139

Telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal 2018

Pembimbing

dr. Bagus Andi Pramono, Sp.JP


BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Jantung Iskemik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu Penyakit

Arteri Koroner Kronik dengan presentasi umumnya berupa Angina Pektoris Stabil,

dan Sindrom Koroner Akut (SKA). Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi Infark

Miokardial Akut dengan Elevasi segmen ST (STEMI), Infark Miokardial Akut

tanpa Elevasi segmen ST (Non-STEMI), dan Angina Pektoris Tak Stabil (Elliot M.

Antman, 2015).

Patofisiologi utama dari Penyakit Jantung Iskemik adalah adanya kondisi

ketidak seimbangan antara supply and demand dari oksigen di miokardium. Ketidak

seimbangan tersebut dapat disebabkan oleh peningkatan dari detak jantung,

kontraktilitas dan peningkatan tekanan di dinding jantung pada saat seseorang

beraktifitas namun tidak diikuti dengan peningkatan suplai oksigen yang

dihantarkan pembuluh darah jantung ke miokardium sehingga terjadi hipoksia

miokardium dan metabolisme anaerob yang menyebabkan akumulasi metabolit-

metabolit sampah; laktat, serotonin, adenosin dapat merangsang reseptor nyeri di

C7-T4, yang menimbulkan nyeri tumpul di bagian dada (Alwi, 2014). Salah satu

penyebab paling sering dari Penyakit Jantung Iskemik adalah Aterosklerosis Arteri

Koroner yang menyebabkan penurunan suplai darah ke miokardium yang

signifikan dan menjadi salah satu etiologi utama dari Infark Miokard Akut.

1
2

Infark Miokard Akut terdiri dari Infark Miokard akut dengan Elevasi

Segmen ST dan Infark Miokard Akut tanpa Elevasi Segmen ST. Infark Miokard

Akut dengan Elevasi Segmen ST atau disebut STEMI merupakan salah satu

kegawat daruratan penyakit jantung dengan tingkat mortalitas tinggi yang

memerlukan penanganan dengan segera (Perhimpunan Dokter Spesialis

Kardiovaskular Indonesia, 2015). Penatalaksaan pada pasien yang terdiagnosis

STEMI adalah dengan Terapi Reperfusi yaitu dengan Fibrinolisis atau dengan

Primary PCI (Percutaneus Coronary Intervention) (ACCF/AHA, 2013). American

College of Cardiology/American Heart Association dan European Society of

Cardiology merekomendasikan dalam tatalaksana pasien dengan STEMI selain

diberikan terapi reperfusi, juga diberikan terapi lain seperti anti-platelet, anti-

koagulan., nitrat, penyekat beta, ACE-Inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.


BAB II

KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Bp. HS

Jenis Kelamin : Laki Laki

Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Melikan Lor Gandekan RT 06 Bantul

Agama : Islam

No. RM : 63-49-75

Tanggal Masuk : 20/10/2018

B. ANAMNESA

1. Keluhan Utama:

Pasien datang dengan keluhan dada terasa panas.

2. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien mengeluh dada terasa panas menjalar sampai ke punggung dan juga

nyeri di tangan kiri dan sampai ke dagu. Keluhan dirasakan sejak 6 jam

sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh keringat dingin dan mual

muntah.

3. Riwayat Penyakit Dahulu:

- Riwayat HT: (+)

3
4

- Riwayat DM: (-)

- Riwayat Alergi obat: (-)

- Riwayat jantung: (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga: (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

- Keadaan Umum : Sakit sedang

- Kesadaran : Compos Mentis

2. Vital Sign

TD : 160/90

Suhu : 36oC

Nadi : 84x/menit

Respirasi : 20x/menit

a. Kepala : Simetris

b. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

c. Hidung : Deviasi (-), discharge (-), pendarahan (-)

d. Telinga : Simetris kanan kiri

e. Mulut : Sianosis (-), Mukosa bibir lembab, nyeri telan (-)

f. Thorax :

Jantung

- Inspeksi : Ictus cordis tak tampak pada SIC IV

- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV


5

- Perkusi : Redup

- Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, bising jantung (-)

Paru-paru

- Inspeksi : Simetris, retraksi dada (-), deformitas (-)

- Palpasi : Vokal fremitus kanan kiri sama, ketertinggalan

nafas (-)

- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

g. Abdomen

- Inspeksi : Deformitas (-)

- Auskultasi : Bising usus (+)

- Palpasi : Supel (+), hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-)

- Perkusi : Timpani

e. Ekstremitas

- Superior : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

- Inferior : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium :

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.8 14.0 - 18.0 g/dl
Lekosit 18.72 4.00 - 11.00 10^3/uL
Eritrosit 5.15 4.50 - 5.50 10^6/uL
Trombosit 520 150 – 450 10^3/uL
Hematokrit 43.6 42.0 - 52.0 vol%
HITUNG JENIS
6

Eosinofil 0 2-4 %
Basofil 1 0-1 %
Batang 8 2-5 %
Segmen 80 51-67 %
Limfosit 9 20-35 %
Monosit 2 4-8 %
FUNGSI HATI
SGOT 67 <31 U/L
SGPT 18 <31 U/I
FUNGSI GINJAL
Ureum 63 17-43 mg/dl
Creatinin 2.49 0,90-1,30 mg/dl
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 128 80-200 mg/dl
JANTUNG
High Sensitive Troponin I 8316.8 <2ng/L : Negatif
2-99 ng/L : Grey Zone
>=100 ng/L : Postif
ELEKTROLIT
Natrium 138.8 137.0 – 145.0 mmol/I
Kalium 3.92 3.50-5.10 mmol/I
Klorida 105.0 98.0-107.0 mmol/I
KIMIA KLINIK
LEMAK
Kolesterol Total 294 150-200 mg/dl
LDL-Cholesterol (Direk) 203 <115 mg/dl
HDL-Cholesterol (Direk) 57 >39 mg/dl
Trigliserida 170 60-150 mg/dl
URINALISA
Warna Kuning Kuning
Kekeruhan Keruh Jernih
Reduksi Negatip Negatip
Bilirubin Negatip Negatip
Keton Urin Negatip Negatip
BJ 1.020 1.015 - 1.025
Darah Samar 3+ Negatip
PH 6.00 5.00 - 8.50
Protein 3+ Negatip
Urobilinogen 0.20 0.20 - 1.00 EU/dl
Nitrit Negatip Negatip
Lekosit Esterase 2+ Negatip
SEDIMEN URIN
Eritrosit >50 0-2 /LPK
Lekosit 10-12 0-3 /LPK
Sel Epitel Positip Positip /LPK
7

Kristal
Ca Oksalat Negatip Negatip /LPK
Asam Urat Negatip Negatip /LPK
Amorf Negatip Negatip /LPK
Silinder
Eritrosit Negatip Negatip /LPK
Leukosit Negatip Negatip /LPK
Granular Negatip Negatip /LPK
Bakteri Negatip Negatip /LPK
Lain-lain - - /LPK

Radiologi :
8

EKG :
9
10
11
12
13
14
15
16
17

E. DIAGNOSA KERJA

- STEMI Anterior

Diagnosis Banding :

- Non-STEMI

- Unstable Angine Pectoris

- Pleuritis

- GERD

F. PENATALAKSANAAN

 Inf NaCl 16 tpm

 Pro trombolisis Fibrion

 Aspilet 4 tab -> 1x80 mg

 ISDN 1 tab

 CPG 2 tab + 2 tab -> 1x75mg

 Atorvastatin 1 x40mg

 Captopril 3x25mg

 Concor 1x2,5mg

 Lovenox 2x0,6mg

G. FOLLOW UP

TANGGAL FOLLOW UP
S: Pasien datang ke IGD dengan keluhan dada terasa panas menjalar
sampai ke punggung dan juga nyeri di tangan kiri dan sampai ke
20/10/2018
dagu. Keluhan dirasakan sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluh keringat dingin dan mual muntah
18

O:
TD: 160/90
HR: 84x/menit
RR: 20x/menit
T: 36oC

Kepala
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sclera ikterik (-/-),
Thoraks :
 Simetris (+)
 Suara Paru : Vasikuler +/+ Ronkhi -/- Wheezing -/-
 Suara Jantung : S1 S2 reguler (+) BJ (-)
Abdomen :
 Supel (+), Peristaltik (+), nyeri tekan (+) epigastric
Ekstremitas
 Akral hangat (+/+/+/+), edem (-/-/-/-)
A:
Obs. Chest Pain ec STEMI Anterior
P:

 Inf NaCl 16 tpm


 Pro trombolisis Fibrion
 Aspilet 4 tab -> 1x80 mg
 ISDN 1 tab
 CPG 2 tab + 2 tab -> 1x75mg
 Atorvastatin 1 x40mg
 Captopril 3x25mg
 Concor 1x2,5mg
 Lovenox 2x0,6mg
 Pindah ICU

S: sesak (-), nyeri dada (+) berkurang), gelisah (-), nyeri perut (+)
21/10/2018
19

O: Sedang, CM
TD: 140/80
HR: 84x/menit
RR: 20x/menit
T: 36oC

Kepala
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sclera ikterik (-/-),
Thoraks :
 Simetris (+)
 Suara Paru : Vasikuler +/+ Ronkhi -/- Wheezing -/-
 Suara Jantung : S1 S2 reguler (+) BJ (-)
Abdomen :
 Supel (+), Peristaltik (+), nyeri tekan (+) epigastric
Ekstremitas
 Akral hangat (+/+/+/+), edem (-/-/-/-)
A:
STEMI Anterior Post Trombolitik
P:

 Inf NaCl 16 tpm


 Aspilet 1x80 mg
 CPG 1x75mg
 Atorvastatin 1 x40mg
 Captopril 3x12,5mg
 Concor 1x2,5mg
 Lovenox 2x0,6mg
 Inj Pantprazol 40mg/24jam
 Plan : EKG, cek UL, Profil Lipid
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST (ST Elevation Myocardial

Infarction = STEMI) merupakan bagian dari spektrum Sindrom Koroner Akut

(SKA) yang terdiri dari Angina Pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA

dengan elevasi ST (Alwi, 2014).

STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia

miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang

persisten dan diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard (Alwi, 2014).

B. Etiologi

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah

koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik

yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi

injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,

hipertensi, dan akumulasi lipid. (Alwi, 2014)

Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia,

jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat

diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain

kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang

tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori. (Santoso M, 2005)

20
21

Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA. Penelitian

angiografi menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan oleh trombosis

arteri koroner. Gangguan pada plak aterosklerotik yang sudah ada (pembentukan

fisura) merupakan suatu nidus untuk pembentukan trombus. (Robbins, Kumar, &

Cotran, 2007).

Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi,

sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri

koroner (Alwi, 2014).

C. Epidemiologi

Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di

Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang,

sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan

sekitar 2.650.340 orang. Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah penderita

penyakit jantung koroner terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak

160.812 orang (0,5%), sedangkan Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah

penderita paling sedikit, yaitu sebanyak 1.436 orang (0,2%). Berdasarkan

diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita penyakit jantung koroner terbanyak

terdapat di Provinsi Jawa Timur sebanyak 375.127 orang (1,3%), sedangkan jumlah

penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Papua Barat, yaitu sebanyak 6.690

orang (1,2%) (KEMENKES, 2014).


22

D. Patogenesis

Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh

darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan

komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian

ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.

Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan

menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau

menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain

itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga

memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner

menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-

lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard)

(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).

Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah

koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat

menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).

Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium

karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan

remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian

pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka

mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria

epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme

maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah
23

Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam,

anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya

SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis (Perhimpunan Dokter

Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015).

E. Diagnosis

Diagnosis IMA dengan elevasi ST menurut ESC/ACCF/AHA ditegakkan

berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi

ST baru pada titik J ≥ 2 mm pada pria atau ≥ 1,5 mm pada wanita, minimal pada

sadapan V2-V3 dan atau ≥ 1 mm pada sadapan dada yang lain atau sadapan

ekstremitas. LBB baru atau diduga baru dipertimbangkan sebagai STEMI

equivalent. Adanya depresi ST pada banyak sadapan prekordial (V1-V4) mungkin

menunjukkan kerusakan posterior transmural; depresi ST pada sadapan aVR,

ditemukan pada pasien dengan oklusi pada left main atau arteri desendens anterior

kiri proksimal. Perubahan gelombang T hiperakut jarang dijumpai pada fase paling

awal STEMI, sebelum berkembang menjadi elevasi ST (Alwi, 2014).

Pemeriksaan enzim jantung, terutama Troponin T yang meningkat,

memperkuat diagnosis, namun keputusan memberi terapi revaskularisasi tak perlu

menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana STEMI, prinsip

utama penatalaksanaan adalah lebih cepat dilakukan revaskularisasi lebih banyak

otot jantung yang diselamatkan (time is muscle) (Alwi, 2014).

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli

paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada
24

tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada

diabetes melitus dan usia lanjut (Alwi, 2014).

F. Penatalaksanaan

Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari

evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus

berkembang ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan

nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,

pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan

tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam

tatalaksana STEMI yaitu dari ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2017.

Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat

masing-masing center dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang

kardiologi intervensi) (Alwi, 2014).

1. Tatalaksana awal

a. Tatalaksana pra rumah sakit

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok

komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik

(pump failure).

Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI disebabkan

adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
25

pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga

elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara

lain: pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis, segera

memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi,

transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf

medis dokter dan perawat yang terlatih, melakukan terapi reperfusi.

Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya

bukan selama transportasi ke rumah sakit, namun karena lama waktu mulai onset

nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa

ditanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional

kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.

Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedis

di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana

STEMI dan kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada

pemberian terapi.

b. Tatalaksana di ruang emergensi

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:

mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan

kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat

di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.


26

2. Tatalaksana umum

a. Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen

arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen

selama 6 jam pertama.

b. Nitrogliserin (NTG)

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg

dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi

nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan

menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara

dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri

dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG intravena juga

diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.

Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90

mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior

pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari

pada pasien yang menggunakan phospodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24

jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.

c. Morfin

Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting karena nyeri

dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokontriksi dan

meningkatkan beban jantung.


27

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik

pilihan dalam tatalaksana nyeri pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4

mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek

samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan

arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan

mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi

dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV

dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang

menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan

infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg

IV.

d. Penyekat Beta

Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta

IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan adalah metoprolol

5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60

menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak

lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir

dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam,

dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.

e. Anti Trombotik

1) Aspirin

Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Dosisnya 162-325 mg

load sebelum prosedur.


28

2) Klopidogrel

Klopidogrel harus diberikan segera mungkin pada semua pasien STEMI

yang dilakukan PCI. Pada pasien yang menjalani PCI dianjurkan dosis loading 600

mg. Sedangkan yang tidak menjalani PCI dosis loading 300mg dilanjutkan dosis

pemulihan 75 mg/hari.

3) Prasugrel

4) Ticagrelor

5) GP IIb/Iia Inhibitor

f. Anti Koagulan

1) Unfractioned Heparin (UFH)

2) Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH)

Gambar 1. Bagan terapi reperfusi pada pasien STEMI


Sumber: ACC/AHA Guideline for STEMI, 2013
29

g. Terapi Reperfusi

1) Fibrinolitik

Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30

menit sejak masuk (door-to-needle time <30 menit). Tujuan utama fibrinolisis

adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat

fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA), Streptokinase,

Tenekteplase (TNK) dan Reteplasen (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara

memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan

trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan

non spesifik fibrin seperti Streptokinase.

2) PCI

Intervensi koroner perkutan, biasnya angioplasti dan/atau stenting tanpa

didahului fibrinolisis disebut PCI Primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan

perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard

akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang

tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang

yang lebih baik. Dibandingkan dengan trombolisis, PCI primer lebih dipiliha jika

terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan

meningkat, atau gejala sudah ada sekurang kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan

darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengna obat fibrinolisis. Namun

demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas

berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit.


30

3. Tatalaksana di rumah sakit (ICCU)

a. Aktivitas

Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.

b. Diet

Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien

harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet

mencakup lemak <30% kalori total dan kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu

harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat, kalium, magnesium, dan rendah

natrium.

c. Bowels

Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk

menghilangkan nyeri sering megakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan

kursi komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat dan penggunaan pencahar

ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200g/hari).

d. Sedasi

Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan

periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg, atau

lorazeam 0,5-2 mg, diberikan 3 atau 4 kali sehari biasanya efektif.


BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis infark miokard akut dengan elevasi segmen ST berdasarkan

AHA/ESC dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium dan EKG. Pada anamnesis dapat ditemukan gejala nyeri dada khas

angina berupa nyeri tumpul/terbakar/ditusuk di substernal, retrosternal dan

prekordial, dengan penjalaran ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,

gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan, nyeri membaik

atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat. Faktor pencetus nyeri dada meliputi

latihan fisik, stres emosi, udara dinginn, dan sesudah makan. Keluhan nyeri dada

dapat disertai pula dengan gejala mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,

cemas dan lemas (Alwi, 2014). Pada hasil anamnesis pasien yang diperiksa terdapat

gejala yang sesuai dengan diagnosis STEMI yaitu nyeri dada seperti terbakar,

menjalar ke lengan kiri dan dagu, disertai mual muntah dan keringat dingin.

Pemeriksaan fisik pada pasien STEMI dapat ditemukan pasien merasa

cemas dan gelisah. Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Sekitar

seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf

simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior

menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi) (Alwi,

2014). Pada pemeriksaan fisik pasien yang diperiksa ditemukan pasien merasa

gelisah, dengan normotensi dan banyak berkeringat. Kombinasi nyeri dada

substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI.

31
32

Pemeriksaan lab penting pada pasien STEMI adalah biomarker kerusakan

jantung yaitu pemeriksaan creatinine kinase (CK)MB dan cardiac spesific troponin

(cTn)T atau cTn I. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal

menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard). Reaksi non spesifik

terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi

beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat

mencapai 12.000-15.000/ul (Alwi, 2014). Pada hasil laboratorium pasien yang

diperiksa ditemukan peningkatan high sensitive troponin yang signifikan dan

peningkatan angka leukosit.

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan

nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,

pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan

tatalaksana komplikasi IMA. Nyeri dada merupakan suatu hal yang perlu

diperhatikan, karena selain untuk kenyamanan pasien juga dapat memicu

vasokontriksi dan dapat meningkatkan beban kerja jantung. Pemberian opioid

titrasi (contoh: Morfin) secara IV dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi

nyeri dada (Ibanez, 2017). Pasien diberikan 1 tablet ISDN (Isosorbide Dinitrate)

dengan tujuan mengatasi nyeri dada yang sedang berlangsung. Menurut guideline

ESC pemakaian nitrat pada manajemen pasien dengan STEMI sudah tidak

direkomendasikan namun dapat digunakan untuk mengatasi residual dari gejala

angina pektoris (Ibanez, 2017).

Terapi reperfusi yang diberikan menurut AHA/ESC adalah primary PCI dan

Fibrinolitik, dengan pertimbangan jika onset STEMI <12 jam maka PCI atau
33

fibrinolitik dapat dilakukan. Terapi reperfusi yang lebih dianjurkan adalah dengan

primary PCI dengan syarat <90 menit setelah pasien terdiagnosis STEMI maka PCI

harus dilakukan jika tersedia fasilitas untuk melakukan angiography dan PCI, atau

dalam waktu <120 menit pasien harus dirujuk segera ke rumah sakit yang memiliki

fasilitas untuk melakukan PCI untuk segera dilakukan reperfusi. Pada rumah sakit

yang tidak terdapat fasilitas untuk melakukan PCI dan waktu untuk merujuk dan

memulai operasi >120 menit maka pilihan reperfusi selanjutya adalah fibrinolitik,

dengan syarat tidak terdapat kontraindikasi dari fibrinolitik. Terapi Fibrinolitik

harus dilakukan <10 menit sejak pasien terdiagnosis STEMI. Obat fibrinolisis yang

dapat dipakai adalah jenis non spesifik fibrin yaitu Streptokinase, dan spesifik fibrin

yaitu Alteplase, Reteplase, dan Tenecteplase (Ibanez, 2017). Pada pasien tersebut

dilakukan Fibrinolisis menggunakan Fibrion (Streptokinase) dengan catatan tidak

terdapat kontraindikasi fibrinolitik dan sebelumnya pasien belum pernah

mengkonsumsi obat streptokinase. Streptokinase mungkin diberikan karena

harganya relatif murah dan resiko perdarahan intrakranial yang rendah, namun

sering terjadi reaksi alergi (Alwi, 2014).

Terapi antiplatelet/antitrombotik dan anti koagulan juga diberikan pada

pasien STEMI yang dilakukan fibrinolisis. Pemberian DAPT (Dual Anti Platelet

Therapies) yaitu Aspirin dan Clopidrogrel dapat menurunkan resiko komplikasi

kardiovaskular lanjutan dan menurunkan angka rata rata kematian pada psien yang

diberikan terapi fibrinolisis. Aspirin dengan dosis awal 150-300 mg per oral (75-250

mg IV jika tidak bisa peroral) dan dosis rumatan 75-100 mg/hari seterusnya,

diberikan bersama Clopidogrel dengan dosis loading 300 mg peroral, dilanjutkan


34

dosis rumatan 75 mg/hari. Terapi koagulan yang diberikan terutama adalah UFH

(Unfractioned Heparin), Enoxaparin (dosis 30 mg IV dilanjutkan 1mg/kgBB

subkutan setiap 12 jam diberikan sampai 8 hari atau sampai pasien pulang, dengan

catatan 2 suntikan pertama tidak melebihi 10mmg/injeksi), dan Fondaparinux.

Fondaparinux hanya diberikan pada pasien yang diberikan terapi fibrinolisis dengan

streptokinase karena lebih signifikan daripada UFH dalam mencegah kematian dan

reinfarksi. Dosis Fondaparinux adalah 2.5 mg bolus IV dilanjutkan dengan 2.5 mg

subkutan sekali sehari diberikan sampai 8 hari atau sampai pasien pulang (Ibanez,

2017). Pada pasien dilakukan terapi fibrinolisis menggunakan fibrion dan juga

diberikan Aspilet dan Clopidogrel, pasien juga diberikan Lovenox (Enoxaparin)

saat sudah stabil dan observasi di ICU.


BAB V

KESIMPULAN

Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST (ST Elevation Myocardial

Infarction = STEMI) merupakan bagian dari spektrum Sindrom Koroner Akut

(SKA) yang terdiri dari Angina Pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA

dengan elevasi ST (Alwi, 2014).

STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia

miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang

persisten dan diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard (Alwi, 2014).

Diagnosis IMA dengan elevasi ST menurut ESC/ACCF/AHA ditegakkan

berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi

ST baru pada titik J ≥ 2 mm pada pria atau ≥ 1,5 mm pada wanita, minimal pada

sadapan V2-V3 dan atau ≥ 1 mm pada sadapan dada yang lain atau sadapan

ekstremitas. LBB baru atau diduga baru dipertimbangkan sebagai STEMI

equivalent. Adanya depresi ST pada banyak sadapan prekordial (V1-V4) mungkin

menunjukkan kerusakan posterior transmural; depresi ST pada sadapan aVR,

ditemukan pada pasien dengan oklusi pada left main atau arteri desendens anterior

kiri proksimal. Perubahan gelombang T hiperakut jarang dijumpai pada fase paling

awal STEMI, sebelum berkembang menjadi elevasi ST (Alwi, 2014).

Pemeriksaan enzim jantung, terutama Troponin T yang meningkat,

memperkuat diagnosis, namun keputusan memberi terapi revaskularisasi tak perlu

menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana STEMI, prinsip

35
36

utama penatalaksanaan adalah lebih cepat dilakukan revaskularisasi lebih banyak

otot jantung yang diselamatkan (time is muscle) (Alwi, 2014).

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan

nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,

pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan

tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam

tatalaksana STEMI yaitu dari ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2017.

Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat

masing-masing center dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang

kardiologi intervensi) (Alwi, 2014).


37

DAFTAR PUSTAKA

ACCF/AHA. (2013). 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-


Elevation Myocardial Infarction. the American College of Cardiology
Foundation and the American Heart Association, Inc.

Alwi, I. (2014). Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam I. A. Siti Setiati,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV (hal. 1457-1472). Jakarta:
Interna Publishing.

Elliot M. Antman, J. L. (2015). ST-Segment Elevation Myocardial Infarction.


Dalam F. H. Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 19th
Edition (hal. 1599-1608). McGraw-Hill Education.

Ibanez, e. a. (2017). ESC Guidelines for the management of acute myocardial


infarction in patients presenting with ST-segment elevationThe Task Force
for the management of acute myocardial infarction in patients presenting
with ST-segment elevation. European Heart Journal, 119-177.

KEMENKES. (2014). Info DATIN Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. (2015). Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Centra Communications.

Pratiwi, I. (2012). Komplikasi pada pasien infark miokard akut ST-Elevasi


(STEMI) yang mendapat maupun tidak mendapat terapi reperfusi.

Robbins, Kumar, & Cotran. (2007). Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC.

Santoso M, S. T. (2005). Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran.

Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, & Simadibrata. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: usat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai