PENDAHULUAN
kanalikuli yang kompleks. Duktulus biliaris yang kecil, dan duktus biliaris yang lebih
besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri hepatika dalam
traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris interlobulus ini bergabung
untuk membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar yang bergabung untuk
membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri, yang pada gilirannnya akan bersatu
duktus sistikus kandung empedu untuk membentuk duktus koledukus yang memasuki
vater.2
Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang memburuk
secara progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang
sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan, nyeri kolesistitis
akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti kolik biliaris, nyeri
kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula kanan atau bahu. Tanda
pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami anoreksia dan sering mual.
Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat mengganggu kualitas hidup
pasien.
1
Kata anestesia diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Anestesia berasal dari bahasa Yunani an-
"tanpa" dan aesthesis, "rasa, sensasi. Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada
awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan
sesudah pembedahan. Analgetik adalah obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
tanpa disertai hilangnya perasaan secara total.1,2
Secara umum anestesi dibagi menjadi dua, yang pertama anestesi total atau umum,
yaitu hilangnya kesadaran secara total dan anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada
bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf
yang berhubungan dengannya.1
Sebelum dilakukan anestesi, perlu penilaian dan persiapan pra anestesi. Persiapan
prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang sebab-sebab terjadinya
kecelakaan anestesia. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. Trias anestesi terdiri dari analgesia, hypnosis dan arefleksia atau
relaksasi. Akan tetapi tindakan anesthesia tidak selalu mencakup ketiga komponen
tersebut, bergantung pada jenis pembedahan yang akan dilakukan.1,2
Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan cara anestesi adalah umur, status fisik,
posisi pembedahan, keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah, keterampilan dan
pengalaman dokter anestesiologi dan keinginan pasien.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
5. Endokrin : Hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada diabetes penyakit base dow, karena bisa menyebabkan peninggian gula
darah.
4
Plana 2 : pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak terfiksasi ditengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang dan refleks laring
hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3 : pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriassis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksaai otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4 : pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
d) Stadium IV (paralisis medulla oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah
tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti dan akhirnya terjadi kematian.
Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan
buatan.
5
2. Pemeriksaan fisik
Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi
nadi, pola dan frekuensi pernafasan.
Pemeriksaan saluran pernafasan; batuk-batuk, sputum, sesak nafas, tanda-
tanda sumbatan jalan nafas, pemakaian gigi palsu, trismus, persendian
temporo mandibula.
Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau ortopnu,
sianosis, hipertensi
Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat
membuat tekanan intra abdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan
regurgitasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa pembekuan, masa
perdarahan, hitung jenis leukosit
Urine : protein, reduksi, sedimen
Foto thoraks
EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya
iskemia miokard
Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
Fungsi hati pada pasien ikterus
Fungsi ginjal pada pasien hipertensi
Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif
6
III. Klasifikasi status fisik3
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal dari
The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
ASA 1 : pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain
penyakit yang akan dioperasi
ASA 2 : pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang
selain penyakit yang akan di operasi. Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol
atau hipertensi ringan
ASA 3 : pasien memiliki kelainan sistemik yang berat selain penyakit yang akan
di operasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya Diabetes Melitus yang tak
terkontrol dan hipertensi tak terkontrol
ASA 4 : pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain
penyakit yang akan di operasi. Misalnya asma bronkial yang berat, gagal jantung
kongestif
ASA 5 : pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi
mungkin saja dapat menyelamatkan tapi resiko kematian tetap jauh lebih besar.
Misalnya operasi pada pasien koma berat
ASA 6 : pasien yang telah dinyatakan telah mati batang otaknya yang mana
organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi
yang membutuhkan
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
7
5. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
6. Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau
secaraintravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi
2.1.7 Premedikasi1,2
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam
Memperlancar induksi anestesia, misalnya pethidin
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya sulfas atropindan
hiosin
Meminimalkan jumlah obat anestetik, misalnya pethidin
Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya ondansetron
Menciptakan amnesia, misalnya diazepam,midazolam
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan, misalnya tracurium, sulfas atropine
Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini :
1. Narkotik analgetika, misalnya:
Morfin: Dosis dewasa biasa 8-10 mg i.m. obat ini digunakan untuk
mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang pembedahan.
Morfin adalah depresan susunan saraf pusat.
Pethidin: Dosis sewasa 1mg/kgBB sering digunakan untuk menekan
tekanan darah dan pernafasan dan juga merangsang otot polos.
2. Transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine, misalnya diazepam dan
midazolam. Diazepam dapat dberikan peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum
induksi anesthesia
3. Barbiturat, misalnya phenobarbital dan sekobarbital sering digunakan untuk
sedasi dan menghilangkan kekhawatiran sebelum operasi. Dapat
diberikansecara oral ataupun i.m. dengan dosis dewasa 100-200 mg dan pada
bayi serta anak 2 mg/kgBB.
4. Antikolinergik, misalnya atropin dan hiosin sebagai anti mual dan muntah.
8
2.1.8 Persiapan Induksi Anestesi1
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkanSTATICS:
S : Scope (stetoskop, laringoskop)
Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih luas
serta melihat daerah faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis, pita suara
dan trakea.
Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
a. Blade lengkung (Miller, Magill). Biasa digunakan pada laringoskopi
dewasa.
b. Blade lurus.
T : Tube (pipa endotraceal, LMA)
Pipa Endotrakeal
Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung ke dalam trakea.
Endotracheal tube dikerjakan pada pasien yang memiliki kemungkinan
kontaminasi pada jalan nafas, posisi pembedahan yang sulit, pembedahan di
mulut atau muka dan pembedahan yang lama.
Laringeal mask airway (LMA)
Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari ventilasi face mask
atau intubasi ET. Kontraindikasi pemasangan LMA pada pasien-pasien
dengan resiko aspirasi isi lambung dan pasien-pasien yang membutuhkan
dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
LMA terdiri dari 2 macam :
a. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
b. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahanyang ujung distalnya berhubungan dengan
esofagus
A: Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka, pipa oropharing)
Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)
Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari dinding
belakang faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih bernapas spontan,
9
alat ini juga membantu saat dilakukan pengisapan lendir dan
mencegahpasien mengigit pipa endotrakheal (ETT).
Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan udara atau gas
anastesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan nafas pasien.
T:Tape (plaster), Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi
supayatidak terlepas.
I : Inducer (stilet atau forceps Magill),
Stilet (mandren) digunakah untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakeal
sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forseps intubasi (Mc gill) digunakan untuk
memanipulasi pipa endotrakeal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
C :Connection.
Connection ialah hubungan antara mesin respirasi/anestesi dengan sungkup
muka, serta penghubung-penghubung yang lain,
10
S : Suction
Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot lendir,
ludah, dan lain-lainnya.
11
3. Tiopental
Tiopental hanya dapat digunakan secara intravena dengan dosis 3-5 mg/kg.
Larutan ini sangat bersifat alkalis sehinga dapat menyebabkan nekrosis jaringan bila
keluar dari vena.
4. Opioid (morfin, fentanil, petidin, sufentanil)
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi digunakan fentanil dosis induksi 20-
50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/ menit
Anestesi intramuscular
Hanya ketamin yang dapat diberikan secara intramuskular.
b. Per rektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat. Yang
termasuk induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam. Midazolam memiliki
kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit akut, miastenia gravis, syok atau
koma, intoksikasi alkohol akut dengan depresi tanda- tanda vital, bayi prematur.
Efek samping dapat menyebabkan kejadian- kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada
tanda- tanda vital.
c. Anestesi inhalasi yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang
mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernafasan. Zat
anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat
anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam
jaringan otak akan menentuka kekuatan daya anestesi. Zat anestetik disebut kuat bila
dengan tekanan parsial yang rendah sudah dapat member anestesi yang adekuat.
- N2O (nitrous oksida) gas ini bersifat anestetik lemah,. Pemberian anestesi
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25 % untuk menghindari hipoksia difusi.
- Halotan, halotan sering dikombinasikan dengan N2O. pada nafas spontan
rumatan anestesi sekitar 1-2 vol % dan pada afas kendali sekitar 0,5 – 1 vol %.
Kontraindikasi pemakaian halotan adalah penderita gangguan hepar, pernah
dapat halotan dalam waktu kurang 3 bulan atau pasien yang terlalu gemuk.
- Enfluran, pada EEG dapat menimbulkan tanda-tanda epileptic. Enfluran lebih
iritatik dibanding halotan.
12
- Isofluran, isofluran dapat meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intracranial, serta efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal.
- Sevofluran, sevofluran memiliki efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil dan
jarang menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihhentikan sevofluran cepat
dikeluarkan oleh tubuh.
13
2.1.12 Tatalaksana nyeri1
Metode untuk menghilangkan nyeri biasanya digunakan analgetik golongan
opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID) untu nyeri
sedang atau ringan.
1. Morfin
Dosis anjuran untuk menghilangkan nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kgBB dan dapat
diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dapat diberi 1-2 mg intravena dan diulang sesuai
keperluan.
2. Petidin
Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis
intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. petidin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardi.
3. Fentanil
Pada fentanil efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek analgesianya. Dosis
1-3 µg/kgBB efek analgesianya hanya berlangsung 30 menit.
4. Nalokson
Nalokson ialah antagonis murni opioid. Nalokson biasanya digunakan untuk
melawan depresi nafas pada akhir pembedahan dengan dosisi 1-2 µg/kgBB intravena
dan dapat diulang tiap 3-5 menit.
14
4. Induksi dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB
5. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup
muka ditempatkan pada muka
6. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam
anestesi, bersamaan dengan halotan dibuka sampai 1 % dan sedikit demi
sedikit dinaikkan sampai 3-4 % tergantung reaksi tubuh penderita
7. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa orofaring
8. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan beberapa menit
sebelum operasi selesai
9. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 beberapa menit
2. Teknik Anestesi spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi :
- Operasi lama
- Kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan sungkuo
muka.
Urutan tindakan :
1. Induksi dengan propofol
2. Sungkup muka ditempatkan pada muka dan oksigen 4-6 L/menit, kalau perlu
nafasi dibantu dengan menekan balon nafas secara periodik
3. Sesudah reflex mata menghilang diberikan suksinil kolin intravena 1-1.5
mg/kgBB, nafas dikendalikan dengan menekan balon nafas yang diisi
dengan aliran O2 2L.
4. Sesudah fasikulasi menghilang, pasien diintubasi.
5. Pipa guedel dimasukan dimulut agar pipa endotrakeal tidak tergigit.
Kemudian difiksasi dengan plester
6. Mata diplester agar tidak terbuka dan kornea tidak kering
7. Pipa endotrakeal dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat
anestesi. N2O dibuka 3-4 L/menit dan O2 2 L/menit kemudian halotan
dibuka 1 vol %dan cepat dinaikkan sampai 2 vol %. Nafas pasien
dikendalikan dengan menekan balon nafas.
8. Halotan dikurangi sampai 0,5-1.5 % untuk pemeliharaan anestesi
9. Nafas dapat dibiarkan spontan kalau usaha nafas cukup kuat
15
10. Kedalaman anestesi dipertahankan dengan kombinasi N2O dan O2 masing-
masing 2 l/menit, serta halotan 1.5-2 vol %
16
4. Monitoring ginjal
Untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal
5. Monitoring blockade neuromuscular
Untuk mengetahui apakah relaksasi sudah cukup baik atau setelah selesai anestei
apakah tonus otot sudah kembali normal
6. Monitoring sistem saraf
Monitoring dengan memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respon terhadap
trauma pembedahan, respon terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.
17
batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat.
Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia,
tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu.
4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Zat anestesi
mengurangi susunan kekebalan tubuh dan membuat pasien lebih mudah terkena
infeksi yang mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6
minggu mungkin harus dihalangi.
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan
penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, bisa timbul hipotermi
yang parah, yang menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan
perfusi perifer tidak adekuat.
2.2 Kolelitiasis
2.2.1 Definisi
Kolesistitis akut adalah inflamasi akut dari kandung empedu yang dicetuskan
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang
disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. 3
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding
kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan
demam. 9
18
2.2.2 Fisiologi dan Produksi dan Aliran Empedu
Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan kanalikuli
yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang lebih besar yang
mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri hepatika dalam traktus porta
yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris interlobulus ini bergabung membentuk
duktus biliaris septum yang lebih besar yang bergabung untuk membentuk duktus
hepatikus kanan dan kiri yang berlanjut sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama
dengan duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus komunis bergabung
19
Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi elektrolit
yang menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu terdiri dari 82% air,
12% asam empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta 0,7% kolesterol yang tidak
mukus, dapat pula obat atau hasil metabolisme lainnya.. Cairan empedu ditampung
dalam kandung empedu yang memiliki kapasitas ± 50 ml. Selama empedu berada di
dalam kandung empedu, maka akan terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena
terjadinya proses reabsorpsi sebagian besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat,
Asam – asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk dari
kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi dan bersifat
larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin atau taurin dan diekskresi ke dalam
empedu. Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan
kolangiosit yang terletak sepanjang duktulus empedu. Produksi empedu perhari berkisar
20
2.2.3 Etiologi
Penyebab utama dari kolesistitis akut adalah obstruksi terus menerus dari duktus
sistikus oleh batu empedu yang mengakibatkan perdangan akut dari kandung empedu.
1. Inflamasi Mekanik
2. Inflamasi kimiawi
Akibat terlepasnya lisoslesitin (karena aksi dari fosfolipase pada lesitin dalam
inflamasi yang lain juga terlibat. Lisolesitin bersifat toksik pada mukosa
kandung empedu.
Organisme yang paling sering di kultus dari cairan kandung bempedu pasien
2.2.4 Patogenesis
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan
sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut
akalkulus). 3,5,9
21
Patogenesa kolesistitis akut meliputi : (1) Obstruksi duktus sistikus dengan
distensi dan iskemia vesika biliaris, (2) cidera kimia (empedu) dan/ atau mekanik (batu
empedu) pada mukosa. Dan (3) Infeksi bakteri. Keadaan ini dimulai dengan
tersangkutnya batu empedu dalam duktus sistikus dan gangguan pengosongan vesika
biliaris yang serupa dengan etiologi kolik bilier. Tetapi harus bersifat lebih lengkap dan
menetap karena gejala sisa. Nekrosis tekanan lokal dari batu menginduksi ulserasi dan
meningkat, terbentuk edema, aliran keluar terganggu dan timbulo iskemik lebih lanjut.
Secara makroskopik, dinding vesika biliaris meradang akut, edematosa dan berindurasi.
Derajat distensi vesika biliaris tergantung pada jumlah fibrosis sebelumnya. Daerah
perdarahan bercak-bercak terbukti diluar dan disertai dengan daerah perlekatan fibrosa
lebih lanjut dan meeksaserbasi peradangan akut. Etiologi cidera mukosa ini belum
kronika serta adanya garam empedu dan unsur lain empedu. Enzim pankreas atau enzim
lisosom yang dilepaskan oleh mukosa yang cidera (seperti fosfolipase A) bisa lebih
22
Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut
atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan
yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam
Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis
akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya
mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh.
Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit
menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa
reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan
inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar
60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan. 1,3,7,9
atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering
mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi
Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila
dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang
tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran
kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda
Murphy).1 3,9
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0
mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
24
empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes
mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual
saja . 3,7,8,9
kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan
inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat
tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi
sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya.2,9
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan
Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000
sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit
pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali
25
bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat,
konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung empedu
Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang
empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG
memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan
seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti
appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut,
26
2.2.8 Penatalaksanaan
pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri
seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting
kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan
Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda
konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik
tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren
dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di
rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju
dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan
pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut,
misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut
perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini
27
dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat
pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda.
Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang
kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan
ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat bedah digestif.
Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi.
1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang
Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%),
mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik
lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas
pasien. 3
2.2.9 Komplikasi
akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang
tersumbat tersebut disertai kuman – kuman pembentuk pus. Biasanya terjadi pada
pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita diabetes
28
mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri kuadran kanan
atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan umum lemah. Empiema kandung
empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi.
berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan
ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan
oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel –
sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis sering teraba massa tidak nyeri yang mudah
dilihat dan diraba menonjol dari kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien
hidrops kandung empedu sering tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas
kronik juga dapat terjadi. Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi
bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi berlebihan
kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi yang menyebabkan
tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan
sebelumnya abses. 3
29
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang
ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi
kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien
sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar
30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri kuadran
kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami dekompresi, tetapi
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu
duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung
atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik biliaris
“bisu/tenang” yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi kolesistitis kronik pernah
temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan kontras
barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin
menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada pasien
oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya
obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus
kecil yang lebih proksimal berkaliber normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan
riwayat baik gejala traktus biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang
empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen
(misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu
kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini
diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang lebih proksimal dan
empedu yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen.
Apa yang disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis biasanya tidak
berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau sering timbul pada
kandung empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu porselin terjadi karena
deposit garam kalsium dalam dinding kandung empedu yang mengalami radang secara
31
kronik, mungkin dideteksi pada foto polos abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada
semua pasien dengan kandung empedu porselin karena pada kasus presentase tinggi
2.2.10 Prognosis
empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak
jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang – kadang kolesistitis akut berkembang
secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses
hati atau peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian
dapat mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang
adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki angka
mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai
prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah. 3
32
BAB III
LAPORAN ANESTESI
Identitas Pasien
Nama : RS
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Protestan
Status : Menikah
Tinggi / Berat badan : 145 cm / 45 kg
No. RM : 00.98.96.50
Alamat : jln. Ngalengko 11 sehati no 10
MRS : 04 Agustus 2018
Tanggal Operasi : 07 Agustus 2018
33
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat dirawat : disangkal
Hipertensi : disangkal
Asma : disangkal
Alergi obat-obatan dan makanan : disangkal
Alergi udara dingin : disangkal
Diabetes : disangkal
Penyakit Jantung : disangkal
Penyakit Paru : disangkal
Kejang : disangkal
Penyakit Hati : disangkal
Penyakit Ginjal : disangkal
Riwayat Operasi dan Anestesi : disangkal
Riwayat Kebiasaan
Merokok : dijumpai
Minum alkohol : dijumpai
Narkotik : disangkal
Olahraga :-
34
Keadaan Pra Bedah (Follow Up Anestesi 06 Agustus 2018)
B1 (Breath)
Airway : Clear
Frekuensi pernafasan : 20 x/i
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : (-)
Riwayat asma/sesak/batuk/alergi: -/-/-/-
B2 (Blood)
Akral : Hangat/merah/kering
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/i
T/V : Cukup
Temperatur : 36,1oC
Konj.palp inferior pucat/hiperemis/ikterik : -/-/-
B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis
RC : +/+
Pupil : Isokor
Reflek fisiologis : +/+
Reflek patologis : -/-
Riwayat kejang/ muntah proyektil/ nyeri kepala/ pandangan kabur : -/ -/ -/ -
B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : Cukup
Warna : Kuning
Kateter :-
35
B5 (Bowel)
Abdomen : soepel (+), distensi (-), nyeri tekan (+) kuadran kanan atas,
murphi sign (+), teraba massa (-)
Peristaltik : (+)
Mual/Muntah : +/-
BAB/Flatus : +/+
NGT :-
B6 (Bone)
Fraktur :-
Luka bakar :-
Oedem :-
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hematologi
Hb : 12,9 gr/dl (N: 12-16 gr/dl)
Ht : 39,7 % (N : 37-47 %)
Eritrosit : 4,56 juta/ul (N: 4,3-6,0 juta/ul)
Leukosit : 7.760 /ul (N: 4800-10800/ul)
Trombosit : 482.000/ul (N: 150000-400000/ul)
Koagulasi
INR : 1,24 detik
Waktu Protombin : 2 menit
APTT : 29,7 detik
Kimia klinik
SGOT (AST) : 17,00 mU/dl (N: 0-32 mU/dl)
SGPT (ALT) : 27,00 mU/dl (N: 0-33 mU/dl)
Alkaline phosphatase : 155,00 mU/dl (N: 30,00-142,00 mU/dl)
Total bilirubin : 0,48 mg/dl (N: 0-1,2)
36
Bilirubin indirect : 0,18 mg/dl (N: 0,05-0,30)
Albumin : 3,80 (N: 3.4-4.8 g/dL)
Ureum : 15,00 mg/dl (N: 20-50 mg/dl)
Creatinin : 0,71 mg/dl (N: 0,5-1,5 mg/dl)
Glukosa Darah adr : 102,00 mg/dl (N:<140 mgdl)
Natrium : 140,60 mmol/dl (N : 136-155 mmol/dl)
Kalium : 4,38 mmol/dl (N:3,5-5,5 mmol/dl)
Chlorida : 110,70 mmol/dl (N: 95-103 mmol/dl
Diagnosa Kerja
Cholelitiasis
Rencana Tindakan
Cholesistectomy
Rencana Anestesi
Anestesi Umum dengan Endotrakeal Tube Nafas Terkendali
Premedikasi : Fentanyl, Midazolam
Induksi : Propofol
Relaksan : Roculax
Kesimpulan
37
Pasien perempuan usia 58 tahun, berat badan 45 kg, status fisik ASA II,
diagnosis cholelitiasis yang akan dilakukan tindakan cholesistectomy, rencana
anastesi umum dengan endotrakeal tube napas terkendali.
FOTO KLINIS:
38
Persiapan Pasien
Sebelum Operasi (06 Agustus 2018)
Pasien di konsultasikan ke spesialis anestesi dan spesialis
bedah untuk menilai kondisi fisik pasien, apakah pasien dalam
kondisi fisik yang layak untuk dilakukan tindakan operasi.
Setelah mendapatkan persetujuan dari spesialis anestesi dan
spesialis bedah, pasien di periksa 1 hari sebelum operasi
(kunjungan pre-operatif), hasil dari kunjungan pre-operatif ini
telah dijabarkan sebelumnya.
Identifikasi Pasien
39
Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan.
Pemeriksaan fisik pasien di ruang persiapan : TD=120/70 mmHg, nadi =
80x/menit, suhu=36.50C, RR = 20x/menit
Pendataan kembali identitas pasien di ruang operasi. Anamnesa singkat
kepada keluarga yang meliputi BB, umur, riwayat penyakit, riwayat
alergi, riwayat kebiasaan, dan lainnya.
Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi kemudian
dilakukan pemasangan EKG, manset, infus, dan oksimeter.
Pemeriksaan tanda tanda vital.
40
EKG monitor
Sfigmomanometer digital
Oksimeter/saturasi
Infuse set
Infuse set dan cairan infus – Ringer Laktat
Abocath no.18 G
Plester
Alcohol swab
Tourniquet
Midazolam 5 mg/5cc
Dosis : 0,05-0,1 mg/kgBB 2,5 - 5 mg
Pemberian : 5 mg
2. Induksi : Propofol 200 mg/20cc
Dosis : 2-2,5 mg/kgBB 100 - 125 mg
Pemberian : 100 mg
4. Relaksan : Roculax 50 mg/5cc
Dosis : 0,6-1,2 mg/kgBB 30 - 60 mg
Pemberian : 50 mg
5. Maintenance Isoflurane 1%, N2O, O2
(rumatan) :
Antibiotik : -
Steroid : -
Anti emetic selama op : Ondansetron 8 mg
Obat reverse : Sulfas atropine 0,75 mg : neostigmine 1,5
mg
41
Anti emetic post op : Ondansetron 4 mg/12 jam
Analgetik post op : Ketorolac 30 mg/8 jam
Obat emergency : Sulfas Atropin dosis 0,25 mg-5
mg IV
Epinephrine dosis 1 mg atau
0.02 mg/kg larutan 1:10.000
PELAKSANAAN ANESTESI
Di Ruang Operasi
JAM (WIB)
09. 50 Pasien dari ruang tunggu masuk ke
ruang operasi
Pindahkan pasien ke meja operasi
dengan posisi supinasi
Pasang infus pada tangan kanan
menggunakan abocath no.18G dengan
cairan RL sejumlah 500 cc
Memasang monitor EKG dan
oksimeter pulse
Mengukur tekanan darah, nadi, saturasi
prainduksi (TD: 120/70 mmHg, Nadi :
80x/m, SPO2 : 99%)
Pemberian obat analgetik fentanyl 100
mcg iv dan midazolam 5 mg iv
(premedikasi).
09.55 Induksi dengan propofol 100 mg iv.
Memastikan pasien sudah tidak sadar dengan
cara memeriksa refleks bulu mata, kemudian
42
diberikan muscle relaksan yaitu roculax 50 mg
iv.
Dilakukan preoksigenasi dengan sungkup
muka menggunakan O2 sebanyak 6 liter/menit,
kalau perlu nafas dibantu dengan menekan
balon nafas secara periodik ± 3 menit.
Setelah relaksasi pasien diintubasi dengan ETT
no.7,0 cuff (+), pack (+), guedel (-), untuk
memastikan ETT terpasang dengan benar
dengarkan suara nafas dengan stetoskop bahwa
paru kanan dan kiri sama dan dinding dada
kanan dan kiri bergerak simetris pada setiap
inspirasi buatan, difiksasi menggunakan
plester.
Tutup mata kanan dan kiri pasien dengan
plester.
ETT dihubungkan dengan konektor ke sirkuit
nafas alat anestesi, kemudian N2O dibuka 2
liter/menit dan O2 2 liter/menit kemudian
isofluran dibuka 1%.
Nafas pasien dikendalikan dengan respirator.
Inspirasi 400 ml dengan frekuensi 14 kali per
menit. (Bila menggunakan respirator setiap
inspirasi (volume tidal) diusahakan kurang
lebih 6-8 ml/kg BB dengan frekuensi 12-
20x/menit).
Perhatikan apakah gerakan nafas pasien
simetris antara yang kanan dan kiri.
TD: 110/70 mmHg, Nadi : 80x/m, SPO2 :
99%.
10.00 TD : 100/60 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
43
10.15 TD : 120/70 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
10.30 TD : 140/90 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
10.45 TD : 140/90 mmHg, nadi : 90x/menit SPO2 : 99%
11.00 TD : 130/80 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
11.15 TD : 130/90 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
11.30 TD : 130/90 mmHg, nadi : 80x/menit SPO2 : 99%
11.35 Operasi selesai
Pemberian obat anastesi dihentikan,
pemberian O2 dipertahankan
TD 130/90 mmHg, Nadi 80x/menit,
SPO299%, ETT dan guedel dicabut
setelah pasien dapat dibangunkan.
Lendir dikeluarkan dengan suction lalu
pasien diberi oksigen murni selama 5
menit.
Setelah semua peralatan dilepaskan
(EKG, manset tensimeter, oksimeter)
pasien dibawa ke ruang Recovery
Room.
Monitoring perdarahan
Perdarahan
Kassa basah : 10 x 10 cc = 100 cc
Kassa ½ basah : 5 x 5cc = 25 cc
Suction : 100 cc
Total : 225 cc
Infus RL o/t regio dorsum manus dextra
Pre operasi : RL 500 ml
Durante operasi : RL 500 ml 2fls
Urine output :
Durante operasi : Terpasang kateter (±300 cc)
44
Post Operasi
Di Ruang Pemulihan
Setelah operasi selesai pukul 11.35, sekitar pukul 11.45 pasien dibawa ke ruang
Recovery Room, lalu diberikan oksigen via nasal canul sebesar 2 liter/menit,
kemudian dilakukan penilaian terhadap tingkat kesadaran, pada pasien
kesadarannya adalah compos mentis, pasien tampak kesakitan. Dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
78x/menit, respirasi 20x/menit dan saturasi O2 100%.
Pasien di observasi di Recovery Room.
45
BAB IV
PEMBAHASAN TEORI
TEORI KASUS
2. Pernapasan
3. Kardiovaskuler
4. Hati
46
5. Suhu tubuh
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai Pasien ini digolongkan dalam ASA 2
kebugaran fisik seseorang berasal dari The karena dari EKG dijumpaui sinus takikardi
American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
47
BAB V
KESIMPULAN
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002; p.1, 29-35, 66-69, 74-83, 90-95,
147-149.
2. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R, Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI. 2004; p.1, 45, 49-58, 59-62, 63, 65-71, 81-
86, 93-109, 146-156.
3. ASA Physical Status Classification System. Dikutip:
http://www.asahq.org>standart-guidelines
4. Boulton TB, Blog CE. Anestesiologi FKUI. Edisi 10. Jakarta : EGC. 1994; p. 89-
100.
5. Sulaiman, Ali.dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Batu empedu. Hal 161-
vol.4. Penyakit Kandung Empedu Dan Duktus Bilaris. Hal 1688-1699. Jakarta:
EGC.MC-Graw Hill.
7. Sudoyo, W. Aru.dkk. 2009. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Kolesistitis. Hal 718-720. Jakarta:
InternaPublishing
Penyakit Vol 1. Edisi 6. Gangguan hati, Kandung Empedu dan Pankreas. Hal 502-
49