Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Empedu dibentuk dalam lobulus hati, disekresi kedalam jaringan

kanalikuli yang kompleks. Duktulus biliaris yang kecil, dan duktus biliaris yang lebih

besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri hepatika dalam

traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris interlobulus ini bergabung

untuk membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar yang bergabung untuk

membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri, yang pada gilirannnya akan bersatu

membentuk duktus koledukus. Duktus hepatikus komunis yang bergabung dengan

duktus sistikus kandung empedu untuk membentuk duktus koledukus yang memasuki

duodenum (sering setelah menggabung duktus pankreatikus mayor) melalui ampula

vater.2

Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang memburuk

secara progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang

sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan, nyeri kolesistitis

akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti kolik biliaris, nyeri

kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula kanan atau bahu. Tanda

peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada

pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami anoreksia dan sering mual.

Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat mengganggu kualitas hidup

pasien.

1
Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesia berasal dari bahasa Yunani an-
"tanpa" dan aesthesis, "rasa, sensasi. Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada
awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan
sesudah pembedahan. Analgetik adalah obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
tanpa disertai hilangnya perasaan secara total.1,2
Secara umum anestesi dibagi menjadi dua, yang pertama anestesi total atau umum,
yaitu hilangnya kesadaran secara total dan anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada
bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf
yang berhubungan dengannya.1
Sebelum dilakukan anestesi, perlu penilaian dan persiapan pra anestesi. Persiapan
prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang sebab-sebab terjadinya
kecelakaan anestesia. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. Trias anestesi terdiri dari analgesia, hypnosis dan arefleksia atau
relaksasi. Akan tetapi tindakan anesthesia tidak selalu mencakup ketiga komponen
tersebut, bergantung pada jenis pembedahan yang akan dilakukan.1,2
Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan cara anestesi adalah umur, status fisik,
posisi pembedahan, keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah, keterampilan dan
pengalaman dokter anestesiologi dan keinginan pasien.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Umum


2.1.1 Definisi
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).2

2.1.2 Indikasi Anestesi Umum2


1. Pada bayi dan dan anak usia muda
2. Pada orang dewasa yang memilih anestesi umum
3. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
4. Pembedahannya luas atau ekstensif
5. Posisi pembedahan seperti miring, tengkurap, duduk atau litotomi
6. Penderita sakit mental
7. Pembedahan yang berlangsung lama
8. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
9. Riwayat penderita toksik atau alergi obat anestesi local
10. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia

2.1.3 Kontra Indikasi Anestesi Umum2


Tergantung dari efek farmakologi obat anestetika terhadap organ tubuh, misalnya
pada kelainan.
1. Jantung : Hindarkan pemakaian obat-obat yang mendepresi miokard atau
menurunkan aliran darah koroner.
2. Hepar : Hindarkan obat yang toksis terhadap hepar atau dosis obat diturunkan.
3. Ginjal : Hindarkan atau seminim mungkin pemakaian obat-obat yang dieksresi
melalui ginjal
4. Paru : Hindarkan obat-obat yang menaikkan sekresi dalam paru

3
5. Endokrin : Hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada diabetes penyakit base dow, karena bisa menyebabkan peninggian gula
darah.

2.1.4 Komponen Anestesia2


Komponen anestesia yang ideal (trias anestesi) terdiri dari :
(1) Hipnotik, Hipnotik didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran).
(2) Analgesia, Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu
(3) Relaksasi otot, Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus
otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan.

2.1.5 Stadium Anestesia2


Gillespie (1943) menyempurnakan stadium-stadium menurut Guedel (1920) yang
membagi anestesi umum dengan eter kedalam 4 stadium yaitu:
a) Stadium I (analgesi) dimuai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya
kesadaran pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan seperti pencabutan
gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini.
b) Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran
dan refleksi bulu mata sampai pernapasan kembali teratur pada stadium ini
terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien
tertawa, berteriak, menangis, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne dan
hiperpnu, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi dan muntah.
Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.
c) Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana I : pernapasan teratur dan spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya
ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum
tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.

4
Plana 2 : pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak terfiksasi ditengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang dan refleks laring
hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3 : pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriassis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksaai otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4 : pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
d) Stadium IV (paralisis medulla oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah
tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti dan akhirnya terjadi kematian.
Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan
buatan.

2.1.6 Persiapan Pre-anestesia1


I. Persiapan mental dan fisik pasien
1. Anamnesis
 Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan pekerjaan
 Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesia seperti penyakit alergi, diabetes
mellitus, penyakit paru kronik, penyakit jantung dan hipertensi, penyakit
hati dan penyakit ginjal.
 Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin dapat
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestesi.
 Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa kali dan selang
waktunya, serta apakah pasien mengalami komplikasi saat itu.
 Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya anestesi
misalnya merokok, alkohool, obat-obat penenang atau narkotik.

5
2. Pemeriksaan fisik
 Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
 Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi
nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
 Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas, tanda-
tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus, persendian
temporo mandibula.
 Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau ortopnu,
sianosis, hipertensi
 Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat
membuat tekanan intra abdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan
regurgitasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
 Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa pembekuan, masa
perdarahan, hitung jenis leukosit
 Urine : protein, reduksi, sedimen
 Foto thoraks
 EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya
iskemia miokard
 Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
 Fungsi hati pada pasien ikterus
 Fungsi ginjal pada pasien hipertensi
 Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif

II. Perencanaan anastesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sedangkan pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus
dihindari.

6
III. Klasifikasi status fisik3
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal dari
The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
ASA 1 : pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain
penyakit yang akan dioperasi
ASA 2 : pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang
selain penyakit yang akan di operasi. Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol
atau hipertensi ringan
ASA 3 : pasien memiliki kelainan sistemik yang berat selain penyakit yang akan
di operasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya Diabetes Melitus yang tak
terkontrol dan hipertensi tak terkontrol
ASA 4 : pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain
penyakit yang akan di operasi. Misalnya asma bronkial yang berat, gagal jantung
kongestif
ASA 5 : pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi
mungkin saja dapat menyelamatkan tapi resiko kematian tetap jauh lebih besar.
Misalnya operasi pada pasien koma berat
ASA 6 : pasien yang telah dinyatakan telah mati batang otaknya yang mana
organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi
yang membutuhkan
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

IV. Persiapan pada hari operasi


Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
1. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT. Lama puasa pada
orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada
operasi darurat, pasien tidak puasa, maka dilakukan pemasangan NGT
untuk dekompresi lambung.
2. Pengosongan kandung kemih
3. Informed consent ( Surat izin operasi dan anestesi).
4. Pemeriksaan fisik ulang

7
5. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
6. Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau
secaraintravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi

2.1.7 Premedikasi1,2
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam
 Memperlancar induksi anestesia, misalnya pethidin
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya sulfas atropindan
hiosin
 Meminimalkan jumlah obat anestetik, misalnya pethidin
 Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya ondansetron
 Menciptakan amnesia, misalnya diazepam,midazolam
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi refleks yang membahayakan, misalnya tracurium, sulfas atropine
Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini :
1. Narkotik analgetika, misalnya:
 Morfin: Dosis dewasa biasa 8-10 mg i.m. obat ini digunakan untuk
mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang pembedahan.
Morfin adalah depresan susunan saraf pusat.
 Pethidin: Dosis sewasa 1mg/kgBB sering digunakan untuk menekan
tekanan darah dan pernafasan dan juga merangsang otot polos.
2. Transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine, misalnya diazepam dan
midazolam. Diazepam dapat dberikan peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum
induksi anesthesia
3. Barbiturat, misalnya phenobarbital dan sekobarbital sering digunakan untuk
sedasi dan menghilangkan kekhawatiran sebelum operasi. Dapat
diberikansecara oral ataupun i.m. dengan dosis dewasa 100-200 mg dan pada
bayi serta anak 2 mg/kgBB.
4. Antikolinergik, misalnya atropin dan hiosin sebagai anti mual dan muntah.

8
2.1.8 Persiapan Induksi Anestesi1
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkanSTATICS:
S : Scope (stetoskop, laringoskop)
 Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
 Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih luas
serta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis, pita suara
dan trakea.
Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
a. Blade lengkung (Miller, Magill). Biasa digunakan pada laringoskopi
dewasa.
b. Blade lurus.
T : Tube (pipa endotraceal, LMA)
 Pipa Endotrakeal
Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung ke dalam trakea.
Endotracheal tube dikerjakan pada pasien yang memiliki kemungkinan
kontaminasi pada jalan nafas, posisi pembedahan yang sulit, pembedahan di
mulut atau muka dan pembedahan yang lama.
 Laringeal mask airway (LMA)
Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari ventilasi face mask
atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan LMA pada pasien-pasien
dengan resiko aspirasi isi lambung dan pasien-pasien yang membutuhkan
dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
LMA terdiri dari 2 macam :
a. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
b. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahanyang ujung distalnya berhubungan dengan
esofagus
A: Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka, pipa oropharing)
 Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)
Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari dinding
belakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih bernapas spontan,

9
alat ini juga membantu saat dilakukan pengisapan lendir dan
mencegahpasien mengigit pipa endotrakheal (ETT).

 Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)


Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan napas
orofaring atau apabila secara tehnis tidak mungkin memasang alat bantu
jalan napas orofaring (misalnya trismus, rahang mengatup kuat dan cedera
berat daerah mulut).

 Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan udara atau gas
anastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan nafas pasien.
T:Tape (plaster), Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi
supayatidak terlepas.
I : Inducer (stilet atau forceps Magill),
Stilet (mandren) digunakah untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakeal
sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi (Mc gill) digunakan untuk
memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
C :Connection.
Connection ialah hubungan antara mesin respirasi/anestesi dengan sungkup
muka, serta penghubung-penghubung yang lain,

10
S : Suction
Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot lendir,
ludah, dan lain-lainnya.

2.1.9 Induksi Anestesi2,4


Induksi anestesi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi
untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.
Cara pemberian anestesi umum:
a. Parenteral (intramuskular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang singkat atau
induksi anestesi. Untuk tindakan yang lama anestesi parenteral dikombinasikan
dengan cara lain.
 Anestesi intravena
1. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak dengan jepekatan 1 % (1ml = 10
mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga sebelumnya dapat
diberikan lidokain 1-2 mg/kg IV. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis
rumatan 4-2 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0,2mg/kg.Propofol dapat menurunkan tekanan darah selama induksi anestesi karena
menurunnya resistensi arteri perifer dan venodilatasi.
2. Ketamin (Ketalar)
Ketamin mempunyai efek analgesic yang kuat sekali akan tetapi efek
hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan keadaan lingkungan
yang salah (anestesia disosiasi). Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun
diastolic. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai
maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit
kemudian. Denyut jantung juga akan meningkat. Efek ini disebabkan adanya
aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat
dicegah dengan pemberian premedikasi opiate dan hiosin. Ketamin juga dapat
menyebabkan dilatasi bronkus oleh histamine. Dosis rata-rata pemberian intravena 2
mg/kg dengan lama kerja 15-20 menit. Dosis rata-rata pemberian intramuskular 10
mg/kg dengan lama kerja 10-25 menit.

11
3. Tiopental
Tiopental hanya dapat digunakan secara intravena dengan dosis 3-5 mg/kg.
Larutan ini sangat bersifat alkalis sehinga dapat menyebabkan nekrosis jaringan bila
keluar dari vena.
4. Opioid (morfin, fentanil, petidin, sufentanil)
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi digunakan fentanil dosis induksi 20-
50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/ menit
 Anestesi intramuscular
Hanya ketamin yang dapat diberikan secara intramuskular.
b. Per rektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat. Yang
termasuk induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam. Midazolam memiliki
kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit akut, miastenia gravis, syok atau
koma, intoksikasi alkohol akut dengan depresi tanda- tanda vital, bayi prematur.
Efek samping dapat menyebabkan kejadian- kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada
tanda- tanda vital.
c. Anestesi inhalasi yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang
mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Zat
anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat
anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam
jaringan otak akan menentuka kekuatan daya anestesi. Zat anestetik disebut kuat bila
dengan tekanan parsial yang rendah sudah dapat member anestesi yang adekuat.
- N2O (nitrous oksida) gas ini bersifat anestetik lemah,. Pemberian anestesi
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25 % untuk menghindari hipoksia difusi.
- Halotan, halotan sering dikombinasikan dengan N2O. pada nafas spontan
rumatan anestesi sekitar 1-2 vol % dan pada afas kendali sekitar 0,5 – 1 vol %.
Kontraindikasi pemakaian halotan adalah penderita gangguan hepar, pernah
dapat halotan dalam waktu kurang 3 bulan atau pasien yang terlalu gemuk.
- Enfluran, pada EEG dapat menimbulkan tanda-tanda epileptic. Enfluran lebih
iritatik dibanding halotan.

12
- Isofluran, isofluran dapat meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intracranial, serta efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal.
- Sevofluran, sevofluran memiliki efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil dan
jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihhentikan sevofluran cepat
dikeluarkan oleh tubuh.

2.1.10 Rumatan Anestesia1


Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena atau
dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesia biasanya
mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi
otot lurik yang cukup.Rumatan intravena dengan menggunakan opioid dosis tinggi
fentanil 10- 50 µg/ kgBB. Rumatan inhalasi bisanya menggunakan campuran N2O dan
O2 3:1 ditambah halotan 0,5- 2 vol % atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4% atau
sevofluran 2-4% tergantung pernapasan pasien spontan, dibantu atau dikendalikan.

2.1.11 Obat Pelumpuh Otot1,2


Fungsi obat pelumpuh otot adalah memudahkan cedera pada tindakan
laringoskop dan intubasi trakea, membuat relaksasi otot selama pembedahan, serta
menghilangkan spasme laring dan refleks jalan nafas.
1. Atrakurium
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Keunggulan obat ini adalah
metabolism terjadi di darah, tidak bergantung fungsi hati dan ginjal. Tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna, Dosis intubasi yaitu
0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dosis relaksasi otot yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dan dosis
pemeliharaan 0,1-0,2 mg/kgBB/iv.
2. Suksametonium (succinyl choline)
Indikasi dari suksametonium adakan sebagai pelumpuh otot jangka pendek, dosis
untuk intubasi ialah 1-2 mg/kgBB/iv.

13
2.1.12 Tatalaksana nyeri1
Metode untuk menghilangkan nyeri biasanya digunakan analgetik golongan
opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID) untu nyeri
sedang atau ringan.
1. Morfin
Dosis anjuran untuk menghilangkan nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kgBB dan dapat
diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dapat diberi 1-2 mg intravena dan diulang sesuai
keperluan.
2. Petidin
Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis
intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. petidin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardi.
3. Fentanil
Pada fentanil efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek analgesianya. Dosis
1-3 µg/kgBB efek analgesianya hanya berlangsung 30 menit.
4. Nalokson
Nalokson ialah antagonis murni opioid. Nalokson biasanya digunakan untuk
melawan depresi nafas pada akhir pembedahan dengan dosisi 1-2 µg/kgBB intravena
dan dapat diulang tiap 3-5 menit.

2.1.13 Teknik Anestesi2


1. Teknik Anestesi spontan dengan sungkup muka
Indikasi :
- Untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam)
- Keadaan umum pasien cukup baik
- Lambung harus kosong
Urutan tindakan :
1. Periksa peralatan yang digunakan
2. Pasang infus
3. Persiapkan obat-obat

14
4. Induksi dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB
5. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup
muka ditempatkan pada muka
6. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam
anestesi, bersamaan dengan halotan dibuka sampai 1 % dan sedikit demi
sedikit dinaikkan sampai 3-4 % tergantung reaksi tubuh penderita
7. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa orofaring
8. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan beberapa menit
sebelum operasi selesai
9. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 beberapa menit
2. Teknik Anestesi spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi :
- Operasi lama
- Kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan sungkuo
muka.
Urutan tindakan :
1. Induksi dengan propofol
2. Sungkup muka ditempatkan pada muka dan oksigen 4-6 L/menit, kalau perlu
nafasi dibantu dengan menekan balon nafas secara periodik
3. Sesudah reflex mata menghilang diberikan suksinil kolin intravena 1-1.5
mg/kgBB, nafas dikendalikan dengan menekan balon nafas yang diisi
dengan aliran O2 2L.
4. Sesudah fasikulasi menghilang, pasien diintubasi.
5. Pipa guedel dimasukan dimulut agar pipa endotrakeal tidak tergigit.
Kemudian difiksasi dengan plester
6. Mata diplester agar tidak terbuka dan kornea tidak kering
7. Pipa endotrakeal dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat
anestesi. N2O dibuka 3-4 L/menit dan O2 2 L/menit kemudian halotan
dibuka 1 vol %dan cepat dinaikkan sampai 2 vol %. Nafas pasien
dikendalikan dengan menekan balon nafas.
8. Halotan dikurangi sampai 0,5-1.5 % untuk pemeliharaan anestesi
9. Nafas dapat dibiarkan spontan kalau usaha nafas cukup kuat

15
10. Kedalaman anestesi dipertahankan dengan kombinasi N2O dan O2 masing-
masing 2 l/menit, serta halotan 1.5-2 vol %

3. Teknik anestesi pipa endotrakeal dan nafas kendali


1. Teknik anestesi dan intubasi sama seperti diatas
2. Setelah pengaruh suksinil kolin mulai habis, diberi obat pelumpuh otot
jangka panjang misalnya alkuronium dosis 0.1-0.2 mg/kgBB
3. Nafas dikendalikan dengan ventilator atau secara manual. Konsentrasi
halotan sedikit demi sedikit dikurangi dan dipertahankan dengan 0.5-1 %.
4. Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis apabila pasien
tampak ada usaha mulai bernafas sendiri.
5. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O dihentikan
kalau lapisan kulit mulai dijahit.
6. Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali. O2 diberi
terus selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.

2.1.14 Monitoring Perianestesia1,2


Dalam tindakan anestesi harus dilakukan monitoring terus menerus tentang
keadaan pasien.
1. Kardiovaskular
a. Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan karena gangguan sirkulasi
sering terjadi selama anestesi.
b. Tekanan darah
c. Banyaknya perdarahan
2. Respirasi
Respirasi dinilai dari jenis nafasnya, apakah ada retraksi interkostal atau
supraklavikula.
3. Suhu tubuh
Tubuh tidak mampu mempertahankan suhu tubuh. Obat anestesi mendepresi pusat
pengatur suhu, sehingga mudah turun naik dengan suhu lingkungan.

16
4. Monitoring ginjal
Untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal
5. Monitoring blockade neuromuscular
Untuk mengetahui apakah relaksasi sudah cukup baik atau setelah selesai anestei
apakah tonus otot sudah kembali normal
6. Monitoring sistem saraf
Monitoring dengan memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respon terhadap
trauma pembedahan, respon terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.

2.1.15 Komplikasi Anestesi1,2


1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain:
a. Pembuluh Darah
Benzodiazepin dan kanulasi vena yang lama lebih mungkin menyebabkan
tromboflebitis dan infeksi.
b. Intubasi
Kerusakan pada bibir, gusi, dan gigi geligi dapat terjadi pada intubasi trakea.
2. Pernapasan
Yang paling ditakuti adalah obstruksi saluran pernapasan akut selama atau
segera setelah induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit
dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama
jika saluran pernapasan dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang
mencakup sekresi dan kandungan asam lambung.
3. Kardiovaskular
Komplikasi kardiovaskular yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi,
aritmia jantung, dan payah jantung. Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah
systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya.
Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan,
overdosis obat anestetika, penyakit kardiovaskular seperti infark miokard, aritmia,
hipertensi, dan reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi
transfusi.Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesi.
Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesia dan hipnosis yang tidak adekuat,

17
batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat.
Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia,
tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu.
4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Zat anestesi
mengurangi susunan kekebalan tubuh dan membuat pasien lebih mudah terkena
infeksi yang mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6
minggu mungkin harus dihalangi.
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan
penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, bisa timbul hipotermi
yang parah, yang menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan
perfusi perifer tidak adekuat.

2.2 Kolelitiasis

2.2.1 Definisi

Kolesistitis akut adalah inflamasi akut dari kandung empedu yang dicetuskan

oleh obstruksi dari duktus sistikus. 1,2

Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang

disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. 3

Kolesistitis akut adalah inflamasi akut dinding kandung empedu. 8

Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding

kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan

demam. 9

18
2.2.2 Fisiologi dan Produksi dan Aliran Empedu

Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan kanalikuli

yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang lebih besar yang

mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri hepatika dalam traktus porta

yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris interlobulus ini bergabung membentuk

duktus biliaris septum yang lebih besar yang bergabung untuk membentuk duktus

hepatikus kanan dan kiri yang berlanjut sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama

dengan duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus komunis bergabung

membentuk duktus koledokus yang kemudian bergabung dengan duktus pankreatikus

mayor lalu memasuki duodenum melalui ampulla Vater.2,6

Gambar 1 : Anatomi duktus biliaris.

19
Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi elektrolit

yang menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu terdiri dari 82% air,

12% asam empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta 0,7% kolesterol yang tidak

diesterifikasi. Unsur lain termasuk bilirubin terkonjugasi, protein (IgA), elektrolit,

mukus, dapat pula obat atau hasil metabolisme lainnya.. Cairan empedu ditampung

dalam kandung empedu yang memiliki kapasitas ± 50 ml. Selama empedu berada di

dalam kandung empedu, maka akan terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena

terjadinya proses reabsorpsi sebagian besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat,

diikuti oleh difusi air sehingga terjadi penurunan pH intrasistik. 2,6

Asam – asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk dari

kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi dan bersifat

larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin atau taurin dan diekskresi ke dalam

empedu. Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan

kolangiosit yang terletak sepanjang duktulus empedu. Produksi empedu perhari berkisar

500 – 600 mL. 2

20
2.2.3 Etiologi

Penyebab utama dari kolesistitis akut adalah obstruksi terus menerus dari duktus

sistikus oleh batu empedu yang mengakibatkan perdangan akut dari kandung empedu.

Pada 90 % kasus disertai dengan kolelitiasis. 1,3

Respon inflamasi di timbukan oleh berbagai faktor yakni: 1,2

1. Inflamasi Mekanik

Akibat tekanan intralumen dan regangan yang menimbulkan iskemik mukosa

dan dinding kandung empedu dapat menjadi infark dan ganggren.

2. Inflamasi kimiawi

Akibat terlepasnya lisoslesitin (karena aksi dari fosfolipase pada lesitin dalam

cairan empedu) reabsorbsi dari garam empedu,prostaglandin dan mediator

inflamasi yang lain juga terlibat. Lisolesitin bersifat toksik pada mukosa

kandung empedu.

3. Inflamasi bakterial (50-85%)

Organisme yang paling sering di kultus dari cairan kandung bempedu pasien

adalah Escherichia coli, spesies klebsiella, Streptococcus grup D, spesies

staphylococcus, dan spesies Clostridium.

2.2.4 Patogenesis

Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan

sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut

akalkulus). 3,5,9

21
Patogenesa kolesistitis akut meliputi : (1) Obstruksi duktus sistikus dengan

distensi dan iskemia vesika biliaris, (2) cidera kimia (empedu) dan/ atau mekanik (batu

empedu) pada mukosa. Dan (3) Infeksi bakteri. Keadaan ini dimulai dengan

tersangkutnya batu empedu dalam duktus sistikus dan gangguan pengosongan vesika

biliaris yang serupa dengan etiologi kolik bilier. Tetapi harus bersifat lebih lengkap dan

menetap karena gejala sisa. Nekrosis tekanan lokal dari batu menginduksi ulserasi dan

peradangan. Dengan obstruksi, makan tekanan intraluminer dalam vesika biliaris

meningkat, terbentuk edema, aliran keluar terganggu dan timbulo iskemik lebih lanjut.

Secara makroskopik, dinding vesika biliaris meradang akut, edematosa dan berindurasi.

Derajat distensi vesika biliaris tergantung pada jumlah fibrosis sebelumnya. Daerah

perdarahan bercak-bercak terbukti diluar dan disertai dengan daerah perlekatan fibrosa

lokal ke daerah sekelilingnya. 5

Ulserasi mukosa dan nekrosis bercak-bercak di dalam vesika biliaris meransang

lebih lanjut dan meeksaserbasi peradangan akut. Etiologi cidera mukosa ini belum

dipahami sepenuhnya. Trauma kimia dianggap muncul dari pengaruh peningkatan

tekanan intralumen, perubahan mukosa yang berlansung lama pada kolesisititius

kronika serta adanya garam empedu dan unsur lain empedu. Enzim pankreas atau enzim

lisosom yang dilepaskan oleh mukosa yang cidera (seperti fosfolipase A) bisa lebih

mengeksaserbasi peradangan dengan pelepasan lisolesitin toksik lokal. 5

22
Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut

Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko

terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma

atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan

yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam

periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat termasuk vaskulitis,

adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung

empedu, infeksi bakteri kandung empedu (misalnya Leptospira, Streptococcus,

Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis

akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya

(sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises) .2,9


23
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang

mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak

mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan

kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu. 5,9

2.2.5 Gambaran Klinis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di

sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh.

Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit

menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa

reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan

inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar

60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan. 1,3,7,9

Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran

atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering

mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi

volume vaskuler dan ekstraseluler. 2,9

Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila

dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang

tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran

kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda

Murphy).1 3,9

Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0

mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
24
empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes

mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual

saja . 3,7,8,9

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan

kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan

inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat

tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi

sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya.2,9

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan

peninggian serum transaminase, fosfat alkali/ gamma GT dan bilirubin serum

mencurigakan adanya obstruksi saluran empedu. 1,3,8

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan

pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan

leukositosis sangat sugestif.1,2,3,9

Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000

sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit

meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 %

pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali

lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan

kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan

kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis

diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan

25
bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat,

kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu dipertimbangkan. 2,9

Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat memberikan

konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung empedu

tanpa visualisasi kandung empedu. 1,2,3,5,7,9

Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut.

Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang

(radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak. 3,8,9

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan

sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung

empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG

mencapai 90 – 95%. 1,2,3,7,8,9

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal tapi mampu

memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak

terlihat pada pemeriksaan USG. 3

2.2.7 Diagnosa banding

Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan

seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti

appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut,

pielonefritis dan infark miokard. 1,3

26
2.2.8 Penatalaksanaan

Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien,

pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri

seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting

untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan

ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman –

kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan

Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda

sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.2

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah

sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi

konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik

tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren

dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di

rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju

menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum

dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan

mengaburkan anatomi. 3,9

Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan

pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut,

misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut

nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan

perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini

27
dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat

pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda.

Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang

kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan

(2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan.2,9

Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia

ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat bedah digestif.

Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi.

Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar

1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang

diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu.

Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%),

perdarahan, kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan

kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti

mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik

lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas

pasien. 3

2.2.9 Komplikasi

Empiema dan hidrops

Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan kolesistitis

akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang

tersumbat tersebut disertai kuman – kuman pembentuk pus. Biasanya terjadi pada

pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita diabetes
28
mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri kuadran kanan

atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan umum lemah. Empiema kandung

empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi.

Diperlukan intervensi bedah darurat disertai perlindungan antibiotik yang memadai

segera setelah diagnosis dicurigai. 3

Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan

berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan

ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan

oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel –

sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis sering teraba massa tidak nyeri yang mudah

dilihat dan diraba menonjol dari kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien

hidrops kandung empedu sering tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas

kronik juga dapat terjadi. Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi

empiema, perforasi atau gangren. 3

Gangren dan perforasi

Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan

bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi berlebihan

kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi yang menyebabkan

oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi perforasi kandung empedu,

tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan

sebelumnya abses. 3

29
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang

ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi

kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien

sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin

memerlukan kolesistektomi dan drainase abses. 3

Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar

30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri kuadran

kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami dekompresi, tetapi

kemudian timbul tanda peritonitis generalisata.3

Pembentukan fistula dan ileus batu empedu

Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu

mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula dalam

duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung

atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik biliaris

“bisu/tenang” yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi kolesistitis kronik pernah

ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani kolesistektomi. 3

Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan

temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan kontras

barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin

memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah

menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada pasien

simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi duktus koledokus dan

penutupan saluran fistula. 3


30
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan

oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya

memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat

obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus

kecil yang lebih proksimal berkaliber normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan

riwayat baik gejala traktus biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang

sugestif atau fistulisasi. 3

Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi

kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung

empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen

(misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu

ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal atas (fistula

kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini

diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang lebih proksimal dan

kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu lainnya. 3

Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.

Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu dalam

konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan opasifikasi

empedu yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen.

Apa yang disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis biasanya tidak

berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau sering timbul pada

kandung empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu porselin terjadi karena

deposit garam kalsium dalam dinding kandung empedu yang mengalami radang secara

31
kronik, mungkin dideteksi pada foto polos abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada

semua pasien dengan kandung empedu porselin karena pada kasus presentase tinggi

temuan ini tampak terkait dengan perkembangan karsinoma kandung empedu. 3

2.2.10 Prognosis

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung

empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak

jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang – kadang kolesistitis akut berkembang

secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses

hati atau peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian

dapat mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang

adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki angka

mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai

prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah. 3

32
BAB III
LAPORAN ANESTESI

3.1 Ilustrasi Kasus


Laporan kasus ini membahas pasien seorang perempuan, usia 58 tahun dengan
diagnosis Liver Abses, jenis tindakan drainase abses dengan rencana anastesi umum.

 Identitas Pasien
Nama : RS
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Protestan
Status : Menikah
Tinggi / Berat badan : 145 cm / 45 kg
No. RM : 00.98.96.50
Alamat : jln. Ngalengko 11 sehati no 10
MRS : 04 Agustus 2018
Tanggal Operasi : 07 Agustus 2018

 Anamnesis (Autoanamnesis) (06 Agustus 2018)


 Keluhan utama : nyeri perut kanan bagian atas

 Riwayat penyakit sekarang : Hal ini dialami pasien ± 4 hari sebelum


masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan tiba-tiba, bersifat hilang timbul, durasi lebih
dari setengah jam lalu menghilang secara perlahan. Nyeri dialami dari perut
kanan atas hingga ke ulu hati namun tidak menjalar ke bahu kanan dan
punggung. Nyeri bertambah berat bila beraktivitas, ketika menarik napas dalam
dan beberapa saat setelah makan makanan berminyak dan bersantan. Os juga
mengeluh mual setiap kali makan sehingga nafsu makan menurun sejak mulai
sakit. Os memiliki riwayat nyeri ulu hati sejak 1 bulan yang lalu dan hilang
dengan pemberian obat maag.

33
 Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat sakit serupa : disangkal
 Riwayat dirawat : disangkal
 Hipertensi : disangkal
 Asma : disangkal
 Alergi obat-obatan dan makanan : disangkal
 Alergi udara dingin : disangkal
 Diabetes : disangkal
 Penyakit Jantung : disangkal
 Penyakit Paru : disangkal
 Kejang : disangkal
 Penyakit Hati : disangkal
 Penyakit Ginjal : disangkal
 Riwayat Operasi dan Anestesi : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

 Riwayat Kebiasaan
 Merokok : dijumpai
 Minum alkohol : dijumpai
 Narkotik : disangkal
 Olahraga :-

34
Keadaan Pra Bedah (Follow Up Anestesi 06 Agustus 2018)

B1 (Breath)
Airway : Clear
Frekuensi pernafasan : 20 x/i
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : (-)
Riwayat asma/sesak/batuk/alergi: -/-/-/-

B2 (Blood)
Akral : Hangat/merah/kering
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/i
T/V : Cukup
Temperatur : 36,1oC
Konj.palp inferior pucat/hiperemis/ikterik : -/-/-

B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis
RC : +/+
Pupil : Isokor
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Riwayat kejang/ muntah proyektil/ nyeri kepala/ pandangan kabur : -/ -/ -/ -

B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : Cukup
Warna : Kuning
Kateter :-

35
B5 (Bowel)
Abdomen : soepel (+), distensi (-), nyeri tekan (+) kuadran kanan atas,
murphi sign (+), teraba massa (-)
Peristaltik : (+)
Mual/Muntah : +/-
BAB/Flatus : +/+
NGT :-

B6 (Bone)
Fraktur :-
Luka bakar :-
Oedem :-

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Hematologi
Hb : 12,9 gr/dl (N: 12-16 gr/dl)
Ht : 39,7 % (N : 37-47 %)
Eritrosit : 4,56 juta/ul (N: 4,3-6,0 juta/ul)
Leukosit : 7.760 /ul (N: 4800-10800/ul)
Trombosit : 482.000/ul (N: 150000-400000/ul)

Koagulasi
INR : 1,24 detik
Waktu Protombin : 2 menit
APTT : 29,7 detik

Kimia klinik
SGOT (AST) : 17,00 mU/dl (N: 0-32 mU/dl)
SGPT (ALT) : 27,00 mU/dl (N: 0-33 mU/dl)
Alkaline phosphatase : 155,00 mU/dl (N: 30,00-142,00 mU/dl)
Total bilirubin : 0,48 mg/dl (N: 0-1,2)
36
Bilirubin indirect : 0,18 mg/dl (N: 0,05-0,30)
Albumin : 3,80 (N: 3.4-4.8 g/dL)
Ureum : 15,00 mg/dl (N: 20-50 mg/dl)
Creatinin : 0,71 mg/dl (N: 0,5-1,5 mg/dl)
Glukosa Darah adr : 102,00 mg/dl (N:<140 mgdl)
Natrium : 140,60 mmol/dl (N : 136-155 mmol/dl)
Kalium : 4,38 mmol/dl (N:3,5-5,5 mmol/dl)
Chlorida : 110,70 mmol/dl (N: 95-103 mmol/dl

 Rontgen Thorax : tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan


pulmo (12/07/2018)
 EKG : sinus takikardi (moderete risk)
 USG : Cholelitiasis ukuran 5,2mm

Diagnosa Kerja
Cholelitiasis

Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA


ASA II (Sinus Takikardi)

Rencana Tindakan
Cholesistectomy

Rencana Anestesi
Anestesi Umum dengan Endotrakeal Tube Nafas Terkendali
Premedikasi : Fentanyl, Midazolam
Induksi : Propofol
Relaksan : Roculax

Kesimpulan

37
Pasien perempuan usia 58 tahun, berat badan 45 kg, status fisik ASA II,
diagnosis cholelitiasis yang akan dilakukan tindakan cholesistectomy, rencana
anastesi umum dengan endotrakeal tube napas terkendali.

FOTO KLINIS:

38
 Persiapan Pasien
Sebelum Operasi (06 Agustus 2018)
 Pasien di konsultasikan ke spesialis anestesi dan spesialis
bedah untuk menilai kondisi fisik pasien, apakah pasien dalam
kondisi fisik yang layak untuk dilakukan tindakan operasi.
 Setelah mendapatkan persetujuan dari spesialis anestesi dan
spesialis bedah, pasien di periksa 1 hari sebelum operasi
(kunjungan pre-operatif), hasil dari kunjungan pre-operatif ini
telah dijabarkan sebelumnya.

Diruang perawatan (06 Agustus 2018)


 Informed consent : Bertujuan untuk memberitahukan kepada pasien dan
keluarga pasien tindakan medis apa yang akan dilakukan kepada pasien
bagaimana pelaksanaannya, kemungkinan hasilnya, resiko tindakan yang
akan dilakukan.
 Surat persetujuan operasi : merupakan bukti tertulis dari pasien atau
keluarga pasien yang menunjukkan persetujuan tindakan medis yang akan
dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga
pasien tidak akan mengajukan tuntutan.
 Pasien dipuasakan sejak pukul 00.00 WIB tanggal 23 April 2018,
tujuannya untuk memastikan bahwa lambung pasien telah kosong sebelum
pembedahan untuk menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan
aspirasi isi lambung yang akan membahayakan pasien.
 Pengosongan kandung kemih pada pagi harinya pada pukul 06.00 WIB.
 Pembersihan wajah dan kuku pasien dari kosmetik agar tidak mengganggu
pemeriksaan selama anastesi, misalnya bila ada sianosis. Gigi palsu
dilepaskan agar tidak mengganggu kelancaran proses intubasi dan bila ada
perhiasan sebaiknya diberikan kepada keluarga pasien.

Di Ruang Persiapan (07 Agustus 2018)

 Identifikasi Pasien

39
 Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan.
 Pemeriksaan fisik pasien di ruang persiapan : TD=120/70 mmHg, nadi =
80x/menit, suhu=36.50C, RR = 20x/menit
 Pendataan kembali identitas pasien di ruang operasi. Anamnesa singkat
kepada keluarga yang meliputi BB, umur, riwayat penyakit, riwayat
alergi, riwayat kebiasaan, dan lainnya.
 Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi kemudian
dilakukan pemasangan EKG, manset, infus, dan oksimeter.
 Pemeriksaan tanda tanda vital.

3.3 Persiapan Alat


 Laringoskop
 Stetoskop
 ETT no. 7
 Guedel (Oropharyngeal airway)
 Plester/Tape : Hypafix
 Mandrin
 Suction
 Ambu bag
 Spuit 3 cc, 5 cc dan 10 cc
 Gel lubricating
 Sarung tangan
 Face mask adult
 Pack
 Forcep Magill
 Mesin anestesi
 Komponen I : Sumber gas, flowmeter, dan vaporizer
 Komponen II : Sirkuit nafas / system ventilasi yaitu open,semiopen,
semiclose.
 Komponen III : Alat penghubung sistem ventilasi dengan pasien yaitu
sungkup muka dan pipa ombak.

40
 EKG monitor
 Sfigmomanometer digital
 Oksimeter/saturasi
 Infuse set
 Infuse set dan cairan infus – Ringer Laktat
 Abocath no.18 G
 Plester
 Alcohol swab
 Tourniquet

 Persiapan Obat-Obatan Anestesi


1. Premedikasi : Fentanyl 100 µg/2cc
Dosis : 1-2 µg/kgBB 50 -100 µg
Pemberian : 100 µg

Midazolam 5 mg/5cc
Dosis : 0,05-0,1 mg/kgBB 2,5 - 5 mg
Pemberian : 5 mg
2. Induksi : Propofol 200 mg/20cc
Dosis : 2-2,5 mg/kgBB 100 - 125 mg
Pemberian : 100 mg
4. Relaksan : Roculax 50 mg/5cc
Dosis : 0,6-1,2 mg/kgBB 30 - 60 mg
Pemberian : 50 mg
5. Maintenance Isoflurane 1%, N2O, O2
(rumatan) :
Antibiotik : -
Steroid : -
Anti emetic selama op : Ondansetron 8 mg
Obat reverse : Sulfas atropine 0,75 mg : neostigmine 1,5
mg

41
Anti emetic post op : Ondansetron 4 mg/12 jam
Analgetik post op : Ketorolac 30 mg/8 jam
Obat emergency :  Sulfas Atropin dosis 0,25 mg-5
mg IV
 Epinephrine dosis 1 mg atau
0.02 mg/kg larutan 1:10.000

PELAKSANAAN ANESTESI
Di Ruang Operasi
JAM (WIB)
09. 50  Pasien dari ruang tunggu masuk ke
ruang operasi
 Pindahkan pasien ke meja operasi
dengan posisi supinasi
 Pasang infus pada tangan kanan
menggunakan abocath no.18G dengan
cairan RL sejumlah 500 cc
 Memasang monitor EKG dan
oksimeter pulse
 Mengukur tekanan darah, nadi, saturasi
prainduksi (TD: 120/70 mmHg, Nadi :
80x/m, SPO2 : 99%)
 Pemberian obat analgetik fentanyl 100
mcg iv dan midazolam 5 mg iv
(premedikasi).
09.55  Induksi dengan propofol 100 mg iv.
 Memastikan pasien sudah tidak sadar dengan
cara memeriksa refleks bulu mata, kemudian

42
diberikan muscle relaksan yaitu roculax 50 mg
iv.
 Dilakukan preoksigenasi dengan sungkup
muka menggunakan O2 sebanyak 6 liter/menit,
kalau perlu nafas dibantu dengan menekan
balon nafas secara periodik ± 3 menit.
 Setelah relaksasi pasien diintubasi dengan ETT
no.7,0 cuff (+), pack (+), guedel (-), untuk
memastikan ETT terpasang dengan benar
dengarkan suara nafas dengan stetoskop bahwa
paru kanan dan kiri sama dan dinding dada
kanan dan kiri bergerak simetris pada setiap
inspirasi buatan, difiksasi menggunakan
plester.
 Tutup mata kanan dan kiri pasien dengan
plester.
 ETT dihubungkan dengan konektor ke sirkuit
nafas alat anestesi, kemudian N2O dibuka 2
liter/menit dan O2 2 liter/menit kemudian
isofluran dibuka 1%.
 Nafas pasien dikendalikan dengan respirator.
Inspirasi 400 ml dengan frekuensi 14 kali per
menit. (Bila menggunakan respirator setiap
inspirasi (volume tidal) diusahakan kurang
lebih 6-8 ml/kg BB dengan frekuensi 12-
20x/menit).
 Perhatikan apakah gerakan nafas pasien
simetris antara yang kanan dan kiri.
 TD: 110/70 mmHg, Nadi : 80x/m, SPO2 :
99%.
10.00 TD : 100/60 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%

43
10.15 TD : 120/70 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
10.30 TD : 140/90 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
10.45 TD : 140/90 mmHg, nadi : 90x/menit SPO2 : 99%
11.00 TD : 130/80 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
11.15 TD : 130/90 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
11.30 TD : 130/90 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
11.35  Operasi selesai
 Pemberian obat anastesi dihentikan,
pemberian O2 dipertahankan
 TD 130/90 mmHg, Nadi 80x/menit,
SPO299%, ETT dan guedel dicabut
setelah pasien dapat dibangunkan.
Lendir dikeluarkan dengan suction lalu
pasien diberi oksigen murni selama 5
menit.
 Setelah semua peralatan dilepaskan
(EKG, manset tensimeter, oksimeter)
pasien dibawa ke ruang Recovery
Room.

Monitoring perdarahan
Perdarahan
Kassa basah : 10 x 10 cc = 100 cc
Kassa ½ basah : 5 x 5cc = 25 cc
Suction : 100 cc
Total : 225 cc
Infus RL o/t regio dorsum manus dextra
Pre operasi : RL 500 ml
Durante operasi : RL 500 ml 2fls
Urine output :
Durante operasi : Terpasang kateter (±300 cc)

44
Post Operasi

Di Ruang Pemulihan
Setelah operasi selesai pukul 11.35, sekitar pukul 11.45 pasien dibawa ke ruang
Recovery Room, lalu diberikan oksigen via nasal canul sebesar 2 liter/menit,
kemudian dilakukan penilaian terhadap tingkat kesadaran, pada pasien
kesadarannya adalah compos mentis, pasien tampak kesakitan. Dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
78x/menit, respirasi 20x/menit dan saturasi O2 100%.
Pasien di observasi di Recovery Room.

Instruksi Pasca Bedah :


 Bed rest, head up 300
 O2 2 L/i via nasal kanul
 Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam
 Injeksi Ondansentron 4 mg/12 jam
 Antibiotik dan terapi lain sesuai TS Bedah
 Pantau vital sign per 15 menit selama 2 jam

45
BAB IV

PEMBAHASAN TEORI

TEORI KASUS

Indikasi Anestesi Umum Pasien perempuan, usia 58 tahun


1. Pada bayi dan dan anak usia muda dengan diagnosis cholelitiasis, akan
2. Pada orang dewasa yang memilih dilakukan tindakan cholesistectomy
anestesi umum dengan rencana anastesi umum akan tidak
3. Pasien gelisah, tidak kooperatif, memuaskan atau tidak praktis jika
disorientasi dengan gangguan jiwa dilakukan anestesi lokal.
4. Pembedahannya luas atau ekstensif
5. Posisi pembedahan seperti miring,
tengkurap, duduk atau litotomi
6. Penderita sakit mental
7. Pembedahan yang berlangsung lama
8. Pembedahan dimana anestesi lokal
tidak praktis atau tidak memuaskan
9. Riwayat penderita toksik atau alergi
obat anestesi local
10. Penderita dengan pengobatan
antikoagulantia

Komplikasi anestesi Pada pasien ini tidak dijumpai komplikasi


dari tindakan anestesi umum.
1. Kerusakan fisik (pembuluh darah,
intubasi)

2. Pernapasan

3. Kardiovaskuler

4. Hati

46
5. Suhu tubuh

Klasifikasi yang digunakan untuk menilai Pasien ini digolongkan dalam ASA 2
kebugaran fisik seseorang berasal dari The karena dari EKG dijumpaui sinus takikardi
American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi sebagai berikut :

ASA 1 : pasien sehat organik,


fisiologik, psikiatrik, biokimia

ASA 2 : pasien dengan penyakit


sistemik ringan dan sedang

ASA 3 : pasien dengan penyakit


sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas

ASA 4 : pasien dengan penyakit


sistemik berat yang tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan
penyakit merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat

ASA 5 : pasien sekarat yang


diperkirakan dangan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan
lebih dari 24 jam

Pada bedah cito atau emergency


biasanya dicantumkan huruf E.

47
BAB V
KESIMPULAN

1. Pasien perempuan, usia 58 tahun dengan diagnosis cholelitiasis, akan dilakukan


tindakan cholesistectomy dengan rencana anastesi umum akan tidak memuaskan
atau tidak praktis jika dilakukan anestesi lokal.
2. Pada pasien ini juga tidak dijumpai komplikasi dari tindakan anestesi umum
seperti kerusakan fisik (pembuluh darah dan intubasi), pernafasan,
kardiovaskular, hati dan suhu tubuh.
3. Pasien ini digolongkan dalam ASA 2 karena dari EKG dijumpai sinus takikardi.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002; p.1, 29-35, 66-69, 74-83, 90-95,
147-149.
2. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R, Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI. 2004; p.1, 45, 49-58, 59-62, 63, 65-71, 81-
86, 93-109, 146-156.
3. ASA Physical Status Classification System. Dikutip:
http://www.asahq.org>standart-guidelines
4. Boulton TB, Blog CE. Anestesiologi FKUI. Edisi 10. Jakarta : EGC. 1994; p. 89-
100.
5. Sulaiman, Ali.dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Batu empedu. Hal 161-

178. Jakarta: Jaya Abadi

6. Isselbacher, Kurt.dkk, 2000. Harrison’s Principles of internal Medicines edisi 13

vol.4. Penyakit Kandung Empedu Dan Duktus Bilaris. Hal 1688-1699. Jakarta:

EGC.MC-Graw Hill.

7. Sudoyo, W. Aru.dkk. 2009. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Kolesistitis. Hal 718-720. Jakarta:

InternaPublishing

8. Price, Sylvia. Wilson Lorraine. 2007. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit Vol 1. Edisi 6. Gangguan hati, Kandung Empedu dan Pankreas. Hal 502-

503. Jakarta: EGC.

49

Anda mungkin juga menyukai