Tepat tanggal 1 Desember 2017 nanti, semua negara akan memperingati hari AIDS sedunia.
HIV/AIDS memang masalah besar. Pada 2016, tercatat sudah ada lebih dari 36,7 juta jiwa
yang hidup dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Jumlahnya pun terus meningkat
sampai sekarang. Di Indonesia sendiri, jumlah pengidap terus bertambah setiap tahun.
Keadaan ini adalah tantangan berat untuk mencapai tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDGs) hingga tahun 2030. Berdasarkan data Laporan Perkembangan HIV/AIDS Direktorat
Kesehatan (Kemenkes) RI, pada 2010-2014, penderita HIV karena aktivitas heteroseksual
Kemudian pada 2015-2017, situasi menjadi lebih rumit karena faktor 'tak diketahui' menjadi
lebih dominan, meskipun faktor hubungan heteroseksual juga menjadi salah satu faktor utama
meningkatnya jumlah pengidap. Dalam data P2PL sepanjang 2016 hingga trimester kedua
2017, jumlah pengidap laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Kedua tahun
keseluruhan. Hingga Juni 2017, P2PL Kemenkes RI mencatat jumlah pengidap HIV banyak
berkumpul di provinsi besar Indonesia. Terbanyak adalah provinsi DKI Jakarta dengan
48.502 orang, disusul oleh Jawa Timur 35.168 orang, Papua 27.052 orang, Jawa Barat 26.066
orang, Jawa Tengah 19,272 orang, serta Bali 15.873 orang. "Pengidap terbanyak di Indonesia
(adalah mereka) pada usia produktif, (yakni) antara umur 20-39 tahun yang tinggi," kata
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Lansung Kemenkes Wiendra
Waworunto dalam acara konferensi pers Hari AIDS Sedunia di kawasan Jakarta Selatan,
Kenaikan pengidap HIV menjadi pekerjaan rumah bersama untuk mencapai SDGs. Dalam
tujuan ketiga, yakni kesehatan yang baik, salah satu target dalam poin 3.3 adalah mengakhiri
epidemi AIDS. Pemeritah juga menargetkan terciptanya 3 Zero, yakni bebas infeksi HIV
baru, bebas diksriminasi dan stigma pada pengidap HIV, serta bebas kasus kematian akibat
AIDS. Wiendra membenarkan, tingginya penularan HIV terjadi melalui aktivitas seksual
yang berisiko, baik yang dilakukan dengan pasangan heteroseksual atau homoseksual.
Kondisi ini disebut bisa meningkatkan risiko infeksi menular seksual (IMS). Menurut
Wiendra, infeksi IMS memiliki risiko terjangkit HIV tiga hingga lima kali lipat lebih besar.
"Dual proteksi, mencegah terjadinya IMS dan HIV, serta sebagai bagian dari pengobatan dan
mencegah pada waktu terjadinya kehamilan. Ini sangat penting juga," kata Wiendra. Wiendra
juga mengajak masyarakat untuk berani memeriksa status kesehatannya. Jika positif
mengidap HIV, pengobatan dini dapat mencegah terjadinya penularan baru dan
meningkatkan kualitas hidup. Pasalnya, tak semua pengidap HIV langsung melakukan
pengobatan. Rata-rata pengobatan terjadi setelah enam bulan hingga satu tahun setelah
(ARV) di seluruh provinsi. Meski HIV tak lagi menyandang status sebagai penyakit
mematikan, akses mendapatkan ARV masih terbilang sulit didapat. "HIV itu penyakit kronis
yang sama dengan hipertensi dan diabetes. Sama-sama berobat seumur hidup. Tapi hipertensi
dan diabetes jauh lebih mudah mendapatkan akses obat sedangkan akses ARV masih
terbatas. Tidak semua terdistribusi sampai ke area terpencil," kata Wiendra. Wiendra yakin
bahwa target SDGs itu masih dapat dicapai oleh pemerintah, tetapi keterlibatan dari berbagai
pihak masih tetap dibutuhkan. PenulisLutfy Mairizal Putra EditorGloria Setyvani Putri TAG:
HIV / AIDS HIV Berita Terkait Dokter Pakai Jarum Suntik Tak Steril, 5 Pasien Tertular HIV
5 Pasien "Sembuh" dari HIV dalam Uji Coba Vaksin Masalah yang Dihadapi Anak dengan
HIV Bila Anak dengan HIV Tak Patuh Minum Obat Perjalanan Panjang di Balik Obat HIV
Pertama
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pengidap HIV Terus Meningkat,
hiv-terus-meningkat-akankah-sdgs-tercapai-.