A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang ditularkan melalui udara, dimana bakteri basil yang infeksius
terhirup (droplet) di udara. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru. Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal,
tulang, dan nodus limfe.3
B. Gejala Klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti
dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih
dari satu bulan.9
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain tb, seperti bronkiektasis,
bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.9
C. Tipe Penderita TB Paru
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:
• Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari
satu bulan (4 minggu).
• Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
• Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
• Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
• Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
• Kasus lain :
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
D. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga patokan utama. Pertama,
hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut
dengan anamnesis. Kedua, hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada spesimen
penderita.
Pemeriksaan dahak mikroskopis 9
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan
pengobatan dilakukan pada :
1. Akhir tahap intensif
Dilakukan seminggu sebelum akhir pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau
seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif kategori 2.
2. Sebulan sebelum akhir pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan
kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan ulang penderita BTA positif
dengan kategori 2.
3. Akhir pengobatan
Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pada penderita BTA positif dengan kategori 1 atau
seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan ulang BTA positif dengan kategori 2. 8
Pemeriksaan dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan akhir pengobatan bertujuan untuk
menilai hasil pengobatan (apakah sembuh atau gagal).
E. Prinsip Pengobatan
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan menggunakan
strategi DOTS.9
Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan serta
mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian
dari surveilans penyakit; tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi
juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan,
pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.9
Tabel 2.1. Jenis, sifat dan dosis OAT
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Jenis OAT Sifat
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 15
(12-18) (12-18)
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sutum. Umumnya pada bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya pada kanker paru, pneumonia,
TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau dari saluran cerna atas
atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan (factitious).
Perbedaan hemoptoe dengan hematemesis
Untuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk darah (hemoptoe) bila dokter tidak
hadir pada waktu pasien batuk darah, maka pada batuk darah (hemoptoe) akan didapatkan tanda-tanda sebagai
berikut :
Tanda-tanda batuk darah:
1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan.
2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam saluran napas.
3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan.
4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari kemudian warna menjadi lebih
tua atau kehitaman.
5. pH alkalis.
6. Bisa berlangsung beberapa hari
7. Penyebabnya : kelainan paru
Tanda-tanda muntah darah :
1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah.
2. Suara napas tidak ada gangguan.
3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium.
4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa makanan.
5. pH asam.
6. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe.
7. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis.
Diagnostic Clues in Hemoptysis: Physical History
Clinical clues Suggested diagnosis*
Anticoagulant use Medication effect, coagulation disorder
Association with menses Catamenial hemoptysis
Dyspnea on exertion, fatigue, orthopnea, paroxysmal Congestive heart failure, left ventricular dysfunction, mitral valve
nocturnal dyspnea, frothy pink sputum stenosis
Fever, productive cough Upper respiratory infection, acute sinusitis, acute bronchitis,
pneumonia, lung abscess
History of breast, colon, or renal cancers Endobronchial metastatic disease of lungs
History of chronic lung disease, recurrent lower Bronchiectasis, lung abscess
respiratory track infection, cough with copious purulent
sputum
HIV, immunosuppression Neoplasia, tuberculosis, Kaposi’s sarcoma
Nausea, vomiting, melena, alcoholism, chronic use of Gastritis, gastric or peptic ulcer, esophageal varices
nonsteroidal anti-inflammatory drugs
Pleuritic chest pain, calf tenderness Pulmonary embolism or infarction
Tobacco use Acute bronchitis, chronic bronchitis, lung cancer, pneumonia
Travel history Tuberculosis, parasites (e.g., paragonimiasis, schistosomiasis,
amebiasis, leptospirosis), biologic agents (e.g., plague,
tularemia, T2 mycotoxin)
Weight loss Emphysema, lung cancer, tuberculosis, bronchiectasis, lung
abscess, HIV
Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu : infeksi, tumor
dan kelainan kardiovaskular. Infeksi merupakan penyebab yang sering didapatkan antara lain : tuberkulosis,
bronkiektasis dan abses paru. Pada dewasa muda, tuberkulosis paru, stenosis mitral, dan bronkiektasis
merupakan penyebab yang sering didapat. Pada usia diatas 40 tahun karsinoma bronkus merupakan penyebab
yang sering didapatkan, diikuti tuberkulsosis dan bronkiektasis.
Patofisiologi Hemoptisis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri
bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis
dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna
tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan
akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi
membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis
lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma
yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh darah, seperti infeksi
coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada dekompensasi cordis
kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti padaGoodpasture’s syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen;
pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada
bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan
adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat
menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam alveoli dan
keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya dikenal berbagai macam batuk darah :
1. Batuk darah idiopatik atau esensial dimana penyebabnya tidak diketahui
Angka kejadian batuk darah idiopatik sekitar 15% tergantung fasilitas penegakan diagnosis. Pria terdapat
dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur sekitar 30 tahun, biasanya perdarahan dapat berhenti
sendiri sehingga prognosis baik. Teori perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.
2. Batuk darah sekunder, yang penyebabnya dapat di pastikan
a. Pada prinsipnya berasal dari :
b. Saluran napas
i. Yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru, pneumonia dan abses paru.
ii. Menurut Bannet, 82 – 86% batuk darah disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma paru
dan bronkiektasis.
iii. Yang jarang dijumpai adalah penyakit jamur (aspergilosis), silikosis, penyakit oleh karena
cacing.
c. Sistem kardiovaskuler
i. Yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi.
ii. Yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.
d. Lain-lain
i. Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti hemofilia, hemosiderosis,
sindrom Goodpasture, eritematosus lupus sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan
dengan obat-obat antikoagulan
Berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan maka hemoptisis dapat dibagi atas :
1. Hemoptisis massif
Bila darah yang dikeluarkan adalah 100-160 cc dalam 24 jam.
2. Kriteria yang digunakan di rumah sakit Persahabatan Jakarta :
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam, akan tetapi Hb kurang dari
10 g%.
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g%, tetapi dalam pengamatan
48 jam ternyata darah tidak berhenti.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptoe selain terjadi
vasokonstriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu
memberikan gambaran besarnya perdarahan yang terjadi.
Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptoe juga mempunyai
kelemahan oleh karena :
o Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-kadang dengan
cairan lambung, sehinga sukar untuk menentukan jumlah darah yang hilang
sesungguhnya.
o Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan bersama-sama dengan tinja, sehingga
tidak ikut terhitung
o Sebagian dari darah masuk ke paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh :
Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan hipovolemik (hypovolemik shock).
Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai dengan adanya iskemik
miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan mekanik pada jantung, maupun aliran darah
serebral. Dalam hal kedua ini dilakukan pemantauan terhadap gas darah, disamping menentukan fungsi-
fungsi vital. Oleh karena itu suatu tingkat kegawatan hemoptoe dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu
bentuk akut berupa asfiksia, sedangkan bentuk yang lain berupa renjatan hipovolemik.
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis.
Lamanya perdarahan.
Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi.
Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.
Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif empat termasuk di
dalam kriteria hemoptisis masif.
Diagnosis
Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar bukan dari muntahan dan tidak
berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis sering mudah dilacak dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada
hematemesis darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari epistaksis dapat tertelan
kembali melalui faring dan terbatukkan yang disadari penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung.
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan-urutan dari
anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan.
1) Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk mendapatkan data-data :
- Jumlah dan warna darah
- Lamanya perdarahan
- Batuknya produktif atau tidak
- Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
- Sakit dada, substernal atau pleuritik
- Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk
- Wheezing
- Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
- Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
- Perokok berat dan telah berlangsung lama
- Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
- Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat digunakan petunjuk sebagai
berikut :
Keadaan Hemoptoe Hematemesis
1. Prodromal Rasa tidak enak di Mual, stomach distress
tenggorokan, ingin batuk
2. Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan
disertai batuk dapat disertai batuk
3. Penampilan darah Berbuih Tidak berbuih
4. Warna Merah segar Merah tua
5. Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan
makrofag, hemosiderin
6. Reaksi Alkalis (pH tinggi) Asam (pH rendah)
7. Riwayat Penyakit Menderita kelainan paru Gangguan lambung,
Dahulu kelainan hepar
8. Anemi Kadang-kadang Selalu
9. Tinja Warna tinja normal Tinja bisa berwarna
Guaiac test (-) hitam, Guaiac test (-)
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat mendasari terjadinya batuk
darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi
septum nasalis, teleangiektasi.
3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita hemoptisis masif.
Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya.
4. Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan
dapat diketahui.
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang – ulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi perdarahan,
maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang
masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk
yang lebih impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi
pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang
mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optik jauh lebih unggul,
sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah
serta mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di
tempat terjadinya perdarahan.
Penanganan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya berhenti sendiri. Yang
perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
Tujuan pokok terapi ialah :
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan mengendalikan
perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan
hemoptisis masif.
Masalah utama dalam hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang menyebabkan
asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang
multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam
jumlah banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik.
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
- Terapi konservatif
- Terapi definitif atau pembedahan.
1. Terapi konservatif
Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral decubitus). Kepala lebih rendah
dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
Batuk secara perlahan – lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran napas untuk
mencegah bahaya sufokasi.
Dada dikompres dengan es – kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis), misalnya vit. K, ion kalsium,
trombin dan karbazokrom.
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.
Pemberian oksigen
TB PARU
DEFINISI
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia melalui udara pernapasan kedalam paru.
Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem
saluran limfe, melalui saluran napas (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB
dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.
ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan
tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif
kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat.
PATOFISIOLOGI
Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran pencernaan dan luka terbuka
pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel, kuman ini tidak menghasilkan toksin yang di kenal. Dalam tetesan
droplet yang terhirup dan mencapai alveoli. Penyakit timbul akibat menetapnya dan berproliferasinya kuman
tersebut dan adanya interaksi dari tuan rumah, misalnya basil tidak virulen yang di suntikan contoh BCG hanya
dapat hidup selama beberapa bulan atau tahun pada tuan rumah normal. Resistensi dan hipersensitivitas tuan
rumah sangat mempengaruhi perkembangan penyakit.
Penyakit ini dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel, sel efektornya adalah makrofag, sedangkan
limfosit biasanya sel T adalah sel imunoresponsinya. Tipe imuniitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan
makrofag yang di aktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya.Respon ini disebut sebagai reaksi
hipersensitivitas atau reaksi lambat.
Pembentukan dan perkembangan lesi-lesi dan penyembuhannya atau progresifnya terutama ditentukan
oleh:
Saat masuk ke tubuh manusia kuman mycobacterium tuberculosis akan membentuk dua tipe lesi utama:
1. Tipe eksudatif, ini terdiri dari reaksi peradangan akut, lekosit polimorfonuklir dan kemudian, monosit
sekitar basil tuberkel. Tipe ini terlihat pada jaringan paru-paru, dimana lesi ini mirip dengan pnemonia
bakterie, tipe ini dapat sembuh dengan resolusi sehingga seluruh eksudat di absorpsi sehingga
mengakibatkan nekrosis massif dari jaringan atau dapat berkembang menjadi tipe produktif, selama fase
ini tes tuberculin positif.
2. Tipe produktif, bila berkembang maksimal lesi ini akan menjadi suatu granuloma menahun yang terdiri
dari 3 daerah:
Daerah sentral yang luas, yang mempunyai sel sel inti banyak yang mengandung basil tuberkel.
Derah perifer yang terdiri dari fibroblas, limfosit dan monosit kemudian terbentuk jaringan fibrosa
perifer dan daerah sentral mengalami nekrosis dan membentuk kaverne, selanjutnya lesi ini sembuh
dengan fibrosis atau kalsifikasi.
Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional, basil dapat menyebar
lebih lanjut dan mencapai aliran darah yang selanjutnya menyebar ke seluruh organ, tetapi kuman ini mutlak
hidup ditempat yang memiliki kandungan oksigen yang tinggi oleh karena itu lokasi utama penyakit ini adalah di
paru.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan bersatu sehingga membentuk sel
tuberkel epiteloid yang di kelilingi oleh limfosit, reaksi ini membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari. Nekrosis
bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, lesi seperti ini disebut dengan
nekrosis kaseosa.
Lesi primer paru–paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional
dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Ini dapat dilihat pada orang sehat yang selalu menjalani pemeriksaan
radiologi.
1. Kuman dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita TB menjadi droplet nuclei (partikel kecil yang
merupakan gabungan antara sel tubuh dan sel yang sudah terinfeksi. Setiap kali penderita TB batuk akan
dikeluarkan 3000 droplet yang infektif (memiliki kemampuan menginfeksi), partikel infeksi ini dapat hidup
pada udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang baik dan
kelembaban. Dalam suasana lembab kuman dapat hidup berhari-hari.
2. Kuman yang terhirup dapat menghindari pertahanan mekanik saluran napas bagian atas dan akan menuju
alveoli dimana infeksi awal terjadi, kuman ini akan membentuk sarang primer dan di ikuti pembesaran
kelenjar getah bening yang disebut komplek primer.
3. Komplek primer selanjutnya mengalami perjalanan penyakit tergantung virulensi, jumlah kuman, dan
ketahanan tubuh penderita. Ini dapat sembuh sama sekali tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit
jaringan paru atau berkomplikasi dan menyebar baik secara hematogen atau limfatogen.
Tidak semua orang yang menghirup kuman TBC akan tertular penyakit tersebut. Pada orang yang sehat,
biasanya kuman tersebut menjadi tidak aktif dan orang itu tetap sehat tetapi kuman tersebut akan jadi aktif bila:
Kekurangan gizi
Perokok berat
Kuman-kuman akan mulai berkembang-biak dan menimbulkan penyakit TBC. Timbulnya penyakit bisa
langsung terjadi setelah terinfeksi atau butuh waktu tahunan untuk berkembang.
MANIFESTASI KLINIS
Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk berdahak kronis, demam
subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya
itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian.
Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan:
1. Gejala Respiratorik
Batuk lebih dari 3 minggu
Dahak (sputum)
Batuk darah
Sesak nafas
Nyeri dada
Wheezing
2. Gejala Sistemik
Demam dan menggigil
Penurunan berat badan
Rasa lelah dan lemah (Malaise)
Berkeringat banyak terutama di malam hari
Tidak ada nafsu makan (Anoreksia)
Sakit-sakit pada otot (Mialgia)
Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk:
1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
2. Mencegah timbulnya resistensi,
3. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
4. Meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
5. Mengurangi efek samping.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas
dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu
(1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek
samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan
mengurangi kesalahan penulisan.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Pemantauan Hasil Kemajuan Pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang
dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan
radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau
kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan
pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif
atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
• Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut: Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus
dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan
obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis.
Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip
dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul
reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol
atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin,
ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan
menurunkan risiko terjadinya kambuh.
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid atau
Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama
(paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap
Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan
lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan
yang berat.
PROGNOSIS
KOMPLIKASI
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium
lanjut yaitu :
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok
hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.
2. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
3. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada
proses pemulihan atau reaktif) pada paru
4. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.