hampir tanpa ujung. Air yang disinari matahari memantulkan cahaya yang menyilaukan bak berlian. Berdiri tegak pula pohon kesirat dengan bentuk yang begitu unik, bahkan pohon itu merupakan satu – satunya pohon yang ada disitu. Sungguh panorama yang menakjubkan.
Siera melangkahkan kaki menuruni jalan
setapak menuju kearah pohon kesirat. Siera lebih memilih duduk ditepi tebing serambi menikmati panorama dari Sang Pencipta. Ditengah – tengah lautan terlihat beberapa perahu nelayan yang sedang memasang jala, yang lainnya lagi sedang memancing. Tidak terasa senja mulai menampakkan diri. Kesunyian semakin menyelimuti hati, segores luka pun kembali hadir bersama setitik harapan yang tidak sesuai kenyataan.
Dalam lamunannya, tiba – tiba ada seorang
bapak paruh baya yang sepertinya baru selesai memancing. Bapak itu pun menghampiri Siera dan duduk diatas batu tidak jauh dari tempat Siera duduk. “Namanya siapa Mbak?”, tanya Bapak itu lagi. “Siera Pak”, jawab Siera. “Mbak, sedang memikirkan apa? Dari tadi saya lihat mbak hanya terdiam menatap lautan”, tanya sang bapak. “Saya sedang memikirkan tentang kehidupan dan kegagalan di masa lalu”, jawab Siera lirih. “Kehidupan dan kegagalan adalah sesuatu yang memang rumit untuk dipecahkan masalahnya Mbak, ”, ucap sang bapak sambil tersenyum menatapnya. “Tapi selalu ada jalan jika kamu mau bangkit dari kegagalan” lanjut sang bapak. “Saya ingin sampai ke ujung garis lautan itu, namun sudah setengah jalan saya berenang, saya merasa hampir kehabisan nafas. Jika bapak berada diposisi itu, apa yang akan bapak pilih. Memilih untuk kembali ke titik awal atau membiarkan diri tenggelam dalam lautan luas bersama penyesalan yang tiada akhir”, Tanya sierra. Bapak itu tersenyum lagi. “Jika saya harus memilih, saya akan memilih untuk kembali ke titik awal supaya saya bisa menemukan jalan lain atau saya mencari tujuan baru. Namun, jika kamu memilih untuk menenggelamkan diri dalam lautan niscaya penyesalan besar yang akan selalu menghantuimu”, jawab sang Bapak. “Begitu ya Pak”, ucap Siera. Raut wajahnya terlihat belum merasa puas atas jawaban sang bapak.
Siera menatap langit, seakan – akan tak mau
berpaling dari keindahannya. Senja semakin memudar. Tiupan angin terasa semakin dingin menyentuh kulitnya. “Baiklah Mbak, sepertinya saya harus pulang sekarang. Apa Mbak sebaiknya menginap saja di Vila saya ?”, tanya sang bapak. Siera berpikir sejenak. “Mmm, baiklah pak kalau begitu”, jawab Siera. Melewati kembali jalan setapak, ditepi jalan Nampak bunga – bunga berwarna kuning seakan menyambut setiap langkah Siera. Vila tersebut berada di atas puncak bukit, jadi mereka harus menaiki bukit terlebih dahulu.
Akhirnya Siera dan Bapak paruh baya sampai
juga. Vila tersebut bergaya khas keraton Jogja. Didepan terlihat kolam renang yang langsung menghadap lautan lepas. “Sepertinya, aku ingin tinggal disini selamanya”, ucap Siera dalam hati. Tidak kalah dari luarnya, didalam Vila tersebut pun bernuansa Seni, terdapat piringan – piringan ukir, kendi – kendi yang unik dan pernak – pernik serta lukisan – lukisan yang bernilai seni tinggi. Diantara benda – benda tersebut terdapat sebuah foto yang mengalihkan pandangan Siera. Sebuah foto pemuda yang memakai baju jaz putih seorang Dokter yang tengah memeriksa pasien dengan stetoskop. Dibawahnya terdapat tulisan Pak Hardoyo Hardiningrat.
“Nama bapak Hardoyo Hardiningrat ya?”, tanya
Siera dengan penasaran. “Iya, panggil saja saya Pak Doyo” jawab pak Doyo. “Apakah bapak dulu adalah seorang Dokter?”, tanya Siera semakin penasaran. “Tidak Mbak Siera. Saya gagal menjadi seorang Dokter. Seperti perumpamaan Mbak Siera tadi, saya sudah berenang sampai setengah perjalanan, namun kemudian saya memutuskan untuk mengubur tujuan itu dilautan yang dalam bersama penyesalan seumur hidup. Jadi Mbak, jangan pernah mengulangi kesalahan yang pernah saya lakukan di masa lalu. Jadilah seperti pohon Kesirat yang beberapa akarnya hampir mati, namun ternyata salah satu akar yang hidup menemukan mata air sehingga Pohon Kesirat disana bisa kembali berdiri tegak.” Ucap Pak Doyo. Siera hanya terdiam menatap Pak Doyo.
Sekelibat cahaya yang terpancar dari jendela
rumah. Terdapat sebuah kursi kayu yang berukir, disitulah Siera yang sedang berdiam diri menatap langit yang mulai pucat. Mengingat kegagalan beberapa tahun lalu yang selalu menghantui pikirannya selama ini. “Aku sudah lama dipenjarakan oleh rasa penyesalan, takut untuk untuk menemukan tujuan hidup yang baru. Sang pencipta, berikanlah arah dalam hidupku. Lahirkan aku sebagai manusia baru. Aku ingin menjadi salah satu akar Pohon Kesirat yang bisa menemukan mata air, sehingga sebuah pohon yang hampir mati dapat menemukan cara untuk berdiri tegak kembali”. BIODATA PENULIS