Oleh :
Agung Dalyanto
DAFTAR ISI................................................................................................................................... 1
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................................. 2
A. Latar Belakang ................................................................................................................................ 2
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................................................... 3
C. Rumusan Masalah .......................................................................................................................... 3
D. Tujuan Penulisan ............................................................................................................................ 4
E. Manfaat ............................................................................................................................................ 4
F. Metode pengumpulan Data ............................................................................................................ 4
BAB II. PEMBAHASAN .............................................................................................................. 5
A. Pengertian Pengangguran .......................................................................................................... 5
B. Masalah Pengangguran di Indonesia ........................................................................................ 7
C. Solusi dan Penanganan Masalah Pengangguran ................................................................... 11
BAB III. PENUTUP .................................................................................................................... 16
A. Kesimpulan .................................................................................................................................... 16
B. Saran. ............................................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 17
Lampiran : ..................................................................................................................................... 19
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Isu gaji pengangguran menimbulkan banyak kontroversi. Calon Presiden dan Calon
Wakil Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo-Mar’uf Amin berencana membuat kartu
prakerja untuk lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang belum mendapatkan
pekerjaan alias menganggur (Sendari, 2019). Dengan kartu ini lulusan SMK berhak
mendapatkan gaji dari pemerintah dan pelatihan kerja untuk meningkatkan skill. Wacana
tersebut tentu menjadi banyak perdebatan, apakah dengan penerbitan kartu tersebut yang
berarti ada honor yang diterima oleh lulusan tersebut dapat mengurangi tingkat
pengangguran atau malah dengan wacana tersebut dapat meningkatkan tingkat
pengangguran yang ada karena mereka sudah ditanggung oleh pemerintah.
Berdasarkan data BPS (2019), angkatan kerja Indonesia pada bulan kedua,
bertambah sebanyak 136,18 juta orang, naik 2,24 juta orang dibanding Februari 2018. Hal
ini berbanding terbalik dengan angka pengangguran yang bertambah 50 ribu orang. Sejalan
dengan TPT yang turun menjadi 5,01 persen pada Februari 2019. Dilihat dari tingkat
pendidikan, TPT untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih tertinggi diantara
tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 8,63 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
adalah indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat penawaran tenaga kerja
yang tidak digunakan atau tidak terserap oleh pasar kerja. TPT pada Februari 2018
sebesar 5,13 persen turun menjadi 5,01 persen pada Februari 2019.
Dilihat dari tingkat pendidikan pada Februari 2019, TPT untuk Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) masih tertinggi di antara tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 8,63
persen. TPT tertinggi berikutnya terdapat pada tingkat Diploma I/II/III (6,89 persen).
Dengan kata lain, ada penawaran tenaga kerja tidak terserap terutama pada tingkat
pendidikan SMK dan Diploma I/II/III. Mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau
menerima pekerjaan apa saja, dapat dilihat dari TPT SD ke bawah paling kecil diantara
semua tingkat pendidikan yaitu sebesar 2,65 persen. Apabila dibandingkan kondisi setahun
yang lalu, penurunan TPT terjadi pada semua tingkat pendidikan (Gambar 1).
2
Gambar 1.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang
Ditamatkan (persen), Februari 2017–Februari 2019
B. Identifikasi Masalah
C. Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis mengambil rumusan
masalah sebagai berikut:
3
2. Apa solusi yang dilakukan pemerintah dalam menangani permasalahan pengangguran
di Indonesia
D. Tujuan Penulisan
E. Manfaat
2. Bagi pihak terkait agar dijadikan sebagai acuan pembuatan kebijakan melihat kondisi
pengangguran di Indonesia.
Metode pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan melakukan browsing
internet, media cetak dan pengetahuan yang dimiliki penulis
4
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Pengangguran
Menurut Sadono. (2011). “pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang
tergolong dalam angkatan kerja yang ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat
memperolehnya”.
Menurut Blustein, David & Kozan, Saliha & Connors-Kellgren, Alice. (2013): “Pengangguran
adalah orang yang tidak bekerja berusia angakatan kerja yang tidak bekerja sama sekali
atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu sebelum pencacahan dan berusaha
memperoleh pekerjaan.”
Definisi pengangguran berdasarkan istilah umum dan latihan tenaga kerja adalah orang
yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang meskipun dapat
dan mampu melakukan kerja.
Secara garis besar, pengangguran dapat dibedakan menjadi dua golongan, menurut
lama waktu kerja dan menurut penyebabnya (Wikipedia, 2019).
5
Pengangguran sering diartikan sebagai angkatan kerja yang belum bekerja atau tidak
bekerja secara optimal. Berdasarkan pengertian diatas, maka pengangguran dapat
dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
7
Pengangguran berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminalitas, gejolak
sosial, politik dan kemiskinan. Pengangguran menjadi penyebab timbulnya
pemborosan yang luar biasa. Setiap orang setiap harinya harus mengkonsumsi beras,
gula, minyak, energi listrik dan jasa lainnya namun dengan permasalahan
pengangguran yang dihadapi maka subsidi harus terus dilakukan pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat yang tidak berpenghasilan
tersebut.
Diperparah lagi oleh sektor manufaktur dan konstruksi yang saat ini tiarap akibat
terkikisnya daya beli masyarakat, sektor konstruksi khususnya ditandai dengan
menurunnya permintaan hunian real estate dan apartemen. Sehingga penyerapan tenaga
kerja dibidang konstruksi pun menjadi rendah.
Kondisi ini apabila dibiarkan berlarut akan mengakibatkan terjadinya krisis sosial,
dimana pengangguran akan berusaha mencari pendapatan melalui kegiatan atau
pekerjaan yang tidak halal misalnya menjadi perampok, pencuri, pencopet penjual
narkoba atau bahkan menjadi penjaja seks komersial (PSK) dan yang lebih
mengkhawatirkan lagi oknum-oknum politik memanfaatkan mereka untuk menjadi
provokator politik yang bisa dibayar untuk melakukan kerusuhan dan tindakan anarkis
8
demi kepentingan politik. Karena itu apapun alasan dan bagaimanapun kondisi
Indonesia saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya.
Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia adalah
karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat pengangguran terselubung yang terlalu
tinggi dan terus melonjak. Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-
orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, tetapi tidak mendapatkan lapangan
pekerjaan.
Dilihat dari daerah tempat tinggalnya, TPT di perkotaan tercatat lebih tinggi
dibanding wilayah perdesaan. Pada Februari 2019, TPT di wilayah perkotaan sebesar
6,30persen, sedangkan TPT di wilayah perdesaan hanya sebesar 3,45 persen.
Dibandingkan setahun yang lalu, baik di perkotaan maupun di perdesaan TPT
mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,04 persen poin dan 0,27 persen poin.
2. Semakin terdidik seseorang maka semakin besar harapan terhadap pekerjaan yang
diinginkan dan aman dari resiko. Golongan ini memilih untuk mencari pekerjaan
yang stabil daripada pekerjaan yang beresiko tinggi. Golongan ini mencari
perusahaan besar daripada membuka usaha sendiri. Sehingga mereka memilih
menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan
mereka.
3. Terbatasnya daya serap tenaga kerja sektor formal, sementara angkatan kerja
terdidik cukup besar.
4. Masalah skill lulusan serta sempitnya lowongan pekerjaan sektor formal. Arus
informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancar menyebabkan banyak
9
angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Dan faktor gengsi pendidikan yang
menyebabkan lulusan akademi atau universitas memilih menganggur.
5. Rendahnya tingkat kemampuan tenaga terdidik untuk terjun dalam dunia usaha
dengan tingkat resiko yang tinggi, yaitu kemampuan untuk membuka lapangan
usaha dan menjadi seorang entrepreneur sukses.
Indonesia memiliki kekuatan tenaga kerja yang besar yang dari tahun ke tahun dan
terus berkembang. Berikut data tenaga kerja tahun 2016 sampai dengan 2019.
Tabel tersebut menunjukkan penurunan yang terjadi secara perlahan dan berkelanjutan.
Pada tahun 2019 pemerintah menargetkan angka pengangguran pada angka 5,6 %.
11
3. Mengadakan bimbingan, penyuluhan dan keterampilan tenaga kerja, menambah
keterampilan, dan meningkatkan pendidikan.
4. Memindahkan kelebihan tenaga kerja dari tempat dan sektor yang kelebihan ke
tempat atau sektor ekonomi yang kekurangan
5. Memberikan bantuan wawasan, pengetahuan dan kemampuan jiwa kewirausahaan
kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) berupa bimbingan teknis dan
manajemen memberikan bantuan modal lunak jangka panjang, perluasan pasar.
Serta pemberian fasilitas khusus agar dapat tumbuh secara mandiri dan andal
bersaing di bidangnya.Mendorong terbentuknya kelompok usaha bersama dan
lingkungan usaha yang menunjang dan mendorong terwujudnya pengusaha kecil
dan menengah yang mampu mengembangkan usaha, menguasai teknologi dan
informasi pasar dan peningkatan pola kemitraan UKM dengan BUMN, BUMD,
BUMS dan pihak lainnya.
6. Melakukan pembenahan, pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan,
khususnya daerah yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas dengan
membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan
kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan
berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia.
7. Menyederhanakan perizinan dan peningkatan keamanan karena terlalu banyak jenis
perizinan yang menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing maupun
Penanaman Modal Dalam Negeri. Hal itu perlu segera dibahas dan disederhanakan
sehingga merangsang pertumbuhan iklim investasi yang kondusif untuk
menciptakan lapangan kerja.
8. Menyempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem
pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan yang
berorientasi kompetensi. Karena sebagian besar para penganggur adalah para
lulusan pendidikan yang tidak siap menghadapi dunia kerja.
12
modern Talcott Parsons (1975) dimana setiap sistem sosial akan mengalami adaptasi
dan penyesuaian diri, dalam hal ini dengan lingkungan yang semakin berubah.
Terkait dengan lapangan pekerjaan, Arif Satria (2019), sebagai Rektor IPB
menyampaikan bahwa kemajuan suatu bangsa salah satunya diukur oleh sejauh mana
lead of achievement. Menurutnya, agar suatu negara itu maju maka lead of achievement
harus lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan lead of power dan lead of affiliation.
Kewirausahaan itu bisa dicerminkan oleh adanya lead of achievement yang tinggi
dalam masyarakat. Oleh karena itu apabila lead of achievement masyarakat rendah,
maka kemajuan sebuah bangsa itu juga rendah. Tetapi kalo lead of achievement
masyarakat tinggi maka bangsa ini bisa lebih maju lagi. Dr. Arif menambahkan salah
satu wujud lead of achievement adalah dunia bisnis atau dunia kewirausahaan. Untuk
menciptakan wirausaha-wirausaha tangguh, harus diciptakan by design bukan by
accident. Oleh sebab itu, pemerintah berusaha memberikan fasilitas kepada calon
wirausaha dengan pelatihan bisnis, kelas bisnis dan inkubasi bisnis.
Beberapa studi (Frey & Osborne, 2013); (Tassey, 2014); (Leopold, et. all, 2016)
menunjukkan bahwa secara luas, peningkatan teknologi memiliki dampak negatif dan
positif terhadap pekerjaan. Ketika teknologi mengambil alih, ada beberapa pekerjaan
yang hilang dan pekerja harus meningkatkan atau mempelajari keterampilan baru agar
tetap berada di pasar kerja. Di beberapa kasus, teknologi secara langsung menggantikan
pekerja, sementara pada kasus lain teknologi justru memperkuat sumber daya manusia.
Pada sisi hasil, teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan juga meningkatkan
permintaan konsumen terhadap produk, jasa dan industri yang baru. Pada akhirnya,
ekspansi ini dapat menciptakan peluang kerja yang baru.
Terlebih lagi, pasar kerja daring memberikan ruang yang lebih bagi dunia usaha
terutama wirausaha kecil dan menengah. Perangkat e-dagang internet di antaranya
Tokopedia, Blibli, Bukalapak dan sebagainya memungkinkan usaha kecil di Indonesia
memasarkan produk mereka langsung ke pelanggan. Media sosial juga dapat
membantu bisnis secara langsung mencapai pelanggan potensial dan mempromosikan
produk mereka. Karena tidak adanya data atau studi mengenai peran media sosial
13
di Indonesia, sulit untuk mengatakan hingga sejauh mana jalur daring ini menciptakan
peluang bagi usaha kecil. Namun penelitian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan
kecil dari China saat perhelatan fesyen retail menunjukkan bahwa usaha kecil dan
pelanggan saling berinteraksi lebih intensif melalui media sosial dan bisa menghasilkan
penjualan yang lebih tinggi (Ha et.al, 2016).
Menurut sebuah studi ILO mengenai ASEAN (ILO, 2016) lebih dari 60 persen
pekerjaan berupah di bidang elektronika, otomotif, dan tekstil serta pakaian jadi
terancam dan mungkin akan hilang karena otomatisasi. Persentase pekerjaan yang
berisiko kini mencapai 85 persen pada perdagangan retail. Secara keseluruhan, hasil
temuan studi itu menunjukkan bahwa dalam beberapa dasawarsa ke depan semua
pekerjaan mengalami otomatisasi di ASEAN-5 (Kamboja, Indonesia, Thailand,
Filipina dan Vietnam). Dari kelima negara tersebut, resiko pekerjaan yang mengalami
otomatisasi tertinggi adalah Vietnam (70 persen), diikuti Filipina (57 persen) dan
Indonesia menyusul pada angka 56 persen. Probabilitas hilangnya pekerjaan di
Thailand adalah yang terkecil (44 persen). Perkiraan untuk Indonesia dan negara-
negara ASEAN lain dibuat berdasarkan metodologi yang dikembangkan oleh Frey dan
Osborne untuk mencaritahu jenis pekerjaan yang berisiko tergantikan oleh mesin dan
14
otomatisasi. Pekerjaan di ASEAN memiliki sembilan variabel yang dikelompokkan
menjadi tiga tugas yang tidak dapat diotomatisasi karena membutuhkan persepsi dan
manipulasi, kecerdasan kreatif dan kecerdasan sosial.
Dalam penelitian mengenai 702 pekerjaan di Amerika Serikat, Frey dan Osborne
(2013) memperkirakan 47 persen pekerjaan berisiko. Pada studi yang lain McKinsey
menyimpulkan bahwa 45 persen tugas yang dilakukan pekerja menjadi punah melalui
otomatisasi (McKinsey, 2017). Kedua studi ini menunjukkan proporsi yang sangat
tinggi dari pekerjaan yang hilang. Namun Arntz el. (2016) menemukan bahwa hanya 9
persen pekerjaan di negara-negara anggota Organization of Economic Cooperation and
Development (OECD) yang berisiko hilang. Studi ini berusaha membedakan antara
tugas yang ada dalam sebuah pekerjaan. Secara umum, pekerjaan atau jabatan terdiri
dari pelaksanaan beberapa tugas dan sangat mungkin otomatisasi memengaruhi
beberapa tugas tersebut dan karenanya tidak bisa samasekali menghapus sebuah
pekerjaan. Dalam situasi tersebut, pekerjaan dapat mengalami perubahan seiring
dengan berjalannya waktu di mana beberapa fungsi atau tugas menjadi berulang akibat
tugas lain yang ditambahkan ke dalam jabatan yang sama atau bahkan menimbulkan
jabatan baru.
15
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Program upah pengangguran khususnya lulusan SMK tidak efektif. Karena,
permasalahan utama saat ini ada di serapan tenaga kerja yang belum ideal.
Lapangan kerja industri, pertanian dan pertambangan belum cukup menciptakan
lowongan kerja massif. Ada permasalahan kemampuan yang tidak sesuai antara
kebutuhan industri dan lulusan SMK. Maka solusinya adalah merubah kurikulum
dan kerjasama dengan industri. Sehingga, yang mengeluarkan upah selama
magang adalah pengusaha. Tidak membebani Anggaran Pengeluaran dan Belanja
Negara (APBN).
Penting untuk mengakui bahwa sulit untuk menolak perubahan teknologi,
bila tidak mungkin di dunia yang mengalami globalisasi. Penting memandang
teknologi sebagai cara atau pendorong untuk mencapai pembangunan yang lebih
tinggi. Secara historis diadopsinya teknologi pada jangka pendek menimbulkan
gangguan pada pasar kerja. Kebijakan dan program pemerintah karenanya harus
fokus pada upaya membantu mereka yang terdampak secara negatif atau
menghadapi kerugian dari teknologi. Penelitian menunjukkan bahwa kebijakan
pasar kerja yang aktif mendatangkan hasil bila dilakukan untuk membantu orang
mempelajari keterampilan baru dan membantu mereka dalam mencari pekerjaan.
Serangkaian kebijakan ini bisa diprioritaskan sehingga memberikan peluang bagi
mereka yang berisiko kehilangan mata pencaharian karena kecanggihan
teknologi.
B. Saran
Saran utama dari penulis yaitu agar pemerintah mengkaji ulang tentang rencana
memberikan gaji bagi lulusan yang belum memperoleh pekerjaan, lebih baik
anggaran yang ada diberikan dalam bentuk pelatihan dan modal menjadi
entrepreneur.
16
Kedua, sesegera mungkin pemerintah mengambil langkah-langkah kongkrit
untuk mampu menanggulangi jumlah pengangguran yang sangat banyak di negeri
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arntz, M.T., Gregory, T., and Zierahn, U. (2016). The risk of automation for jobs in OECD
countries: a comparative analysis. OECD Social, Employment and Migration Working
Papers, No. 189, OECD Publishing, Paris. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.1787/5jlz9h56dvq7-en
Autor, D.H. (2015). Why are there still so many jobs? The history and future of workplace
automation. The Journal of Economic Perspectives, 29 (3), 3 – 30. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/43550118.
Blustein, David & Kozan, Saliha & Connors-Kellgren, Alice. (2013). Unemployment and
underemployment: A narrative analysis about loss. Journal of Vocational Behavior. 82.
10.1016/j.jvb.2013.02.005.
17
BPS. (2017). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2017. Retrieved from
https://www.bps.go.id/pressrelease/2017/05/05/1376/tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--
sebesar-5-33-persen.html
Frey, C. B., & Osborne, M.A. (2013). The future of employment: how susceptible are jobs to
computerisation? University of Oxford.
Ha, S., Kankanhalli, A., Kishan, J. S., & Huang, K. W. (2016). Does social media marketing
really work for online SMEs? Research Paper. Dublin.
International Labour Organization. (2016). Technological changes and work in the future:
making technology work for all. The Future of Work Centenary Initiative. Retrieved from
http://www.ilo. org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---
dcomm/documents/publication/wcms_534201.pdf
Leopold, T.A. (2016). The future of jobs employment: skills and workforce strategy for the
fourth industrial revolution. World Economic Forum.
McKinsey & Company. (2017). A future that works: automation, employment, and
productivity.
Mercer. (2015). The Future of HR. Mercer, 2015. Center for Advanced Human Resources
Studies, Cornell Univeristy, USA. Retrieved from
https://www.mercer.com/content/dam/mercer/attachments/north-america/us/the-future-
of-hr-mercer.pdf
Satria, Arif . (2019). Kuliah Kewirausahaan Pemuda. Kuliah kerjasama IPB dan Kemenpora.
(online) https://kumparan.com/news-release-ipb/ipb-akan-bangun-gedung-
entrepreuneurship-center-1r61ur9pGYL
Sendari, A. A,. (2019). Daftar Lengkap Visi Misi Jokowi-Ma'ruf Amin. Liputan6. Retrieved
from https://www.liputan6.com/news/read/3868449/daftar-lengkap-visi-misi-jokowi-
maruf-amin
18
Talcott Parsons. (1975). "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology."
In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The
Free Press.
Tassey, G. (2014). Competing in advanced manufacturing: the need for improved growth
models and policies. The Journal of Economic Perspectives. 28 (1), 27 – 48. Retrieved
from http://www.jstor.org/stable/43193715
LAMPIRAN :
Tabel 1.
19
Tabel 2.
20
Tabel 3.
21
Tabel 4.
22