Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS KURIKULUM DI INDONESIA

ANALISIS KURIKULUM DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Dalam sejarah perjalanan pendidikan yang dialami negeri ini, cukup banyak hal yang membuat
pendidikan kita disusupi kepentingan politik golongan tertentu. Sederhana saja, kurikulum yang
berganti-ganti merupakan potret tidak jelasnya arah pendidikan. Pendidikan yang diharapkan
memiliki tujuan pasti demi mengubah kondisi bangsa menuju kemajuan, telah diboncengi sekian
banyak kepentingan. Masyarakat tidak memiliki kekuatan politik untuk mencegahnya. Rakyat
tidak mempunyai wewenang untuk mengupayakan sebuah konsistensi atas kurikulum.
Indratno (dalam Yamin 2009:91) mengatakan bahwa dalam sejarah pendidikan Indonesia pada
rentang waktu tahun 1945-1961 dikeluarkan kurikulum 1947. Tahun 1950-1961, diterapkan
kurikulum 1952, kurikulum terakhir pada masa Orde Lama adalah kurikulum 1964. Pada masa
Orde Baru, fase kepemimpinan memproduksi empat kurikulum. Kurikulum 1968 ditetapkan dan
berlaku sampai tahun 1975. Selanjutnya, muncul kurikulum1975. Di tahun 1984, dibuat kurikulum
baru dengan nama kurikulum 1975 yang disempurnakan dengan pendekatan Cara Belajar Siswa
Aktiv (CBSA). Pada tahun 1994, dikeluarkan kurikulum baru yang bernama kurikulum 1994.
Pasca reformasi, muncul kurikulum 2004 yang lebih akrab disebut kurikulum berbasis kompetensi
(KBK). Di tahun 2006, lahirlah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sebagai pengganti
KBK. Akan tetapi, apa dampaknya terhadap kemajuan peradaban bangsa? Sudahkah pendidikan
di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang visioner; yang mampu membawa bangsa
ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah “rahim” dunia
pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga
cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial?

B. Bongkar Pasang Kurikulum di Indonesia


Dalam sejaran pendidikan Indonesia, pelaksanaan kurikulum dan proses pergantian sangatlah
cepat, tercatat sebanyak lima kali perubahan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang
berbarengan dengan perubahan strategi belajar mengajar. Proses pergantian tersebut seakan-akan
semuanya harus mengikuti apa yang dikehendaki penguasa. Bila sudah tidak dikehendaki maka
dibuang dan diganti dengan kurikulum lainnya. Persoalan tersebut menyebabkan bertambahnya
keruwetan pelaksanaan pendidikan ssebagai alat mencerdaskan kehidupan bangsa. Apabila kita
semua mengharapkan agar pendidikan dapat ditunaikan dengan berhasil, hal itu akan mengalami
kegaglan. Akhirnya, yang menjadi korban dalam konteks tersebut adalah rakyat dan anak-anak
yang sedang mengenyam dunia pendidikan, baik yang berada di sekolah tingkat dasar, sekolah
menengah pertama, sekolah menengah atas dan sederajat, termasuk perguruan tinggi. Untuk
mengetahui gambaran besar bagaimana perjalanan kurikulum di Indonesia berlangsung, berikut
pola pergantian beberapa kurikulum yang dimulai setelah berakhirnya Orde Lama menuju Orde
Baru.
1. Kurikulum 1968
Di era Orde Baru, kurikulum pendidikan dimulai dengan adanya TAP MPRS No.
XXVII/MPRS/1966 tentang agama, pendidikan, dan kebudayaan atau disebut Kurikulum 1968.
Ini melahirkan rumusan konkret bagaimana pendidikan harus membentuk manusia Pancasialis
sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan bagaimana yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945
dan isi UUD 1945. Secara tegas, isi pendidikan bertujuan untuk mempertinggi mental, moral, budi
pekerti, memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, dan
mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Selanjtnya, TAP MPRS tersebut juga memberikan
penegasan mengenai ruang kebebasan ilmiah untuk melakukan aktualisasi diri di perguruan tinggi
yang tidak menyimpang dari UUD 1945 dan falsafah Pancasila. Kurikulum 1968 dianggap belum
sempurna sekalipun penyusunannya berdasarkan hasil kajian mendalam terhadap Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Seluruh sekolah asing kemudian dilarang untuk hadir dalam negeri, sedangkan lembaga
pendidikan dilakukan penyederhanaan, baik jumlah maupun struktur. Yang menarik adalah
penegasan lahirnya undang-undang wajib mengajar karena saat itu jumlah tenaga pengajar sangat
terbatas. Lebih tepatnya, ini ditujukan agar jumlah pengajar bisa bertambah banyak sehingga
proses pendidikan dapat dilangsungkan dengan baik. Dalam konteks demikian, ada komitmen
politik dari pemerintah supaya pendidikan betul-betul dilakukan dengan sedemikian rupa demi
masa depan Indonesia yang lebih maju ke depannya.
2. Kurikulum 1975
Usia pelaksanaan kurikulum sebelumnya tidak lama, kemudian berganti dengan kurikulum 1975.
Terlepas apakah ini merupakan upaya pembenahan dalam dunia pendidikan atau tidak. hasil kajian
mendalam terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah, para ahli, dan praktisi
pendidikan melakukan inovasi dan uji coba terhadap model desain pembelajaran yang pada
akhirnya terakumulasi dalam perwujudan kurikulum 1975. Hal tersebut menjadi kenyataan bahwa
bongkar pasang kurikulum di negeri ini merupakan kebiasaan. Kurikulum ini lahir didasarkan pada
keputusan MPR No. II/MPR/1973. Kurikulum selanjutnya tidak digunakan karena kurikulum
sebelumnya didasarkan kepada Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun
1950, TAP MPRS No. II Tahun 1960, dan keputusan-keputusan lain. Dengan demikian, adanya
TAP MPR baru membutuhkan sebuah kurikulum baru yang kemudian dinamakan kurikulum 1975.
Inti dasar tujuan kurikulum 1975 adalah konsep pendidikan ditentukan dari pusat, para pengajar
tidak perlu berpikir membuat konsep sendiri bagaimana pola pengajaran yang baik harus digelar
dalam kelas. Namun, kurikulum tersebut tidak begitu lama digunakan sebab dianggap tidak
konstruktif dalam proses pendidikan yang mencerdaskan sehingga muncul keinginan dari
pemerintah pusat untuk menggantinya dengan kurikulum baru. Hal ini dikarenakan pendidikan
perlu ditempatkan secara arif dan bijaksana dalam menjawab kebutuhan-kebutuhan sosial.
Pendidikan bukan milih pemerintah atau penguasa, tetapi menjadi bagian integral dari bangsa
sehingga penyelenggaraan pendidikan harus diserahkan kepada masyarakat. Oleh karena
itu, kurikulum 1975 pun dipandang belum mampu mengakomodasi upaya menciptakan manusia
Indonesia seutuhnya yang berindikasi pada pengembangan tiga aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor. Maka dirancanglah kurikulum 1984.
3. Kurikulum 1984
Mencermati laju pembangunan nasional yang pesat, termasuk berdampak pada lahirnya ruang-
ruang baru dalam pembangunan pendidikan nasional diperlukan kurikulum baru yang respons
terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan. Dalam konteks ini, Dr. Daoed Joesoef, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, melahirkan kebijakan sistem pendidikan nasional yang memiliki
ciri-ciri: 1) Semesta, yakni mencakup semua unsur kebudayaan, seperti logika, etika, estetika,
keterampilan, nilai-nilai moral, dan spiritual; 2) menyeluruh, yakni mencakup pendidikan secara
formal maupun informasi; dan 3) terpadu, satu kesatuan tak terpisahkan dalam sistem pendidikan
nasional, ibarat dua sisi mata uang dalam satu koin. Ingin menghendaki sistem dan pelaksanaan
tunggal dan pendidikan. Bersamaan itu pula lahir GBHN 1978 dan 1983. Hal itu kemudian
memperkokoh satu keinginan lebih progresif agar kurikulum baru segera dimunculkan sehingga
dengan kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) apa yang bisa diajarkan; 2) mengapa
diajarkan; dan 3) bagaimana cara mengajarkannya.
Kurikulum 1984 sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya menekankan pada Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA). Untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional di Indonesia tiap kali ada
penggantian kurikulum dengan pendekatannya. Pada tahun 1976 Kurikulum 1975 menggantikan
kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini berorientasi pada tujuan dan menggunakan pendekatan
PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) yang dikembangkan melalui satuan
pelajaran. Pada tahun 1984 Kurikulum 1975 diganti dengan Kurikulum 1984 yang menggunakan
pendekatan keterampilan proses yang pelaksanaannya menggunakan CBSA (Cara Belajar Siswa
Aktif). Khusus untuk pelajaran bahasa digunakan pendekatan komunikatif dan untuk mendukung
pendekatan ini dimasukkan pokok bahasan pragmatik.
4. Kurikulum 1994
Sebagaimana kebiasaan buruk yang dilakukan di masa Orde Baru yang selalu melakukan bongkar
pasang kurikulum 1984 tidak digunakan lagi. Ciri utama kurikulum tersebut adalah pendidikan
diarahkan pada pembentukkan karakter anak didik yang memiliki kemampuan dasar siap bekerja
dengan skill yang baik sehingga bisa digunakan di perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik.
Lebih tepatnya, pendidikan bertujuan untuk memproduksi tenaga berpendidikan yang siap pakai.
Oleh karena itu, pendidikan dalam konteks tersebut buka lagi menciptakan ruang berfikir anak-
anak didik yang dirangsang dewasa ke depan dan mampu melakukan aktualisasi diri secara kreatif.
Dalam pandangan penguasa Orde Baru, kurikulum 1994 merupakan penyempurnaan dan
dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan sosial di masa depan sehingga membutuhkan
keahlian tertentu sebagai bagian dari modal melakukan kehidupan secara mandiri. Melakukan
bongkar pasang kurikulum bukan sepenuhnya ingin melayani pendidikan yang baik terhadap
rakyat, namun ingin membungkam nalar kritis masyarakat. Pendidikan di era Orde Baru bertujuan
untuk menutup ruang kebebasan anak didik agar bisa berpikir kritis dan mampu membaca
persoalan-persoalan sekitar (Yamin 2009:128). Pendidikan di masa tersebut menciptakan
kemandekan berpikir sehingga menggring anak didik untuk berfikir pasif dan lemah dalam analisis
sosial. Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak
pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem
caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap
diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup
banyak.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya yaitu
pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan Pembelajaran di sekolah lebih
menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua
siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus
dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat sekitar.
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat
dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya yaitu
beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi
setiap mata pelajaran.
Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan
berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
Permasalahan di atas terasa saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong
para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya
penyempurnaan itu diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994. Penyempurnaan tersebut
dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan kurikulum, yaitu
Penyempurnaan kurikulum secara terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.
Penyempurnaan kurikulum mempertimbangkan berbagai aspek terkait, seperti tujuan materi,
pembelajaran, evaluasi, dan sarana/prasarana termasuk buku pelajaran.
Penyempurnaan kurikulum tidak mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap
dapat menggunakan buku pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di
sekolah.
5. Kurikulum 2004 (KBK)
Ketika pergantian kurikulum selalu menggunakan logika kepentingan jangka pendek, sangat tidak
mungkin memberikan sebuah angin segar bagi perubahan positif dunia pendidikan ke depan.
Kurikulum 2004 yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang masih berumur
jagung, tiba-tiba berubah menjadi kurikulum 2006 yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP).
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, adalah kurikulum dalam
dunia pendidikan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 walau sudah
ada sekolah yang mulai menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Secara materi,
sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari Kurikulum 1994, perbedaannya hanya pada cara
para murid belajar di kelas.
Dalam kurikulum terdahulu, para murid dikondisikan dengan sistem caturwulan. Sedangkan
dalam kurikulum baru ini, para siswa dikondisikan dalam sistem semester. Dahulu siswa hanya
belajar pada isi materi pelajaran belaka, yakni menerima materi dari guru saja. Dalam kurikulum
2004 ini, siswa dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTEK tanpa
meninggalkan kerja sama dan solidaritas meski sesungguhnya antar siswa saling berkompetisi.
Jadi di sini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, namun demikian pendidikan yang ada ialah
pendidikan untuk semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek, namun subjek dan
setiap kegiatan siswa ada nilainya. Sejak tahun ajaran 2006/2007, diberlakukan kurikulum baru
yang bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang merupakan penyempurnaan
Kurikulum 2004.
6. Kurikulum 2006 (KTSP)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah
sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing
satuan pendidikan di Indonesia. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang mengacu pada standar nasional pendidikan bertujuan untuk menjamin pencapaian tujuan
pendidikakan nasional, standar nasional pendidikan terdiri atas Standar Isi dan Standar Proses,
Kompetensi Lulusan, Tenaga Kependidikan, sarana dan prasarana. Undang-undang No. 20 tahun
2003 tentang SISDIKNAS dan PP No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan
mengamanatkan KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan
dengan mengacu pada SI, SKL, dan panduan yang disusun oleh BSNP serta ketentuan lain yang
menyangkut kurikulum dalam UU No. 20 tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005.
Pada awal tahun 2006/2007 secara mendadak Mendiknas meluncurkan Peraturan Nomor 22, 23,
dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan
pelaksanaannya. Melalui ketiga Permendiknas tersebut, sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA)
harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang
disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Satuan pendidikan dapat menerapkan
Permendiknas tersebut mulai tahun ajaran 2006/2007 dan paling lambat pada tahun ajaran
2006/2007 semua sekolah harus sudah mulai menerapkannya.
Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SI, namun
pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri.
KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum
tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu
pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL.
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam
persyaratan kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian kompetensi mata pelajaran, dan
silabus pembelajaran yang harus dipenuhi peserta didik pada jenjang dan jenis
pendidikan tertentu. Standar isi merupakan pedoman untuk pengembangan kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang memuat: (1) kerangka dasar dan struktur kurikulum, (2) beban belajar, (3)
kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dikembangkan di tingkat satuan pendidikan, dan (4)
kalender pendidikan.
SKL digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan. SKL meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran.
Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.
Pemberlakuan KTSP sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional
No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL, ditetapkan oleh kepala sekolah setelah
memperhatikan pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata lain, pemberlakuan KTSP
sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau
Departemen Pendidikan Nasional. Penyusunan KTSP selain melibatkan guru dan karyawan juga
melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli dari perguruan tinggi setempat. Dengan
keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP maka KTSP yang disusun akan sesuai
dengan aspirasimasyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat.

C. Analisis Kurikulum
Kurikulum pertama dirancang pada tahun 1968 yang menekankan pada pentingnya pembinaan
moral, budi pekerti, agama, kecerdasan dan keterampilan, serta fisik yang kuat dan sehat (Sularto,
2005). Kurikulum 1968 dianggap belum sempurna sekalipun penyusunannya berdasarkan hasil
kajian mendalam terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu,
pemerintah, para ahli, dan praktisi pendidikan melakukan inovasi dan uji coba terhadap model
desain pembelajaran yang pada akhirnya terakumulasi dalam perwujudan kurikulum 1975.
Kurikulum 1975 pun dipandang belum mampu mengakomodasi upaya menciptakan manusia
Indonesia seutuhnya yang berindikasi pada pengembangan tiga aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor. Maka dirancanglah kurikulum 1984 sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya
yang menekankan pada Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional di Indonesia tiap kali ada penggantian kurikulum dengan pendekatannya. Pada tahun 1976
Kurikulum 1975 menggantikan kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini berorientasi pada tujuan
dan menggunakan pendekatan PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) yang
dikembangkan melalui satuan pelajaran.
Setelah berjalan selama lebih kurang sepuluh tahun, implementasi kurikulum tahun 1984 terasa
terlalu membebani guru dan murid mengingat jumlah materi yang terlalu banyak jika
dibandingkan dengan waktu yang tersedia. Dengan demikian, perubahan kembali dilakukan
dengan lahirnya kurikulum 1994 sebagai penyederhanaan kurikulum 1984. Mutu pendidikan yang
semakin terpuruk hingga berada pada level ke-12 dari 12 negara di Asia seolah mengindikasikan
hanya dengan perubahan kurikulum kemudian keterpurukan itu dapat didongkrak ke arah yang
lebih baik, maka lahirlah kurikulum 2004 yang dikenal dengan (KBK) yang terus berkembang
menjadi KTSP.
Perubahan kurikulum 1968 hingga kurikulum 2004 menunjukkan kuatnya anggapan bahwa
kegagalan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia hanya disebabkan oleh kesalahan rancangan
kurikulum. Beberapa faktor yang dimaksud adalah kompetensi guru dalam melaksanakan
kurikulum, ketidaktersediaan sarana dan prasarana sekolah, kurangnya
keterlibatan stakeholder, tidak terciptanya kerja sama yang baik antara perguruan tinggi sebagai
pencetak tenaga guru, pemerintah, dan sekolah, sistem evaluasi dan standarisasi nasional dan
daerah yang tidak akurat, serta ketidakjelasan arah serta model pendidikan yang diselenggarakan.
Pada awal tahun 2006/2007 secara mendadak Mendiknas meluncurkan Peraturan Nomor 22, 23,
dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan
pelaksanaannya. Melalui ketiga Permendiknas tersebut, sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA)
harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang
disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Satuan pendidikan dapat menerapkan
Permendiknas tersebut mulai tahun ajaran 2006/2007 dan paling lambat pada tahun ajaran
2006/2007 semua sekolah harus sudah mulai menerapkannya. Persoalannya sekarang, apakah
KTSP mampu mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia
sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah KTSP mampu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas?

D. Penutup
Proses pendidikan dalam kegiatan pembelajaran atau dalam kelas, akan bisa belajar dengan lancar,
kondusif, dan interaktif jika dilandasi oleh dasar kurikulum yang baik dan benar. Pendidikan bisa
dijalankan dengan baik ketika kurikulum menjadi penyangga utama dalam proses belajar
mengajar. Kurikulum mengandung sekian banyak unsur konstruktif agar pembelajaran dapat
dilaksanakan secara optimal. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa jantung pendidikan
berada pada kurikulum. Baik buruknya pendidikan ditentukan oleh kurikulum, yaitu apakah
mampu membangun kesadaran kritis terhadap peserta didik ataukah tidak.
Peserta didik bukan kelinci percobaan kurikulum. Peserta didik adalah aset bangsa yang harus
dijaga dan dikembangkan agar menjadi generasi yang berkualitas melalui pendidikan. Jika
pendidikan mereka sudah kacau oleh kurikulum maka pendidikan itu tidak sesuai harapan.
Bongkar-pasang kurikulum menjadikan peserta didik sebagai kelinci percobaan. Jika kurikulum
dirasa tidak cocok maka diganti dengan kurikulum baru sesuai kebijakan pemerintah. Jika kondisi
pendidikan di negeri ini tetap seperti ini sudah pasti generasi Indonesia adalah generasi kelinci
percobaan saja, bukan generasi yang berkembang dan maju. Oleh karena itu, pemerintah
hendaknya merancang kurikulum sebaik mungkin dengan melengkapi kekurangan-kekurangan
sebelumnya dan dikembangkan untuk mencetak produk pendidikan berkualitas sehingga dapat
melahirkan generasi penerus bangsa yang berkualitas pula.

Daftar Literatur
Setianingsih, Dari. 2011. Analisis Kurikulum Pendidikan di Indonesia.
Artikrl. http://darisetianingsih.wordpress.com/2011/06/19/analisis-kurikulum-di-
indonesia/ (Diunduh 1 Januari 2012).

Sumarno, Alim. 2011. Perubahan Kurikulum di Tengah-Tengah Globalisasi. Artikel.


http://elearning.unesa.ac.id/myblog/alim-sumarno/perubahan-kurikulum-di-tengah-mitos-
globalisasi (Diunduh 1 Januari 2012).

Yamin. Moh. 2009. Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan (Panduan Menciptakan Manajemen
Mutu Pendidikan Berbasis Kurikulum yang Progresif dan Inspiratif). Jogjakarta: Diva Press.

Anda mungkin juga menyukai