INTUBASI PADA
PENYUSUN :
030.14.135
DOKTER PEMBIMBING:
i
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh :
Nadia Sani Amalia
030.14.135
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Taufik Eko Nugroho Sp An, selaku dokter
pembimbing Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Anestesi di RSUD K.R.M.T
Wongsonegoro
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya yang begitu
besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul
“Intubasi pada Resusitasi Jantung Paru” pada kepaniteraan klinik Ilmu Anestesi
Rumah Sakit Umum Daerah K.R.M.T Wongsonegoro.
Terwujudnya tugas presentasi kasus ini berkat bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Taufik Eko
Nugroho Sp.An selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam
membimbing dan memberi masukan-masukan kepada penyusun dan juga kepada
seluruh dokter lainnya yang turut membantu dan membimbing penulis dan coass
lainnya selama kepaniteraan dibagian Ilmu Anestesi. Semoga Allah SWT
memberikan balasan yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.
Penulis menyadari presentasi referat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna
menyempurnakan makalah ini. Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN. ................................................................................i
KATA PENGANTAR. .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN . ...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................2
2.1 Pendahuluan ..................................................................................2
2.2 Intubasi ..........................................................................................6
2.2.1 Definisi .................................................................................8
2.2.2 Definisi .................................................................................8
2.2.3 Definisi .................................................................................8
2.2.4 Definisi .................................................................................8
2.2.5 Definisi .................................................................................8
v
BAB I
PENDAHULUAN
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan darurat untuk mencegah kematian
biologis dengan tujuan mengembalikan keadaan henti jantung dan napas (kematian klinis)
ke fungsi yang optimal. RJP terdiri dari pemberian bantuan sirkulasi dan napas, dan
merupakan terapi umum, diterapkan pada hampir semua kasus henti jantung atau napas.
Kompresi dan ventilasi merupakan tindakan yang efektif dalam melakukan RJP. Orang
awam dan orang terlatih dalam bidang kesehatan pun dapat melakukan tindakan RJP.1
Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa Negara. Terjadi baik di
luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan 350.000 orang meninggal per
tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka
yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat di resusitasi. Walaupun
usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang
akibat tidak dilakukannya resusitasi. 1,2
Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan bayi dan
anak juga mengalaminya setiap tahun.1,2 Menurut American Heart Associaton, rantai
kehidupan mempunyai hubungan erat dengan tindakan jantung paru, karena penderita yang
diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang amat besar untuk data hidup kembali.1 Intubasi
endotrakeal merupakan "gold standard " untuk penanganan jalan nafas. Prosedur ini dapat
dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami penyumbatan jalan nafas,
kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari sekret agar tidak terjadi aspirasi dan
pada segala jenis gagal nafas. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan melalui hidung ataupun
mulut. Masing- masing cara memberikan keuntungan tersendiri sebagai contoh bahwa
melalui nasal lebih baik dilakukan pada pasien yang masih sadar dan kooperatif, sedangkan
melalui oral dilakukan pada pasien yang mengalami koma, tidak kooperatif dan ketika
kegawatan intubasi dibutuhkan pada pasien yang mengalami henti jantung.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago). Hidung
dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan jaringan ikat
(connective tissue). Bagian dalam hidung merupakan suatu lubang yang
dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat (septum). Rongga
hidung mengandung rambut (fimbriae ) yang berfungsi sebagai penyaring (filter)
kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung terdapat
epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan lendir
sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran pernapasan. Kita
dapat mencium aroma karena di dalam lubang hidung terdapat reseptor.
Reseptor bau terletak pada cribriform plate, di dalamnya terdapat ujung dari
saraf kranial I (Nervous Olfactorius). Hidung berfungsi sebagai jalan napas,
pengatur udara, pengatur kelembaban udara (humidifikasi), pengatur suhu,
pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan resonator suara.
B. Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong yang letaknya bermula dari
dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus pada ketinggian tulang
rawan (kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat ‘digestion’ (menelan) seperti
pada saat bernapas. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi tiga yaitu di
belakang hidung (naso-faring), belakang mulut (oro-faring ), dan belakang laring
(laringofaring ).
2
Nasofaring terdapat pada superior di area yang terdapat epitel bersilia
(pseudostratified ) dan tonsil (adenoid), serta merupakan muara tube eustachius.
Tenggorokan dikelilingi oleh tonsil, adenoid, dan jaringan limfoid lainnya. Struktur
tersebut penting sebagai mata rantai nodus limfatikus untuk menjaga tubuh
dari invasi organisme yang masuk ke dalam hidung dan tenggorokan. Oro-faring
berfungsi untuk menampung udara dari naso-faring dan makanan dari mulut. Pada
bagian ini terdapat tonsil palatina (posterior) dan tonsili lingualis (dasar lidah).
C. Laring
Laring sering disebut dengan ‘voice box’ dibentuk oleh struktur epitelium lined
yang berhubungan dengan faring (di atas) dan trakhea (di bawah). Laring
terletak di anterior tulang belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari
esofagus berada di posterior laring. Fungsi utama laring adalah untuk pembentukan
suara, sebagai proteksi napas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses
terjadinya batuk.
2.2 INTUBASI
2.2.1 Definisi Intubasi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung.
Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi
nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke
dalam oropharing.2,4
5
2.2.3 Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi
Ada beberapa indikasi khusus intubasi endotrakeal pada pasien, diantaranya adalah:4
1. Untuk patensi jalan napas. Intubasi endotrakeal diindikasikan untuk menjamin
ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan napas.
2. Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari endotrakeal tube harus
dilaksanakan pada pasien-pasien yang baru saja makan atau pasien dengan obstruksi
usus.
3. Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya torakotomi,
penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama.
4. Operasi yang membutuhkan posisi selain telentang. Pemeliharaan patensi jalan napas
atau penyimpanan ventilasi tekanan positif pada paru tidak dapat diandalkan.
5. Operasi daerah kepala, leher atau jalan napas atas.
6. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran sekret pulmo.
7. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau dengan depresi
refleks muntah (misal selama anestesi umum).
8. Adanya penyakit atau kelainan jalan napas atas. Misalnya paralisis pita suara, tumor
supraglottis dan subglottis.
9. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif.
Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah trauma jalan napas berat atau obstruksi
yang tidak memberikan pemasangan pipa endotrakeal yang aman. Cricothyrotomi
diindikasikan pada beberapa kasus. Trauma servikal, dimana diperlukan immobilisasi.
Indikasi intubasi nasotrakea:
1. Operasi intraoral dan operasi plastik daerah wajah
2. Jika terdapat bentuk anatomis abnormal atau penyakit jalan napas atas yang membuat
kesulitan laringoskop direk
3. Ankilosis sendi temporomandiuler
4. Kondisi yang menyebabkan tak memungkinkan untuk dilakukan laringoskop direk
5. Repair fraktur rahang
6. Kondisi yang menyebabkan tidak memungkinkan intubasi oral, misalnya kondisi
pasien yang terpasang kawat pada rahang atas dan bawah
7. Sindroma Piere Robin, dimana terdapat hipoplasia mandibula, mikrognatia,
palatosisis, lidah terletak di belakang (glossoptosis) dan epiglottis kecil.
6
Kontraindikasi intubasi nasotrakeal adalah untuk penderita yang apnea. Makin
dalam penderita bernafas, makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring.
Kontraindikasi lain dari pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii,
khususnya pada tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.
2.2.4 Kesulitan Intubasi
Faktor yang memprediksi kesulitan intubasi:
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila atau gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporomandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Kesulitan intubasi dapat diperkirakan dengan menggunakan standar dari Cormack
dan Lehane, terdapat 4 derajat berdasarkan penglihatan yang dapat dicapai dengan
laringoskopi, yaitu:
Derajat I : Semua glottis terlihat, tidak ada kesulitan.
Derajat II : Hanya glottis bagian posterior yang terlihat, hal ini yang
menyebabkan kesulitan ringan. Penekanan pada leher dapat memperbaiki penglihatan
terhadap laring.
Derajat III : Tidak ada bagian glottis yang terlihat, tetapi epiglottis terlihat. Dapat
menyebabkan kesulitan yang agak berat.
Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat. Dapat menyebabkan kesulitan besar atau
dapat menggunakan perkiraan dari Mallampati, yaitu: Mallampati test.
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan
mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit. Visualisasi dari orofaring
yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem
ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan
menjulurkan lidah.
Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
7
Gambar 3. Derajat berdasarkan penglihatan Laringoskopi
8
Gambar 5. Laringoscope
Tube
9
Tabel 1. Tabel Pipa Trakea dan peruntukannya (Endotracheal Tube)
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa cuff
Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Airway
Airway adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas yaitu pipa mulut-faring
(Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini
berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan
napas.
Gambar 8. Stylet
Connector
Connector adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask ataupun
peralatan anesthesia.
Suction
Suction adalah penyedot lendir, ludah dan cairan lainnya.
12
Gambar 11. Auskultasi Suara
Gambar 10. Intubasi
Napas Setelah Dilakukan Intubasi
Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung dan
nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang dipilih
dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes hidung
phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan
membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat
digunakan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke dasar
hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin. Untuk
memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus ditarik ke
arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring.
Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan. Jika
ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan
hati-hati agar tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalui hidung berbahaya pada
pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.6
13
mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi yang kemudian memungkinkan
untuk hidup normal kembali setelah fungsi pernafasan dan atau sirkulasi gagal.7
2.3.2 Indikasi
2.3.2.1 Henti nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus
dilakukan tindakan Bantuan Hidup dasar. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan
seperti, tenggelam atau lemas, stroke, obstruksi jalan nafas, epiglotitis, overdosis
obat-obatan, tersengat listrik, Infark Miokard, tersambar petir.
Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk
beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ
vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan resusitasi, ini sangat
bermanfaat pada korban.7
2.3.2.2 Henti Jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti
sirkulasi ini akan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti
jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai
kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi
terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar. Bantuan hidup dasar merupakan
bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan untuk:7
a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.
b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti jantung melalui resusitasi jantung paru (RJP).
Resusitasi jantung paru terdiri dari dua tahap yaitu:7
a. Survei primer : Dapat dilakukan oleh setiap orang.
b. Survei sekunder : Dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis terlatih
dan merupakan lanjutan dari survei primer.
2.3.3 Fase RJP
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya:8
A. Fase I : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur Pertolongan
darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan
bagaimana melakukan RJP secara benar.
14
Terdiri dari :
C (circulation) : Mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.
A (airway) : Menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : Ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
B. Fase II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan hidup
dasar ditambah dengan :
D (drugs) : Pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (electrocardiography) : Diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin
setelah dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole,
atau agonal ventricular complex.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
C. Fase III : Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara
terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah
terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hypothermia) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan
saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° - 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia
yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan
perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran
pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
2.3.4 Persiapan
1. Anestesi
Seseorang dalam serangan jantung adalah hampir selalu tidak sadar, obat-obat
anestesi biasanya tidak diperlukan untuk resusitasi kardiopulmoner (RJP).9
2. Peralatan
RJP dalam bentuk yang paling dasar, dapat dilakukan di mana saja tanpa perlu
peralatan khusus. Terlepas dari peralatan yang tersedia, teknik yang tepat
sangatlah penting.
15
Alat pelindung diri (APD) yaitu, sarung tangan, masker, gaun, harus
digunakan. Namun, pada sebagian besar pasien yang diresusitasi di luar rumah
sakit, RJP dilakukan tanpa perlindungan seperti itu, dan tidak ada kasus yang
telah dilaporkan tentang penularan penyakit melalui pengiriman pasien yang di
RJP. Beberapa rumah sakit dan sistem pelayanan medis darurat, menggunakan
perangkat elektronik untuk memberikan penekanan dada mekanik, meskipun
sampai relatif baru-baru ini, perangkat tersebut belum terbukti lebih efektif
daripada kompresi manual yang berkualitas tinggi. Sebuah penelitian yang telah
dipublikasikan menunjukkan bahwa adanya peningkatan angka harapan hidup
dengan hasil neurologis yang lebih baik pada pasien yang menerima kompresi
dekompresi-RJP secara aktif, dengan augmentasi tekanan negatif intrathoracic,
dibandingkan dengan pasien yang menerima standar RJP. Selain itu, sistem
kesehatan lainnya telah mulai menerapkan perangkat elektronik untuk memantau
RJP dan memberikan umpan balik untuk penyedia audiovisual RJP, sehingga
membantu mereka meningkatkan kualitas kompresi selama RJP.9 Seorang
operator Advanced Cardiac Life Support (ACLS) (Dokter, perawat, paramedis)
juga dapat memilih untuk memasukkan pipa endotrakeal langsung ke dalam
trakea pasien (intubasi) yang menyediakan ventilasi yang paling efisien dan
efektif. Namun, 2 penelitian kohort retrospektif telah dipertanyakan nilai intubasi
endotrakeal pra-rumah sakit, dan studi lebih lanjut di daerah ini dibenarkan.9
Perangkat tambahan yang digunakan dalam pengobatan serangan jantung adalah
defibrilator jantung. Perangkat ini memberikan kejutan listrik ke jantung melalui
2 elektroda ditempatkan pada dada pasien dan dapat mengembalikan jantung ke
irama perfusi normal.9
3. Pemposisian pasien
RJP adalah yang paling mudah dan efektif dilakukan dengan meletakkan
pasien secara terlentang pada permukaan yang relatif keras, yang memungkinkan
kompresi efektif pada sternum. RJP yang dilakukan di atas bahan yang lembut
seperti kasur atau yang lainnya, umumnya kurang efektif. Petugas kesehatan
yang memberikan penekanan harus ditempatkan cukup tinggi di atas pasien
untuk mencapai ketinggian yang cukup, sehingga ia dapat menggunakan berat
badannya untuk kompresi dada yang cukup.9
16
Di rumah sakit, di mana pasien berada di atas brangkar atau tempat tidur,
posisi yang tepat sering dicapai dengan menurunkan tempat tidur, operator RJP
yang berdiri di atas bangku pijakan , ataupun keduanya. Dalam RJP di luar rumah
sakit, pasien sering diposisikan di lantai, dengan operator RJP berlutut di
samping pasien.9
2.3.4 Prosedur RJP
Pada dasarnya resusitasi jantung paru terdiri dari 2 elemen: Kompresi dada
dan mulut-ke-mulut (mouth-to-mouth) napas buatan.
Sebelum menolong korban, hendaklah menilai keadaan lingkungan terlebih
dahulu:10
1. Apakah korban dalam keadaan sadar?
2. Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu
korban dan bertanya dengan suara keras “Apakah Anda baik-baik saja?”
3. Apabila korban tidak berespon, mintalah bantuan untuk menghubungi
rumah sakit terdekat, dan mulailah RJP
2.3.5 Bantuan Hidup Dasar
Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan hidup (chain
of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi rantai kelangsungan
hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada pasien dengan henti jantung (cardiac arrest)
dapat berubah tergantung lokasi kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di dalam lingkungan
rumah sakit (HCA) atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA). Gambar 12 menunjukkan
“chain of survival” pada kondisi HCA maupun OHCA
17
Gambar 12. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA
18
Gambar 13. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa
Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka petugas
kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon korban.
Tepukan pada pundak dan teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban
tidak bernafas atau terengah-engah. Lihat apakah korban merespon dengan jawaban,
erangan atau gerakan. Penolong harus memanggil bantuan terdekat setelah korban
19
tidak menunjukkan reaksi. Akan lebih baik bila penolong juga memeriksa
pernapasan dan denyut nadi korban seiring pemeriksaan respon pasien agar tidak
menunda waktu dilakukannya RJP..
2. Resusitasi Jantung Paru dini
Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria penting
untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah:
Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per menit dan
maksimal 120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120 kali / menit,
kedalaman kompresi akan berkurang seiring semakin cepatnya interval kompresi
dada.
Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan kedalaman
maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi maksimal diperuntukkan
mengurangi potensi cedera akibat kedalaman kompresi yang berlebihan. Pada pasien
bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi
(4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas
(remaja), kedalam kompresi dilakukan seperti pada pasien dewasa.
Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum).
Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika
korban berada di tempat tidur. Tabel 1 mencantumkan beberapa hal yang perlu
diperhatikan selama melakukan kompresi dada dan pemberian ventilasi:
Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi pada Pasien
Dewasa
Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama melakukan
siklus kompresi dada, penolong harus membolej\hkan rekoil dada penuh dinding
dada setelah setiap kompresi; dan untuk melakukan hal tersebut penolong tidak boleh
bertumpu di atas dada pasien setelah setiap kompresi.
20
Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya
meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk
mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit.
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan
nafas melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera tulang
belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.
Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian
ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban
untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat.
Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal, Combitube,
atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan 1 napas buatan setiap
6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien dewasa, anak-anak, dan bayi sambil
tetap melakukan kompresi dada berkelanjutan
Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2 menit.
Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang penolong atau
dua (atau lebih) orang penolong (gambar 3 dan 4). Bila ada satu orang penolong, rasio
kompresi dada dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu 30:2, tetapi bila ada dua orang
22
penolong maka rasio kompresi dada dan ventilasi menjadi 15:2. Jika anak/bayi mempunyai
denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan
kecepatan 3-5 detik/nafas atau sekitar 12-20 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi
kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 :
2 untuk satu orang penolong dan 15 : 2 untuk dua orang atau lebih penolong.
Gambar 14. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Satu Orang Penolong
23
Gambar 15. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Dua Orang Penolong
24
diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 miokard, takiaritmi, dan fibrilasi
ventrikel.8
b. Natrium Bikarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv
dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah
selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi
spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi
metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi
yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama.4
c. Sulfat Atropin : Atropin tidak lagi direkomendasikan untuk
digunakan rutin dalam pengelolaan pulseless electrical activity (PEA)/asistol.
Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan
mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam
mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard,
terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai
bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60/menit,
dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3
yang membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan
cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada
dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard,
tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif
menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah
defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang
multi fokal dan episode takikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai
bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus
kontinu 1-3 mg/menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg/menit, berupa lidocaine 500
ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
2. Berguna :8
a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat
karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai
20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur
untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna
untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.
25
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti
berguna untuk kasus-kasus takikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi
ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine.
Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan
pengawasan yang ketat.
c. Kortikosteroid: Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB metil
prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexametason fosfat) untuk
pengobatan syok kardiogenik atau syok lung akibat henti jantung. Bila ada
kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg metil prednisolon sodium
succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti
pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexametason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.
E (Electrocardiography)
Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan
monitoring.
F (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada ventrikel fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik tidak teratur
baik amplitudo maupun frekuensinya. Terapi definitifnya adalah syok elektrik (DC-
Shock) dan belum ada satu obat pun yang dapat menghilangkan fibrilasi. Tindakan
defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri puting
susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.
DC Shock
Indikasi : Shockable
- Ventricular Tachycardia (VT) tanpa pulsasi carotis (pulseless)
- Ventricular Fibrilation (VF) coarse (kasar)
Kontraindikasi : Un-shockable
- Asystole
- Pulseless Electrical Activity (PEA)
- Electro Mechanical Dissociation (EMD)
Cara :
- Gunakan DC shock unsynchronized, single shock 360 Joule (monophasic), 200
Joule (biphasic)
- Bila tetap VT (pulseless)/VF coarse, lakukan defibrilasi 360/200 J berulang
bergantian dengan pijat jantung
- Adrenalin 1 mg (1 ampul) dimasukkan setiap 3 – 5 menit
26
- Lidocaine atau amiodarone dapat diberikan setelah pemberian 3 shock dan irama
tetap VT/VF
Penyulit : luka bakar bila jelly kurang, shock listrik (shock electric) bila ada kebocoran
arus listrik
Cara memakai DC Shock:
- Siapkan DC Shock, nyalakan powernya, pilih unsynchronized, pilih dosis energi
360/200 J.
- Beri jelly secukupnya pada electrode pedal, oles pakai tangan.
- Charge elektrode sampai bunyi “tiiiiiiiiiiiiittttttt…………………….” (pengisian
selesai).
- Semua penolong minggir (tidak menempel tempat tidur pasien), katakan “atas
bebas, bawah bebas, samping bebas, saya bebas”, ingat: BEBASKAN DARI
SUMBER OKSIGEN.
- Kejut di Sternum dan di Apex jantung (ICS 5 sinistra, axilla ant.line) dengan
tekanan ± 10 kg (pedal boleh dibolak-balik)
VT (pulseless)/VF coarse
Pijat 100 x/menit
Intubasi : as soon as possible, without stop Nafas 8 – 10 x/menit
CPR
Adrenalin Adrenalin
VT/VF
2 menit 2 menit
CPR-1 a single shock a single shock a single shock amiodaron a single shock
30 : 2 CPR-2 CPR-3 CPR-4 a single shock CPR-6
adrenalin CPR-5
Call for
help AMIODARON is the first choice 300 mg,
Adrenalin : 1mg, bolus. Repeated 150 mg for recurrent
Pasang i.v., repeated VT/VF. Followed by 900 mg infusion over 24
monitor every 3-5 hours LIDOCAINE. Do not exceed a total
minutes dose of 3 mg/kg, during the first hour
27
Evaluasi CPR : tiap 2 menit
CPR- 2 2
1 30 CPR-2 CPR-3 CPR-4 menit CPR-5 menit CPR-6
: 2 for
Call adrenalin
help Adrenalin :
Pasang 1mg, i.v., Evaluasi CPR : tiap 2 menit
monitor repeated every
3-5 minutes
28
C. Bantuan Hidup terus-menerus
G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus menerus terutama
sistem pernapasan, kardiovaskuler, dan sistem saraf.
H (Head) : Tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari kerusakan
lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologis yang permanen.
H (Hypothermy) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu
pada suhu antara 30°-32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang
mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : Perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi,
pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan,
dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
29
dengan menyisipkan saluran napas invasif, yang mencegah udara memasuki
kerongkongan.
2.4 Hubungan Intubasi pada Resusitasi Jantung Paru
BAB III
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
1. American Heart Association. 2010. Part 4 Adult Basic Life Support in Circulation
Journal.
2. Desai,Arjun M. 2010. Anesthesiology . Stanford University School of Medicine.
Diakses dari: http://emedicine.medcape.com. Accessed on April 27th 2018.
3. Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6 . Penerbit
BukuKedokteran EGC. Jakarta 1997
4. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI: Jakarta. Universitas
Indonesia. 2007; 2.p:3-45.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan GE, Mikhail
MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA, McGraw‐
Hill Companies, Inc.2006, p. 98‐06.
6. Kociszewski C, Thomas SH, Harrison T, et al. Etomidate versus succinylcholine for
intubation in the air medical setting. Am J Emerg Med. 2000;18:757-763.
7. Latief S.A. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.
8. Andrey, 2012. Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler. Disitasi dari
http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasijantung-paru-pada-kegawatan-
kardiovaskuler/
9. Lira .A , Kulkarni R. 2012. Cardiopulmonary Resuscitation. Diperbaharui tanggal 17
Juni 2011 , disitasi tanggal 18 Maret 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1344081-overview
10. Mayo Clinic staff. 2015. Cardiopulmonary Resusistation. Disitasi dari
http://www.mayoclinic.com/health/first-aid-cpr/FA00061
11. American Heart Association. 2015. Cardiopulmonary resuscitation. Disitasi tanggal 18
maret 2012 dari http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4479
12.
31