ANAFILAKSIS
Pembimbing :
dr. Taufik Eko Nugroho, Sp. An
Disusun Oleh :
RAHMAT SAFRIANSYAH
03012219
Disusun oleh:
Rahmat Safriansyah
03012219
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya, penyusun akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan
referat dengan judul Anafilaksis.
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk memenuhi tugas dan syarat
dalam menempuh kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Anestesi RSUD
K.R.M.T Wongsonogero.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan presentasi kasus ini baik dari segi
isi dan bahasanya sangat jauh dari sempurna. Tanpa bantuan dan bimbingan dari
pihak lain, sulit rasanya bagi penyusun untuk menyelesaikan presentasi kasus ini,
oleh karena itu penyusun menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Taufik
eko Nugroho, Sp.An atas bimbingannya dalam menyelesaikan referat ini.
Akhirnya penyusun berharap referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penyusun juga berharap mendapatkan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan penyusunan referat ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Anafilaksis menurut World Allergy Organization (WAO) didefinisikan
sebagai "suatu reaksi hipersensitivitas menyeluruh atau sistemik serius yang
mengancam jiwa" dan "suatu reaksi alergi serius yang memiliki onset sangat cepat
dan dapat menyebabkan kematian" (1). Menurut American Academy of Allergy,
Asthma and Immunology (AAAAI) / American College of Allergy, Asthma and
Immunology (ACAAI), anafilaksis adalah suatu reaksi sistem akut yang
mengancam jiwa dengan mekanisme, presentasi klinis dan tingkat keparahan yang
bervariasi yang terjadi akibat pelepasan mediator secara mendadak oleh sel mast
dan basofil (4). Sedangkan menurut European Academy of Allergy and Clinical
Immunology (EAACI), anafilaksis merupakan suatu reaksi hipersensitivitas parah
secara menyeluruh atau sistemik yang mengancam jiwa (5). Disimpulkan dalam
pedoman International Consensus on (ICON) Anaphylaxis, definisi anafilaksis
yang dikembangkan secara independen untuk pelayan medis profesional meliputi
beberapa konsep, yaitu serius, menyeluruh atau sistemik, reaksi alergi atau
hipersensitivitas yang dapat mengancam jiwa atau fatal. Lebih penting lagi, tidak
ada definisi yang mengikutsertakan kata "syok". Istilah yang benar "anafilaksis"
lebih disukai dibanding "syok anafilaktik" karena syok tidak harus terjadi pada
pasien dengan anafilaksis. Istilah "anafilaksis" seharusnya juga digunakan sebagai
pilihan dari istilah seperti "reaksi alergi", "reaksi alergi akut", "reaksi alergi
sistemik", "reaksi akut termediasi Ig-E", "reaksi anafilaktoid", atau "pseudo-
anafilaksis" (2).
II. Epidemiologi
Hasil dari 10 penelitian Eropa menunjukkan insidensi sebesar 1,5-7,9 per
100.000 orang dalam setahun dengan penelitian dari Inggris menunjukkan
peningkatan angka masuk rumah sakit dengan anafilaksis selama dua dekade.
Berdasarkan tiga penelitian Eropa berbasis populasi, diestimasikan prevalensi
2
sebesar 0,3%. Secara umum, case fatality rate untuk anafilaksis adalah rendah,
kurang dari 0,001% (3).
Resiko seumur hidup mengalami gejala yang mengarah ke anafilaksis pada
populasi umum, sebagaimana dilaporkan oleh anggota masyarakat, setidaknya
sebesar 1,6%. Perkiraan ini berdasarkan survei dari 1000 masyarakat dewasa
Amerika yang tidak dipilih dengan sakit tiba-tiba yang melibatkan dua atau lebih
sistem organ tubuh, termasuk sistem pernafasan dan/atau kardiovaskular, yang
merasa hidup mereka terancam dan mendapat pelayanan rumah sakit (6).
Banyaknya rawat inap untuk anafilaksis terus meningkat dari tahun ke tahun (7).
Fatality rates anafilaksis tetap stabil atau sedikit berkurang, kefatalan berkorelasi
dengan usia, komorbiditas dan pencetus (7). Pemasukan rawat inap terbanyak untuk
anafilaksis yang diinduksi makanan terjadi pada anak sangat muda (usia 0-4 tahun);
namun, terdapat percepatan laju peningkatan pada grup usia 5-14 tahun dan 15-29
tahun (8).
III. Etiologi
Etiologi tersering dari reaksi anafilaksis yaitu alergi makanan, obat-obatan,
sengatan lebah (Hymenoptera) dan lateks. Anafilaksis yang terjadi pada pasien
rawat inap terutama karena reaksi alergi terhadap pengobatan dan lateks, sedangkan
anafilaksis yang terjadi di luar rumah sakit paling banyak disebabkan oleh alergi
makanan.
3
Bahan yang sering dipergunakan untuk Gamaglobulin
prosedur diagnosis: Kriopresipitat
Zat radioopak Serum
Bromsulfalein Imunoglobulin i.v.
Benzilpenisiloil-polilisin Makanan
Bisa (racun): Susu sapi
Ular Kerang
Semut api Kacang-kacangan
Lebah Ikan
Kumbang Telur
Udang
Lateks
Anafilaktoid (IgE Independent)
Aktivasi komplemen multimediator – Faktor fisik
aktivasi sistem kontak Olahraga
Media radiokontras Suhu (dingin atau panas)
Angiotensin-converting enzyme Immune aggregates
inhibitor yang diberikan selam Imunoglobulin intravena
dialisis ginjal Dekstran
Etilen oksida Sitotoksik
Protamin Reaksi transfusi terhadap elemen
Degranulasi sel mast dan basofil seluler (IgG, IgM)
nonspesifik Psikogenik
Opioid Zat artifisial
Pelemas otot Anafilaksis idiopatik
Idiopatik
4
Penyakit yang sudah ada berperan sebagai faktor resiko anafilaksis. Asma
yang sudah ada pada pasien adalah faktor resiko untuk anafilaksis dan anafilaksis
fatal, terutama jika berat dan tidak terkontrol. Gangguan sel mast, dan kemungkinan
telah adanya penyakit kardiovaskular, juga berhubungan dengan peningkatan
resiko terjadinya anafilaksis berat atau fatal (5, 9).
Pasien dengan alergi kacang tanah atau kacang-kacangan memiliki resiko
lebih tinggi mengalami reaksi berat. Pada pasien dengan alergi racun serangga,
peningkatan keparahan telah dilaporkan pada usia lebih tua, penyakit
kardiovaskular telah ada, gangguan sel mast, termasuk mastocytosis dan sindroma
aktivasi sel mast, peningkatan konsentrasi serum tryptase, sedang menjalani
pengobatan dengan beta-adrenergic blocker dan/atau angiotensin converting
enzyme (ACE) inhibitor, dan sebelumnya telah mengalami reaksi berat (5).
V. Patogenesis
Seperti dibahas diatas anafliaksis alergi selain berdasarkan mekanisme
imunologik juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem saraf otonom.
5
Sistem parasimpatik (kholinergik) dan sistem simpatik (adrenergik) mempunyai
efek yang berlawanan terhadap organ sasarannya, sehingga keadaan inipun akan
mempengaruhi terhadap keseimbangan antara sel mediator dan sel sasarananya
(otot polos).
Reaksi alergi dimulai ketika alergen melewati barier epitel dan atau endotel dan
kemudian berinteraksi dengan 2 molekul antibodi IgE sitotropik yang berikatan
dengan sel (cell bound IgE antibodies) sehingga menimbulkan rangkaian peristiwa
biokimia. Kekuatan barier alami seperti kulit atau saluran cerna harus dapat
ditembus, dan alergen ini harus mencapai sel yang tersensitisasi di jaringan (sel
mast) atau darah (basofil) (12).
Peristiwa tersebut termasuk aktivasi proesterase (E) menjadi esterse aktif (Ē)
yang menyebabkan agregarsi mikrotubuli dalam sitoplasma mastosit. Mikrotubuli
sangat diperlukan untuk pergerakan butir-butir yang mengandung beberapa
mediator tertentu ke arah tepi sel sehingga dapat dilepaskan ke luar sel, yaitu
histamin, SRS-A dan ECF-A. Sebaliknya pembentukan mikrotubuli akan dihambat
oleh pembentukan cAMP dari ATP oleh adenilsiklase karena mikrotubuli akan
bercerai-berai. Lagi pula cAMP dalam sito plasma dalam keadaan seimbang dengan
konsentrasi cGMP. Dengan demikian degranulasi tersebut tergantung dari
konsentrasi cAMP dan cGMP.
6
Maka apapun yang menyebabkan kenaikan kadar cGMP atau penurunan cAMP
akan menimbulkan degranulasi. Perangsangan saraf parasimpatis (misalnya N.
Vagus) akan mendorong produksi asetilkolin yang akan mengubah enzim
guanilatsiklase menjadi aktif. Enzim aktif ini akan mengubah GTP menjadi cGMP.
Sedangkan efek perangsangan parasimpatis ini akan dihambat oleh antagonisnya
yaitu atropin.
Dengan mekanisme yang sama perangsangan saraf simpatis akan
mempengaruhi konsentrasi cAMP. Perangsangan saraf simpatis sendiri akan
mengakibatkan 2 jenis efek karena adanya 2 jenis reseptor yang berbeda.
Perangsangan melalui reseptor α-adrenergik akan menghasilkan penurunan cAMP
dalam sel mastosit, sedangkan perangsangan melalui β-adrenergik akan
meningkatkan konsentrasi cAMP yaitu melalui pengaktifan enzim adenilatsiklase
sehingga ATP akan diubah menjadi cAMP.
Dengan demikian jelaslah bahwa sistem saraf otonom dapat mempengaruhi
degranulasi mastosit melalui pengaturan cGMP dan cAMP. Namun sebaliknya juga
dapat diatur oleh adanya aktifitas enzim fosfodiesterase yang akan menghancurkan
keduanya cAMP dan cGMP.
Reseptor untuk adrenergik α dan β dapat dirangsang oleh molekul yang sama
dengan efek berbeda. Norepinefrin yang dihasilkan oleh ujung saraf noradrenergik
misalnya akan mempengaruhi reseptor dengan efek yang berbeda. Perangsangan
reseptor α akan lebih besar efeknya dari pada perangsangan reseptor β. Sebaliknya
epinefrin yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal akan memberi efek lebih besar
apabila merangsang reseptor β. Belakangan ditemukan adanya 2 jenis reseptor
adrenergik β1 dan β2 yang penyebarannya pada sel-sel jaringan tidak merata.
Misalnya reseptor β2 lebih banyak terdapat pada jaringan paru-paru. Keadaan ini
dimanfaatkan untuk pengobatan asma bronkhiale dengan salbutamol yang
merupakan agonis untuk reseptor β2.
Oleh karena keseimbangan siklik nukleotida juga mempengaruhi keadaan sel
sasaran, maka dasar pengobatan alergi juga memperhatikan keadaan fisiologik sel
sasarannya. Apabila sel sasarannya otot polos terjadi peningkatan kadar cAMP
maka otot polos tersebut ada dalam keadaan relaksasi. Keadaan tersebut juga terjadi
pada sel sasaran lainnya, misalnya sel kelenjar sehingga akan terjadi pengecilan
7
pembuluh darah dan pengurangan sekresi kelenjar. Keadaan tersebut dapat
mengrangi gejala alergi.
Cholinergic
late
receptor any
Gu clase
cy Phospho-
diesterase
GTP cGMP 5’GMP
Pre-SRS-A SRS-A
E Ē Histamine
ECF-A
Phospho-
diesterase
ATP cAMP 5’AMP
Ca++ Ade
n ylat
-adrenergic e cyc cAMP
receptor lase
H2 - TEOPHYLLINE
PROPANOLOL R
Epinephrine -adrenergic
PGE1/PGE2 receptor
PGE
receptor
Sympathetic Nerve Histamine Norepinephrine
8
2. Antihistamin.
Antihistamin merupakan kelompok obat-obatn yang berkerja menghambat
histamin yang dihasilkan oleh mastosit.
3. Teofilin
Teofilin termasuk kelompok xantin yang mempunyai khasiat mengatasi
renjatan anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui mastosit dan sel sasarannya
seperti halnya adrenalin.
Teofilin menghambat kerja enzim fosfodiesterase yang akan merusak
cAMP, sehingga kadar cAMP akan meningkat akibatnya degranulasi mestosit
dihambat. Selain itu teofilin akan bekerja pada pusat pernafasan dan otot-otot
bronkhus, lebih-lebih otot-otot brunkhus dalam keadaan kontraksi. Kesemuanya
akan mengrangi gejala-gejala renjatan anafilaktik.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak
dipakai pada penyakit radang dan penyakit imunologik. Walaupun pada beberapa
binatang, pemberiannya menimbulkan kerusakan pada jaringan limfoid, namun
pada manusia hal tersebut tidak terjadi. Koretokosteroid mempunyai efek
menghambat radang, disamping menghambat respons imun dan menstabilkan
dinding mastosit. Dengan menghambat respons imun mungkin dapat menghambat
sintesis IgE.
9
IMMUNOLOGIC IMMUNOLOGIC NON
IgE/FcεRI OTHER IMMUNOLOGIC
Batuk
Itching Dispnea Mual Pusing
Flaushing Suara serak Muntah Hipotensi Nyeri kepala
Hives Stridor Diare Syok
Angioedema Mengi Nyeri perut Incontinensia
10
fitur anafilaksis yang memiliki potensi mengancam jiwa (10, 14). Gejala respirasi
lebih sering terjadi pada anak dan gejala kardiovaskular lebih sering pada dewasa
(10, 11). Gambaran patologis dari anafilaksis meliputi urtikaria dan angioedema,
serta yang bersifat fatal meliputi hiperinflasi paru akut, edema dan perdarahan
intraalveolar, kongesti visera dan edema laring. Hipotensi akut diakibatkan oleh
dilatasi vasomotor dan/atau disritmia jantung. Selengkapnya dijelaskan pada Tabel
3.
11
Paru-paru: nafas pendek, dispnea, rasa berat di dada, batuk, mengi /
bronkospasme (penurunan PEF)
Hidung: Pruritus, hidung tersumbat, hidung berair, bersin
Kardiovaskular
Hipotensi
Near syncope, pingsan, penurunan kesadaran
Nyeri dada, disritmia
Gastrointestinal
Mual, nyeri atau kram perut, muntah, diare
Lain-lain
Kontraksi uterus pada wanita
Tabel 3. Tanda dan Gejala Klinis Anafilaksis
12
Tabel 4. Kriteria Diagnosis Klinis Anafilaksis (5)
13
ditanyakan karena anafilaksis yang dicetuskan oleh makanan juga anafilaksis
idiopatik lebih sering terjadi pada individu dengan riwayat atopi dibandingkan
dengan yang tidak. Timbulnya kembali gejala setelah remisi juga perlu
diperhatikan karena hal ini menunjukkan reaksi fase lambat, sehingga diperlukan
masa observasi yang lebih lama (20).
Untuk mendiagnosa anafilaksis karena obat-obatan diperlukan anamnesis
yang akurat, yaitu kapan obat tersebut diberikan, interval sampai terjadi reaksi,
obat-obatan yang sebelumnya pernah didapatkan oleh pasien (untuk
memperkirakan sensitisasi sebelumnya), dan respon pasien terhadap terapi. Data
rekam medis dari unit gawat darurat atau catatan dokter sebelumnya dapat
membantu untuk mendiagnosis dengan tepat (12).
Semua individu yang diketahui memiliki riwayat anafilaksis perlu dicatat
dengan lengkap dan teliti, meliputi manifestasi seperti urtikaria, angioedema,
flushing, pruritus, obstruksi saluran nafas atas, gejala gastrointestinal, sinkop,
hipotensi, obstruksi saluran nafas bawah, dan pusing.
Anafilaksis adalah diagnosis klinis yang ditegakkan berdasarkan Tabel 4.
Secara retrospektif, diagnosis dapat ditunjang dengan adanya peningkatan serum
tryptase dalam beberapa jam setelah reaksi jika dibandingkan dengan tingkat
baseline pasien; tingkatnya sering kali normal terutama pada reaksi yang dicetuskan
oleh makanan pada anak. Bukti dari sensitisasi IgE pada skin prick atau
pemeriksaan in vitro juga dapat membantu diagnosis; tes provokasi, secara ideal
dengan kemungkinan kofaktor apapun, dapat dibutuhkan jika masih ada keraguan
diagnostik (5, 10).
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untun mendukung
diagnosis klinis adalah sebagai berikut :
Pemeriksaan darah
Uji Coomb untuk penderita anemia
Antibodi IgE total serum
Antibodi IgE spesifik dalam RAST (Radioallergosorbent test)
Antibodi IgM dan IgG spesifik
Antibodi antinuklear (ANA) pada SLE yang diduga diinduksi oleh obat-
obatan
14
Uji kulit
o Uji tusuk (Prick test/Scratch test)
o Uji tempel (Patch test)
Uji provokasi
Selain itu pemeriksaan berikut dapat dilakukan setelah keadaan gawat darurat
teratasi :
Pemeriksaan darah lengkap
o Ht hemokonsentrasi
o SGOT Kerusakan miokardium
o CPK (fosfokinase kreatin)
o LDH (dehidrogenase laktat)
Foto toraks
o Emfisema (hiperinflasi), atelektasis atau edema paru
EKG : Perubahan EKG bersifat sementara (kecuali pada infark miokardium)
o Depresi gelombang S-T
o Bundle branch block
o Fibrilasi atrium
o Berbagai aritmia ventrikular
15
VII. Diagnosis Banding
16
Diagnosis banding perlu dipikirkan saat melakukan anamnesis, meskipun
penderita memiliki riwayat anafilaksis sebelumnya (20). Diagnosis banding
anafilaksis meliputi berbagai penyakit, yang mempengaruhi sistem organ yang
sering terlibat dalam anafilaksis (Tabel 5) (5).
Salah satu diagnosa banding yang penting adalah reaksi
vasodepres/vasovagal. Pada reaksi ini ditemukan hipotensi, pucat, lemah, mual,
muntah, dan berkeringat. Yang dapat membedakannya dengan reaksi anafilaksis
yaitu tidak adanya manifestasi kulit (urtikaria, angioedema, kemerahan, dan
pruritus) dan adanya bradikardia pada reaksi vasodepres, sementara pada
anafilaksis lebih sering terjadi takikardia.
Kejadian kemerahan pada kulit (flushing) juga dapat menyerupai
anafilaksis. Obat-obatan seperti niasin, nikotin, katekolamin, penghambat ACE,
alkohol, tumor tiroid atau saluran cerna, feokromasitoma, hiperglikemi dapat
menyebabkan terjadinya flushing.
VIII. Tatalaksana
Pasien dengan anafilaksis membutuhkan pengkajian segera dengan
pendekatan Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure. Masalah
harus diatasi saat ditemukan dan panggilan untuk layanan medis darurat harus
dilakukan. Kematian disebabkan oleh gangguan saluran nafas atas, saluran nafas
bawah, dan/atau kardiovaskular, sehingga penatalaksanaan darurat harus
difokuskan pada ketiga hal ini. Sebagai terapi lini pertama direkomendasikan
adrenalin intramuskular (IM) sebelum melakukan intervensi lain karena adrenalin
masih kurang dimanfaatkan dalam anafilaksis walau memiliki potensi
menyelamatkan jiwa. Resusitasi jantung paru (RJP) harus segera dilaksanakan jika
terjadi henti jantung dan/atau nafas. Dalam penatalaksanaan anafilaksis perlu
dikerjakan hal berikut (Tabel 6) (5).
17
Tabel 6. Checklist Tatalaksana Anafilaksis (5)
18
B. Intervensi Lini Kedua
a. Menghilangkan pencetus dan memanggil bantuan
Pencetus anafilaksis yang memungkinkan harus segera dihilangkan, jika
mungkin. Bantuan harus dipanggil melalui layanan medis darurat saat di komunitas
atau tim resusitasi saat di rumah sakit (5).
b. Postur
Pasien yang mengalami anafilaksis harus dijaga tetap diam dan posisi tetap
sesuai dengan posisi saat ditemukan: (i) dengan distres pernafasan adalah temuan
tersering, posisi duduk; (ii) dengan ketidakstabilan hemodinamik, posisi berbaring
telentang dengan tungkai dielevasi untuk menjaga volume sirkulasi; (iii) jika hamil,
posisikan semirecumbent pada sisi kiri dengan tungkai dielevasi; dan (iv) tidak
sadar, posisikan dalam recovery position. Perubahan posisi mendadak menjadi
postur lebih tegak harus dihindari (5).
c. Oksigen
Oksigen aliran tinggi harus diberikan melalui sungkup wajah pada semua
pasien anafilaksis (5).
d. Cairan
Cairan intravena (IV) harus diberikan pada pasien dengan ketidakstabilan
kardiovaskular, karena adrenalin mungkin tidak efektif tanpa pemulihan volume
sirkulasi. Kristaloid menjadi pilihan cairan dan diberikan bolus sebanyak 20 ml/kg
(5).
e. Short-acting beta-2 agonists (SABA) inhalasi
SABA inhalasi dapat ditambahkan unutk mengurangi gejala
bronkokonstriksi pada pasien anafilaksis(19). Walaupun adrenalin IM sebagai
terapi lini pertama pada keadaan darurat, pada keadaan terkontrol di rumah sakit
dengan staf medis terlatih dalam menangani anfilaksis), wheezing ringan dapat
diterapi awal dengan SABA inhalasi saja; adrenalin IM harus diberikan jika tidak
ada respon dalam waktu 5 menit (5).
C. Intervensi Lini Ketiga
a. Antihistamin H-1 dan H-2
Antihistamin sistemik biasa digunakan pada anafilaksis namun hanya
tampak mengurangi gejala kulit pada penelitian dimana hanya peserta minoritas
19
yang mengalami anafilaksis. Kombinasi antihistamin H-1 dan H-2 dapat memberi
manfaat tambahan lebih dari antihistamin H-1 saja dalam mengatasi gejala kulit
bagi yang mengalami reaksi alergi akut. Terdapat laporan kasus yang menyebutkan
bahwa antihistamin IV dapat menyebabkan hipotensi, hal ini dapat berkaitan
dengan kecepatan pemberian. Sehingga antihistamin H-1 (dan H-2) oral hanya
direkomendasikan untuk mengatasi gejala kulit anafilaksis (5).
b. Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid oral atau IV umum digunakan pada anafilaksis dan
diduga dapat mencegah gejala anafilaksis yang berlanjut, terutama pada pasien
yang telah menderita asma, dan reaksi bifasik; namun, hal ini belum terbukti dan
glukokortikosteroid memiliki onset of action yang lambat. Glukokortikosteroid oral
atau parenteral dapat diberikan ketika terapi lini pertama dan kedua telah diberikan.
Budesonide inhalasi dosis tinggi bisa efektif untuk edema saluran nafas; untuk itu
direkomendasikan untuk pasien dengan stridor (5).
D. Terapi potensial lainnya
Pemberian glukoagon secara parenteral dapat berguna dalam menangani
pasien anafilaksis yang tidak responsif terhadap adrenalin, terutama yang
menggunakan β –blockers (5).
E. Pengawasan dan Pemulangan
Pasien dengan gangguan pernafasan harus diawasi secara ketat untuk
setidaknya 6-8 jam, dan pasien dengan hipotensi memerlukan pengawasan ketat
selama setidaknya 12-24 jam. Sebelum pemulangan, resiko terjadinya reaksi di
masa depan perlu dikaji dan adrenalin auto-injector harus diresepkan pada pasien
yang memiliki resiko terulang. Pasien harus diberikan petunjuk pemulangan,
meliputi usaha menghindari alergen (jika memungkinkan), instruksi untuk kapan
dan bagaimana cara menggunakan adrenalin auto-injector; rujukan ke spesialis
alergi untuk menginvestigasi pencetus yang memungkinkan, mengkaji dan, jika
memungkinkan, mengintervensi untuk meminimalisir resiko terulangnya reaksi,
dan memastikan pasien dan orang yang merawat secara optimal dilengkapi dan
terlatih untuk menangani reaksi; dan, jika makanan ikut berperan, rujukan ke
spesialis gizi (5).
20
F. Tatalaksana Jangka Panjang
Tatalaksana jangka panjang untuk pasien yang telah mengalami anafilaksis
dimulai dengan konfirmasi alergen pencetus menggunakan pemeriksaan in vivo
dan/atau in vitro yang terpercaya diinterpretasikan dalam riwayat alergi yang detil.
Strategi preventif untuk mencegah pengulangan termasuk menghindari alergen dan
imunoterapi alergen harus diimplementasikan jika memungkinkan. Yang terakhir,
edukasi harus mencakup terapi mandiri anafilaksis berulang di komunitas, dan
menangani penyakit yang sedang diderita. Ahli gizi spesialis alergi dapat
membantu mengidentifikasi makanan pencetus dan memberikan saran
penghindaran. Pasien harus dijelaskan mengenai alergen tersembunyi, reaksi silang
antar alergen lain, dan situasi yang membahayakan (5).
21
BAB III
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Simons FER, Ardusso LRF, Bilò MB, El-Gamal YM, Ledford DK, Ring J,
et al. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and
Management of Anaphylaxis. World Allergy Organization Journal.
2011;4(2):1-25.
2. Simons FE, Ardusso LR, Bilo MB, Cardona V, Ebisawa M, El-Gamal YM,
et al. International consensus on (ICON) anaphylaxis. World Allergy Organ
J. 2014;7(1):9.
3. Panesar SS, Javad S, de Silva D, Nwaru BI, Hickstein L, Muraro A, et al.
The epidemiology of anaphylaxis in Europe: a systematic review. Allergy.
2013;68(11):1353-61.
4. Lieberman P, Nicklas RA, Oppenheimer J, Kemp SF, Lang DM, Bernstein
DI, et al. The diagnosis and management of anaphylaxis practice parameter:
2010 Update. Journal of Allergy and Clinical Immunology.
2010;126(3):477-80.e42.
5. Muraro A, Roberts G, Worm M, Bilo MB, Brockow K, Fernandez Rivas M,
et al. Anaphylaxis: guidelines from the European Academy of Allergy and
Clinical Immunology. Allergy. 2014;69(8):1026-45.
6. Wood RA, Camargo CA, Jr., Lieberman P, Sampson HA, Schwartz LB, Zitt
M, et al. Anaphylaxis in America: the prevalence and characteristics of
anaphylaxis in the United States. J Allergy Clin Immunol. 2014;133(2):461-
7.
7. Simons FE, Ebisawa M, Sanchez-Borges M, Thong BY, Worm M, Tanno
LK, et al. 2015 update of the evidence base: World Allergy Organization
anaphylaxis guidelines. World Allergy Organ J. 2015;8(1):32.
8. Mullins RJ, Dear KB, Tang ML. Time trends in Australian hospital
anaphylaxis admissions in 1998-1999 to 2011-2012. J Allergy Clin
Immunol. 2015;136(2):367-75.
9. Brown SG. Clinical features and severity grading of anaphylaxis. J Allergy
Clin Immunol. 2004;114(2):371-6.
23
10. Simons FE, Ardusso LR, Bilo MB, Dimov V, Ebisawa M, El-Gamal YM,
et al. 2012 Update: World Allergy Organization Guidelines for the
assessment and management of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. 2012;12(4):389-99.
11. Worm M, Edenharter G, Rueff F, Scherer K, Pfohler C, Mahler V, et al.
Symptom profile and risk factors of anaphylaxis in Central Europe. Allergy.
2012;67(5):691-8.
12. Sampson HA, Munoz-Furlong A, Bock SA, Schmitt C, Bass R, Chowdhury
BA, et al. Symposium on the definition and management of anaphylaxis:
summary report. J Allergy Clin Immunol. 2005;115(3):584-91.
13. Bohlke K, Davis RL, DeStefano F, Marcy SM, Braun MM, Thompson RS,
et al. Epidemiology of anaphylaxis among children and adolescents enrolled
in a health maintenance organization. J Allergy Clin Immunol.
2004;113(3):536-42.
14. Simons FE. 9. Anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol. 2008;121(2
Suppl):S402-7; quiz S20.
15. Sampson HA, Munoz-Furlong A, Campbell RL, Adkinson NF, Jr., Bock
SA, Branum A, et al. Second symposium on the definition and management
of anaphylaxis: summary report--Second National Institute of Allergy and
Infectious Disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network symposium. J
Allergy Clin Immunol. 2006;117(2):391-7.
16. Harduar-Morano L, Simon MR, Watkins S, Blackmore C. Algorithm for the
diagnosis of anaphylaxis and its validation using population-based data on
emergency department visits for anaphylaxis in Florida. J Allergy Clin
Immunol. 2010;126(1):98-104 e4.
17. Campbell RL, Hagan JB, Manivannan V, Decker WW, Kanthala AR,
Bellolio MF, et al. Evaluation of national institute of allergy and infectious
diseases/food allergy and anaphylaxis network criteria for the diagnosis of
anaphylaxis in emergency department patients. J Allergy Clin Immunol.
2012;129(3):748-52.
18. de Silva IL, Mehr SS, Tey D, Tang ML. Paediatric anaphylaxis: a 5 year
retrospective review. Allergy. 2008;63(8):1071-6.
24
19. Pumphrey RS. Lessons for management of anaphylaxis from a study of fatal
reactions. Clin Exp Allergy. 2000;30(8):1144-50.
20. Joint Task Force on Practice P, American Academy of Allergy A,
Immunology, American College of Allergy A, Immunology, Joint Council
of Allergy A, et al. The diagnosis and management of anaphylaxis: an
updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol. 2005;115(3 Suppl
2):S483-523.
21. Simons FE. Anaphylaxis, killer allergy: long-term management in the
community. J Allergy Clin Immunol. 2006;117(2):367-77.
25