A. Pendahuluan
Dalam sejarah perjalanan pendidikan yang dialami negeri ini, cukup banyak hal yang membuat
pendidikan kita disusupi kepentingan politik golongan tertentu. Sederhana saja, kurikulum yang
berganti-ganti merupakan potret tidak jelasnya arah pendidikan. Pendidikan yang diharapkan
memiliki tujuan pasti demi mengubah kondisi bangsa menuju kemajuan, telah diboncengi sekian
banyak kepentingan. Masyarakat tidak memiliki kekuatan politik untuk mencegahnya. Rakyat
tidak mempunyai wewenang untuk mengupayakan sebuah konsistensi atas kurikulum.
Indratno (dalam Yamin 2009:91) mengatakan bahwa dalam sejarah pendidikan Indonesia pada
rentang waktu tahun 1945-1961 dikeluarkan kurikulum 1947. Tahun 1950-1961, diterapkan
kurikulum 1952, kurikulum terakhir pada masa Orde Lama adalah kurikulum 1964. Pada masa
Orde Baru, fase kepemimpinan memproduksi empat kurikulum. Kurikulum 1968 ditetapkan dan
berlaku sampai tahun 1975. Selanjutnya, muncul kurikulum1975. Di tahun 1984, dibuat kurikulum
baru dengan nama kurikulum 1975 yang disempurnakan dengan pendekatan Cara Belajar Siswa
Aktiv (CBSA). Pada tahun 1994, dikeluarkan kurikulum baru yang bernama kurikulum 1994.
Pasca reformasi, muncul kurikulum 2004 yang lebih akrab disebut kurikulum berbasis kompetensi
(KBK). Di tahun 2006, lahirlah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sebagai pengganti
KBK. Akan tetapi, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan
di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa
ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia
pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga
cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?
C. Analisis Kurikulum
Kurikulum pertama dirancang pada tahun 1968 yang menekankan pada pentingnya pembinaan
moral, budi pekerti, agama, kecerdasan dan keterampilan, serta fisik yang kuat dan sehat (Sularto,
2005). Kurikulum 1968 dianggap belum sempurna sekalipun penyusunannya berdasarkan hasil
kajian mendalam terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu,
pemerintah, para ahli, dan praktisi pendidikan melakukan inovasi dan uji coba terhadap model
desain pembelajaran yang pada akhirnya terakumulasi dalam perwujudan kurikulum 1975.
Kurikulum 1975 pun dipandang belum mampu mengakomodasi upaya menciptakan manusia
Indonesia seutuhnya yang berindikasi pada pengembangan tiga aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor. Maka dirancanglah kurikulum 1984 sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya
yang menekankan pada Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional di Indonesia tiap kali ada penggantian kurikulum dengan pendekatannya. Pada tahun 1976
Kurikulum 1975 menggantikan kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini berorientasi pada tujuan
dan menggunakan pendekatan PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) yang
dikembangkan melalui satuan pelajaran.
Setelah berjalan selama lebih kurang sepuluh tahun, implementasi kurikulum tahun 1984 terasa
terlalu membebani guru dan murid mengingat jumlah materi yang terlalu banyak jika
dibandingkan dengan waktu yang tersedia. Dengan demikian, perubahan kembali dilakukan
dengan lahirnya kurikulum 1994 sebagai penyederhanaan kurikulum 1984. Mutu pendidikan yang
semakin terpuruk hingga berada pada level ke-12 dari 12 negara di Asia seolah mengindikasikan
hanya dengan perubahan kurikulum kemudian keterpurukan itu dapat didongkrak ke arah yang
lebih baik, maka lahirlah kurikulum 2004 yang dikenal dengan (KBK) yang terus berkembang
menjadi KTSP.
Perubahan kurikulum 1968 hingga kurikulum 2004 menunjukkan kuatnya anggapan bahwa
kegagalan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia hanya disebabkan oleh kesalahan rancangan
kurikulum. Beberapa faktor yang dimaksud adalah kompetensi guru dalam melaksanakan
kurikulum, ketidaktersediaan sarana dan prasarana sekolah, kurangnya
keterlibatan stakeholder, tidak terciptanya kerja sama yang baik antara perguruan tinggi sebagai
pencetak tenaga guru, pemerintah, dan sekolah, sistem evaluasi dan standarisasi nasional dan
daerah yang tidak akurat, serta ketidakjelasan arah serta model pendidikan yang diselenggarakan.
Pada awal tahun 2006/2007 secara mendadak Mendiknas meluncurkan Peraturan Nomor 22, 23,
dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan
pelaksanaannya. Melalui ketiga Permendiknas tersebut, sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA)
harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang
disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Satuan pendidikan dapat menerapkan
Permendiknas tersebut mulai tahun ajaran 2006/2007 dan paling lambat pada tahun ajaran
2006/2007 semua sekolah harus sudah mulai menerapkannya. Persoalannya sekarang, apakah
KTSP mampu mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia
sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah KTSP mampu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas?
D. Penutup
Proses pendidikan dalam kegiatan pembelajaran atau dalam kelas, akan bisa belajar dengan lancar,
kondusif, dan interaktif jika dilandasi oleh dasar kurikulum yang baik dan benar. Pendidikan bisa
dijalankan dengan baik ketika kurikulum menjadi penyangga utama dalam proses belajar
mengajar. Kurikulum mengandung sekian banyak unsur konstruktif agar pembelajaran dapat
dilaksanakan secara optimal. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa jantung pendidikan
berada pada kurikulum. Baik buruknya pendidikan ditentukan oleh kurikulum, yaitu apakah
mampu membangun kesadaran kritis terhadap peserta didik ataukah tidak.
Peserta didik bukan kelinci percobaan kurikulum. Peserta didik adalah aset bangsa yang harus
dijaga dan dikembangkan agar menjadi generasi yang berkualitas melalui pendidikan. Jika
pendidikan mereka sudah kacau oleh kurikulum maka pendidikan itu tidak sesuai harapan.
Bongkar-pasang kurikulum menjadikan peserta didik sebagai kelinci percobaan. Jika kurikulum
dirasa tidak cocok maka diganti dengan kurikulum baru sesuai kebijakan pemerintah. Jika kondisi
pendidikan di negeri ini tetap seperti ini sudah pasti generasi Indonesia adalah generasi kelinci
percobaan saja, bukan generasi yang berkembang dan maju. Oleh karena itu, pemerintah
hendaknya merancang kurikulum sebaik mungkin dengan melengkapi kekurangan-kekurangan
sebelumnya dan dikembangkan untuk mencetak produk pendidikan berkualitas sehingga dapat
melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas pula.
Daftar Literatur
Setianingsih, Dari. 2011. Analisis Kurikulum Pendidikan di Indonesia.
Artikrl. http://darisetianingsih.wordpress.com/2011/06/19/analisis-kurikulum-di-
indonesia/ (Diunduh 1 Januari 2012).
Yamin. Moh. 2009. Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan (Panduan Menciptakan Manajemen
Mutu Pendidikan Berbasis Kurikulum yang Progresif dan Inspiratif). Jogjakarta: Diva Press.