Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

“ASMA BRONKIALE”

Pembimbimg :
dr. Rahmadi Iwan Guntoro, Sp.P

Disusun oleh :
Diding Kusumawadi (2014730018)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJUR
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum wr wb,
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan
Yang Maha Esa karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan penulisan laporan kasus mengenai Asma Bronkiale.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan
arahan demi terselesaikannya refreshing ini khususnya kepada dr. Rahmadi Iwan
Guntoro, Sp.P, selaku pembimbing refreshing.
Kami sangat menyadari dalam proses penulisan laporan kasus ini masih jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun metode penulisan. Namun demikian, kami
telah mengupayakan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Kami
dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk masukan,
saran dan usulan guna menyempurnakan laporan kasus ini.
Kami berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya.
Wassalammu’alaikum wr wb.

Jakarta, Juni 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I STATUS PASIEN ........................................................................................3


1.1. Identitas Pasien ......................................................................................... 3
1.2. Anamnesis ................................................................................................ 3
1.3. Pemeriksaan Fisik..................................................................................... 4
1.4. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 7
1.5. Resume ..................................................................................................... 7
1.6. Daftar Masalah ......................................................................................... 7
1.7. Assessement ............................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................9
1.1. Definisi ..................................................................................................... 9
1.2. Klasifikasi ................................................................................................. 9
1.3. Patofisiologi............................................................................................ 13
1.4. Faktor Risiko .......................................................................................... 16
1.5. Manifestasi Klinis................................................................................... 17
1.6. Diagnosis ................................................................................................ 18
1.7. Tatalaksana ............................................................................................. 20
1.8. Komplikasi ............................................................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................32

ii
BAB I
STATUS PASIEN

1.1. Identitas Pasien


Nama Pasien : Ny.N
Usia Pasien : 33 tahun
Alamat Pasien : Jl. Delima Raya No.63, Pondok Kelapa, Duren Sawit
Agama Pasien : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Status Pernikahan : Menikah
No. Rekam Medis : 008630xx
Ruang Perawatan : IGD
Tanggul Masuk : Kamis, 20 Mei 2019
Tanggal Pemeriksaan : Kamis, 20 Mei 2019

1.2. Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan di Instalasi Gawat Darurat RSIJ Ponsok Kopi
pada Kamis, 20 Juni 2019.
Keluhan Utama
Sesak nafas sejak ± 6 jam SMRS.
Keluhan Tambahan
Batuk dahak putih.
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak kurang lebih 6 jam yang lalu, pasien mengeluh sesak nafas, sesak
timbul saat cuaca dingin, dirasakan memberat saat malam hari dan terkena debu,
tidak dipengaruhi oleh aktivitas, lebih memilih untuk duduk. Terdengar bunyi
mengi. Pasien dapat mengucapkan 1 kalimat penuh. Sesak berulang dirasakan 1-2x
dalam setahun. Nyeri dada disangkal. Batuk (+) berdahak berwarna putih, encer,
darah tidak ada. Demam tidak ada. Mual, muntah, nyeri tenggorokan, dan pilek
disangkal. BAB dan BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat asma (+) sejak berusia 5 tahun
- Riwayat alergi debu/asap (+)
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat trauma disangkal
- Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit asma dalam keluarga ada (ibu dan adik penderita).
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat trauma disangkal
- Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat Pengobatan
Pasien sudah berobat untuk keluhannya saat ini. Namun obat yang
digunakannya saat ini sedang habis.
Riwayat Psikososial
Pasien sehari-hari tidak bekerja dan lebih sering di rumah. Namun, beberapa
hari sebelum serangan pasien sudah merasa pekerjaan rumah semakin berat dan
bersih-bersih rumah.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Keasadaran : Compos mentis / E4 M6 V5
Berat Badan Sebelum Sakit : 60 kg
Berat Badan Sesudah Sakit : 59 kg
Tinggi Badan : 162 cm
IMT : 22,62
Status Gizi : Normoweight
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Laju Nadi : 108 kali/menit, reguler, kuat angkat

4
Laju Napas : 25 kali/menit, cepat, dan dangkal
SpO2 : 94%
Suhu : 37,3 oC
Status Generalisata
Kepala : Normocephal, deformitas (-).
Rambut : Alopecia (-), distribusi merata.
Mata : Sklera Ikterik -/-. Konjungtiva Anemis -/-. RCL +/+. RCTL +/+.
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-/-).
Telinga : Deformitas (-/-), secret (-/-), membran timpani intak (+/+).
Mulut : Mukosa oral lembab, palatum intak. Coated toungue (+). Gusi
berdarah (-). Stomatitis (-). Bau pernafasan khas (-)
Leher : Trakea di tengah, pembesran KGB (-). JVP (5-2) cmH2O.
Thorax : Normochest.
Paru
Inspeksi : Gerak napas simetris, retraksi (+)
Palpasi : Gerakan napas teraba simetris, fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) ekspirasi memanjang, rhonki (-/-), wheezing
(+/+) ekspirasi pada kedua lapangan paru
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas : linea parasternalis dextra ICS II
Batas jantung kanan : linea parasternal dextra ICS V
Batas jantung kiri : linea parasternal sinistra ICS IV
Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar. Spider nevi (-). Venektasi (-). Caput medusae (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)., hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani di seluruh lapang paru.
Auskultasi: Bising usus (+) normal.
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

5
Punggung : Alignment vertebra baik.
Ekstremitas :
Atas : Lengkap, akral hangat, CRT ≤ 2 detik, edema pitting. Eutoni,
eutrophi, kekuatan +5, gerakan bebas.
Bawah : Lengkap, akral hangat, CRT ≤ 2 detik, edema pitting. Eutoni,
eutrophi, kekuatan +5, gerakan bebas.

6
1.4. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

1.5. Resume
Ny. N, 33 tahun sejak ± 6 jam SMRS mengeluh dyspnea timbul saat cuaca
dingin dan terkena debu, tidak dipengaruhi oleh aktivitas, posisi. Wheezing (+),
coughing (+) dahak sekret mucose, encer, darah tidak ada. Afebris.
Pemeriksaan Fisik :
Sakit sedang. Composmentis (GCS : 15)
Retraksi dada (+/+). Wheezing (+/+)
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Laju Nadi : 108 kali/menit, reguler, kuat angkat
Laju Napas : 25 kali/menit, cepat, dan dangkal
SpO2 : 94%
Suhu : 37,3 oC

1.6. Daftar Masalah


- Acute asthma attack DD/ acute bronchitis
- Coughing ec ISPA ec viral infection

1.7. Assessement
Acute asthma attack dd/ acute bronchitis.
S Sesak. Riwayat asma. Riwayat ibu dan adik asma. Riwayat pengobatan
asma.
O Vital Sign
TD : 110/70 mmHg
N : 108 kali/menit
RR : 25 kali/menit
S : 37,3 oC
Pemeriksaan Fisik :
Sakit sedang. Composmentis.
Retraksi dada. Wheezing (+)
A Acute asthma attack dd/ acute bronchitis.
P Planning Diagnostic:
- Spirometri

7
- Rontgen paru
Planning Non Therapeutics :
- Bed Rest
- Menghindari faktor pencetus
Planning Therapeutics
- O2 melalui Nasal Canul 2-4 lpm
- Nebulisasi Ventolin
- Salbutamol 3x2 mg

Coughing ec ISPA ec viral infection.


S Sesak. Riwayat asma. Riwayat ibu dan adik asma. Riwayat pengobatan
asma.
O Vital Sign
TD : 110/70 mmHg
N : 108 kali/menit
RR : 25 kali/menit
S : 37,3 oC
Pemeriksaan Fisik :
Sakit sedang. Composmentis.
Retraksi dada. Wheezing (+)
A Coughing ec ISPA ec viral infection
P Planning Diagnostic: Tidak diperlukan
Planning Non Therapeutics :
- Bed Rest
- Menghindari faktor pencetus
Planning Therapeutics
- Ambroxol syr 3x1 cth

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala klinis yang berlangsung secara
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari.1,8 Asma adalah satu keadaan yang ditandai
dengan terjadinya penyempitan bronkus yang berulang tetapi reversibel, dan di
antara episode tersebut terdapat keadaan ventilasi yang normal.1,7 Asma akut adalah
gejala episodik dengan peningkatan yang cepat berupa sesak nafas, batuk, mengi
atau sesak dada dan penurunan fungsi paru yang cepat.1

1.2. Klasifikasi
Klasifikasi asma dapat dibagi berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Pada umumnya, penderita asma sudah dalam
masa pengobatan, dan pengobatan yang telah berlangsung tetapi tidak adekuat.
Pengobatan berguna untuk mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh
karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus
mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.8

9
Klasifikasi asma stabil menurut PDPI:

Tabel 2.1 Klasifikasi beratnya asma berdasarkan gambaran klinis


(penilaian awal sebelum terapi)

10
Tabel 2.2 Klasifikasi beratnya asma berdasarkan gambaran klinis
(dalam pengobatan)

Klasifikasi asma stabil berdasarkan derajat kendali menurut GINA:


Tujuan utama tatalaksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma
terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali
dan kualitas hidup pasien baik.1
 Asma terkendali (Well controlled)
 Asma terkendali sebagian (Partly controlled)
 Asma tidak terkendali (Uncontrolled)
Klasifikasi asma berdasarkan derajat kendali digunakan untuk menilai
keberhasilan tatalaksana yang tengah dijalankan atau untuk penentuan
peningkatan (Step Up), pemeliharaan (Maintenance) atau penurunan (Step

11
Down) tatalaksana yang akan diberikan.1,18 Pendekatan dalam memulai
pengobatan jangka panjang harus melalui pemberian terapi maksimum pada
awal pengobatan sesuai derajat asma, termasuk diberikan glukokortikosteroid
oral dan atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh ditambah dengan agonis
beta-2 kerja lama untuk mengontrol asma, setelah asma terkontrol dosis
diturunkan secara bertahap sampai seminimal mungkin dengan tetap
mempertahankan kondisi asma terkontrol. Cara itu disebut step down therapy.
Pendekatan lain yaitu step up therapy yaitu memulai terapi sesuai berat asma dan
meningkatkan terapi secara bertahap jika dibutuhkan untuk mencapai asma
terkontrol.1

Tabel 2.3 Tingkat Asma Terkontrol

12
Berdasarkan GINA, asma yang terkontrol didefinisikan sebagai berikut:1
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya
tidak diperlukan)
4. Variasi harian APE (Arus Puncak Ekspirasi) kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat

Tabel 2.4 Klasifikasi serangan asma akut

1.3. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit
pada fase tersebut (Gambar 2.1). Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan

13
volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada
volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini
bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.9

Gambar 2.1 Gambar bronkus pada penderita asma


Gambaran khas inflamasi pada penderita asma ditandai dengan
peningkatan jumlah eosinofil teraktivasi, sel mast, makrofag dan limfosit T
dalam lumen mukosa saluran pernapasan. Sel limfosit berperan penting dalam
respon inflamasi melalui penglepasan berbagai sitokin multifungsional. Limfosit
T subset T helper-2 (Th-2) yang berperan dalam patogenesis asma akan
mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan
Granulocute Monocyte Colony Stimulating Faktor (GMCSF).8
Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom.8,13 Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE yang merupakan
reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah yang besar, golongan ini disebut
atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast
pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus
kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka akan terjadi fase sensitisasi yang

14
menyebabkan antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian
berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel
ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Mediator-mediator
yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Mediator Ini akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding
bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus dan spasme
otot polos bronkiolus yang menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi
alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi cepat yaitu 10-15 menit setelah
pajanan alergen. Terjadinya spasme bronkus merupakan respons terhadap
mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Berbeda dengan fase cepat, pada fase lambat, reaksi ini terjadi setelah
6-8 jam pajanan alergen dan akan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-
kadang dapat sampai beberapa minggu. Beberapa sel inflamasi seperti eosinofil,
sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci
dalam patogenesis asma.10
Selain melalui jalur imunologis, asma juga dapat melalui jalur saraf
otonom. Inhalasi alergen dapat mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan epitel saluran napas. Peregangan vagal dapat
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag dapat membuat epitel jalan napas lebih permeabel
dan juga memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga dapat
menyebabkan meningkatnya reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator-mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat
terjadi tanpa melibatkan sel mast seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara
dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan ini reaksi asma terjadi melalui refleks
saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan pelepasan
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related
Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir dan
aktivasi sel-sel inflamasi.10

15
Gambar 2.2 Patofisiologi asma

1.4. Faktor Risiko


Faktor pejamu dan lingkungan saling mendukung berkembangnya penyakit

asma.8

Tabel 2.5 Faktor risiko asma


Faktor Pejamu
Predisposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/etnik
Obesitas
Faktor Lingkungan
mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan
predisposisi asma
Alergen di dalam ruangan
 Mite domestic
 Alergen binatang
 Alergen kecoa
 Jamur
Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
 Perokok aktif

16
 Perokok pasif
Polusi udara
 Polusi udara di luar ruangan
 Polusi udara di dalam ruangan
Infeksi pernapasan
 Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat
Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala
asma menetap
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hipertensi
Perubahan cauca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan

1.5. Manifestasi Klinis


Diagnosis asma dapat didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala
tersebut berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan faktor yang
berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis pada asma, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal
paru terutama reversibilitas kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.8 Gejala klinis berupa;1
- Lebih dari 1 gejala (mengi, batuk, sesak napas, rasa berat di dada), terutama
pada orang dewasa
- Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya
- Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari
- Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), latihan fisik, paparan alergen,
perubahan cuaca, atau iritasi seperti asap knalpot mobil, rokok atau bau
yang kuat
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam gejala klinis pada asma adalah:8
- Riwayat keluarga (atopi)

17
- Riwayat alergi
- Penyakit lain yang memberatkan
- Perkembangan penyakit dan pengobatan
Serangan asma ditandai adanya kalor (panas karena vasodilatasi), rubor
(kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor
(rasa sakit karena rangsang sensoris) dan functio laesa (fungsi terganggu).
Gejala-gejala tersebut dapat ditemukan pada penderita asma tanpa membedakan
penyebabnya baik yang alergik maupun non alergik. Baik asma yang alergik
maupun non alergik ditemukan adanya inflamasi dan hiperaktivitas saluran
napas. Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara
objektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus
Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa)
menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Gejala mengi menandakan adanya
penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil
gejala batuk dan sesak lebih dominan. Pada serangan asma yang lebih berat lagi
banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak
memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini dapat menyebabkan
hipoksemia dan memperberat kerja otot-otot pernapasan serta terjadinya
peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus
menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan dapat terjadi asidosis repiratorik
atau gagal napas.13 Pada awal serangan asma, gejala asma tidak jelas seperti rasa
berat di dada dan pada asma alergik mungkin disertai flu. Selain itu, pada pasien
asma alergik dapat memberikan gejala terhadap faktor pencetus non alergik
seperti asap rokok, infeksi saluran napas atas ataupun perubahan cuaca. Keluhan
yang sering timbul berupa batuk di malam hari/dini hari atau sesak dada. Mengi
merupakan suara siulan tinggi melengking saat menghembuskan napas.11

1.6. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan
dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis,
ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

18
Riwayat Penyakit
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan,
gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak, gejala
timbul/memburuk terutama malam/dini hari, diawali oleh faktor pencetus yang
bersifat individu, serta respons terhadap pemberian bronkodilator. Hal lain yang
perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit: riwayat keluarga (atopi), riwayat
alergi / atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan
riwayat pengobatan (misalnya pasien sudah sering menggunakan obat inhaler).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter
(PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan
mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas
ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/
dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di
rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan
APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang
jelas.
Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejalA asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti
yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita
tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik,

19
berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis
dan fibrosis kistik.

1.7. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan asma adalah mencapai asma terkontrol yaitu
keadaan yang optimal seperti orang sehat dengan mencegah eksaserbasi,
memelihara fungsi paru seoptimal mungkin, memelihara derajat aktivitas normal
termasuk latihan, menghindari efek tambahan obat asma, mencegah
berkembangnya hambatan aliran udara yang ireversibel dan mencegah kematian
akibat asma.7,8
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.7,8 Tujuan penatalaksanaan
asma:7,8
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversible
7. Mencegah kematian karena asma

20
Tabel 2.6 Tingkat Kontrol Asma

Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan asma dibagi menjadi


tiga kategori umum, yaitu;1
1. Kontroler (controller medication)
Kontroler digunakan secara rutin untuk mengurangi inflamasi jalan
nafas, mengontrol gejala dan mengurangi risiko eksaserbasi dan
penurunan fungsi paru dimasa depan.1
2. Pelega (reliever medication)

21
Ini diberikan kepada semua pasien untuk meringankan gejala, termasuk
saat memburuknya asma atau serangan asma akut. Terapi ini
direkomendasi untuk pencegahan jangka pendek karena latihan fisik-
menyebabkan bronkokonstriksi. Mengurangi dan idealnya,
menghilangkan kebutuhan akan perawatan pelega (reliever medication)
merupakan tujuan penting dalam penanganan asma dan ukuran
keberhasilan pengobatan asma.1
3. Terapi tambahan (add-on therapy)
Add-on therapy diberikan pada pasien asma berat; dipertimbangkan pada
kasus-kasus dengan gejala persisten dan atau eksaserbasi meski
dioptimalkan dengan kontroler (biasanya ICS dosis tinggi dan LABA)
dan terapi untuk memodifikasi faktor risiko.1
Program penatalaksanaan asma dibagi menjadi 2 yaitu pengobatan
jangka panjang dan penatalaksanaan serangan akut.7
1. Tatalaksana asma jangka panjang
Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat asma
(pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran (senam asma). Obat
pelega diberikan pada saat serangan, obat pengontrol ditujukan untuk
pencegahan serangan dan diberikan dalam jangka panjang dan terus
menerus.7
a. Pengontrol
Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk
mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi
proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma.
Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai
obat pencegah.7,8
 Glukokortikosteroid inhalasi

22
Tabel 2.7 Dosis obat glukokortikosteroid inhalasi

 Glukokortikosteroid sistemik
 Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
 Metilsantin
 Agonis β2 kerja lama (LABA)
 Leukotriene modifiers
b. Pelega (reliver)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan
napas.7,8
- Agonis beta-2 kerja singkat
- Metilsantin
- Antikolinergik (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan
lain-lain)
- Adrenalin
c. Add-on therapy;1

23
- Optimalkan dosis ICS/LABA
- Kortikosteroid oral
- Terapi tambahan tanpa phenotyping (Long-acting muscarinic
antagonist bronchodilator, tiotropium dan controller seperti
theophylline dan LTRAs)
- Terapi dengan sputum
- Terapi tambahan dengan fenotip (terapi anti-IL5 (mepolizumab,
reslizumab) dan LTRAs)
- Terapi non-farmakologi
- Berhenti merokok
- Aktivitas fisik
- Menghindari paparan asma akibat kerja
- Menghindari pengobatan yang dapat membuat asma menjadi
memburuk (NSAID termasuk aspirin)
- Diet yang sehat
- Menghindari alergen yang berasal dari luar dan dalam
- Menurunkan berat badan
- Alergen immunotherapy
- Breathing exercise
- Menghindari polusi udara
- Vaksinasi
- Bronchial thermoplasty
2. Penatalaksanaan serangan akut
Eksaserbasi merupakan perubahan gejala dan penurunan fungsi paru secara
progresif. Penurunan aliran udara ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran
fungsi paru seperti APE atau volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP ).1
Pengobatan diberikan bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan
akut. Terdapat 2 penanganan serangan asma yaitu pada primary care dan
emergency department.1
a. Primary care
 Menilai keparahan eksaserbasi, riwayat dan pemeriksaan fisik

24
Jika pasien menunjukkan tanda-tanda eksaserbasi parah atau
mengancam jiwa, pengobatan dengan SABA, kontrol oksigen dan
berikan kortikosteroid sistemik harus dimulai saat transfer pasien
yang mendesak ke fasilitas perawatan dimana pemantauan dan
keahlian lebih mudah didapat. Menilai riwayat penyakit seperti
waktu dan penyebab eksaserbasi, tingkat keparahan gejala asma,
gejala anafilaksis, faktor risiko asma yang dapat menyebabkan
kematian, semua obat pelega dan pengontrol saat ini, termasuk
dosis, pola kepatuhan, perubahan dosis terbaru dan respons terhadap
terapi saat ini. Pemeriksaan fisik berupa terdapat gejala keparahan
eksaserbasi, pemeriksaan tanda vital, pulse oximetry (saturasinya
<90%), komplikasi (anafilaksis, pneumonia, pneumotoraks), tanda-
tanda kondisi alternatif yang bisa menjelaskan sesak napas akut
(gagal jantung, disfungsi saluran napas bagian atas, benda asing
yang dihirup atau emboli paru).1
 Inhaled short-acting beta₂ -agonist
4-10 puffs setiap 20 menit (untuk 1 jam pertama). Setelah 1 jam,
berikan 4-10 puffs setiap 3-4 jam hingga 6-10 puffs setiap 1-2 jam.
APE > 60-80% diprediksi atau terbaik selama 3-4 jam.1
 Kontrol oksigen (jika ada)
Kontrol oksigen sampai saturasi oksigen 93-95%.1
 Kortikosteroid sistemik
OCS diberikan jika pasien mengalami perburukan. Dosis
rekomendasi 1 mg prednisolone/kg/hari atau dosis maksimal 50
mg/hari selama 5-7 hari.1
 Antibiotik (tidak direkomendasikan)
Bukti tidak mendukung peran antibiotik dalam eksaserbasi asma
kecuali ada bukti kuat infeksi paru (misalnya demam dan dahak
purulen atau bukti radiografi pneumonia). Pemberian kortikosteroid
harus dilakukan secara agresif sebelum antibiotik
(dipertimbangkan).1
 Lihat responnya dan follow up.1

25
Gambar 2.5 Manajemen asma akut di primary care

26
b. Emergency department
 Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
Mengindentifikasi riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sama
seperti pada primary care.1 Pada komplikasi, selain anafilaksis,
pneumonia dan pneumotoraks di Emergency department juga dilihat
apakah terdapat atelektasis dan pneumomediastinum.1
 Penilaian objektif;1
- Pengukuran fungsi paru: pemeriksaan ini sangat dianjurkan. Jika
memungkinkan, dan tanpa menunda pengobatan, APE atau VEP
harus dicatat sebelum pengobatan dimulai.
- Saturasi oksigen: jika < 90% harus dilakukan terapi segera
- Pengukuran gas darah arteri/AGDA tidak rutin dilakukan.
Dilakukan jika APE atau VEP < 50% atau pada pasien yang
tidak respon penanganan awal atau pada pasien yang mengalami
perburukan.
- Rontgen toraks tidak dianjurkan secara rutin.
 Oksigen
Berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen 93-95%,
oksigen harus diberikan dengan nasal kanul atau mask.1
 SABA inhalasi
Terapi SABA inhalasi harus diberikan secara berkala untuk pasien
yang menderita asma akut.1
 Epinefrin (untuk anafilaksis)
Epinefrin intramuscular diindikasikan sebagai terapi tambahan
standar untuk asma akut yang terkait dengan anafilaksis dan
angioedema. Hal ini tidak secara rutin diindikasikan untuk
eksaserbasi asma lainnya.1
 Kortikosteroid sistemik
Penggunaan kortikosteroid sistemik sangat penting di unit gawat
darurat, jika:1
- Terapi awal SABA gagal mencapai perbaikan gejala yang
berlangsung lama

27
- Eksaserbasi berkembang saat pasien memakai OCS
- Pasien memiliki riwayat eksaserbasi sebelumnya yang
memerlukan OCS
Dosis: dosis harian OCS 50 mg prednisolone sebagai
dosis tunggal pada pagi hari atau 200 mg hydrocortisone dalam
dosis terbagi adekuat pada kebanyakan pasien selama 5-7 hari.1
 Kortikosteroid inhalasi
Di UGD pemberian ICS dosis tinggi yang diberikan dalam satu jam
pertama setelah presentasi mengurangi kebutuhan rawat inap pada
pasien yang tidak menerima kortikosteroid sistemik.1
 Terapi lain;1
- Ipratropium bromide
- Aminophylline dan theophylline
- Magnesium
- Helium oxygen therapy
- Leukotriene receptor antagonists
- Kombinasi ICS/LABA
- Antibiotik (tidak disarankan)
Bukti tidak mendukung peran antibiotik dalam eksaserbasi asma
kecuali ada bukti kuat infeksi paru (misalnya demam dan dahak
purulent atau bukti radiografi pneumonia).1
- Sedatif
- Non-invasie ventilation (NIV)
 Lihat responnya.1

28
Gambar 2.6 Manajemen asma akut di Emergency Department

Kriteria rawat inap pada penderita di Unit Gawat Darurat


Pertimbangan untuk memulangkan atau rawat inap pada
penderita di gawat darurat, berdasarkan berat serangan, respon
pengobatan baik klinis maupun faal paru. Berdasarkan penilaian fungsi,
pertimbangan pulang atau rawat inap, adalah;1
 Penderita rawat inap bila VEP atau APE sebelum pengobatan
awal < 25% nilai terbaik/prediksi; atau VEP / APE < 40% nilai
terbaik / prediksi setelah pengobatan awal diberikan.
 Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEP / APE
40-60% nilai terbaik / prediksi setelah pengobatan awal, setelah
diyakini faktor risiko pasien dan bersedia untuk follow up.

29
 Penderita dengan respon setelah pengobatan awal memberikan
VEP / APE > 60% nilai terbaik / prediksi, direkomendasikan
untuk dipulangkan setelah diyakini faktor risiko dan bersedia
untuk follow up.

Gambar 2.7 Tatalaksana untuk mengendalikan asma dan


meminimalkan faktor risiko

 Untuk pasien dengan eksaserbasi ≥1 dalam 1 tahun terakhir, dosis


rendah Budesonide/Formoterol atau Budesonide/Formoterol
sebagai terapi maintenance dan reliever lebih efektif daripada terapi
ICS/LABA+SABA as needed.1
 Salah satu faktor risiko penyebab eksaserbasi asma adalah
penggunaan ICS yang tidak memadai dan penggunaan SABA yang
berlebihan. 1

30
 GINA 2017 merekomendasikan penggunaan ICS/LABA sebagai
maintenance dan ICS/Formoterol sebagai reliever mulai di step 3.1

1.8. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita asma adalah sebagai
berikut1,8 :
 Pneumonia
 Pneumotoraks
 Anafilaksis
 Atelektasis
 Pneumomediastinum
 Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA)
 PPOK
 Sinusitis
 Gagal jantung

31
DAFTAR PUSTAKA

1 Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and
prevention. Portland: NHLBI Publications: 2017;14-88
2 World Health Organization. Asthma. Geneva, Switzerland. 2017. [cited 17 May
2019]. Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs307/en.
3 Kampe M, Lisspers K, Stallberg B, Sundh J, Montgomery S, Janson C. Determinants
of uncontrolled asthma in a Swedish asthma population: cross sectional observational
study. European Clinical Respiratory Journal. 2014;1:1-9
4 Candrawati N, Amin M. Faktor yang berpengaruh pada tingkat kontrol asma di RSUD
Dr. Soetomo Surabaya. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. J Respir Indo.
2016;36:41-6
5 Widjaya RM, Fachri M. Gambaran pasien asma berbagai derajat dewasa dengan
faktor pencetus serangan asma. J Indon Med Assoc. 2014;64:558-63
6 Ali Z, Ulrik CS. Obesity and asthma: a coincidence or a causal relationship? a
systematic review. Respiratory Medicine. 2013;20:1-14
7 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pusat data dan informasi kementrian
kesehatan RI. Kemenkes RI. 2015;1-7
8 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2006.p.3-103.
9 Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Syam AF. Ilmu penyakit dalam
jilid I edisi ke-6. Jakarta: Internal Publishing; 2015;478-88.
10 Rengganis, I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSCM. 2008;58(11):444-453.
11 Laksana MA, Berawi KN. Faktor – faktor yang berpengaruh pada timbulnya
kejadian sesak napas penderita asma bronkial. Lampung. Skripsi Unlam. 2015;64-
7.
12 Bachtiar D, Wiyono WH, Yunus F. Proporsi asma terkontrol di klinik asma RS
Persahabatan Jakarta 2009. J Respir Indones. 2011;31(2):90-100.

Anda mungkin juga menyukai