Anda di halaman 1dari 28

Lab/SMF Farmasi-Farmakoterapi P-treatment

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
HALAMAN JUDUL

ANTI DEPRESAN

Disusun Oleh
William Mallisa Rantemarampa 1410015003
Indah Permatasari 1310015011

Pembimbing
dr. Ika Fikriah, M.Kes

Lab/SMF Ilmu Farmasi/Farmakoterapi


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan kuasa-
Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang P-Treatment Anti Depresan.
Makalah ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Ika Fikriah, M. Kes, selaku dosen pembimbing
kami. Terdapat ketidaksempurnaan dalam makalah ini, sehingga kami mengharapkan kritik
dan saran demi penyempurnan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini berguna bagi
para pembaca.

Samarinda, 16 Juli 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Hal.
COVER ................................................................................................................................................ 1

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... 2


BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................5
BAB III P-TREATMENT.....................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................27

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Depresi adalah gangguan mental yang ditandai dengan adanya perasaan sedih, kehilangan
kesenangan dan minat, penurunan energi, perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan tidur,
gangguan nafsu makan, dan berkurangnya konsentrasi (WHO, 2018). Depresi merupakan penyakit
yang dapat ditemui dengan lazim di seluruh dunia, baik dinegara maju maupun di negara berkembang,
WHO memperkirakan terdapat 350 juta orang yang menderita depressi pdan menempati urutan
keempat sebagai penyakit paling sering terjadi didunia (WHO, 2012).
Depresi dapat terjadi pada anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua. Orang yang mengalami
depresi akan memunculkan emosi-emosi yang negatif seperti rasa sedih, benci, iri, putus asa,
kecemasan, ketakutan, dendam dan memiliki rasa bersalah yang dapat disertai dengan berbagai gejala
fisik (Korff and Simon., 1996). Depresi sering ditemui dalam kasus gangguan jiwa. Pravalensi pada
wanita diperkirakan 10-25% dan laki-laki 5-12%. Walaupun depresi lebih sering pada wanita, bunuh
diri lebih sering terjadi pada laki-laki terutama usia muda dan usia tua (Nurmiati, 2005).
Depresi tersebar luas, tetapi jumlah dan rata-rata dari gejala fisik dan kognitif berhubungan
dengan gangguan depresi mayor atau major depressive disorder (MDD) yang berarti banyak orang
tidak menunjukkan gejala emosional. Satu dari tujuh orang akan menderita gangguan psikososial dari
MDD, beberapa tidak terdiagnosis kecuali dengan kunjungan ke dokter yang berulang. Dan, tidak
hanya dokter keluarga, psikiatri, dan klinisi kesehatan mental juga harus dapat mendiagnosis depresi.
Tingginya prevalensi dari MDD dengan penyakit medis lainnya menunjukkan bahwa professional
kesehatan dan dokter, ataupun internis atau onkologis atau ahli bedah atau kardiologis atau neurologis
atau spesialis lainnya, juga harus mengenali dan memberikan tatalaksana depresi klinis pada pasien
(Lam R & Mok H, 2000).
Dalam menangani depressi dapat menggunakan obat antidepressan, yang bekerja dengan
mengatur kadar neurotransmiter terutama norepinefrin dan serotonin dalam otak dikarenakan depresi
dan mania seringkali disebabkan oleh ketidak seimbangan neurotransmiter sertonin dan/atau
norepinefrin (Prayitno, 2008).

1.1. Tujuan Penulisan


Referat ini ditulis dengan tujuan untuk membahas pemelihan terapi farmakologis dan non-
farmakologis yang tepat bagi pasien yang memiliki diagnosis depresi berdasarkan aspek
farmakodinamika, farmakoniketika, efek samping, indikasi, kontraindikasi, dan biaya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. Depressi
2.1. Definisi
Gangguan depresif adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya,
dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik, gangguan
depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar. Gangguan depresif merupakan
gangguan medik serius menyangkut kerja otak, bukan sekedar perasaan murung atau sedih dalam
beberapa hari. Gangguan ini menetap selama beberapa waktu dan mengganggu fungsi keseharian
seseorang (Depkes, 2007).
Gangguan depresif masuk dalam kategori gangguan mood, merupakan periode terganggunya
aktivitas sehari-hari, yang ditandai dengan suasana perasaan murung dan gejala lainnya termasuk
perubahan pola tidur dan makan, perubahan berat badan, gangguan konsentrasi, anhedonia
(kehilangan minat apapun), lelah, perasaan putus asa dan tak berdaya serta pikiran bunuh diri. Jika
gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang tersebut dikesankan
sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir disemua
aspek kehidupannya (Depkes, 2007)
2.2. Epidemiologi
Prevalensi penderita depresi di Indonesia diperkirakan 2,5 - 9 juta dari 210 juta jiwa
penduduk.9 Pada saat setelah pubertas resiko untuk depresi meningkat 2- 4 kali lipat, dengan 20%
insiden pada usia 18 tahun. Perbandingan gender saat anak-anak 1:1, denga peningkatan resiko
depresi pada wanita setelah pubertas, sehingga perbandingan pria dan wanita menjadi 1:2. Hal ini
berhubungan dengan tingkat kecemasan pada wanita tinggi, perubahan estradiol dan testosteron saat
pubertas, atau persoalan sosial budaya yang berhubungan dengan perkembangan kedewasaan pada
wanita.Depresi sering terjadi pada wanita dengan usia 25-44 tahun, dan puncaknya pada masa hamil.
Faktor sosial seperti stres dari masalah keluarga dan pekerjaan. Hal ini disebabkan harapan hidup
pada wanita lebih tinggi, kematian pasangan mungkin juga menyebabkan angka yang tinggi untuk
wanita tua mengalami depresi (Mayasari & Wistya, 2013).
Penilaian gejala depresi seperti perasaan sedih atau kekecewaan yang kuat dan terus menerus
yang mempengaruhi aktivitas normal, menunjukan prevalensi seumur hidup sebanyak 9-20%.3 Pada
kriteria lain yang digunakan pada depresi berat, prevalensi depresi 3% untuk pria dan 4-9% untuk
wanita. Resiko seumur hidup 8-12% untuk pria dan 20-28% untuk wanita. Sekitar 12-20% pada orang
yang mengalami episode akut berkembang menjadi sindrom depresi kronis, dan diatas 15% pasien
yang mengalami depresi lebih dari 1 bulan dapat melakukan bunuh diri (Mayasari & Wistya, 2013).

5
2.3. Etiologi
Depresi disebabkan oleh kombinasi banyak faktor. Adapun faktor biologis, faktor bawaan
atau keturunan, faktor yang berhubungan dengan perkembangan seperti kehilangan orang tua sejak
kecil, faktor psikososial, dan faktor lingkungan, yang menjadi satu kesatuan mengakibatkan depresi
(Greist & Jefferson, 1987).
1) Faktor biologis
Faktor biologis yang dapat menyebabkan terjadinya depresi dapat dibagi menjadi dua hal
yaitu disregulasi biogenik amin dan disregulasi neuroendokrin. Abnormalitas metabolit biogenik amin
yang sering dijumpai pada depresi yaitu 5 hydroxy indoleacetic acid (5HIAA), homovalinic acid
(HVA), 3-methoxy 4-hydrophenylglycol (MHPG), sebagian besar penelitian melaporkan bahwa
penderita gangguan depresi menunjukkan berbagai macam abnormalitas metabolik biogenikamin
pada darah, urin dan cairan serebrospinal. Keadaan tersebut endukung hipotesis ganggua depresi
berhubungan dengan disregulasi biogenikamin. Dari biogenik amin, serotonin dan norepinefrin
merupakan neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi depresi (Mitchell, 2004).
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergic dan respon klinik antidepresan mungkin
merupakan peran langsung sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti lain yang juga melibatkan
reseptor beta2-presinaptik pada depresi, telah mengaktifkan reseptor yang mengakibatkan
pengurangan jumlah pelepasan norepinephrin. Reseptor beta2-presinaptik juga terletak pada neuron
serotonergik dan mengatur jumlah pelepasan serotonin (Machale, 2002).
Serotonin (5-hydroxytryptamine [5-HT]) neurotransmitter sistem menunjukan keterlibatan
dalam patofisiologi gangguan afektif, dan obat-obatan yang meningkatkan aktifitas serotonergik pada
umumnya memberi efek antidepresan pada pasien . Selain itu , 5 - HT dan / atau metabolitnya, 5-
HIAA, ditemukan rendah pada urin dan cairan serebrospinal pasien dengan penyakit afektif.14 Hal ini
juga dibuktikan terdapat kadar 5-HT yang rendah pada otak korban bunuh diri dibandingkan dengan
kontrol. Selain itu , ada beberapa bukti bahwa terdapat penurunan metabolit serotonin, 5 –
hydroxyindole acetic acid (5-HIAA) dan peningkatan jumlah reseptor serotnin postsinaptik 5-
hydroxytryptaminetype 2 (5HT2) di korteks prefrontal pada kelompok bunuh diri (Kalia, 2005;
Kaplan & Saddock, 2010).
Aktivitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan subtipe baru reseptor
dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presinaptik dan pascasinaptik dopamin
memperkaya antara dopamin dan gangguan mood. Dua teori terbaru tentang dopamin dan depresi
adalah jalur dopamin mesolimbic mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor dopamin
D1 mungkin hipoaktif pada depresi (Machale, 2002).
2) Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dengan stressful sering mendahului episode pertama, dibandingkan
episode berikutnya. Ada teori yang mengemukakan adanya stres sebelum episode pertama
menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan ini menyebabkan perubahan

6
berbagai neurotransmiter dan sistem sinyal intraneuron. Termasuk hilangnya beberapa neuron dan
penurunan kontak sinaps. Dampaknya, seorang individu berisiko tinggi mengalami episode berulang
gangguan mood, sekalipun tanpa stressor dari luar (Kaplan & Saddock, 2010).
Orang dengan beberapa gangguan kepribadian seperti, obsesif- kompulsif, histeris, dan yang
ada pada garis batasnya, mungkin memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena depresi dari pada
orang dengan kepribadian antisosial atau paranoid. Pada pengertian psikodinamik depresi dijelaskan
oleh Sigmund Freud dan dikembangkan oleh Karl Abraham yang diklasifikasikan dalam 4 teori
(Breng & Lisa, 2008; Sadock & Sadock, 2003):
a) gangguan pada hubungan bayi dan ibu selama fase oral (10- 18 bulan awal kehidupan)
sehinga bisa terjadi depresi;
b) depresi dapat dihubungkan dengan kehilangan objek secara nyata atau imajinasi;
c) Introjeksi dari kehilangan objek adalah mekanisme pertahanan dari stress yang
berhubungan dengan kehilangan objektersebut
d) karena kehilangan objek berkenaan dengan campuran cinta dan benci, perasaan marah
berlangsung didalam hati.
3) Fator Genetik
Dari faktor bawaan atau keturunan menerangkan apabila salah seorang kembar menderita
depresi, maka kemungkinan saudara kembarnya menderita pula sebesar 70 %. Kemungkinan
menderita depresi sebesar 15 % pada anak, orang tua, dan kakak-adik dari penderita depresi. Apabila
anak yang orangtuanya pernah menderita depresi, sejak lahir diadopsi oleh keluarga yang tidak pernah
menderita depresi, ternyata kemungkinan untuk menderita depresi 3 kali lebih besar dibandingkan
anak - anak kandung keluarga yang mengadopsi (Greist & Jefferson, 1987).

2.4. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Depresi


Faktor resiko terjadinnya depresi antara lain (Kaplan & Saddock, 2010) :
a) Jenis kelamin
Prevalensi gangguan depresi berat dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki.
Hal ini dikarenakan perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stresor psikososial bagi wanita
dan laki-laki, dan model perilaku tentang keputusasaan yang dipelajari. Berbeda dengan gangguan
depresi berat, gangguan depresi bipolar 1 mempunyai prevalensi yang sama.
b) Usia
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresi berat adalah kira-kira 40 tahun, 50 persen dari
semua pasien mempunyai onset antara 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga mungkin
memiliki onset selama masa anak- anak atau pada lanjut usia, walaupun hal tersebut jarang terjadi.
Beberapa data epidemiologis baru-baru ini menyatakan bahwa insiden gangguan depresif berat
mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun.

7
c) Ras
Prevalensi gangguan mood tidak berbeda dari satu ras ke ras lain. Terapi klinis cenderung
kurang mendiagnosis gangguan mood dan terlalu mendiagnosis skizofrenia pada pasien yang
mempunyai latar belakang rasial yang berbeda dengan dirinya.
d) Status perkawinan
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang tidak memiliki
hubungan interpersonal yang erat atau yang cerai atau berpisah. Gangguan bipolar 1 adalah lebih
sering pada orang yang bercerai dan hidup sendirian dari pada orang yang menikah, tetapi perbedaan
tersebut mungkin mencerminkan onset awal dan percekcokan perkawinan yang diakibatkan
karakterikstik untuk gangguan tersebut.
2.5. Stressor Psikososial
Stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan
dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri
untuk menanggulanginya. Namun tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mengatasi
stressor tersebut, sehingga timbulah keluhan – keluhan antara lain stres, cemas dan depresi (Hawari &
Dadang, 2001).
DSM IV-TR mendefinisikan stresor psikososial sebagai “setiap peristiwa hidup atau
perubahan hidup yang mungkin terkait secara temporal (dan mungkin kausal) dengan onset, peristiwa,
atau eksaserbasi gangguan mental. Masalah psikososial dalam PPGDJ III dikategorikan dalam aksis
IV yang terdiri dari masalah dengan “primary support group” atau keluarga, masalah dengan
lingkungan sosial, masalah pendidikan, pekerjaan, perumahan, ekonomi, masalah akses ke pelayanan
kesehatan, masalah yang berkaitan dengan hukum/ kriminal dan lainnya (Soejono, Probosuseno, &
Sari, 2009)
Anak dan remaja dapat pula mengalami stres yang disebabkan karena kondisi keluarga yan
tidak harmonis. Sikap orang tua terhadap anak yang dapat menimbulkan stres antara lain (Soejono,
Probosuseno, & Sari, 2009) :
1. Hubungan kedua orangtua yang dingin, atau penuh ketegangan, atau acuh tak acuh.
2. Kedua orangtua jarang di rumah dan tidak ada waktu untuk bersama dengan anak – anak.
3. Komunikasi antara orangtua dan anak yang tidak serasi

4. Kedua orangtua berpisah (separate) atau bercerai (divorce).

5. Salah satu orangtua menderita gangguan jiwa atau kelainan kepribadian.
6. Orangtua dalam mendidik anak kurang sabar, pemarah, keras, otoriter, dan lain sebagainya.
Dalam interaksi sosial, seseorang dapat menyesuaikan diri secara pasif terhadap orang lain
(autoplastis), sedangkan mungkin dirinya sedang dipengaruhi oleh orang lain. Mungkin juga
seseorang menyesuaikan diri secara alloplastis (mengubah lingkungan sesuai keinginan diri) terhadap
orang lain, sedangkan orang lain itu dipengaruhi oleh orang pertama, maka selalu akan terlihat
hubungan timbal balik yang saling berpengaruh antara seorang dengan orang lain. Hubungan antar

8
sesama (perorangan/individual) yang tidak baik dapat merupakan sumber stress. Misalnya hubungan
yang tidak serasi, tidak baik atau buruk dengan kawan dekat atau kekasih, antara sesama rekan, antara
batasan dan bawahan, serta pengkhianatan (Gunarsa & Singgih, 2008)

2.6. Klasifikasi Depresi


Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis episode depresif (F32) adalah sebagai berikut (Muslim &
Rusdi, 2013):

 Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat):
 Afek depresif

 Kehilangan minat dan kegembiraan

 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata
sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.

 Gejala Lainnya
 Konsentrasi dan perhatian berkurang

 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
 Pandangan masa depan yang suram dan psimistik
 Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
 Tidur terganggu

Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-
kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan
jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. 
Kategori diagnosis episode depresif ringan
(F32.0), sedang (F32.1) dan berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresif tunggal (yang
pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis gangguan
depresif berulang (F33.-) (Muslim & Rusdi, 2013).
Dalam menentukan tingkat depresif ringan, sedang, berat, dapat menggunakan kriteria berikut ini
(Muslim & Rusdi, 2013) :
1) Episode Depresi Ringan (F32.0)
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut diatas 

 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
 Tidak boleh ada gejala berat diantaranya. 

 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya 
sekitar 2 minggu.
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan


2) Episode Depresif Sedang (F32.1)


 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode depresi
ringan. 

 Ditambah 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya. 

 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 
minggu. 

 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, 
pekerjaan dan urusan
rumah tangga,.

9
3) Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik (F32.2)
 Semua 3 gejala utama depresi harus ada. 

 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan 
beberapa di antaranya harus
berintensitas berat. 

 Bila ada gejala penting ( misalnya agitasi atau retardasi 
psikomotor) yang mencolok, maka
pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara
rinci.
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat
masih dapa dibenarkan. 

 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang- kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika
gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan
diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu. 

 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan
rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas. 


4) Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik (F32.3)


 Episode depresif berat yang memenuhi kriteri menurut F32.2 tersebut diatas.
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham malapetaka yang mengancam dan
pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya
berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju stupor.
 Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi
dengan afek (mood-congruent).

2.7. Terapi Non-Farmakologi


1) Electro Convulsive Therapy (ECT)
ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak. Metode terapi semacam ini sering
digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko bunuh diri yang besar dan respon terapi
dengan obat antidepresan kurang baik. Pada penderita dengan risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat
penting karena ECT akan menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah sakit
menjadi lebih pendek. Pada keadaan tertentu tidak dianjurkan ECT, bahkan pada beberapa kondisi
tindakan ECT merupakan kontra indikasi. ECT tidak dianjurkan pada keadaan usia yang masih terlalu
muda (kurang dari 15 tahun), masih sekolah atau kuliah, mempunyai riwayat kejang, psikosis kronik,
kondisi fisik kurang baik, wanita hamil dan menyusui (Depkes, 2007).
Selain itu, ECT dikontraindikasikan pada pasien yang menderita epilepsi, TBC milier,
tekanan tinggi intra kracial dan kelainan infark jantung. Depresif berisiko kambuh manakala
penderita tidak patuh, ketidaktahuan, pengaruh tradisi yang tidak percaya dokter, dan tidak nyaman
dengan efek samping obat. Terapi ECT dapat menjadi pilihan yang paling efektif dan efek samping
kecil. Terapi perubahan perilaku meliputi penghapusan perilaku yang mendorong terjadinya depresi

10
dan pembiasaan perilaku baru yang lebih sehat. Berbagai metode dapat dilakukan seperti CBT
(Cognitive Behaviour Therapy) yang biasanya dilakukan oleh konselor, psikolog dan psikiater
(Depkes, 2007).
2) Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi
keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif.
Terapi dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan profesional antara terapis dengan penderita.
Psikoterapi pada penderita gangguan depresif dapat diberikan secara individu, kelompok, atau
pasangan disesuaikan dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Psikoterapi dilakukan dengan
memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimisme. (Depkes, 2007).
2.8. Terapi Farmakologis (Obat Anti-Depresan)
1. Antidepresan Klasik (Trisiklik & Tetrasiklik)
Mekanisme kerja : Obat–obat ini menghambat resorpsi dari serotonin dan noradrenalin dari
sela sinaps di ujung-ujung saraf (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis, 2009)
Efek samping (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis, 2009) :
 Efek jantung ; dapat menimbulkan gangguan penerusan impuls jantung dengan
perubahan ECG, pada overdosis dapat terjadi aritmia berbahaya.
 Efek anti kolinergik ; akibat blokade reseptor muskarin dengan menimbulkan antara
lain mulut kering, obstipasi, retensi urin, tachycardia, serta gangguan potensi dan
akomodasi, keringat berlebihan.
 Sedasi
 Hipotensi ortostatis dan pusing serta mudah jatuh merupakan akibat efek
antinoradrenalin, hal ini sering terjadi pada penderita lansia, mengakibatkan
gangguan fungsi seksual.
 Efek antiserotonin; akibat blokade reseptor 5HT postsinaptis dengan bertambahnya
nafsu makan dan berat badan.
 Kelainan darah; seperti agranulactose dan leucopenia, gangguan kulit
 Gejala penarikan; pada penghentian terapi dengan mendadak dapat timbul antara lain
gangguan lambung-usus, agitasi, sukar tidur, serta nyeri kepala dan otot.
Obat-obat yang termasuk antidepresan klasik (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis, 2009) :
a) Imipramin
Dosis lazim : 25-50 mg 3x sehari bila perlu dinaikkan sampai maksimum 250-300 mg
sehari.
Kontra Indikasi : Infark miokard akut
Interaksi Obat : anti hipertensi, obat simpatomimetik, alkohol, obat penekan SSP
Perhatian : kombinasi dengan MAO, gangguan kardiovaskular, hipotensi, gangguan
untuk mengemudi, ibu hamil dan menyusui.

11
b) Klomipramin
Dosis lazim : 10 mg dapat ditingkatkan sampai dengan maksimum dosis 250 mg sehari.
Kontra Indikasi : Infark miokard, pemberian bersamaan dengan MAO, gagal jantung,
kerusakan hati yang berat, glaukoma sudut sempit.
Interaksi Obat : dapat menurunkan efek antihipertensi penghambat neuro adrenergik,
dapat meningkatkan efek kardiovaskular dari noradrenalin atau adrenalin, meningkatkan
aktivitas dari obat penekan SSP, alkohol.
Perhatian : terapi bersama dengan preparat tiroid, konstipasi kronik, kombinasi dengan
beberapa obat antihipertensi, simpatomimetik, penekan SSP, anti kolinergik, penghambat
reseptor serotonin selektif, antikoagulan, simetidin. Monitoring hitung darah dan fungsi
hati, gangguan untuk mengemudi.
c) Amitriptilin
Dosis lazim : 25 mg dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis maksimum 150-300 mg
sehari.
Kontra Indikasi : penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif sumsum tulang,
kerusakan hati, penggunaan bersama dengan MAO.
Interaksi Obat : bersama guanetidin meniadakan efek antihipertensi, bersama depresan
SSP seperti alkohol, barbiturate, hipnotik atau analgetik opiate mempotensiasi efek
gangguan depresif SSP termasuk gangguan depresif saluran napas, bersama reserpin
meniadakan efek antihipertensi
Perhatian : ganguan kardiovaskular, kanker payudara, fungsi ginjal menurun,
glakuoma, kecenderungan untuk bunuh diri, kehamilan, menyusui, epilepsi.
d) Lithium karbonat
Dosis lazim : 400-1200 mg dosis tunggal pada pagi hari atau sebelum tidur malam.
Kontra Indikasi : kehamilan, laktasi, gagal ginjal, hati dan jantung.
Interaksi Obat : diuretik, steroid, psikotropik, AINS, diazepam, metildopa,
tetrasiklin, fenitoin, carbamazepin, indometasin.
Perhatian : Monitor asupan diet dan cairan, penyakit infeksi, demam, influenza,
gastroentritis.
2. Antidepresan Generasi ke-2
Mekanisme kerja (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis, 2009) :
 SSRI ( Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor ) : Obat-obat ini menghambat resorpsi
dari serotonin.
 NaSA ( Noradrenalin and Serotonin Antidepressants ): Obat-obat ini tidak berkhasiat
selektif, menghambat re-uptake dari serotonin dan noradrenalin. Terdapat beberapa
indikasi bahwa obat-obat ini lebih efektif daripada SSRI.

12
Efek samping (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis, 2009) :
 Efek seretogenik; berupa mual ,muntah, malaise umum, nyeri kepala, gangguan tidur
dan nervositas, agitasi atau kegelisahan yang sementara, disfungsi seksual dengan
ejakulasi dan orgasme terlambat.
 Sindroma serotonin; berupa antara lain kegelisahan, demam, dan menggigil, konvulsi,
dan kekakuan hebat, tremor, diare, gangguan koordinasi. Kebanyakan terjadi pada
penggunaan kombinasi obat-obat generasi ke-2 bersama obat-obat klasik, MAO,
litium atau triptofan, lazimnya dalam waktu beberapa jam sampai 2- 3 minggu.
Gejala ini dilawan dengan antagonis serotonin (metisergida, propanolol).
 Efek antikolinergik, antiadrenergik, dan efek jantung sangat kurang atau sama sekali
tidak ada.
Obat-obat yang termasuk antidepresan generasi ke-2 (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis,
2009) :
a) Fluoxetin
Dosis lazim : 20 mg sehari pada pagi hari, maksimum 80 mg/hari dalam dosis
tunggal atau terbagi.
Kontra Indikasi : hipersensitif terhadap fluoxetin, gagal ginjal yang berat, penggunaan
bersama MAO.
Interaksi Obat : MAO, Lithium, obat yang merangsang aktivitas SSP, anti
depresan, triptofan, karbamazepin, obat yang terkait dengan protein plasma. Perhatian :
penderita epilepsi yang terkendali, penderita kerusakan hati dan ginjal, gagal jantung,
jangan mengemudi / menjalankan mesin.
b) Sertralin
Dosis lazim : 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 200 mg/hr.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap sertralin.
Interaksi Obat : MAO, Alkohol, Lithium, obat seretogenik.
Perhatian : pada gangguan hati, terapi elektrokonvulsi, hamil, menyusui, mengurangi
kemampuan mengemudi dan mengoperasikan mesin.
c) Citalopram
Dosis lazim : 20 mg/hari, maksimum 60 mg /hari.
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap obat ini.
Interaksi Obat : MAO, sumatripan, simetidin.
Perhatian : kehamilan, menyusui, gangguan mania, kecenderungan bunuh diri.
d) Fluvoxamine
Dosis lazim : 50mg dapat diberikan 1x/hari sebaiknya pada malam hari,
maksimum dosis 300 mg.

13
Interaksi Obat : warfarin, fenitoin, teofilin, propanolol, litium.
Perhatian : Tidak untuk digunakan dalam 2 minggu penghentian terapi MAO,
insufiensi hati, tidak direkomendasikan untuk anak dan epilepsi, hamil dan laktasi.
e) Mianserin
Dosis lazim : 30-40 mg malam hari, dosis maksimum 90 mg/ hari
Kontra Indikasi : mania, gangguan fungsi hati.
Interaksi Obat : mempotensiasi aksi depresan SSP, tidak boleh diberikan dengan atau
dalam 2 minggu penghentian terapi.
Perhatian : dapat menganggu psikomotor selama hari pertama terapi, diabetes, insufiensi
hati, ginjal, jantung.
f) Mirtazapin
Dosis lazim : 15-45 mg / hari menjelang tidur.
Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap mitrazapin.
Interaksi Obat : dapat memperkuat aksi pengurangan SSP dari alkohol, memperkuat
efek sedatif dari benzodiazepine, MAO.
Perhatian : pada epilepsi sindroma otak organic, insufiensi hati, ginjal, jantung, tekanan
darah rendah, penderita skizofrenia atau gangguan psikotik lain, penghentian terapi secara
mendadak, lansia, hamil, laktasi, mengganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan
mesin.
g) Venlafaxine
Dosis lazim : 75 mg/hari bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 150-250 mg 1x/hari.
Kontra Indikasi : penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak < 18 tahun.
Interaksi Obat : MAO, obat yang mengaktivasi SSP lain.
Perhatian : riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal atau sirosis hati,
penyakit jantung tidak stabil, monitor tekanan darah jika penderita mendapat
3. Antidepresan MAO
Inhibitor Monoamin Oksidase (Monoamine Oxidase Inhibitor, MAOI)
Farmakologi
Monoamin oksidase merupakan suatu sistem enzim kompleks yang terdistribusi luas
dalam tubuh, berperan dalam dekomposisi amin biogenik, seperti norepinefrin, epinefrin,
dopamine, serotonin. MAOI menghambat sistem enzim ini, sehingga menyebabkan
peningkatan konsentrasi amin endogen.
Ada dua tipe MAO yang telah teridentifikasi, yaitu MAO-A dan MAO-B. Kedua
enzim ini memiliki substrat yang berbeda serta perbedaan dalam sensitivitas terhadap
inhibitor. MAO-A cenderungan memiliki aktivitas deaminasi epinefrin, norepinefrin, dan
serotonin, sedangkan MAO-B memetabolisme benzilamin dan fenetilamin. Dopamin dan
tiramin dimetabolisme oleh kedua isoenzim. Pada jaringan syaraf, sistem enzim ini mengatur

14
dekomposisi metabolik katekolamin dan serotonin. MAOI hepatic menginaktivasi monoamin
yang bersirkulasi atau yang masuk melalui saluran cerna ke dalam sirkulasi portal (misalnya
tiramin).
Semua MAOI nonselektif yang digunakan sebagai antidepresan merupakan inhibitor
ireversibel, sehingga dibutuhkan sampai 2 minggu untuk mengembalikan metabolism amin
normal setelah penghentian obat. Hasil studi juga mengindikasikan bahwa terapi MAOI
kronik menyebabkan penurunan jumlah reseptor (down regulation) adrenergic dan
serotoninergik (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis, 2009).
Farmakokinetik
Absorpsi/distribusi – Informasi mengenai farmakokinetik MAOI terbatas. MAOI
tampaknya terabsorpsi baik setelah pemberian oral. Kadar puncak tranilsipromin dan fenelzin
mencapai kadar puncaknya masing-masing dalam 2 dan 3 jam. Tetapi, inhibisi MAO
maksimal terjadi dalam 5 sampai 10 hari.
Metabolisme/ekskresi – metabolisme MAOI dari kelompok hidrazin (fenelzin,
isokarboksazid) diperkirakan menghasilkan metabolit aktif. Inaktivasi terjadi terutama
melalui asetilasi. Efek klinik fenelzin dapat berlanjut sampai 2 minggu setelah penghentian
terapi. Setelah penghentian tranilsipromin, aktivitas MAO kembali dalam 3 sampai 5 hari
(dapat sampai 10 Hari). Fenelzin dan isokarboksazid dieksresi melalui urin sebagian besar
dalam bentuk metabolitnya. Populasi khusus – “asetilator lambat”: Asetilasi lambat dari
MAOI hidrazin dapat memperhebat efek setelah pemberian dosis standar (Kaplan & Sadock,
2010; Maramis, 2009).
Indikasi
Depresi: Secara umum, MAOI diindikasikan pada penderita dengan depresi atipikal (eksogen)
dan pada beberapa penderita yang tidak berespon terhadap terapi antidpresif lainnya. MAOI
jarang dipakai sebagai obat pilihan.
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap senyawa ini; feokromositoma; gagal jantung kongestif; riwayat
penyakit liver atau fungsi liver abnormal; gangguan ginjal parah; gangguan serebrovaskular;
penyakit kardiovaskular; hipertensi; riwayat sakit kepala; pemberian bersama dengan MAOI
lainnya; senyawa yang terkait dibenzazepin termasuk antidepresan trisiklik, karbamazepin,
dan siklobenzaprin; bupropion; SRRI; buspiron; simpatomimetik; meperidin;
dekstrometorfan; senyawa anestetik; depresan SSP; antihipertensif; kafein; keju atau makanan
lain dengan kandungan tiramin tinggi (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis, 2009).
Peringatan
Memburuknya gejala klinik serta risiko bunuh diri: Penderita dengan gangguan
depresif mayor, dewasa maupun anak-anak, dapat mengalami perburukan depresinya dan/atau
munculnya ide atau perilaku yang mengarah pada bunuh diri (suicidality), atau perubahan

15
perilaku yang tidak biasa, yang tidak berkaitan dengan pemakaian antidepresan, dan risiko ini
dapat bertahan sampai terjadinya pengurangan jumlah obat secara signifikan. Ada
kekhawatiran bahwa antidepresan berperan dalam menginduksi memburuknya depresi dan
kemunculan suicidality pada penderita tertentu. Antidepresan meningkatkan risiko pemikiran
dan perilaku yang mengarah pada bunuh diri (suicidality) dalam studi jangka pendek pada
anak-anak dan dewasa yang menderita gangguan depresif mayor serta gangguan psikiatrik
lainnya (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis, 2009).
Krisis hipertensif: reaksi paling serius melibatkan perubahan tekanan darah; tidak
dianjurkan untuk menggunakan MAOI pada penderita lanjut usia atau berkondisi lemah atau
mengalami hipertensi, penyakit kardiovaskular atau serebrovaskular, atau pemberian bersama
obat-obatan atau makanan tertentu. Karakteristik gejala krisis dapat berupa: sakit kepala pada
daerah oksipital (belakang) yang dapat menjalar ke daerah frontal (depan), palpitasi (tidak
beraturannya pulsa jantung), kekakuan/sakit leher, nausea, muntah, berkeringat (terkadang
bersama demam atau kulit yang dingin), dilatasi pupil, fotofobia. Takhikardia atau
bradikardia dapat terjadi dan dapat menyertai sakit dada. Pendarahan intrakranial (terkadang
fatal) telah dilaporkan berkaitan dengan peningkatan tekanan darah paradoks. Harus sering
diamati tekanan darah, tapi jangan bergantung sepenuhnya pada pembacaan tekanan darah,
melainkan penderita harus sering pula diamati. Bila krisis hipertensi terjadi, hentikan segera
penggunaan obat dan laksanakan terapi untuk menurunkan tekanan darah (Kaplan & Sadock,
2010; Maramis, 2009).
Jangan menggunakan reserpin parenteral. Sakit kepala cenderung mereda sejalan
dengan menurunnya tekanan darah. Berikan senyawa pemblok alfa adrenergik seperti
fentolamin 5 mg i.v. perlahan untuk menghindari efek hipotensif berlebihan. Tangani demam
dengan pendinginan eksternal (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis, 2009).
Peringatan kepada penderita: Peringatkan penderita agar tidak memakan makanan
yang kaya tiramin, dopamine, atau triptofan selama pemakaian dan dalam waktu 2 minggu
setelah penghentian MAOI. Setiap makanan kaya protein yang telah disimpan lama untuk
tujuan peningkatan aroma diduga dapat menyebabkan krisis hipertensif pada penderita yang
menggunakan MAOI. Juga peringatkan penderita untuk tidak mengkonsumsi minuman
beralkohol serta obat- obatan yang mengandung amin simpatomimetik selama terapi dengan
MAOI. Instruksikan kepada penderita untuk tidak mengkonsumsi kafein dalam bentuk
apapun secara berlebihan serta malaporkan segera adanya sakit kepala atau gejala lainnya
yang tidak biasa (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis, 2009).
Risiko bunuh diri: Pada penderita yang mempunyai kecenderungan bunuh diri, tidak
ada satu bentuk penanganan pun, seperti MAOI, elektrokonvulsif, atau terapi lainnya, yang
dijadikan sandaran tunggal untuk terapi. Dianjurkan untuk melakukan penanganan ketat, lebih
baik dilakukan perawatan di rumah sakit.

16
Pemberian bersamaan antidepresan: Pada penderita yang menerima suatu SRRI
dalam kombinasi dengan MAOI, telah dilaporkan reaksi serius yang terkadang fatal termasuk
hipertermia, kekakuan, mioklonus, instabilitas otonom disertai fluktuasi cepat pada tanda
vital, dan perubahan status mental termasuk agitasi hebat, yang meningkat menjadi delirium
dan koma. Reaksi ini telah terjadi pada penderita yang baru saja menghentikan SRRI dan baru
mulai menggunakan MAOI. Bila terjadi pengalihan dari SRRI ke MAOI, maka harus ada
selang 2 minggu diantara pergantian.
Setelah penghentian fluoxetin, maka harus ada selang 1 atau 2 minggu sebelum mulai
menggunakan MAOI. Jangan memberikan MAOI bersama atau segera setelah antidepresan
trisiklik. Kombinasi ini menyebabkan seizure, koma, hipereksitabilitas, hipertermia,
takhikardia, takhipnea, sakit kepala, midriasis, kemerahan kulit, kebingungan, koagulasi
intravaskular meluas, dan kematian. Beri selang paling tidak 14 hari diantara penghentian
MAOI dan mulainya antidepresan trisiklik (Kaplan & Sadock, 2010; Maramis, 2009).
4. Anti Psikotik
Antipsikotik digunakan bersama dengan antidepresan untuk meningkatkan efek
antidepresan. Antipsikotik terdiri atas 2 macam yaitu antipsikotik tipikal dan antipsikotik
atipikal. Antipsikotik tipikal bekerja memblok reseptor dopamin. Obat-obat yang termasuk
antipsikotik tipikal yaitu clorpromazin, fluphenazin, dan haloperidol. Antipsikotik atipikal
bekerja memblok reseptor dopamin dan serotonin. Obat-obat yang termasuk dalam
antipsikotik atipikal yaitu clozapin, olanzapin, dan aripripazol (Mann, 2005).

17
BAB III
P-TREATMENT

KASUS :
Seorang Laki-Laki berusia 19 tahun bernama Tn. A dibawa oleh pacarnya ke dokter karena
khawatir dengan keadaannya dalam 4 minggu terakhir. Pacar pasien dan pasien mengatakan bahwa 4
minggu terakhir ia tidak memiliki motivasi untuk menjalankan kehidupan sehari hari dan mudah lelah
ketika melakukan pekerjaan yang ringan. Selain itu pasien juga mengeluhkan mengalami insomnia,
kehilangan minat terhadap hobi-hobinya, dan nafsu makan yang menurun.
Dari heteroanamnesis dan autoanamnesis lebih lanjut didapatkan bahwa pasien yang
merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran seringkali merasa dirinya tidak berguna lagi bagi
keluarganya, pasien juga menjadi sangat pesimis ketika berfikir tentang masa depannya. Pasien selalu
terlihat murung dan lebih banyak berdiam diri. Pasien juga mengalami hambatan dalam melakukan
interaksi dengan orang-orang sekitarnya, termasuk dengan pacar dan keluarganya sendiri. Pasien
menunjukkan insight yang baik dengan menunjukkan kesadaran akan keadaannya dan keinginan
untuk sembuh, dan menyatakan dalam 4 mingu terakhir tidak ada keinginan untuk bunuh diri ataupun
adanya perubahan pada dirinya berupa lonjakan mood (manik). Semua keluhan ini mulai terjadi
sekitar 4 minggu lalu, setelah pasien diketahui tidak lulus beberapa blok ditempat ia kuliah.

3.1 Analisa Kasus :


Keluhan-keluhan yang telah disampaikan oleh pasien dan keluarganya mengarah pada
terjadinya gangguan suasana perasaan (mood). Gangguan mood yang terjadi pada pasien ini
berupa gangguan episode depresif yang sedang, berdasarkan pedoman diagnose PPDGJ III,
sebagai berikut.
 Sekurang-kurangnya terdapat 2 dari 3 gejala utama. Pada pasien ini terdapat 2 gejala
utama, yaitu : lebih banyak berdiam diri dan murung (merujuk pada kehilangan minat dan
kegembiraan) serta pasien merasa mudah lelah bahkan ketika melakukan pekerjaan yang
ringan.
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (sebaiknya 4) dari gejala lainnya. Pada pasien 4 gejala
lain tersebut, yaitu : nafsu makan yang menurun, insomnia, merasa dirinya tidak berguna
bagi keluarga, serta merasa pesimis akan masa depannya.
 Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu. Pada pasien ini episode
depresif sudah berlangsung sejak 1 bulan yang lalu.
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan
rumah tangga. Pada pasien ini, Ia mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang-
orang disekitarnya, bahkan dengan anggota keluarganya sendiri.

18
3.2 P-Treatment
1) Menentukan Masalah Pasien
a. Masalah utama : pasien merasa mudah lelah bahkan ketika melakukan pekerjaan yang
ringan, nafsu makan menurun, dan insomnia.
b. Masalah tambahan : banyak berdiam diri dan murung, merasa dirinya tidak berguna
bagi keluarga, serta merasa pesimis akan masa depannya.

2) Tujuan Terapi
Mengatasi masalah-masalah yang dirasakan pasien dengan mengobati gangguan depresif
yang dialaminya.

3) Pemilihan Terapi
a. Terapi non-farmakologi
 Terapi interpersonal  menekankan pada peningkatan kemampuan interpersonal
atau sosial, serta interaksi dengan orang lain. Terapi ini lebih kepada terapi
kelompok yang menekankan pada pemahaman yang baik mengenai masalah
interpersonal yang mendorong depresi. Pasien dibebaskan untuk mendiskusikan
berbagai masalah interpersonal saat ini dan bukan masa lampau.
 Terapi keluarga  bekerja dengan keluarga untuk memelihara perubahan dan
perkembangan. Ini cenderung untuk melihat perubahan dalam hal sistem interaksi
antar anggota keluarga. Ini menekankan hubungan keluarga sebagai faktor penting
dalam kesehatan psikologis.
 Terapi spiritual  Pasien disarankan untuk mendalami diri dengan alam spiritual
sesuai kepercayaannya.

b. Terapi Farmakologi
Memberikan pengobatan antidepresan yang tepat dan aman bagi pasien.

19
Pemilihan Golongan Obat Anti-Depresant :
Golongan Obat Efficacy Safety Suitabilility Cost

Selektive Serotonin +++ ++ +++ +++


KI : hipersensitivitas,
Re-Uptake Inhibitors FD : SSRIs menghambat re-uptake ES :gangguan tidur, disfungsi Kalxetin :
penggunaan bersama dengan
(SSRIs) serotonin, meningkatkan seksual, diare, mual, sakit
MAOI, penggunaan bersama Kapl. 20 mg x 30
neurotransmitter pada celah sinaps kepala, anoreksia, somnolen,
dengan pimozide /thioridazine,
dan pada akhirnya menigkatkan kecemasan. ( Rp 187.000)
laktasi.
aktivitas neuron postsinaps.
Antidepresan, termasuk SSRIs,
memerlukan waktu 2 minggu untuk P : anak dan remaja,
memperbaiki gangguan mood, dan penggunaan bersama NSAIDS,
keuntungan maksimum dapat hipoglikemik, wanita hamil,
diperoleh dalam 12 minggu atau gangguan hepatic.
lebih. SSRIs memiliki sedikit
aktivitas untuk menghalangi receptor
muskarinik, α-adrenergik, histamin
H1.
FK : diabsorbsi dengan baik setelah
pemberian oral, makanan memiliki
sedikit efek pada absorbsi obat. Obat
ini terdistribusi dengan baik, waktu
paruh di plasma dalam rentang 16-36
jam. Metabolisme di hepar, eksresi
melalui urin, feses.

20
Trisyclic ++ + ++ +++
FD : bekerja dengan menghambat
Antidepressants ES : penglihatan kabur, mulut KI : Hipersensitivitas, Tofranil :
pengambilan kembali norepinefrin
(TCAs) kering, retensi urin, konstipasi, gangguan kardiovaskular yang
dan serotonin ke saraf presinaptik Tab. Salut 25 mg x 50 x 10
memperparah glukoma dan berat, glukoma sudut sempit,
terminal. Walaupun begitu, dengan
epilepsy, perangsangan berlebih pemberian bersama MAOI, ( Rp 260.546,-)
konsentrasi therapeutic TCAs tidak
pada jantung yang dapat pemulihan akut post-MI.
menghambat transpoter dopamine.
mengancam nyawa, hipotensi
TCAs mengakibatkan peningkatan
ortostatik, takikardi, efek
konsentrasi monoamine di celah
sedative pada minggu pertama P : BPH, retensi urin/GI,
sinaps. Onset dari peningkatan mood
pengobatan, peningkatan berat hipertitoid, glukoma sudut
membutuhkan 2 minggu atau lebih.
badan. Disfungsi seksual (pada terbuka, gangguan kejang,
sebagian kecil pasien). tumor otak, perburukan saluran
FK : Diabsorbsi dengan baik dengan
pemberian oral, terdistibusi secara nafas.

luas dan segera berpenetrasi ke dalam


CNS. Obat ini memiliki waktu paruh TCAs menghalangi receptor

yang panjang. Dimetabolisme di hati. serotonergik, α-adrenergik,

Eksresi melalui urin histamine dan muskarinik.

TCAs memiliki index terapi


yang sempit.

21
Serotonin +++ ++ ++
FD : SNRIs bekerja dengan ES : mual, pusing, sedative, KI : hipersensitivitas,
Norefinefrin Re- menghambat pengambilan kembali --
konstipasi, sakit kepala, pemberian bersama MAOIs
Uptake Inhibitors serotonin, dan pada dosis yang lebih
tinggi menghambat pengambilan bingung, gangguan ejakulasi,
(SNRIs) kembali norepinefrin. SNRIs juga P : glukoma sudut tertutup,
mulut kering, berkeringat.
memiliki efek yang ringan dalam bipolar mania, riwayat kejang,
menghambat reseptor dopamin.
SNRIs tidak memiliki aktivitas pada gagal ginjal, dan gangguan hati.
reseptor adrenergic, muskarinik, dan
histaminic.

Bupropion +++ + +++


FD: Belum diketahui dengan pasti; EF : agitasi, ansietas, dan KI : hipersensitivitas, gangguan
--
secara stuktur tidak berhubungan insomnia. Mulut kering, kejang, bulimia/anorexia, pasien
dengan SSRIs, TCAs, MAOIs. Tidak migrain, mual, muntah, yang terhenti menggunakan
menghambat aktivitas monoamin konstipasi, tremor, nyeri perut, alcohol atau sedatives secara
oksidase atau pengambilan kembali penurunan memory, arthritis, tiba-tiba. Penggunaan bersama
serotonin. Mungkin bekerja melalui berdebar-debar, nyeri dada, MAOIs.
jalur dopaminergik atau infeksi, paresthesia.
noreadenergik sehingga menghambat
pengambilan kembali noreepinefrin
dopamin.

22
Maprotilin +++ ++ ++ +
FD : golongan tetrasiklik, ES : mengantuk dan efek KI : hipersensitivitas, kelainan
meningkatkan konsentrasi Ludios :
kolinergik, hipotensi, takikardi, cardiovascular, glukoma sudut
norepinefrin sinaps di CNS dengan
menghalangi NE re-uptake oleh rush, mulut kering sempit, penggunaan bersama 25 mg x 5 x 10
membrane neuron presinaps.
dengan MAOIs
( Rp 125.000)

Golongan obat antidepresan yang dipilih adalah Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor (SSRIs). Pada dasarnya, semua obat anti depresi mempunyai
efek primer (klinis/ efikasi) yang sama, perbedaan terutama pada efek samping. Dipilih golongan SSRIs yang efek sampingnya sangat minimal, spektrum
efek anti-depresi luas, dan gejala putus obat sangat minimal, serta lethal dose yang tinggi sehingga relative aman.

Pemilihan Obat dari Golongan SSRIs


Fluoksetin +++ +++ +++ +++
FK : ES : sakit kepala, mual, KI : hipersensitivitas, Courage, Kalxetin :
Peak plasma time: 6-8 jam insomnia, anoreksia, ansietas, bersamaan dengan MAOIs, Kapl. 20 mg x 30
Protein bound : 95% diare, somnolen. bersaman dengan ( Rp 187.000)
Half-life : 7-9 hari pimozide/thioridazine, laktasi.
Metabolisme : Liver
Eksresi : urin.

23
Sertralin +++ ++ +++ ++
FK : ES : Diare, mual, sakit kepala, KI : hipersensitivitas, Iglodep :
Peak plasma time : 4,5-8,4 jam insomnia, gangguan ejakulasi, hipersensitivitas, bersamaan Tab. salut 50 mg x 30
Protein bound : 98% pusing, mulut kering, lelah, dengan MAOIs, bersaman (Rp 246.000)
Half-life : 26 jam somnolen. dengan pimozide.
Metabolisme : Liver
Ekstresi : 12-14% uine; 40-45%
feses.

Flufoksamine +++ ++ +++ ++


FK : ES : mual, sakit kepala, KI : hipersensitivitas, Luvox :
Peak plasma time : 3-8 jam somnolen, berkeringat, hipersensitivitas, bersamaan Tab. salut 100 mg x 30
Protein bound : 80% insomnia, diare, pusing, dengan MAOIs, (399.000)
Half-life : 15,6 jam xerostomia, anorexia, gangguan
Metabolisme : Liver ejakulasi.
Ekstresi : 85% uine;

24
Obat antidepresan yang dipilih dari golongan SSRIs ini adalah Fluoxetine. Efficacy,
safety, suitability dari golongan SSRIs ini hampir sama. Namun perbedaan mencolok
terdapat cost.
4) Penulisan dan Pemberian Resep

dr. William
SIP. 1410015003
Jln. Dayak Batu Blok P-35, Samarinda
Telp. 0541 – 7172821
Selasa, 14-07-2019

R/ Kalxetin Kapl 20 mg No. XIV


∫ 1 dd Kapl. I o.m.

Pro : Tn. A
Usia : 19 tahun
Alamat : Jln. Kenangan No. 18, Samarinda

5) Komunikasi Terapi
Informasi Penyakit :
 Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh
diri.
 Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka
orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari
pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir di semua aspek kehidupannya.
Informasi Terapi
 Faktor-faktor yang dapat menyebabkan stress sebaiknya dihindarkan dari
pasien.

25
 Peran keluarga sangat dibutuhkan dalam pemulihan dan kesembuhan
kondisi pasien, sehingga pihak keluarga juga harus membentuk suatu
lingkungan yang kondusif bagi pasien.
 Obat yang diberikan berfungsi untuk mengurangi keluhan-keluhan yang
dialami oleh pasien dan memperbaiki gangguan moodnya.
 Pengobatan ini berlangsung selama 2-6 bulan, tergantung dari pemulihan
pasien.
Informasi Pemakaian Obat
 Kalxetin kapl. 20 mg diminum 1x/hari tiap pagi. Obat ini dapat diminum
sebelum ataupun setelah makan

6) Monitoring dan Evaluasi


 Pasien kembali kontrol selambat-lambatnya 2 minggu pengobatan, sebelum
obat yang diberikan habis untuk mengevaluasi pengobatan yang telah
diberikan.
 Segera kontrol ke dokter bila keluhan berkurang atau jika muncul keluhan
lain.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Depression. World Health Organization [Internet]. [Cited 2 Des 2015].



Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs369/en/. 


2. WHO. Depression, a global public health concern. WHO Departemen Mental



Health Substance Abuse. 2012; 6–8. 


3. Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical Care untuk Penderita Gangguan



Depresif. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2007. 


4. Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan
pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

5. Mayasari, Tri and Wistya NN. Overview of Depression. E-Jurnal Med



Udayana. 2013; 2(11):1938–57. 


6. Greist JH, Jefferson JW. Depresi dan penyembuhannya: buku untuk



penyembuhan gangguan mental nomor 1. Trans. Subrata C. Jakarta:
Gunung Mulia; 1987. 


7. Mitchell A J. The origin of depression in : Neuropsychiatry and



behaviouralneurology explained. Philadelphia : Saunders Company, 2004;

429-33. 


8. Machale S. 2002. Managing depression in physical illness. Advances in



psychiatric treatment. Galagher, 2003; vol.8: 297-306. 


9. Kalia M. Neurobiological basis of depression: an update. Metabolism, 2005;



54(5): 24–7. 


10. Kaplan, Sadock. Ilmu Pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Dalam : Sinopsis

psikiatri, Edisi ketujuh. Jakarta : Binarupa Aksara, 2015; 777-834. 


11. Brent D, Lisa P. Depressive Disoders (in Childhood and Adolescence). In:

Ebert M, Nurcombe B, Loosen P, Leckman J. Current Diagosis &
nd
Treatment 
Psychiatry. 2 ed. New York: McGraw-Hill, 2008; 601-5. 


12. Sadock B, Sadock V. Mood Disorder. In: Synposis of Psychiatry. 9th ed. New

York: Lippincott Williams & Wilkins, 2003; 534-80. 


13. Hawari, Dadang. Edisi Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI, 2001. 


14. Gunarsa, Singgih D, dkk. Psikologi Perawatan. Jakarta: PT. PBK Gunung

Mulia, 2008. 


27
15. Soejono CH, Probosusesno, Sari NK. Depresi pada pasien usia lanjut. Dalam:

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibarata MK, Setiyati S (editor).
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V, Jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2009; 845. 


16. Maslim, Rusdi. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ III dan

DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2013;

64-5. 


17. Mann, J. J., 2005, The Medical Management of Depressi, The New England
Journal of Medicine, number 17, volume 353: 1819 – 1834.

28

Anda mungkin juga menyukai