Anda di halaman 1dari 29

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Dermatitis atopik (DA) atau eksim atopik adalah kelainan kulit yang bersifat kronik
residif, disertai rasa gatal, timbul pada tempat predileksi tertentu dan berhubungan
dengan penyakit atopi lainnya. Nama lain untuk DA adalah eksema atopik, eksema
dermatitis, prurigo Besnier.(1,2)

2. Epidemiologi
Dermatitis atopik mempengaruhi sekitar seperlima dari semua individu selama masa
hidup mereka, tetapi prevalensi penyakit ini sangat bervariasi di seluruh dunia.
Dermatitis atopik mempengaruhi hingga 20% anak-anak dan 2-8 % dewasa di seluruh
dunia. Dermatitis atopik dapat terjadi pada semua usia, tetapi secara umum gejala DA
terjadi pada masa bayi. Sekitar 50% dari semua orang dengan dermatitis atopik
mengalami gejala dalam tahun pertama kehidupan mereka, dan sebanyak 95%
mengalami onset pertama di bawah usia lima tahun.(3,4) Sekitar 75% pasien dengan
onset penyakit pada masa kanak-kanak memiliki remisi spontan sebelum remaja,
sedangkan 25% sisanya terus mengalami eksim hingga dewasa atau mengalami
kekambuhan gejala setelah beberapa tahun tanpa gejala. (1,3,4)
Sekitar 50-75% dari semua anak-anak dengan dermatitis atopik onset dini
mengalami sensitisasi dari satu atau lebih alergen, seperti alergen makanan, tungau
debu rumah, atau hewan peliharaan, sedangkan mereka yang memiliki dermatitis atopik
late-onset lebih jarang mengalami sensitisasi.(1,3)
Suatu studi prospektif di Inggris terhadap anak usia 0-42 bulan yang mengalami
DA diperoleh insidens DA pada usia 0-6 bulan adalah 21%, usia 6-18 bulan adalah
11,2% dan 3,8% pada usia lebih dari 18 bulan. Angka kejadian DA bervariasi di Asia,
dari 1,1% pada anak usia 13-14 tahun di Indonesia, sampai 17,9% pada anak usia 12
tahun di Singapura. Di Indonesia, angka kejadian DA pada usia < 6 bulan adalah 16,4%
pada tahun 2011. Pada tahun 2015, dari laporan 6 Rumah Sakit yang melayani
dermatologi anak, yaitu RS dr.Hasan Sadikin Bandung, RS dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta, RS Adam Malik Medan, RS Prof.Kandou Manado, RS dr.Mohammad Husein
Palembang, RS dr.Sjaiful Anwar Malang, tercatat sejumlah 216 kasus DA di antara
2356 pasien baru (11,8%).(5)

1
3. Etiopatogenesis
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti dari DA belum semuanya
diketahui. Penyebab terjadinya DA merupakan hasil interaksi kompleks antara kelainan
genetik yang menyebabkan terganggunya sawar kulit, gangguan pada sistem imun, dan
respons imunologik yang mengikat alergen. Penyebab tersebut dapat dibagi dalam: (1–
3)

1) Faktor Intrinsik, meliputi beberapa faktor:


a. Genetik (familial, mutasi gen)
b. Gangguan fungsi sawar kulit
c. Imunologis (disregulasi sistem imun)
d. Psikologis: dapat menjadi pemicu maupun akibat
2) Faktor ekstrinsik: lingkungan, misalnya berbagai bahan iritan, polutan, alergen
hirup mapun makanan
3) Akibat interaksi faktor intrinsik dan ekstrinsik akan terjadi:
a. Kulit kering karena transepidermal water loss (TEWL) yang meningkat dan
kemampuan kulit untuk mengikat air menurun.
b. Respons inflamasi
c. Gangguan fungsi sawar kulit akan memudahkan terjadinya kolonisasi
kuman dan infeksi
Bentuk intrinsik didapatkan pada 20-30% pasien DA dan tidak terjadi sensitisasi
alergen lingkungan, disertai kadar serum IgE yang rendah. Bentuk ekstrinsik
didapatkan pada 70-80% pasien DA dan terjadi sensitisasi terhadap alergen lingkungan,
disertai serum IgE yang meningkat.(1,3)

3.1.Sawar Kulit Normal


Sawar kulit terletak pada lapisan atas epidermis (stratum korneum). Pada kulit
normal, sawar ini berungsi untuk melindungi lapisan kulit di bawahnya dari peetrasi
zat-zat iritan dan alergen. Selain itu, sawar kulit berfungsi juga untuk mencegah
proses kehilangan cairan tubuh yang berlebih. (1–3,6)
Korneosit pada keadaan normal mengandung air yang membantu korneosit
mengembang sehingga meratakan permukaan sawar kulit tanpa ada celah antara
korneosit sehingga zat iritan dan alergen tidak dapat menembus ke dalam kulit.
Dalam korneosit terdapat banyak substansi yang disebut sebagai natural
2
moisutrizing factor (NMF) yang menarik air ke substansi tersebut dan
mempertahankan kandungan air dalam kulit tetap terjaga. Lapisan lipid pada
stratum korneum kulit normal berfungsi untuk menjaga jumlah air dalam korneosit
sehingga kelembaban dapat dipertahankan dimana hal ini merupakan faktor penting
yang mempengaruhi permeabilitas kulit (Gambar 1).(3,7)

Gambar 1. Sawar kulit pada kulit normal

3.2.Genetik
Dermatitis atopik memiliki dasar genetik berdasarkan temuan adanya mutasi gen
filagrin. Filagrin merupakan struktur protein penting dalam stratum korneum, yang
berperan dalam pembentukan sawar kulit dan juga berperan dalam proses regulasi
hidrasi di stratum korneum. Akibat mutasi gen filagrin maka filagrin tidak dapat
menghasilkan natural moisturizing factor (NMF) pada stratum korneum yang salah
satu fungsinya untuk menjaga kadar pH kulit yang rendah seingga pH kulit
meningkat. Hal ini merangsang aktivitas protease dan mengurangi sintesis lapisan
lipid yang menyebabkan gangguan sawar kulit, sehingga terjadi peningkatan
TEWL. (1–4,8,9)
3.3.Gangguan fungsi sawar kulit
Pada DA terdapat perubahan sawar kulit, seperti berkurangnya jumlah air yang
dapat ditarik ke dalam korneosit yang menyebabkan korneosit menjadi kecil atau
menciut sehingga terbentuk celah di antara korneosit. Celah ini dapat menjadi jalan
masuknya zat iritan dan alergen ke dalam kulit yang akan merangsang respons
infalamasi. (Gambar 2).(1,3,7–9)

Gambar 2. Defek sawar kulit

3
Saat korneosit mengecil terjadi pelepasan sitokin yang menyebabkan inflamasi
pada stratum korneum sehingga menimbulkan rasa gatal. Rasa gatal memicu
garukan kulit yang meningkatkan pelepasan mediator inflamasi sehingga kulit
menjadi kering dan timbul eksim. (Gambar 3).(1–3,8,9)

Gambar 3. Defek sawar kulit yang menyebabkan kulit rentan terhadap zat iritan dan alergen.

3.4.Disregulasi sistem imun


Pada pajanan awal DA, antigen akan dikenali oleh sel Langerhans epidermis (LC)
dan sel dendritik dermis (DC) yang berperan sebagai antigen precenting cell (APC)
yang selanjutnya mengaktifkan sel limfosit T. Sel limfosit T-helper (Th2)
memproduksi berbagai macam sitokin seperti IL-4 dan IL-3 yang akan merangsang
sel limfosit B untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi
imunoglobulin E (IgE). Pada pasien atopi, IgE spesifik akan diproduksi lebih
banyak dan akan menempel pada reseptornya di sel eosinofil, sel mast dan basofil.
Anak dengan DA mempunyai sel Langerhans yang mengandung reseptor IgE
spesifik (F𝑐ɛRI), menjadikan sel Langerhans 100-1000 kali lebih aktif untuk
mpresentasikan alergen pada sel limfosit T dibadingkan sel Langerhans yang tidak
mengekspresikan reseptor IgE pada permukaan selnya.(1–4,8)
3.5.Psikologis
Tingkat gangguan psikis pada DA tergolong tinggi, antara lain berupa rasa cemas,
stress dan depresi. Rasa gatal yang hebat memicu ragukan yang terus-menerus
sehingga menyebabkan kerusakan kulikt. Sebaliknya, dengan melihat kerusakan
kulit menyebabkan kecemasan semakin meningkat dan semakin sulit untuk
menghentikan garukan.(1–3)

4
3.6.Alergen makanan
Alergen makanan dapat menginduksi ruam kulit pada anak yang menderita DA.
Hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi
terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji
kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap makanan tertentu.
Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu jenis makanan tertentu, tidak
berarti bahwa anak tersebut alergi terhadap makanan tersebut karena uji positif tidak
selalu menunjukan gejala klinis. Oleh karena itu, alergi makanan harus dibuktikan
melalui uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut. (2,3,9)
3.7.Alergen hirup (inhalan)
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat melalui kontak atau lewat inhalasi. Data
laboratorium mendukung adanya peranan alergen inhalan pada sebagian besar
pasien DA. Derajat sensitisasi terhadap alergen inhalan berhubungan secara
langsung dengan tingkat keparahan DA. Alergen hirup yang berperan penting pada
terjadinya DA adalah tungau debu rumah. (2,3,9)
3.8.Superantigen
Penderita DA memiliki kecenderungan untuk terkena infeksi bakteri, virus dan
jamur pada kulit. Staphylococcus aureus (SA) ditemukan pada lebih dari 90% lesi
kulit DA. Eksaserbasi SA disebabkan oleh suatu toksin yang bertindak sebagai
superantigen yang menginduksi IgE spesifik pada pasien DA dan degranulasi sel
mast saat supraantigen memasuki barrier epidermis sehingga menimbulkan siklus
gatal menggaruk pada ruam kulit DA.(2,3,9)
4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis DA sangat bervariasi tergantung usia saat mengalami DA dan memiliki
berbagai kelainan bentuk selama perjalanan penyakit. Lesi dapat berupa gambaran sebagai
bentuk akut (lesi sangat gatal, oozing, berkerak, vesikel atau papula terkikis pada plak
eritematosa), subakut (papul eritematosa tebal dan plak ekskoriasi) dan kronik (likenifikasi,
sedikit berpigmen, plak ekskoriasi). Serangan gatal dapat terjadi sepanjang hari yang dapat
menyebabkan gangguan tidur dan kelelahan, yang secara keseluruhan dapat merusak
kualitas hidup pasien.(1–4)

5
Gambar 4. Eksaserbasi akut dermatitis atopi. A. Lesi eritematous dengan krusta dan aktif
mengeluarkan cairan. B. Lesi papul yang mengalami ekskoriasi dan krusta dengan infeksi
sekunder.(3)

Gambar 5. Dermatitis atopik subakut. A. Papul eritematous. B.Papul prurigo(3)

Gambar 6. Dermatitis atopi kronik. A.Llikenifikasi berat dan hiperpigmentasi papul prorigo. B.
Likenifikasi dan ekskoriasi pada aspek dorsal dari tangan(3)

6
Hill dan Suzberger membagi DA menjadi 3 fase klinis berdasarkan perubahan lokasi
dan morfologi lesi sesuai dengan usia, yaitu fase infantil (0-2 tahun), fase anak (2 tahun-
pubertas) dan fase dewasa. ketiga fase ini dapat tumpang tindih (overlap) atau dipisahkan
oleh masa remisi.(1–3)
1) Fase infantil
Pada tahap ini, tanda-tanda pertama dari DA biasanya muncul dengan lesi eksematosa,
papulo-vesikuler, lesi patch di pipi, erosi dan kusta. Umumnya awitan DA terjadi pada
usia 2 bulan. Predileksi terutama pada wajah diikuti kedua pipi dan tersebar simetris,
sementara daerah perioral dan sekitar hidung pada awalnya biasanya terhindar. Lesi
dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga, leher, pergelangan tangan, dan tungkai
terutama di bagian volar atau fleksor, sedangkan area popok biasanya tidak terkena.
Seiring dengan bertambah usia lesi dapat ditemukan pada ekstensor ekstremitas dan
akibat garukan lesi mudah disertai infeksi sekunder. Menggaruk karena gatal
kebanyakan terjadi pada beberapa minggu kemudian dan menyebabkan kulit berkerak.
Istilah “kerak susu” atau “ketombe susu” mengacu pada terjadinya plak kekuningan
pada kulit kepala yang menyerupai susu bersisik. Pada tahap ini, klinis mirip dengan
dermatitis seboroik. Rasa gatal yang terus-menerus membuat bayi menjadi sulit tidur
dan gelisah pada saat tidur. Pada sekitar 20-30% kasus, lesi sembuh pada akhir tahun
kedua kehidupan, tetapi sisanya bisa berlanjut. Pada bayi usia kurang dari 1 tahun,
beberapa alergen makanan terkadang masih berpengaruh, namun pada usia lebih tua
(2,3,7)
alergen hirup dianggap lebih berpengaruh.

Gambar 7. Dermatitis atopik pada fase infantil. (1–3)

7
2) Fase anak
Pada tahap ini distribusi lesi simetris, bergeser dari daerah ekstensor ke fleksural. Lebih
ering pada fosa kubiti dan popliteal, fleksor pergelangan tangan, leher dan kelopak
mata. Lesi ini dapat dapat berupa lanjutan dari fase infantil atau muncul tanpa didahului
fase infantil. Lesi cenderung menjadi kronik, lebih kering, berupa plak eritematosa,
skuama, batas tidak tegas dapat disertai krusta, ekskoriasi dan hiperkeratosis serta
hiperpigmentasi. Hipopigmentasi pasca inflamasi dapat terjadi ketika peradangan
kronis menghilang. Sekitar 60% dari bentuk eksim pada masa anak-anak akan hilang
sepenuhnya, akan tetapi stigmata dapat menetap dan kulit kering menjadi salah satu
gejala yang paling penting. Pada fase ini pasien lebih sensitif terhadap alergen hirup,
wol dan bulu binatang. (1–3)

Gambar 8. Dermatitis atopi fase anak. (1–3)

3) Fase Dewasa
Ketika lesi eksim bertahan dari masa kanak-kanak hingga remaja dan dewasa, atau
penyakit mulai muncul pada masa dewasa. Lokasi lesi mirip pada anak pada lipatan
fleksural, lengan atas, punggung serta bagian dorsal tangan, kaki, jari tangan dan jari
kaki, daerah lentur serta kepala (dahi, daerah periorbital, daerah perioral) dan leher.
Namun, paling sering ditemukan pada tangan. Lesi bersifat kronis berupa plak
hiperpigmentasi, hiperkeratosis, likenifikasi, ekskoriasi dan skuamasi. Rasa gatal lebih
hebat pada saat beristirahat, udara panas dan berkeringat. Kulit kering akan terus
menjadi masalah, terutama di musim-musim dingin atau musim hujan. Fase ini
berlangsung kronik-residif sampai usia 30 tahun dan dapat lebih dari itu. (1–3)

8
Gambar 9. Dermatitis atopi pada fase dewasa(1–3)

5. Diagnosis
Munculnya lesi kulit pada dermatitis atopik tidak jauh berbeda dari eksema lain seperti
dermatitis kontak. Dalam bentuk akutnya, eksim ditandai oleh infiltrat merah dengan
edema, vesikel, oozing, dan krusta; likenifikasi, eksoriasi, papula, dan nodul mendominasi
bentuk subakut dan kronis. Dengan demikian, pendekatan diagnostik dibangun berdasarkan
karakteristik lain seperti distribusi eksim serta gejala penyerta lain pada pasien. Gejala
utama pada DA adalah gatal, penyebaran simetris di tempat predileksi sesuai usia, riwayat
atopi pada pasien atau keluarganya. Ketiga hal tersebut adalah kriteria diagnosis mayor
Hanifin-Rajka yang diajukan pada tahun 1980.(2–4,10,11)
Kriteria diagnosis Haifin-Rajka tersebut kemudian direvisi oleh American Academy
of Dermatology dapat dilihat pada Tabel 1. Seperangkat kriteria ini terutama berguna
dalam praktik klinis.(2,4)

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Dermatitis Atopi

9
Kriteria diagnosis yang digunakan dalam praktik sehari-hari juga dapat
menggunakan kriteria William sebagai berikut:(2)
1) Harus ada: kulit yang gatal (atau laporan orangtua bahwa anak terlihat
menggaruk atau menggosok kulit).
2) Ditambah 3 atau lebih berikut ini:
a. Riwayat perubahan kulit/kering di daerah lipatan, misalnya lipat siku, lipat
lutut, punggung kaki, atau sekitar leher (termasuk pipi pada anak usia di
bawah 10 tahun).
b. Riwayat asma atau rhinitis alergi (atau riwayat penyakit atopi pada first-
degree relative pada anak usia <4 tahun).
c. Riwayat kulit kering dalam 1 tahun terakhir.
d. Dermatitis fleksural (atau dermatitis pada pipi/ dahi dan ekstensor
ekstremitas pada anak usia <4 tahun).
e. Awitan sebelum usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak usia <4 tahun).

6. Pemeriksaan penunjang
Telah dilaporkan pelbagai hasil laboratorium penderita DA, walaupun demikian sulit untuk
menghubungkan hasil laboratorium ini dengan defek yang ada.(2–5)
3) Immunoglobulin
Kadar IgE meningkat pada 80-90% penderita DA dan lebih tinggi lagi
bila terdapat asma dan rinitis alergik. Tinggi rendahnya kadar IgE ini
erat hubungannya dengan berat ringannya penyakit dan tidak
mengalami fulktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi atau yang
sedang mendapat pengobatan steroid imunosupresan. Kadar IgE ini
akan menjadi normal 6-12 bulan setelah terjadi remisi.
4) Leukosit

Limfosit → jumlah limfosit absolut penderita alergi dalam batas


normal

Eosinofil → kadar eosinofil meningkat pada DA, tetapi tidak seiring


dengan beratnya penyakit

Leukosit PMN→ biasanya dalam batas normal

5) Komplemen
10
Kadar komplemen biasanya normal atau sedikit meningkat
6) Bakteriologi
Kulit penderita DA aktif biasanya mengandung bakteri patogen seperti
staphylococcus aureus¸walaupun tanpa gejala klinis infeksi
7) Uji kulit dan provokasi
Diagnosis DA ditegakkan melalui penemuan gejala klinis. Untuk
mencari penyebab dari timbulnya DA maka harus dilakukan sebuah
anamnesis yang teliti dan bila perlu dengan uji kulit serta uji eliminasi
dan provokasi.
7. Diagnosis banding
Diagnosis banding DA bergantung pada fase atau usia, manifestasi klinis serta lokasi DA.
7.1.Dermatitis seboroik
Lokasi yang terkena sering kali adalah di daerah kulit yang berambut seperti kulit
kepala, wajah (alis, lipat nasolabial, sidebum), telinga dan liang telinga, bagian atas-
tengah dada dan punggung, lipat gluteus, inguinal, genital dan ketiak. Dapat
ditemukan skuama kuning berminyak, eksematosa ringan, kadang kala disertai rasa
gatal ringan. Ketombe merupakan tanda awal mainfestasi dermatitis seboroik.(2,3)

7.2. Dermatitis popok


Dermatitis popok merupakan efek dari kontak iritan pada popok bayi. Jarang
terdapat lesi pada lipatan kulit. Manifestasi klinis berupa eritema, edema, kulit
kering, scaling. Dapat disertai infeksi sekunder dengan candida dan impetigo.

11
7.3. Psoriasis
Gambaran klasik psoriasis berupa plak eritematosa diliputi skuama putih disertai
titik-titik perdarahan bila skuama di lepas (auspitz sign), berukuran dari seujung
jarum sampai dengan plakat menutupi sebagian besar daerah tubuh, umumnya
simetris. Biasanya disertai dengan gejala lain seperti psoriatic nail dan fenomena
koebner.

7.4.Skabies
Skabies ditandai dengan penemuan papula yang relatif besar (lokasi pada punggung
atas), vesikel pada telapak tangan dan kaki, dan terdapat keluhan yang sama dengan
anggota keluarga serumah berupa rasa gatal yang timbul terutama di malam
hari.(2,3,5)

12
7.5.Dermatitis kontak
Kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi maupun iritan sangat beragam
tergatung tingkat keparahan dan lokasinya. Umumnya lesi berupa eritema dengan
tepi berbatas tegas, lokasi bisa dimana saja tergantung tempat paparan namun sering
pada tangan serta ditemukan faktor penyebab berupa paparan kontak terhadap iritan
atau alergen. (1–4)

7.6. Dermatitis numularis


Lesi berupa plak eritematosa berbentuk koin dengan batas tegas yang berbentuk
dari papul dan papulovesikel yang berkonfluens. Lambat laun vesikel pecah dan
terjadi eksudasi berbentuk pinpoint. Selanjutnya eksudat mengering dan menjadi
krusta kekuningan. (1–3,5)

7.7.Neurodermatitis sirkumskripta
Merupakan peradangan kulit kronis, gatal, sirkumskrip, ditandai dengan kulit tebal
dan garis kulit tampak menonjol (likenifikasi) menyerupai kulit batang kayu, akibat
garukan atau gosokan yang berulang-ulang karena berbagai rangsangan
pruritogenik. Pruritus memainkan peran sentral dalam timbulnya reaksi kulit.
Keluhan utama ialah rasa gatal sekali namun tidak terus menerus. Lesi biasanya
tunggal dan pasien merasa enak bila digaruk. Penyakit ini jarang terjadi pada anak,
tetapi pada usia dewasa-manula. Letak lesi biasanya pada skalp, tengkuk, samping

13
leher, lengan bagian ekstensor, pubis, vulva, skrotum, perianal, medial tungkai atas,
lutut, lateral tungkai bawah, pergelangan kaki bagian depan dan punggung kaki..

8. Komplikasi
Sebesar 75% kasus DA pada anak disertai dengan penyakit alergi lain di kemudian hari dan
tidak semua DA pada bayi dan anak mengalami remisi secara spontan. (1,3,12)
8.1.Infeksi
Anak dengan DA akan mudah mendapat infeksi bakteri, virus dan jamur. Infeksi
tersering adalah infeksi bakteri staphylococcus aureus yang berkolonisasi lebih
tinggi pada lesi DA dan di nares anterior, yang disebabkan oleh berkurangnya
peptida antimikroba.(2–4)
Akibat gangguan fungsi barrier epidermis, kelembaban dan maserasi serta
faktor lingkungan yang mendukung, dapat muncul infeksi jamur, terutama oleh
pytirosporum ovale. Infeksi virus umumnya disebabkan oleh virus herpes simplex
yang disebut eczema herpetikum, dan terjadi akibat tertular oleh anggota keluarga,
dengan manifestasi berupa vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan
membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal dan disertai
dengan demam tinggi. (2–4)

Gambar 10. Eksema herpetikum

14
8.2. Masalah okuler
Komplikasi pada mata biasanya berhubungan dengan DA berat dimana terjadi
dermatitis palpebra dan blefaritis kronik dan dapat menyebabkan gangguan visus
akibat terbentuknya jaringan parut pada kornea. Keratokonjungtivitis atopik
biasanya bilateral dan dapat menyebabkan gejala berupa gatal, rasa terbakar, mata
berair dan belekan. Selain itu, dapat juga terjadi konjungtivitis vernal yang
berhubungan dengan hipertrofi papiler atau coble stone pada konjungtiva tarsalis
superior dimana mata menjadi gatal dan diperburuk dengan paparan terhadap iritan,
cahaya atau keringat. (2–4)
Terkadang ditemukan katarak pada 21% pasien dengan DA berat. Akan
tetapi, tidak diketahui pasti apakah katarak disebabkan secara langsung oleh DA
atau penggunaan kortikosteroid sistemik dan topikal berlebih dalam jangka
panjang. (3,4,7)
8.3.Gangguan tidur
Gangguan tidur pada pasien DA ditandai dengan inisiasi yang buruk, sering
terbangun dan terjaga sepanjang malam. Akibat adanya rasa gatal yang hebat,
kegiatan menggaruk akan sangat aktif sehingga mengganggu kualitas tidur
(berkurangnya jam tidur) sehingga mudah merasa lelah dan pada anak
menyebabkan anak menjadi rewel.(1)
8.4. Hand Dermatitis
Pasien dengan DA sering mengalami dermatitis iritan non-spesifik pada tangan.
Sering diperparah dengan cuci tangan berulang menggunakan sabun, deterjen dan
disinfektan. Pasien DA dengan pekerjaan yang menyebabkan tangan sering terpapar
dengan air dan sabun sering mengalami dermatitis non spesifik pada tangan
sehingga merupakan penyebab umum occupational disability. (1,3)

Gambar 11. Hand dermatitis

15
8.5. Dermatitis eksfoliatif
Hal ini terjadi pada pasien dengan lesi kulit yang luas dan berhubungan dengan
eritema generalisata, skuama, toksisitas sistemik, limfadenopati dan demam.
Komplikasi ini jarang ditemukan namn berpotensi mengancam nyawa. Ini
disebabkan oleh superinfekksi dengan S.aureus atau herpes simplex, iritasi terus
menerus terhadap kulit atau terapi yang tidak sesuai. (1,3,4)

Gambar 12. Dermatitis eksfoliatif

9. Tatalaksana
Masalah pada DA sangat kompleks sehinga dalam penatalaksanaannya perlu
dipertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi, upaya preventif atau terapi kausal
sesuai etiologi dan sebagian patogenesis yang telah diketahui. Dermatitis atopik tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Tujuan pertama tatalaksana pada DA terutama
berkaitan dengan pencegahan; tujuan kedua berkaitan dengan pengobatan.(2–4)
Berdasarkan panduan Diagnosis dan Tatalaksana Dermatitis Atopik di Indonesia
disusun oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit , ada 5 pilar penatalaksanaan DA yaitu (5)
1) Edukasi dan empowerment pasien serta keluarganya
2) Menghindari dan memodifikasi faktor pencetus lingkungan/modifikasi gaya hidup
3) Memperkuat dan mempertahankan fungsi sawar kulit yang optimal
4) Menghilangkan penyakit kulit inflamasi
5) Mengendalikan dan mengeliminasi siklus gatal-garuk

16
9.1.Edukasi
Memberikan edukasi pada pasien dan keluarganya terbukti efektif dalam
penatalaksanaan DA. Pada pasien dengan DA, diperlukan kepatuhan dalam berobat,
tidak hanya oleh pasien, tetapi juga oleh keluarganya agar keberhasilan terapi bisa
tercapai. Biasanya dijumpai ketidakpatuhan berobat yang disebabkan oleh
ketakutan akan pemakaian steroid topikal, rasa gatal akibat terapi topikal, anak yang
tidak koperatif dengan terapi serta pengobatan memerlukan waktu yang lama.
Pemberian edukasi disesuaikan dengan kondisi klinis, tatalaksana yang diberikan,
kebutuhan pasien, orang tua dan pengasuh. Informasi dapat diberikan dalam
berbagai metode seperti verbal, tulisan dan praktek. Komunikasi efektif diperlukan
dalam membangun rasa percaya diri pasien. (2–6)
Materi edukasi yang diberikan meliputi penjelasan mencakup semua
masalah yang berkaitan dengan DA yaitu definisi, gejala, penyebab, faktor
pencetus, tatalaksana dan prognosis. Perawatan kulit pasien DA dilakukan dengan
cara mandi 1-2 kali sehari menggunakan air hangat kuku (36-37oC), lama mandi
10-15 menit. Menggunakan sabun yang mengandung pelembab, pH 5,5-6,
surfaktan ringan, tidak mengandung pewangi dan zat pewarna. Penggunaan
pelembab 3-5 menit setelah mandi. Menggunakan pakaian yang ringan, lembut
halus dan dapat menyerap keringat serta tidak terlalu ketat. Pencegahan/
menghilangkan faktor presipitasi dan pencetus berupa bahan iritan misalnya sabun
antiseptik, deterjen, sabum cair pencuci piring, desinfektan, karena menyebabkan
kulit main iritasi. Menghindari bahan alergen misalnya tungau debu rumah,
binatang peliharaan dan serbuk bunga. Pencetus lain berupa suhu ekstrim panas atau
dingin, sehingga pasien perlu berada di lingkungan dengan suhu 33-41oC dan
kelembaban 45-55%. Faktor pencetus lain yang perlu dihindari ialah makanan, stres
dan aktivitas fisik berlebih yang mencetuskan pengeluaran keringat berlebih karena
dapat mencetuskan rasa gatal. Bila berenang harus segera dibilas dengan air bersih
karena kolam renang sering mengandung kaporit dan segera menggunakan
pelembab setelahnya. Bahan edukasi selajutnya ialah indikasi pemberian terapi DA,
efektivitas dan efeksamping yang mungkin terjadi serta dosis, cara pakai, lama
pengobatan, cara menaikan dan menurunkan potensi atau frekuensi pemberian obat
baik sistemik maupun topikal dengan cara menghentikannya, kemungkinan
timbulnya infeksi akibat DA serta perubahan warna kulit yang mungkin terjadi.
Perlu juga mendiskusikan beberapa hal yang sering menjadi pertanyaan atau
17
kekhawatiran pasien dan orang tua misalnya steroid phobia. Mendemonstrasikan
teknik pemakain steroid topikal sehingga pasien dan keluarga mudah menerima dan
mengerti juga merupakan bagian dari edukasi yang harus dilakukan. (3,5)
9.2. Menghindari dan memodifikasi faktor pencetus lingkungan/ modifikasi gaya hidup
Menghindari berbagai faktor pencetus DA menjadi bagian yang sangat penting
dalam tatalaksana penyekit ini. Bahan iritan, alergen, makanan, susu ekstrim dan
stress merupakan faktor yang sering menjadi faktor pencetus. Di penyelenggara
pelayanan kesehatan (PPK) tingkat 1 menghindari faktor pencetus bisa dianjurkan
berdasarkan riwayat dan klinis yang didapat. Sedangkan di PPK-2 dan PPK-3 hal
ini berdasarkan riwayat, manifestasi klinis dan hasil tes alergi yang dilakukan. (2,4,5)
9.3.Memperkuat dan mempertahankan fungsi sawar kulit yang optimal
Pelembab merupakan terapi standar dengan tujuan memperbaiki sawar kulit,
mempertahankan integritas dan penampilan kulit, mempertahankan hidrasi kulit
dengan cara menurunkan TEWL, dan mengembalikan kemampuan sawar kulit
dengan menarik, menahan dan mendistribusikan air.(1–5)
Beberapa syarat pelembab ideal yang dapat digunakan adalah
• Efektif menghidrasi stratum korneum, serta menurunkan dan mencegah
TEWL
• Dapat membuat kulit lembut, supel dan menurunkan TEWL
• Mdngembalikan dan memperbaiki sawar lipid
• Elegan dan dapat diterima secara kosmetik
• Melembabkan kulit sensitif dengan bahan hipoalergik, bebas pewangi dan
nonkomedogenik
• Harga terjangkau
• Tahan lama
• Dapat diabsorpsi dengan cepat dan segera menghidrasi kulit
Pelembab tersedia dalam bentuk lotion dan krim. Lotion mengandung lebih
banyak air dibanding krim tetapi lebih mudah menguap. Pelembab ini dapat
digunakan 3-4 kali sehari termasuk segera setelah mandi, walaupun sedang tidak
terdapat gejala DA.

18
Kepentingan penggunaan pelembab secara rutin dan merupakan
pengobatan lini pertama pada dermatitis atopik adalah
1) Pelembab yang direkomendasikan harus mengandung bahan humektan,
emolien dan oklusif
2) Pelembab lain yang direkomendasikan adalah generasi terbaru
• Pelembab yang mengandung bahan anti-inflamasi dan antipruritus
seperti glycerrhetinic acid, telmestein dan vitis vinifera
• Pelembab yang mengandung bahan fisiologis seperti lipids, seramid,
NMF.
3) Penggunaan pelembab segera setelah mandi, dapat diulang atau lebih sering
ketika kulit terasa kering
4) Pastikan jumlah pelembab cukup, yaitu 100-200 gr/minggu
5) Gunakan pelembab bersama dengan bahan anti inflamasi topial saat penyakit
sedang aktif atau sebagai terapi pemeliharaan
6) Gunakan pelembab berminyak pada kulit kering dan pelembab yang
mengandung lebih banyak air untuk lesi inflamasi dan kemerahan.
7) Bentuk lotiion lebih baik digunakan pada kulit yang tidak terlalu kering, pada
wajah dan kulit yang lembut

Pemakaian pelembab dapat mengurangi pemakaian steroid topikal. Berdasarkan


suatu penelitian yang dilakukan oleh Msika dkk, dilaporkan manfaat pemakaian
pelembab yang dikombinasikan dengan steroid topikal 1x/hari setiap 2 hari
sekali dibanding degan steroid topikal 2x/ hari tanpa pelembab pada populasi
bayi dengan DA sedang selama 3 minggu, didapatkan hasil gejala DA membaik
pada kedua kelompok tanpa perbedaan yang signifikan, hal ini menunjukkan
bahwa pemakaian pelembab dapat mengurangi pemakaian steroid topikal
dengan hasil akhir sama.

9.3.1. Emollient
Emollient terutama terdiri dari lipid berfungsi untuk menghidrasi dan
memperbaiki penampilan kulit dengan cara mengisi celah antara
korneosit sehingga meningkatkan fleksibilitas dan kehalusan kulit. Zat
emollient yang sering digunakan sebagai farmaseutikal topikal dan
formulasi kosmetik adalah asam lemak rantai panjang tersaturasi dan
alkohol lemak, seperti steariat, linoleate, linoleniat, oleat, dan lauriat

19
yang dapat diteukan dalam minyak kelapa, minyak paem dan lemak
wool.
Saat ini granula lipid fisiologis seperti ceramide¸ kolesterol dan
asam lemak bebeas mulai digunakan sebagai emolien pada kulit kering.
Lipid fisiologis dapat melewati stratum korneum dan mengisi celah
antara koneosit. Lipid fisiologis terdapat dalam lapisan nukleasi
epidermal yang akan mempengaruhi lipid endogen epidermis, sementara
lipid non-fisiologis hanya terbatas pada stratum korneum saja.
9.3.2. Humektans
Humektans berfungsi untuk menarik air dengan 2 cara, yaitu dengan
meningkatkan absorpsi air dari dermis ke dalam epidermis dan pada
kondisi lmbab zat humektans juga membantu stratum korneum untuk
mengabsorpsi air dari lingkungan luar. Humektans yang paling efektif
adalah glisesrol. Korneosit yang belum matang bersifat mudah pecah
tetapi akan menjadi matang yang bersifat pelindung saat korneosit
bermigrasi ke stratum korneum. Gliserol dapat mempercepat maturitas
korneosit mlalui aktivitas transgluatminase pada stratum korneum.
Glisesrol juga dapat membantu meningkatkan deskuamasi dan
mengurangi scaling yang berhubungan dengan xerosis.
Humektan lain yang penting adalah urea dan laktat. Urea dapat
menurunkan TEWL dan mengurangi iritasi kulit pada DA. Asam laktat
berfungsi untuk menstimulasi biosintesis seramid sehingga
meningkatkan jumlah seramid pada stratum korneum yang
menyebabkan lipid barrier lebih baik dan unggul. Pemakaian humektan
sering dikombinasikan dengan zat oklusif yang bekerjasama untuk
meningkatkan hidrasi epidermal dan fungsi sawar kulit.
9.3.3. Oklusif
Pelembab yang bersifat oklusif mengandung substansi minyak (emulsi
air ke dalam minyak). Oklusif berfungsi menrunkan TEWL dengan
membentuk pertahanan hidrofobia pada kulit dan matriks antara
korneosit. Zat oklusif memiliki keterbatasan seperti berbau, berpotensi
menimbulkan alergi dan rasa kulit berminyak.

20
Petroleum jelly pada konsentrasi minimal 5% dapat mengurangi
TEWL sampai 98% dan merupakan zat oklusif paling efektif, lalu
diikuti lanolin, minyak mineral dan silikon yang dapat menurunkan
TEWL sebesar 20-30%. Zat oklusif lainnya adalah paraffin dan minyak
tumbuh-tumbuhan seperti cocoa butter.

9.4.Menghilangkah penyakit kulit inflamasi


Diberikan dalam bentuk
1) Topikal
a. Kortikosteroid topikal (KST)
Kortikosteroid topikal efektif dan aman apabila diberikan tepat dan di
bawah pengawasan, sering diperlukan pada saat eksaserbasi akut DA,
mempunyai efek antiinflamasi, anti pruritus, imunosupresi dan
vasokonstriktor. Pemilihan KST tergantung lokasi dan luasnya lesi.
Sebaiknya digunakan potensi paling rendah yang masih efektif dengan
gejala pasien. (4,6)
Bentuk krim lebih mudah penggunaanya tetapi lebih mudah
menimbulkan kekeringan. Bentuk salep mempunyai efek melindungi
kulit dari kekeringan, tetapi dapt meningkatkan rasa gatal serta dapat
meningkatkan rasa gatal dan menimbulkan folikulitis. Penggunaan KST
tidak lebih dari 2x/hari karena tidak menambah efikasi. Pada daerah
kulit yang tipis seperti daerah wajah, leher, ketiak dan selangkangan
sebaiknya tidak digunakan KST potensi sedang atau tinggi kecuali
digunakan dalam jangka pendek dengan pengawasan yang ketat. Efek
samping penggunaan KST tersering ialah katarak bila digunakan di
daerah periorbital, atrofi kulit, hipopigmentasi, jerawat dan terkadang
efek sistemik serta dapt terjadi infeksi sekunder oleh jamur bila
penggunaan dalam waktu lama.(2–5)

21
Tabel 2. Potensi relatif kortikosteroid topikal

b. Inhibitor kalsineurin topikal (IKT)


Inhibitor kalsineurin topikal (IKT) direkomendasikan sebagai pilihan
terapi pada DA karena mempunyai efek menguntungkan dalam
mengurangi derajat beratnya DA. Jenis IKT yang diberikan adalah
pimekrolimus dan takrolimus dan digunakan pada DA sedang dan berat
pada anak usia >2 tahun. Pemakaian IKT aman sebagai terapi untuk
mencegah kekambuhan dan memperpanjang remisi bila digunakan
selama 2-4 minggu setelah inflamasi akut yang diatasi dengan
pemberian KST. (3–5)
c. Antimikroba topikal
Pada pasien DA sering disertai infeksi sekunder dari berbagai
mikroorganisme, seperti stafilokokus, streptokokus, herpes simpleks,
moluskum kontagiosum, HPV dan infeksi jamur. Penyebab infeksi oleh
stafilokokus aureus merupakan komplikasi paling banyak yang
ditemukan pada pasien DA.
Bila pengobatan dengan antibiotika topikal gagal, perlu
dipikirkan adanya infeksi herpes simpleks, bila ringan bisa diobati
dengan asiklovir topikal, tetapi bila lesi luas dan mengancam mata dapat
diberikan asiklovir intravena. Pengobatan dengan antijamur diberikan
bila ada infeksi jamur dermatofit dan diberikan krim imidasol.

22
Penggunaan antiseptik topikal seperti triclosan dan clorhexidin
pada air mandi sangat sering digunakan pada pasien anad dan dapat
menurunkan kolonisasi stafilokokus. Tetapi pemakaian antiseptik
topikal masih belum direkomendasikan dalam tatalaksana DA karena
makin memperburuk kondisi DA melalui 2 mekanisme yaitu terjadi
iritasi pada kulit dan kehilangan organisme komensal normal di kulit.
Ada beberapa laporan bahwa pemakaian antiseptik topikal justru brisiko
terjadi dermatitis kontak atau alergik pada daerah leher, ketiak, lipatan
poplitea dan antekubiti serta anogenital.
d. Kompres basah
Manfaat metode ini adalah untuk hidrasi, meningkatkan penetrasi obat,
mendinginkan kulit sehinga dapat menenangkan pasien.
2) Sistemik
a. Kortikosteroid sistemik
Kadang dierlukan terapi sistemik pada DA terutama untuk kasus
persisten, lesi luas dan tidak responsif terhadap terapi lainnya.
Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya tidak dianjurkan karena
sering didapatkan efek samping dan efek rebound. Beberapa klinisi
masih mempertimbangkan penggunaan steroid sistemik jangka pendek,
maksimal 6 minggu tetapi dikombinasikan dengan penggunaan KST
atau IKT pada eksaserbasi akut karena didapatkan penyembuhan lebih
cepat. Terapi kortikosteroid intravena dan intramuskular sebaiknya
dihindari pada tatalaksana DA.(3–5)
b. Imunosupresan
Pasien DA sering menunjukkan gangguan regulasi sitem imun oleh
karena itu dapat diberikan pengobatan untuk memperbaiki sistem imun.
Biasanya pengobatan ini merupakan alternatif pada DA berat dan
refrakter yang tidak responsif terhadap terapi lainnya. .(3–5)
Siklosporin dapat digunakan untuk menekan produksi sitokin.
Dosis yang digunakan adalah 2,5-5 mg/kg/hari. Karena efek nefrotoksik
dan hepatotoksik serta imunosupresif, pengobatan ini tidak disukai
kecuali pada DA yang refrakter terhadap pengobatan. .(3–5)
Metrotreksat diberikan dengan dosis 10-15 mg/m2/ minggu dan
efek samping berupa hepatotoksik dan supresi sumsum tulang. Terapi
23
lain berupa mikofenlat mofetil dengan dosis maksimal 2gr/hari dan efek
samping berupa infeksi dan supresi sumsum tulang. Azatioprin diberi
dengan dosis 1-2 mg/kg/hari dan efek samping berupa supresi sumsum
tulang, insufisiensi ginjal dan infeksi. .(3–5)
c. Antimikroba
Dermatitis atopik yang tidak terkontrol sering disertai infeksi sekunder
yang memerlukan terapi antimikroba sistemik. Bila tidak ditangani
dengan baik maka akan memperburuk DA pasien tersebut. Penyebab
infeeksi tersering adalah staphylococcus aureus yang sering resisten
terhadap penisilin. Untuk itu perlu dilakukan biakan dan uji resistensi
untuk menentukan antibiotika yang sesuai. .(3–5)
Antibiotika sitemik dapat digunakan bila terdapat infeksi
stafilokokus, diberikan selama 1 minggu sesuai perbaikan klinis.
Amoksisilin-klavulanat dan sefaleksin dipertimbangkan sebagai lini
pertama untuk pasien DA sedangkan terapi pilihan lainnya ialah
eritromisin, klindamisin dan dikloksasilin. Pada kasus methicillin-
resistant staphylococcus aureus (MRSA) maka dapat diberikan
klindamisin, cotrimoxazole atau vankomisin. .(3–5)
3) Fototerapi
Pemberian sinar utraviolet (UVA) dapat bermanfaat pada DA yang kronik dan
rekalsitrans. Sebaliknya sinar matahari yang berlebihan atau udara yang panas
dan lembab dapat lebih menimbulkan rasa gatal pada pasien. Penggunaan sinar
UVA atau psoralen phototherapy (PUVA) dapat menyebabkan remisi pada DA
berat. Penggunaan fototereapi pada anak umumnya sulit dilakukan dan
menimbulkan rasa tidak nyaman pada anak usia kurang dari 8 tahun. (3,4,6)
4) Terapi tambahan
Penggunaan probiotik yang dapat memodulasi sistem imun menjadi pengobatan
baru pada DA. Probiotik efektif sebagai pencegahan primer pada DA. Terapi
traditional Chinese herbal medicine (TCHM) mungkin efektif dalam
menangani DA, tetapi masih sedikit data yang mendukung metode ini. (13,14)
9.5.Mengendalikan dan mengeliminasi siklus gatal-garuk
Rasa gatal pada DA merupakan gejala utama dan sangat mengganggu pasien.
Goresan akibat garukan dapat dikurangi dengan memotong kuku, menggunakan
sarung tangan pada bayi dan pemakaian obat anti histamin. Penggunaan
24
antihistamin topikal serta anestetik lokal sebaiknya dihindari. Cetirizine saat ini
yang dipakai untuk mengatasi gatal pada DA karena aman digunakan dalam jangka
panjang. Antihistamin bermanfaat diberikan pada pasein gengan DA dan
dermatografism serta rinitis dan asma. Antihistamin sedatif dapat digunakan dalam
jangka waktu singkat di bawah pengawasan karena gatal akibat DA yang
menyebabkan gangguan tidur.(3–6)

10. Prognosis
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada anak dengan DA walaupun tidak
menunjukan gejala asma, didapat gejala hiperaktivitas bronkus non spesifik sehingga
mempunyai resiko terjadinya asma di kemudian hari. Seorang anak dengan dermatitis
atopik sedang hingga berat dapat memiliki risiko 50% untuk menderita asma dan 75%
risiko terkena hay fever.Laporan terkini menyebutkan bahwa pengotan pencegahan yang
dilakukan melalui pengobatan dini anak atopi dapat mencegah timbulnya asma di kemudian
hari. Dengan tatalaksana yang baik maka terjadinya sensitisasi terhadap reaksi alergi lain
akan ditekan sehingga manifestasi terjadinya ekspresi terhadap penyakit alergi lain di
kemudian hari dapat dicegah. (3,4,15)
Menilai derajat keparahan dermatitis atopi dengan menggunakan indeks SCORAD
(Severity Scoring of Atopic Dermatitis) yang terdari dari 3 penilaian yaitu penilaian luas
penyakit, intensitas dan subjektif.(1–4,15)
SCORAD Indeks(2–4)
1) Penilaian luas penyakit (A)
Dihitung menggunakan sistem rule of nine. Pada anak usia di bawah 2 tahun, wajah
dan kepala masing-masing dihitung 8,5% dan kedua ekstremitas masing-masing 6%.
Sedangkan pada anak yang lebih besar dan dewasa, wajah dan kepala masing masing
dinilai 4.5% dan kedua ekstremitias bawah masing-masing dinilai 9%. Skor 0-100.
2) Penilaian intensitas (B)
Parameter yang dinilai adalah morfologi pada kulit dengan DA, yaitu eritema,
edema/papul, eksudat/krusta, ekskoriasi, likenifikasi, dryness. Setiap lesi dinilai
sebagai berikut 0=tidak ada, 1= ringan, 2= sedang, 3= berat. Tidak ada nilai ½ atau 0,5.
Sedangkan untuk kulit kering yang dinilai adalah kulit di luar ke-5 lesi. Intensitas
morfologi dinilai oleh 2 orang pengamat denga perbedaan penilaian tidak bermakna.
Standar penilaian intensitas ada SCORAD adalah foto atau slide foto pasien. Skor 0-
18.
25
3) Penilaian subjektif (C)
Dilakukan terhadap rasa gatal dan gangguan tidur. Untuk kedua parameter tersebut,
pasien diminta menilai dengan menggunakan visual analogue scale dari angka 0-10.
Penilaian berdasarkan kesimpulan analogi derajat rasa gatal dan tidak bisa tidur selama
3 hari atau 3 malam terakhir. untuk anak usia di bawah 7 tahun, pemberian nilai tidak
dapat dipercaya sehingga tidak ikut dinilai. Skor 0-20.
4) Total nilai indeks SCORAD ditetapkan dengan rumus A/5 + 7B/2 + C
5) Objective SCORAD merupakan modifikasi indeks SCORAD tanpa memperhitungkan
gejala subjektif
6) Derajat keparahan DA diklasifikasikan menjadi DA ringan, sedang dan berat (tabel 2).

Tabel 2. Derajat keparahan dermatitis atopi

11. Pencegahan
Pencegahan DA terdiri dari pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer berlaku
pada pasien yang belum mempunyai gejala namun mempunyai predisposisi genetik dalam
keluarga yang bertujuan mengurangi risiko terjadinya DA di kemudian hari. Pencegahan
primer meliputi vaksinasi, ASI eksklusif, pemberian probiotik, menghindari paparan
terhadap jamur aspergillus dan penicillium di tempat tinggal dan mengihndari paparan
terhdap cat tembok dan perabot baru pada renovasi rumah selama masa kehamilan.
Beberapa penelitan juga beranggapan bahwa paparan terhdap anjing peliharaan saat kecil
dapat mengurangi resiko DA pada anak sekitar 25%. (3,4,7,16)
Pencegahan sekunder ditujukan pada orang yang sudah didiagnosis DA dan
bertujuan untuk mencegah lesi kulit yang lebih berat serta mengurangi penggunaan
farmakoterapi. Pencegahan sekunder meliputi perlindungan pada barier epidermis kulit
dengan rutin menggunakan emolien untuk menjaga kelembaban kulit dan menghindari
kulit dari paparan zat iritan. Mencegah superinfeksi bakteri dengan pemberian probiotik.
Menghindari paparan terhadap alergen makanan dengan diet eliminasi bila hasil tes alergi
pada alergen makanan tersebut positif, dilakukan selama 4-6 minggu. Mencegah paparan
terhadap alergen inhalan seperti tungau debu rumah dengan cara menjaga kelembaban

26
ruangan dan membersihkan rumah rutin dengan penyedot debu, hindari bantal berbulu,
karpet, gorden dan perabot yang berlapis kain. Kemudian menghindari faktor yang memicu
rasa gatal seperti berkeringat, kulit kering, aktivitas fisik, stres, bahan wol atau serat
sintetis, air panas. Pilihlah pakaian yang longgar dan berbahan katun. Berenang adalah
olahraga yang dianjurkan karena kurang berkeringat namun harus segera dibilas dengan air
bersih. Menghindari stres dengan psikoterapi, relaksasi, hipnoterapi, pijat atau akupuntur.
(1,4,16,17)

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Avena-Woods C. Overview of atopic dermatitis. Am J Manag Care. 2017 Jun;23(8


Suppl):S115–23.

2. Menaldi SL, Bramono K IW. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7th ed. Jakarta:
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.

3. Fitzpatrick TB (Thomas B, Kang S. Fitzpatrick’s dermatology. 8th ed.

4. Thomsen SF. Atopic dermatitis: natural history, diagnosis, and treatment. ISRN
Allergy. 2014;2014:354250.

5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan


Praktik Klinis. Jakarta; 2017.

6. Wong ITY, Tsuyuki RT, Cresswell-Melville A, Doiron P, Drucker AM. Guidelines for
the management of atopic dermatitis (eczema) for pharmacists. Can Pharm J (Ott).
2017;150(5):285–97.

7. Berke R, Singh A, Guralnick M. Atopic dermatitis: an overview. Am Fam Physician.


2012 Jul 1;86(1):35–42.

8. McPherson T. Current Understanding in Pathogenesis of Atopic Dermatitis. Indian J


Dermatol. 2016;61(6):649–55.

9. David Boothe W, Tarbox JA, Tarbox MB. Atopic Dermatitis: Pathophysiology. In:
Advances in experimental medicine and biology. 2017. p. 21–37.

10. Gu H, Chen XS, Chen K, Yan Y, Jing H, Chen XQ, et al. Evaluation of diagnostic
criteria for atopic dermatitis: validity of the criteria of Williams et al. in a hospital-
based setting. Br J Dermatol. 2001 Sep;145(3):428–33.

11. Samochocki Z, Dejewska J. A comparison of criteria for diagnosis of atopic dermatitis


in children. World J Pediatr. 2012 Nov 15;8(4):355–8.

12. Barbarot S, Auziere S, Gadkari A, Girolomoni G, Puig L, Simpson EL, et al.


Epidemiology of atopic dermatitis in adults: Results from an international survey.
Allergy. 2018 Jun;73(6):1284–93.

28
13. Rather IA, Bajpai VK, Kumar S, Lim J, Paek WK, Park Y-H. Probiotics and Atopic
Dermatitis: An Overview. Front Microbiol. 2016;7:507.

14. Huang R, Ning H, Shen M, Li J, Zhang J, Chen X. Probiotics for the Treatment of
Atopic Dermatitis in Children: A Systematic Review and Meta-Analysis of
Randomized Controlled Trials. Front Cell Infect Microbiol. 2017;7.

15. Kapur S, Watson W, Carr S. Atopic dermatitis. Allergy Asthma Clin Immunol.
2018;14(Suppl 2):52.

16. Oszukowska M, Michalak I, Gutfreund K, Bienias W, Matych M, Szewczyk A, et al.


Role of primary and secondary prevention in atopic dermatitis. Postep dermatologii i
Alergol. 2015 Dec;32(6):409–20.

17. Nutten S. Atopic Dermatitis: Global Epidemiology and Risk Factors. Ann Nutr Metab.
2015;66(1):8–16.

29

Anda mungkin juga menyukai