Anda di halaman 1dari 28

Tuberkulosis Paru

A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang ditularkan melalui udara, dimana bakteri basil yang infeksius
terhirup (droplet) di udara. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru. Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal,
tulang, dan nodus limfe.3
B. Gejala Klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti
dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih
dari satu bulan.9
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain tb, seperti bronkiektasis,
bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.9
C. Tipe Penderita TB Paru
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
• Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari
satu bulan (4 minggu).
• Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
• Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
• Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
• Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
• Kasus lain :
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
D. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga patokan utama. Pertama,
hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut
dengan anamnesis. Kedua, hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada spesimen
penderita.
 Pemeriksaan dahak mikroskopis 9
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan
pengobatan dilakukan pada :
1. Akhir tahap intensif
Dilakukan seminggu sebelum akhir pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau
seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif kategori 2.
2. Sebulan sebelum akhir pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan ulang penderita BTA positif
dengan kategori 2.
3. Akhir pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pada penderita BTA positif dengan kategori 1 atau
seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan ulang BTA positif dengan kategori 2. 8
Pemeriksaan dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan akhir pengobatan bertujuan untuk
menilai hasil pengobatan (apakah sembuh atau gagal).
E. Prinsip Pengobatan
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan menggunakan
strategi DOTS.9
Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan serta
mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian
dari surveilans penyakit; tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi
juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan,
pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.9
Tabel 2.1. Jenis, sifat dan dosis OAT
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Jenis OAT Sifat
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 15
(12-18) (12-18)
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: 9


• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif) 9
- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan 9
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan

F. Panduan Penggunaan OAT di Indonesia9


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
- Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT
kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan
mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda
dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan
meningkatkan kepatuhan pasien.
Paduan OAT dan peruntukannya.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
􀂃 Pasien baru TB paru BTA positif.
􀂃 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
􀂃 Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 4 KDT
38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT
2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
􀂃 Pasien kambuh
􀂃 Pasien gagal
􀂃 Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Tabel 2.3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan tiap hari 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (275)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4 KDT + 2 tablet 4 KDT 2 tablet 4 KDT
500 mg Streptomisin inj + 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4 KDT + 3 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT
750 mg Streptomisin inj + 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4 KDT + 4 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT
1000 mg Streptomisin inj + 4 tab Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT + 5 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT
1000 mg Streptomisin inj + 5 tab Etambutol
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan.
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)

3. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan
selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.4. Dosis KDT untuk Sisipan

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT
38-54 kg 3 tablet 4 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena
potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Di samping itu dapat juga
meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
G. Evaluasi Pengobatan
 Evaluasi Klinis
Biasanya pasien di control dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap
intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat
perbaikan keluhan pasien seperti batuk yang berkurang, tidak ada batuk darah, nafsu makan
bertambah dan ada peningkatan berat badan.
 Evaluasi Bakteriologis
Pemeriksaan dahak untuk menilai keberadaan kuman. Biasanya setelah 2-3 minggu perngobatan,
sputum BTA mulai negatif. Pemeriksaan control sputum dilakukan sekali sebulan. Bagi penderita
dengan BTA positif setelah tahap intensif akan mendapatkan pengobatan ulang. Bila sudah negatif,
sputum diperiksa tiga kali berturut-turut dan harus dikontrol agar tidak terjadi “silent bacterial
shedding” yaitu terdapat sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-keluhan TB yang relevan.
 Evaluasi Radiologis
Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Dengan pemeriksaan
radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adanya penyakit lain yang menyertai. Evaluasi
foto dada dilakukan tiap 3 bulan sekali. 10
H. Efek Samping OAT
Sebagian besar penderita TB paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping . Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping . Oleh karena itu , pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan . Pemantauan dilakukan dengan cara menjelaskan
kepada penderita tanda-tanda efek samping dan menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu
penderita mengambil OAT. 8
Efek samping ringan dari OAT seperti tidak ada nafsu makan,mual, sakit perut , nyeri sendi ,
kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki , dan warna kemerahan pada air seni . Efek samping berat
dari OAT misalnya gatal dan kemerahan kulit , tuli , gangguan keseimbanagn , ikterus tanpa penyebab lain ,
bingung dan muntah-muntah , gangguan penglihatan , purpura dan syok .8
PEMBAHASAN
HEMOPTISIS
Definisi
Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah, atau sputum yang berdarah.
Sputum mungkin bercampur dengan darah. Mungkin juga seluruh cairan yang dikeluarkan paru-paru berupa
darah. Setiap proses yang mengakibatkan terganggunya kontinuitas aliran pembuluh darah paru-paru dapat
mengakibatkan perdarahan. Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius. Mungkin ini merupakan manifestasi
yang paling dini dari tuberkulosis aktif. Sebab-sebab lain dari hemoptisis adalah karsinoma bronkogenik, infarksi,
dan abses paru-paru.
Hemoptisis harus dibedakan dengan hematemesis. Hematemesis disebabkan oleh lesi pada saluran cerna,
sedangkan hemoptisis disebabkan oleh lesi pada paru atau bronkus/bronkiolus.
Klasifikasi
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan.
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam

Yang sering terjadi darah bercampur dengan sutum. Umumnya pada bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam

Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya pada kanker paru, pneumonia,
TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam

Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.


4. Pseudohemoptisis

Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau dari saluran cerna atas
atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan (factitious).
Perbedaan hemoptoe dengan hematemesis
Untuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk darah (hemoptoe) bila dokter tidak
hadir pada waktu pasien batuk darah, maka pada batuk darah (hemoptoe) akan didapatkan tanda-tanda sebagai
berikut :
Tanda-tanda batuk darah:
1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan.
2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam saluran napas.
3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan.
4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari kemudian warna menjadi lebih
tua atau kehitaman.
5. pH alkalis.
6. Bisa berlangsung beberapa hari
7. Penyebabnya : kelainan paru
Tanda-tanda muntah darah :
1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah.
2. Suara napas tidak ada gangguan.
3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium.
4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa makanan.
5. pH asam.
6. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe.
7. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis.
Diagnostic Clues in Hemoptysis: Physical History
Clinical clues Suggested diagnosis*
Anticoagulant use Medication effect, coagulation disorder
Association with menses Catamenial hemoptysis
Dyspnea on exertion, fatigue, orthopnea, paroxysmal Congestive heart failure, left ventricular dysfunction, mitral valve
nocturnal dyspnea, frothy pink sputum stenosis
Fever, productive cough Upper respiratory infection, acute sinusitis, acute bronchitis,
pneumonia, lung abscess
History of breast, colon, or renal cancers Endobronchial metastatic disease of lungs
History of chronic lung disease, recurrent lower Bronchiectasis, lung abscess
respiratory track infection, cough with copious purulent
sputum
HIV, immunosuppression Neoplasia, tuberculosis, Kaposi’s sarcoma
Nausea, vomiting, melena, alcoholism, chronic use of Gastritis, gastric or peptic ulcer, esophageal varices
nonsteroidal anti-inflammatory drugs
Pleuritic chest pain, calf tenderness Pulmonary embolism or infarction
Tobacco use Acute bronchitis, chronic bronchitis, lung cancer, pneumonia
Travel history Tuberculosis, parasites (e.g., paragonimiasis, schistosomiasis,
amebiasis, leptospirosis), biologic agents (e.g., plague,
tularemia, T2 mycotoxin)
Weight loss Emphysema, lung cancer, tuberculosis, bronchiectasis, lung
abscess, HIV

Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas :


1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh karena jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah :
1. Tumor :
a. Karsinoma.
b. Adenoma.
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.
2. Infeksi
a. Aspergilloma.
b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas).
c. Tuberkulosis paru.
3. Infark Paru
4. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
5. Perdarahan paru
a. Sistemic Lupus Eritematosus
b. Goodpasture’s syndrome.
c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis.
d. Bechet’s syndrome.
6. Cedera pada dada/trauma
a. Kontusio pulmonal.
b. Transbronkial biopsi.
c. Transtorakal biopsi memakai jarum.
7. Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena.
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.
8. Bleeding diathesis.

Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu : infeksi, tumor
dan kelainan kardiovaskular. Infeksi merupakan penyebab yang sering didapatkan antara lain : tuberkulosis,
bronkiektasis dan abses paru. Pada dewasa muda, tuberkulosis paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis
merupakan penyebab yang sering didapat. Pada usia diatas 40 tahun karsinoma bronkus merupakan penyebab
yang sering didapatkan, diikuti tuberkulsosis dan bronkiektasis.
Patofisiologi Hemoptisis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri
bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis
dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna
tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan
akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi
membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis
lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma
yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh darah, seperti infeksi
coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada dekompensasi cordis
kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti padaGoodpasture’s syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen;
pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada
bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan
adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat
menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam alveoli dan
keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.

Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah :
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas penegakan diagnosis. Pria terdapat
dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur sekitar 30 tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti
sendiri sehingga prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.
2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan
a. Pada prinsipnya berasal dari :
b. Saluran napas
i. Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia dan abses paru.
ii. Menurut Bannet, 82 – 86% batuk darah disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma paru
dan bronkiektasis.
iii. Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis, penyakit oleh karena
cacing.
c. Sistem kardiovaskuler
i. Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi.
ii. Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.
d. Lain-lain
i. Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti hemofilia, hemosiderosis,
sindrom Goodpasture, eritematosus lupus sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan
dengan obat-obat antikoagulan
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi atas :
1. Hemoptisis massif
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :
 Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
 Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam, akan tetapi Hb kurang dari
10 g%.
 Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g%, tetapi dalam pengamatan
48 jam ternyata darah tidak berhenti.
 Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptoe selain terjadi
vasokonstriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu
memberikan gambaran besarnya perdarahan yang terjadi.
 Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe juga mempunyai
kelemahan oleh karena :
o Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-kadang dengan
cairan lambung, sehinga sukar untuk menentukan jumlah darah yang hilang
sesungguhnya.
o Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama dengan tinja, sehingga
tidak ikut terhitung
o Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.

Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh :
 Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik (hypovolemik shock).
 Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai dengan adanya iskemik
miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan mekanik pada jantung, maupun aliran darah
serebral. Dalam hal kedua ini dilakukan pemantauan terhadap gas darah, disamping menentukan fungsi-
fungsi vital. Oleh karena itu suatu tingkat kegawatan hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu
bentuk akut berupa asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
 Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
 Lamanya perdarahan.
 Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
 Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.

Klasifikasi menurut Pusel :


+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam sputum
++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
+++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml

Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif empat termasuk di
dalam kriteria hemoptisis masif.

Diagnosis
Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar bukan dari muntahan dan tidak
berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis sering mudah dilacak dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada
hematemesis darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari epistaksis dapat tertelan
kembali melalui faring dan terbatukkan yang disadari penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung.
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan-urutan dari
anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan.
1) Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk mendapatkan data-data :
- Jumlah dan warna darah
- Lamanya perdarahan
- Batuknya produktif atau tidak
- Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
- Sakit dada, substernal atau pleuritik
- Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk
- Wheezing
- Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
- Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
- Perokok berat dan telah berlangsung lama
- Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
- Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat digunakan petunjuk sebagai
berikut :
Keadaan Hemoptoe Hematemesis
1. Prodromal Rasa tidak enak di Mual, stomach distress
tenggorokan, ingin batuk
2. Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan
disertai batuk dapat disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih
4. Warna Merah segar Merah tua
5. Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan
makrofag, hemosiderin
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
7. Riwayat Penyakit Menderita kelainan paru Gangguan lambung,
Dahulu kelainan hepar
8. Anemi Kadang-kadang Selalu
9. Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna
Guaiac test (-) hitam, Guaiac test (-)

2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat mendasari terjadinya batuk
darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi
septum nasalis, teleangiektasi.
3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita hemoptisis masif.
Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya.
4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan
dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang – ulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi perdarahan,
maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang
masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk
yang lebih impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi
pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang
mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optik jauh lebih unggul,
sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah
serta mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di
tempat terjadinya perdarahan.
Penanganan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya berhenti sendiri. Yang
perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah :
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan mengendalikan
perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan
hemoptisis masif.
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang menyebabkan
asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang
multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam
jumlah banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik.
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
- Terapi konservatif
- Terapi definitif atau pembedahan.
1. Terapi konservatif
Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral decubitus). Kepala lebih rendah
dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
 Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
 Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran napas untuk
mencegah bahaya sufokasi.
 Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
 Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis), misalnya vit. K, ion kalsium,
trombin dan karbazokrom.
 Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
 Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.
 Pemberian oksigen

Tindakan selanjutnya bila mungkin :


 Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
 Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan bronkoskopi dan pemberian
adrenalin pada sumber perdarahan.
2. Terapi pembedahan
 Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
 Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada perdarahan yang
masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang berulang dapat
dicegah.
Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut :
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatannya perdarahan
tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam
jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dantetapi lebih dari 250 cc / 24 jam
dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan
konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan dipastikan asal perdarahannya, sedang
jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti.
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin digunakan adalah :
- Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada
lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4°C sebanyak 50 cc, diberikan
selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction.
- Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5 mm.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu ditentukan oleh tiga faktor :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru yang sehat
bersama inspirasi.
Prognosis
Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptoe yang rekuren.
Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis :
1) Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih baik.
2) Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3) Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk menghisap darah yang beku
di bronkus dapat menyelamatkan penderita.(1,14)

TB PARU
DEFINISI
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia melalui udara pernapasan kedalam paru.
Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem
saluran limfe, melalui saluran napas (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB
dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.
ETIOLOGI

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan
tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif
kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat.

PATOFISIOLOGI
Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran pencernaan dan luka terbuka
pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel, kuman ini tidak menghasilkan toksin yang di kenal. Dalam tetesan
droplet yang terhirup dan mencapai alveoli. Penyakit timbul akibat menetapnya dan berproliferasinya kuman
tersebut dan adanya interaksi dari tuan rumah, misalnya basil tidak virulen yang di suntikan contoh BCG hanya
dapat hidup selama beberapa bulan atau tahun pada tuan rumah normal. Resistensi dan hipersensitivitas tuan
rumah sangat mempengaruhi perkembangan penyakit.

Penyakit ini dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel, sel efektornya adalah makrofag, sedangkan
limfosit biasanya sel T adalah sel imunoresponsinya. Tipe imuniitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan
makrofag yang di aktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya.Respon ini disebut sebagai reaksi
hipersensitivitas atau reaksi lambat.

Pembentukan dan perkembangan lesi-lesi dan penyembuhannya atau progresifnya terutama ditentukan
oleh:

1. Jumlah kuman yang masuk dan perkembangbiakan selanjutnya.

2. Resistensi dan hipersensivitas dari hospes.

Saat masuk ke tubuh manusia kuman mycobacterium tuberculosis akan membentuk dua tipe lesi utama:

1. Tipe eksudatif, ini terdiri dari reaksi peradangan akut, lekosit polimorfonuklir dan kemudian, monosit
sekitar basil tuberkel. Tipe ini terlihat pada jaringan paru-paru, dimana lesi ini mirip dengan pnemonia
bakterie, tipe ini dapat sembuh dengan resolusi sehingga seluruh eksudat di absorpsi sehingga
mengakibatkan nekrosis massif dari jaringan atau dapat berkembang menjadi tipe produktif, selama fase
ini tes tuberculin positif.

2. Tipe produktif, bila berkembang maksimal lesi ini akan menjadi suatu granuloma menahun yang terdiri
dari 3 daerah:

 Daerah sentral yang luas, yang mempunyai sel sel inti banyak yang mengandung basil tuberkel.

 Daerah tengah terdiri dari sel-sel epiteloid pucat.

 Derah perifer yang terdiri dari fibroblas, limfosit dan monosit kemudian terbentuk jaringan fibrosa
perifer dan daerah sentral mengalami nekrosis dan membentuk kaverne, selanjutnya lesi ini sembuh
dengan fibrosis atau kalsifikasi.

Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional, basil dapat menyebar
lebih lanjut dan mencapai aliran darah yang selanjutnya menyebar ke seluruh organ, tetapi kuman ini mutlak
hidup ditempat yang memiliki kandungan oksigen yang tinggi oleh karena itu lokasi utama penyakit ini adalah di
paru.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan bersatu sehingga membentuk sel
tuberkel epiteloid yang di kelilingi oleh limfosit, reaksi ini membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari. Nekrosis
bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, lesi seperti ini disebut dengan
nekrosis kaseosa.

Lesi primer paru–paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional
dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Ini dapat dilihat pada orang sehat yang selalu menjalani pemeriksaan
radiologi.

Cara penularan kuman mycobacterium tuberculosis:

1. Kuman dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita TB menjadi droplet nuclei (partikel kecil yang
merupakan gabungan antara sel tubuh dan sel yang sudah terinfeksi. Setiap kali penderita TB batuk akan
dikeluarkan 3000 droplet yang infektif (memiliki kemampuan menginfeksi), partikel infeksi ini dapat hidup
pada udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang baik dan
kelembaban. Dalam suasana lembab kuman dapat hidup berhari-hari.

2. Kuman yang terhirup dapat menghindari pertahanan mekanik saluran napas bagian atas dan akan menuju
alveoli dimana infeksi awal terjadi, kuman ini akan membentuk sarang primer dan di ikuti pembesaran
kelenjar getah bening yang disebut komplek primer.

3. Komplek primer selanjutnya mengalami perjalanan penyakit tergantung virulensi, jumlah kuman, dan
ketahanan tubuh penderita. Ini dapat sembuh sama sekali tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit
jaringan paru atau berkomplikasi dan menyebar baik secara hematogen atau limfatogen.

Tidak semua orang yang menghirup kuman TBC akan tertular penyakit tersebut. Pada orang yang sehat,
biasanya kuman tersebut menjadi tidak aktif dan orang itu tetap sehat tetapi kuman tersebut akan jadi aktif bila:

 Kekurangan gizi

 Kondisi fisik yang lemah

 Terkena penyakit tertentu sepeti HIVdan Diabetes melitus

 Pecandu obat-obat terlarang

 Menggunakan hormon steroid

 Perokok berat
Kuman-kuman akan mulai berkembang-biak dan menimbulkan penyakit TBC. Timbulnya penyakit bisa
langsung terjadi setelah terinfeksi atau butuh waktu tahunan untuk berkembang.

MANIFESTASI KLINIS
Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk berdahak kronis, demam
subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya
itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian.
Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan:
1. Gejala Respiratorik
 Batuk lebih dari 3 minggu
 Dahak (sputum)
 Batuk darah
 Sesak nafas
 Nyeri dada
 Wheezing

2. Gejala Sistemik
 Demam dan menggigil
 Penurunan berat badan
 Rasa lelah dan lemah (Malaise)
 Berkeringat banyak terutama di malam hari
 Tidak ada nafsu makan (Anoreksia)
 Sakit-sakit pada otot (Mialgia)

KLASIFIKASI TUBERKULOSIS PARU


Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi
empat hal, yaitu :
1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru

2) Bakteriologi ; hasil pemeriksaan mikroskopis : BTA positif dan BTA negatif

3) Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat

4) Riwayat pengobatan TB sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati


Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis atau tidak
ada fasilitas biakan, sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
2. Mencegah timbulnya resistensi,
3. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
4. Meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
5. Mengurangi efek samping.

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:


1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan BTA sputum
a. Tuberkulosis paru BTA ( + ) adalah :
i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
ii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan hasil BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan ganbaran tuberculosis aktif
iii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan radiologis
menunjukkan tuberkulosis aktif
ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan Myccobacterium
tuberculosis positif
d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan minimal 1 bulan dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif atau BTA negatif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk
Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus
kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan
pertimbangan medis spesialistik.
TB paru juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1) TB Paru BTA (+) yaitu:
 Dengan atau tanpa gejala.
 Gambaran radiology sesuai dengan TB paru.
2) TB paru BTA (-)
 Gejala klinik dan gambaran radiologi sesuai dengan TB paru.
 BTA (-).
3) Bekas TB paru
 BTA (-).
 Gejala klinik tidak ada, ada gejala sisa akibat kelainan paru yang di tinggalkan.
 Radiolgi menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, terlebih gambaran serial menunjukan foto yang
sama
 Riwayat pengobatan TB (+)
Sedangkan WHO membagi penderita TB atas 4 kategori:
1. Kategori I: kasus baru dengan dahak (+) dan penderita dengan keadaan berat seperti meningitis,
TB milier, perikarditis, peritonitis, spondilitis dengan gangguan neurologik dan lain-
lain.
2. Kategori II: kasus kambuh atau gagal dengan dahak yang tetap (+).
3. Kategori III: kasus dengan dahak (-), tetapi kelainan paru tidak luas dan kasus TB diluar paru
selain kategori I.
4. Kategori IV: tuberkulosis kronik.
KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit tuberculosis didasarkan pada:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda:
a. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronchial, ronkhi basah).
b. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.
c. Secret di saluran nafas dan ronkhi.
d. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronchus.
2. Laboratorium
a. Kultur sputum.
b. Mantoux Test/Tuberkulin Test.
c. Biopsi jarum pada jaringan paru.
3. Radiologis
Foto Thoraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB yaitu:
a. Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah.
b. Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular).
c. Adanya kavitas, tunggal, atau ganda.
d. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.
e. Adanya kalsifikasi.
f. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
g. Bayangan milier.

Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


• Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat.
• Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu.
• Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
• Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
• Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

 Kategori Anak: 2HRZ/4HR


Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

 Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas
dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu
(1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek
samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan
mengurangi kesalahan penulisan.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Pemantauan Hasil Kemajuan Pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang
dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan
radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau
kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan
pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif
atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

b. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif


Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya
negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan
sembuh atau gagal.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak
diketahui.
Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan.

PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya.
Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat
dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya
proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.

b. Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya.
Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan
OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB
kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan
dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat
menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-
hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mg).

d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB
lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS.
Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan
ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan
Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal)
Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan
pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT
(Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).
e. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan
streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan
Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.

f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT
dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan.
Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan
ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan
adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

g. Pasien TB dengan gagal ginjal


Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi
senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien
dengan gangguan ginjal.Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari
penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol
dan Streptomisin tetap paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.

h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus


Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil
urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah,
setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi
komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat
memperberat kelainan tersebut.

i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid


Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti:
• Meningitis TB
• TB milier dengan atau tanpa meningitis
• TB dengan Pleuritis eksudativa
• TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap.
Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
j. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1) Untuk TB paru:
• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif.
• Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.

2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.

EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA


Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit:


Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab
lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada
sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit.
Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek
samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk

• Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut: Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus
dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan
obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis.
Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip
dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul
reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol
atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin,
ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan
menurunkan risiko terjadinya kambuh.
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid atau
Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama
(paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap
Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan
lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan
yang berat.
PROGNOSIS

1. Jika berobat teratur sembuh total (95%).


2. Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1 % yang mungkin relaps.

KOMPLIKASI
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium
lanjut yaitu :
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok
hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.
2. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
3. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada
proses pemulihan atau reaktif) pada paru
4. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.

Anda mungkin juga menyukai

  • Raxdf
    Raxdf
    Dokumen10 halaman
    Raxdf
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Absensi Kehadiran
    Absensi Kehadiran
    Dokumen1 halaman
    Absensi Kehadiran
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Fix BPN
    Fix BPN
    Dokumen3 halaman
    Fix BPN
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Op
    Op
    Dokumen3 halaman
    Op
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Gunung Kerinci ERUPSI
    Gunung Kerinci ERUPSI
    Dokumen11 halaman
    Gunung Kerinci ERUPSI
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • 4 - Penyakit Tidak Menular - Faktor Risiko
    4 - Penyakit Tidak Menular - Faktor Risiko
    Dokumen51 halaman
    4 - Penyakit Tidak Menular - Faktor Risiko
    Candra Gumilar
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen18 halaman
    Presentation 1
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Ri
    Ri
    Dokumen9 halaman
    Ri
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • SD
    SD
    Dokumen3 halaman
    SD
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Ai
    Ai
    Dokumen14 halaman
    Ai
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Pjjji
    Pjjji
    Dokumen25 halaman
    Pjjji
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • 8537 17049 1 PB PDF
    8537 17049 1 PB PDF
    Dokumen13 halaman
    8537 17049 1 PB PDF
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • OBSOS - Puskesmas Pela Mampang
    OBSOS - Puskesmas Pela Mampang
    Dokumen18 halaman
    OBSOS - Puskesmas Pela Mampang
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Ao
    Ao
    Dokumen36 halaman
    Ao
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Opl
    Opl
    Dokumen30 halaman
    Opl
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Pentoksifilin Efektif Atasi ENL Berat
    Pentoksifilin Efektif Atasi ENL Berat
    Dokumen7 halaman
    Pentoksifilin Efektif Atasi ENL Berat
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Pjjji
    Pjjji
    Dokumen25 halaman
    Pjjji
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Ujian Obgyn Nadia PDF
    Laporan Kasus Ujian Obgyn Nadia PDF
    Dokumen37 halaman
    Laporan Kasus Ujian Obgyn Nadia PDF
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Lapjag DR - Jae
    Lapjag DR - Jae
    Dokumen3 halaman
    Lapjag DR - Jae
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Refrat Anastesi Regional
    Refrat Anastesi Regional
    Dokumen15 halaman
    Refrat Anastesi Regional
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Jokl
    Jokl
    Dokumen29 halaman
    Jokl
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Naskah Ujian
    Naskah Ujian
    Dokumen27 halaman
    Naskah Ujian
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Srtyu
    Srtyu
    Dokumen18 halaman
    Srtyu
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Lapjag 5
    Lapjag 5
    Dokumen11 halaman
    Lapjag 5
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Lap Jag 05 April
    Lap Jag 05 April
    Dokumen10 halaman
    Lap Jag 05 April
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Dasar Dasar Phantoom
    Dasar Dasar Phantoom
    Dokumen72 halaman
    Dasar Dasar Phantoom
    La Ode Rinaldi
    100% (3)
  • L 90 L
    L 90 L
    Dokumen10 halaman
    L 90 L
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • 1 Sew
    1 Sew
    Dokumen11 halaman
    1 Sew
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Lapjag 5
    Lapjag 5
    Dokumen11 halaman
    Lapjag 5
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat
  • Kala Iii
    Kala Iii
    Dokumen18 halaman
    Kala Iii
    Nadia Sani amalia
    Belum ada peringkat