Anda di halaman 1dari 43

PRESENTASI KASUS

PPROM (Preterm Premature Rupture of the Membranes)


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Klinik Di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:

AHMAD FATHONI

20184010091

Diajukan kepada:

dr. Bambang Basuki, Sp. OG (K)

DEPARTEMEN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
KETUBAN PECAH DINI

Disusun oleh :
Ahmad Fathoni
NIM : 20140310083
NIPP : 20184010091

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal


Agustus 2018

Pembimbing

dr. Bambang Basuki, Sp. OG (K)


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji penulis persembahkan kepada


Allah SWT atas segala nikmat, petunjuk dan kemudahan yang telah diberikan
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pesentasi kasus ini yang
diberi judul “PPROM (Preterm Premature Rupture of Membrane”. Shalawat
serta salam untuk junjungan alam Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan
para pengikutnya.

Presentasi kasus ini selain disusun dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mengikutiujianakhir di bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi, dan
juga untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai PPROM.

Penulis menyadari presentasi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan


sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan. Dalam kesempatan yang
sangat baik ini perkenankanlah penulis mengucapkan penghargaan dan
terimakasih kepada:

1. Allah SWT, telah memberikan segala nikmat yang tidak terhingga sehingga
mampu menyelesaikan Presentasi Kasus ini dengan baik.
2. dr. Bambang Basuki, Sp.OG (K) selaku dokter pembimbing dalam
menyelesaikan presentasi kasus ini.
3. Teman-teman Co-Assistensi seperjuangan di RSUD Panembahan Senopati
Bantul.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Bantul, 17 Agustus 2018

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2


KATA PENGANTAR ........................................................................................ 3
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 4
BAB I .................................................................................................................. 6
PENDAHULUAN .............................................................................................. 6
BAB II ................................................................................................................. 8
LAPORAN KASUS ............................................................................................ 8
A. IDENTITAS.................................................................................................. 8

B. ANAMNESA ................................................................................................ 8

C. PEMERIKSAAN FISIK ............................................................................. 10

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................................... 12

F. DIAGNOSIS ............................................................................................... 13

G. PROGNOSIS .............................................................................................. 13

H. PENATALAKSANAAN ............................................................................ 13

BAB III ............................................................................................................. 16


TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 16
A. DEFINISI .................................................................................................... 16

B. ETIOLOGI .................................................................................................. 16

C. KLASIFIKASI ............................................................................................ 17

D. PATOGENESIS.......................................................................................... 17

E. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETUBAN PECAH


DINI (KPD) ....................................................................................................... 24

F. GEJALA KLINIS ....................................................................................... 28

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS ..................................................................... 28

H. PENATALAKSANAAN ............................................................................ 30
I. PROGNOSIS .............................................................................................. 38

J. KOMPLIKASI ............................................................................................ 38

BAB IV ............................................................................................................. 40
PEMBAHASAN ............................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 42
BAB I

PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini (KPD) atau Premature Rupture of Membranes (PROM)


merupakan masalah penting dalam obstetri karena berkaitan dengan komplikasi
kelahiran yang berupa prematuritas dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai
sepsis dengan dampak meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan
maternal. Ketuban pecah dini didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban
sebelum terjadinya persalinan. Disebut KPD aterm atau premature rupture of
membranes (PROM) jika usia kehamilan lebih dari 37 minggu dan KPD preterm atau
preterm premature rupture of membran (PPROM) jika usia kehamilan kurang dari 37
minggu (Cuningham et al, 2014).
Menurut Journal of Health Sciences Management and Public Health 2006,
angka kejadian dari KPD bervariasi antara 4% - 14% dengan 30% - 40% kasus adalah
preterm (Rangaswamy, 2014). PPROM hanya terjadi pada 2% kehamilan, tetapi
dapat menyebabkan 40% kelahiran preterm yang berefek pada morbiditas dan
mortalitas neonatus. Penyebab tersering kematian neonatus yang berhubungan dengan
PPROM adalah prematuritas, sepsis, dan hipoplasia pulmoner (Muflikha, 2016).
PPROM terjadi < 1 % pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu, sekitar 2% - 5%
pada usia kehamilan 24 – 33 minggu, 3% - 8% pada usia kehamilan 34 – 36 minggu.
KPD preterm berhubungan sekitar 18-20% dengan kematian perinatal di Amerika
Serikat (Anna et al., 2007).
Prevalensi dari KPD di Indonesia cukup besar dan meningkat sehingga
memerlukan perhatian yang lebih besar. Kejadian ketuban pecah dini aterm terjadi
pada sekitar 6,46-15,6% kehamilan aterm dan PROM terjadi pada terjadi pada sekitar
2-3% dari semua kehamilan tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar (Mercer,
Crocker, Pierce, 2016). Sekitar 1/3 dari perempuan yang mengalami KPD preterm
akan mengalami infeksi yang berpotensi berat, bahkan fetus/neonatus akan berada
pada risiko morbiditas dan mortalitas terkait KPD preterm yang lebih besar dibanding
ibunya, hingga 47,9% bayi mengalami kematian. Komplikasi umum yang terjadi
pada KPD antara lain persalinan prematur, infeksi perinatal dan kompresi tali pusat in
utero (Anna et al, 2007).
Manajemen dari ketuban pecah dini bergantung pada pengetahuan mengenai
usia kehamilan dan penilaian risiko relatif persalinan preterm dibandingkan dengan
manajemen ekspetatif. Pada praktiknya masih ditemukan banyaknya variasi dari tata
laksana ketuban pecah dini. Dengan bertambahnya ilmu pengetahuan diharapkan
adanya pendekatan penatalaksanaan yang sistematis dan berbasis bukti agar luaran
persalinan menjadi lebih baik.
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Identitas pasien Identitas suami/Orangtua
Nama : Ny. R Nama : Tn. A
Usia : 21 tahun Usia : 22 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Swasta
Alamat : Porontokusuman, Alamat : Porontokusuman,
Yogyakarta Yogyakarta
B. ANAMNESA
a. Keluhan Utama
Pasien mengatakan perut pasien merasa kencang-kecang dan merasa
keluar cairan yang diduga air ketuban dari jalan lahir.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang perempuan usia 22 tahun G1P0A0 hamil 27 minggu 3 hari
datang ke RSUD Panembahan Senopati Bantul. Pasien merasa mulai
kencang-kencang dan keluar darah tanggal 25 Juni 2018, keluar lendir
darah tanggal 29 Juni 2018 dan merasa keluar air ketuban pada tanggal 30
Juni 2018. Pasien mengalami emesis/hiperemesis waktu usia kehamilan 1 –
2 bulan, pusing (-), mual (-).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
 Urologi : disangkal
 Kardiovaskuler : disangkal
 Saraf : disangkal
 Hipertensi : disangkal
 Diabetes Melitus : disangkal
 TBC : disangkal
 Asma : disangkal
 Penyakit kelamin/HIV AIDS : disangkal
*Riwayat alergi : makanan (-), obat (-), lain-lain (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Penyakit menular : TBC (-), HIV(-), Hepatitis (-), PMS(-), Lain-lain (-)
 Penyakit menurun : DM (-), Hipertensi (-), Jantung (-), epilepsy (-),
Gangguan jiwa (-), kelainan bawaan (-), hamil kembar (-), lain-lain (-)
e. Riwayat Menstruasi
 Menarche : 14 tahun.
 Siklus menstruasi : 28 hari, teratur.
 Lama menstruasi : 6 hari, teratur, encer.
 Flour Albus : warna putih, bau (-)
 HPHT : 20 Desember 2017
 HPL : 26 September 2018
 Disminore (-), Spoting (-), Menorargia (-), Metrorargia (-), PMS (-)
f. Riwayat Perkawinan
Pernikahan pertama, kawin pertama kali umur 20 tahun dengan suami
sekarang 7 bulan.
g. Riwayat Kontrasepsi
-
h. Riwayat Kehamilan
G1P0A0
No Tanggal Usia Jenis Penolong BBL JK
Lahir Kehamilan Persalinan
1 Hamil ini 27+2 mg - -
i. Riwayat ANC
6 kali di bidan dan dokter
 Trimester I : 2 kali di bidan
 Trimester II : 4 kali di dokter
 Trimester III : -
j. Riwayat Kebiasaan
 Pola makan: 3 kali/hari, terakhir makan jam 18.30 WIB
 Pola minum: 1500-2000 cc/hari
 Tidak ada pantangan makanan dan minuman
 BAK : 2-5x /hari , warna khas urin, jumlah banyak
 BAB : 1 kali/ 2 hari, konsistensi lembek, warna cokelat kuning
 Pola istirahat: tidur 7-9 jam/hari
 Psikososial: alkohol (-) merokok (-) jamu (-) obat-obatan herbal (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
 Keadaan umum : baik
 Kesadaran : compos mentis
 Vital sign :
TD : 100/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,5 ˚C
 Status antropometri : TB : 161 cm, BB : 67 kg, LLA : 23 cm.
 Kulit : kuning, turgor baik.
 Kepala :
o Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pandangan kabur (-/-)
o Wajah : simetris, parese (-)
o Mulut : oral higiene baik, stomatitis (-), hiperemi faring(-),
pembesaran tonsil (-)
 Leher : trakhea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran
KGB (-)
 Thoraks :
o Paru :
 Inspeksi : Mamae simetris (+/+), Hiperpigmentasi areola (+/+),
Puting susu menonjol (+/+), Colostrum (-/-), pergerakan
pernapasan simetris tipe pernapasan thorako abdominal,
retraksi costa (-/-)
 Palpasi : teraba massa abnormal (-/-) pembesaran kelenjar
axila (-/-)
 Perkusi : sonor (+/+)
 Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
o Jantung :
 Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : thrill -/-
 Perkusi : batas jantung normal
 Auskultasi : suara jantung S1/S2 tunggal reguler
 Abdomen :
o Auskultasi : bising usus (+) normal, DJJ : 148x/menit, teratur.
Pergerakan janin > 10 kali dalam 24 jam terakhir.
o Inspeksi : Pembesaran perut membujur, Strie livide (-), Strie
albican (-), Linea alba (-) Linea nigra (-) Bekas operasi (-)
o Palpasi : TFU : 23 cm, punggung kanan, presentasi bokong
 Ekstremitas : Edema (-), akral hangat.
Pemeriksaan Ginekologi
Pada pemeriksaan Ginekologi didapatkan vulva dan uretra tenang, dinding
vagina licin, terdapat portio tebal lunak, pembukaan 0 cm, lendir darah (-), air
ketuban (+)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan UltraSonography
Janin tunggal, memanjang, presentasi bokong, DJJ (+), gerak janin (+),
plasenta fundus, Ak sedikit (AFI 2,91).
 Laboratorium (01.07.2018)

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan


Hematologi
Hemoglobin 11.6 12.0 – 16.0 g/dl
Leukosit 16.66 4.00 - 11.00 10⌃3/uL
Eritrosit 4.36 4.00 – 5.00 10^6/uL
Trombosit 194 150 – 450 10⌃3/uL
Hematokrit 34.4 36.0 – 46.0 Vol%
Golongan drah B
Hitung Jenis
Eosinofil 0 2- 4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 90 51 - 67 %
Limfosit 8 20 - 35 %
Monosit 2 4-8 %
Hemostatis
PPT 12.6 12.0-16.00 detik
APTT 36.1 28.0-38.0 detik
Control PPT 13.6 11.0-16.0 detik
Control APTT 30.6 28.0-36.5 detik
Fungsi Hati
SGOT 29 <31 U/L
SGPT 11 <31 U/l
Protein Total 6.52 6.2-8.4 g/dl
Albumin 4.18 3.50-5.50 g/dl
Globulin 2.89 2.80-3.20 g/dl
Fungsi Ginjal
Ureum 19 17-43 mg/dl
Creatinin 0.80 0.60-1.10 mg/dl
Diabetes
GDS 103 80 – 200 mg/dl
Sero-Imunologi
HBsAg Negatip Negatip
HIV Screening Non-reaktip Non-reaktip

E. DIAGNOSIS
PPROM, G1P0A0 hamil 27+3 minggu bdp

F. PROGNOSIS
Dubia
G. PENATALAKSANAAN
- Manajemen konservatif
- Obervasi KU/VT/DJJ/His/tanda-tanda chorioamnionitis
H. Follow Up

Tanggal Follow Up
1 Juli 2018 S : air ketuban merembes sejak tanggal 30 Juni 2018
07.00 pukul 19.00, pasien merasakan kenceng-kenceng
jarang
O : KU Baik, sadar
TD : 110/70, n : 88x/menit, R : 21x/menit, t : 37,3oC
DJJ : 130x/menit, His (-)
USG : janin tunggal, memanjang, presentasi bokong, DJJ
(+), gerakan janin (+), plasenta di fundus, Ak sedikit
(AFI : 291 cm) EFW : 1037 gram.
Pemeriksaan dalam : pembukaan serviks (-), serviks
lunak di posterior, LD (-), Ak (+), tidak teraba bagian
janin.
A : PPROM 12 jam, G1P0A0, hamil 27 + 4 minggu, bdp
P:
- Inj. Dexamethasone 1A/12jam/IV
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
- Nifedipine 3 x 10 mg
- Lapor dr. Erick Sp. OG, acc Dx Tx, cari rujukan ke
RS Sarjito
2 Juli 2018 S : Ibu merasakan kencang-kencang (+), ketuban masih
13.00 merembes.
O : KU baik, sadar
TD : 120/70 mmHg, n : 84x/menit, R : 19x/menit, t :
36,7oC
DJJ : 138x/menit, His (-)
A : PPROM, G1P0A0 hamil 27+5 minggu
P:
- Inj. Dexamethasone 1A/12 jam/IV
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam/IV
- Nifedipin 3 x 10 mg
3 Juli 2018 S : Ibu masih merasakan air ketuban merembes, kenceng-
13.00 kenceng (+)
O : KU baik, sadar
TD : 110/70 mmHg, N : 76x/menit, R : 20x/menit, t :
36,8oC
Ak (+), DJJ : 152x/menit, His (-)
A : PPROM, G1P0A0 uk 27+6 minggu
P:
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- Nifedipin 3 x 10 mg
- Rujuk RS Sarjito – amnioinfusion
4 Juli 2018 S : Air ketuban merembes, kencang-kencang (-)
07.00 O : KU baik, sadar
TD : 110/70 mmHg, N : 80x/menit, R : 22x/menit, t :
36,9oC
His (-), DJJ 140x/menit
A : PPROM, G1P0A0 hamil 28 minggu
P:
- Cefadroxil 2 x 500 mg
- Nifedipin 3 x 10 mg
- Rujuk RS Sarjito (amnioinfusion)
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Ketuban pecah dini (Premature Rupture of Membrane/PROM) terjadi
pada ibu hamil dengan usia kehamilan lebih dari 37 minggu yang ditandai
dengan pecahnya ketuban sebelum masuk awal persalinan. Sedangkan,
ketuban pecah dini preterm atau preterm premature ruptur of the membrane
(PPROM) terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Pecahnya
ketuban dibuktikan dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan tes ferning (+).
Definisi preterm bervariasi pada berbagai kepustakaan, namun yang paling
sering digunakan adalah persalinan kurang dari 37 minggu (Sarwono, 2010).
PPROM dibedakan menjadi PPROM < 24 minggu (previable
PPROM), 24 – 336/7 minggu (early PPROM) dan PPROM 34 – 36 6/7 minggu
(near term PPROM). Penelitian mengenai PPROM < 24 minggu (previable
PPROM) menghasilkan hasil yang bervariasi antar peneliti dikarenakan
kemajuan dalam perawatan intensif neonatal. Previable PPROM sangat erat
kaitannya dengan morbiditas dan mortalitas janin (Anna et al, 2007 ).

B. ETIOLOGI
Etiologi dari preterm premature rupture of the membranes (PPROM)
masih belum dapat diketahui dan ditentukan secara pasti. Beberapa peneliti
menyebutkan etiologi dari PPROM sangat kompleks dan multifaktor. Faktor
risiko yang menyebabkan ketuban pecah dini antara lain infeksi, degradasi
kolagen, trauma, ketegangan intrauterine, peningkatan tekanan intrauterine,
kematian sel amnion, korioamnionitis, faktor keturunan, riwayat KPD
sebelumnya, kelainan atau kerusakan selaput ketuban dan serviks yang pendek
(Anna et al, 2007).
Banyak penelitian membuktikan bahwa hubungan antara kejadian
PPROM dengan infeksi sangat kuat. Mikroorganisme seringkali ditemukan di
cairan ketuban. Pada penderita PPROM lebih banyak ditemukan
mikroorganisme dibandingan dengan persalinan preterm dengan ketuban yang
masih utuh. Selain itu, kejadian PPROM secara signifikan sering ditemukan
pada ibu hamil dengan infeksi saluran genital. Bakteri yang sering
menyebabkan kejadian ini antara lain, Streptococcus group-B dan bakteri
vaginosis. Bakteri pada saluran genital bawah memproduksi fosfolipase yang
dapat menstimulasi produksi prostaglandin yang selanjutnya dapat
menyebabkan kontraksi uterus. Selain itu, adanya bakteri di saluran genital
juga menyebabkan respon imun pada endoserviks dan/atau selaput janin yang
menyebabkan inflamasi multipel (terutama matriks metaloproteinase) yang
dapat melemahkan membran dan terjadi PPROM (Canavan et al, 2004).

C. KLASIFIKASI
PPROM dapat diklasifikan menjadi :
a. Very early PPROM (16 – 236/7 minggu)
b. Early PPROM (24 – 336/7 minggu )
c. Near-term PPROM (34 – 366/7 minggu)

D. PATOGENESIS
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada
daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban
inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh. Terdapat
keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriksekstraselular. Perubahan
struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen
berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Degradasi kolagen
dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh
inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan,
keseimbangan antara MMP dan tissue inhibitors metalloproteinase-1 (TIMP-
1) mengarah pada degradasi proteolitik dari matriksekstraselular dan membran
janin. Aktivitas degradasi proteolitik inimeningkat menjelang persalinan.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga
selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada
hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, serta gerakan janin.
Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput
ketuban sehingga pecahnya ketuban pada kehamilan aterm merupakan hal
fisiologis. Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm disebabkan oleh
adanya faktor-faktor eksternal misalnya infeksi yang menjalar dari vagina.
Disamping itu ketuban pecah dini preterm juga sering terjadi pada
polihidramnion, inkompeten servik, serta solusio plasenta.4 Banyak teori,
mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi. Pada sebagian
besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%). 4 Kolagen
terdapat pada lapisan kompakta ketuban, fibroblast, jaringan retikuler korion
dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan 12 kolagen dikontrol oleh
sistem aktifas dan inhibisi interleukin-1 (iL-1) dan prostaglandin. Jika ada
infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-1dan prostaglandin,
menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerasi kolagen
pada selaput korion/amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah dan mudah
pecah spontan.
1. Faktor infeksi
Infeksi intrauterin disebabkan oleh bakteri yang dianggap menjadi
penyebab utama infeksi terkait persalinan prematur. Rongga ketuban
biasanya steril dan atau dibawah 1% pada persalinan aterm terdapat
bakteri dalam cairan ketuban. Isolasi bakteri dalam cairan ketuban adalah
temuan patologis yang dikenal sebagai invasi mikroba dari rongga
amnion. Kebanyakan kolonisasi tersebut subklinis dan tidak terdeteksi
tanpa analisis cairan ketuban. Frekuensi tergantung pada presentasi klinis
dan usia kehamilan. Pada pasien dengan persalinan prematur dengan
membran utuh, didapatkan kultur bakteri pada cairan ketuban adalah
12,8%. Kemudian dilakukan pengukuran pada pasien tersebut pada saat
dimulai proses pengeluaran janin, frekuensi menjadi hampir dua kali lipat
(22%). Pada ketuban pecah dini preterm didapatkan kultur bakteri pada
cairan ketuban adalah 32,4%, dan kemudian dilakukan pengukuran
kembali pada saat dimulai proses pengeluaran janin menjadi 75%
(Agrawal, et al., 2011).
Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini sebesar 10-30%
melalui beberapa mekanisme. Beberapa flora-flora vagina seperti
Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus, Trichomonas vaginalis
mensekresi protease yang akan menyebabkan terjadinya degradasi
membran pada selaput ketuban dan akhirnya melemahkan selaput ketuban.
Respon terhadap infeksi berupa reaksi terjadinya reaksi inflamasi akan
merangsang produksi sitokin, MMP, dan prostaglandin oleh netrofil PMN
dan makrofag. IL-1, IL6, TNF-α yang diproduksi oleh monosit akan
meningkatkan aktivitas MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion (Dudley,
1997).
Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga merangsang produksi
prostaglandin oleh selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan
ketuban pecah dini preterm karena menyebabkan irritabilitas pada uterus
dan terjadi degradasi kolagen membran. Beberapa jenis bakteri tertentu
dapat menghasilkan fosfolipase A2 yang melepaskan prekursor
prostaglandin dari membran fosfolipid. Respon imunologis terhadap
infeksi juga menyebabkan produksi prostaglandin oleh sel korion akibat
perangsangan sitokin yang diproduksi oleh monosit. Sitokin juga terlibat
dalam induksi enzim Siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam
arakhidonat menjadi prostaglandin. Prostaglandin mengganggu sintesis
kolagen pada selaput ketuban dan meningkatkan aktivitas matriks MMP-1
dan MMP-3 (Ulug, 2001).

Gambar 1. Jalur Yang Berpotensial Terjadinya Infeksi Intra Uterine


(Goldenberg, et al, 2008)

Infeksi sistemik bisa berasal dari penyakit periodontal, pneumonia,


sepsis, prankreatis, pielonefritis, infeksi traktus genitalis, korioamnionitis
dan infeksi amnion semuanya berhubungan dengan terjadinya pecahnya
ketuban. Infeksi bakteri juga merangsang produksi prostaglandin, dimana
dapat meningkatkan risiko pecahnya selaput ketuban preterm yang
diakibatkan oleh degradasi dari selaput ketuban. Beberapa bakteri vaginal
menghasilkan fosfolipase A2, dimana fosfolipase A2 ini akan melepaskan
asam arakhidonat. Lebih lanjut, respon imun tubuh terhadap infeksi
bakteri akan meningkatkan produksi sitokin yang akan meningkatkan
produksi dari prostaglandin. Dimana sitokin ini juga akan meningkatkan
kadar MMP yang akan mengakibatkan degradasi kolagen dan akan
mengakibatkan pecahnya selaput ketuban (Goldenberg, et al., 2003).
2. Faktor nutrisi
Gangguan nutrisi seperti mikronutrien merupakan faktor predisposisi
adanya gangguan pada struktur kolagen. Asam askorbat yang berperan
dalam pembentukan struktur kolagen tripel heliks berhubungan dengan
pecahnya selaput ketuban. Zat tersebut kadarnya lebih rendah pada kasus
ketuban pecah dini (Chalis, 2005).
Asupan nutrisi ibu sebelum dan selama kehamilan dapat
mempengaruhi kondisi janin dan berpengaruh pada kejadian persalinan
prematur. Beberapa faktor yang berpotensi sebagai penyumbang risiko
persalinan prematur spontan antara lain rendahnya berat badan ibu
sebelum kehamilan, indeks massa tubuh, dan kenaikan berat badan semasa
kehamilan (Sabarudin, et al., 2011).
3. Faktor hormon
Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks
ektraseluler pada jaringan reprodruktif. Kedua hormon ini dapat
menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan
konsentrasi TiMP pada fibroblast serviks. Tingginya konsentrasi
progesteron menyebabkan penurunan produksi kolagenase. Hormon
relaxin diproduksi oleh sel desidua dan plasenta berfungsi mengatur
pembentukan jaringan ikat, dan mempunyai aktivitas yang berlawanan
dengan efek inhibisi oleh progesterone dan estradiol dengan meningkatkan
aktivitas MMP-3 dan MMP-9 dalam membran janin. Aktivitas hormon ini
meningkat sebelum persalinan pada selaput ketuban saat aterm
(Goldsmith, et al., 2005).
4. Faktor apoptosis
Apoptosis adalah istilah yang digunakan sebagai sinonim dari
proses kematian sel. Proses apoptosis sangat dipengaruhi oleh sinyal yang
berasal dari protein ekstraseluler dan intraseluler. Faktor ekstraseluler
sangat dipengaruhi oleh infeksi yang telah lama dikenal sebagai pencetus
ketuban pecah dini, sedangkan faktor intraseluler diperankan oleh p53
yang merupakan suatu protein yang berperan dalam apoptosis intraseluler
melalui pengaktifan protein bax yang memacu pelepasan sitokrom c.
Fungsi normal p53 adalah sebagai penjaga proteinom. Pada keadaan
dimana jumlah p53 rendah maka p53 akan berperan ebagai penjaga sel,
sedangkan dalam jumlah banyak akan menyebabkan pengaktifan
apoptosis ( Suhaimi, 2012). Kadar p53 pada selaput amnion lebih tinggi
pada kehamilan dengan ketuban pecah dini dibandingkan dengan
kehamilan normal. Kadar p53 > 0,97 U/ml berisiko lebih dari 30 kali
menyebabkan ketuban pecah dini ( Suhaimi, 2012)
Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi
perubahan kimia yang menyebabkan selaput ketuban rapuh pada bagian
tertentu saja, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh. Pada ketuban
pecah dini aterm ditemukan sel-sel yang mengalami kematian sel
terprogram (apaptosis) di amnion dan korion terutama disekitar robekan
pada selaput ketuban. Pada kasus koriomnionitis terlihat sel-sel yang
mengalami apaptosis akan melekat dengan granulosit, kemudian
menunjukkan terjadinya respon-respon imunologis mempercepat
terjadinya kematian sel. Kematian sel terprogram terjadi setelah proses
degradasi matriks ektraseluler dimulai (Soewarto, 2010).
Proses apoptosis dipercepat pada terjadinya robekan selaput
ketuban pada kehamilan dengan ketuban pecah dini baik melalui jalur
caspase-dependent dan caspase independent, dapat dilihat untuk jalur
caspase-dependent dengan memeriksa eksekutor utama apoptosis yaitu
caspase-3 dan jalur caspase independent dengan parameter endonuclease-
G, hal ini disebabkan faktor endonuclease- G ini muncul paling awal dan
dominan sebagai bentuk respons adanya apoptosis melalui caspase-
independent (Prabantoro, et al., 2011).
5. Faktor mekanis
Peregangan secara mekanis akan merangsang beberapa faktor
diselaput ketuban seperti MMP-1 pada membran. IL-6 yang diproduksi
dari sel amnion dan korion bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan
merangsang aktivitas kolagenase. Hal-hal tersebut akan menyebabkan
terganggunya keseimbangan proses sintesis dan degradasi matriks
ekstraseluler yang akhirnya menyebabkan pecahnya selaput ketuban
(Heaps, et al., 2005).
Degradasi kolagen dimediasi oleh MMP yang dihambat oleh
inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Pecahnya selaput
ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput ketuban
karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya regang ini
dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen
matriks ekstraseluler pada selaput ketuban. Pada ketuban pecah dini
terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan jumlah jaringan kolagen,
serta peningkatan aktivitas kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut
terutama disebabkan oleh MMP (Heaps, et al., 2005).
MMP ini merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah
komponen-komponen matriks ekstraseluler. Enzim tersebut diproduksi
dalam selaput ketuban. MMP-1 dan MMP-8 berperan pada pembelahan
tripel heliks dari kolagen fibrin (tipe I dan III), dan selanjutnya
didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga memecah kolagen tipe
IV. Pada selaput ketuban juga diproduksi penghambat MMP / TIMP.
TIMP-1 menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai
aktivitas yang sama dengan TIMP-1 (Heaps, et al., 2005)
Lapisan dalam amnion merupakan mikrovili yang berfungsi
mentransfer cairan dan metabolik. Lapisan ini menghasilkan zat
penghambat MMP-1. Sel mesenkim berfungsi menghasilkan kolagen
sehingga menjadi lentur dan kuat. Disamping itu, selaput amnion
menghasilkan sitokin IL-6, IL-8, MCP-1 (Monocyte Chemoattractant
Protein-1), zat ini bermanfaat untuk melawan bakteri. Di samping itu,
selaput amnion menghasilkan zat vasoaktif seperti Endothelin-1
(Vasokonstriktor), dan PHRP (Parathyroid Hormone Related Protein)
suatu vasorelaxan. Dengan demikian, selaput amnion mengatur peredaran
darah dan tonus pembuluh lokal (Cunningham, 2010).

E. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETUBAN PECAH


DINI (KPD)
Menurut Morgan (2009), Kejadian Pecah Dini (KPD) dapat disebabkan
oleh beberapa faktor meliputi

a. Usia
Karakteristik pada ibu berdasarkan usia sangat berpengaruh
terhadap kesiapan ibu selama kehamilan maupun menghadapi persalinan
(Julianti, 2001). Usia untuk reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah
antara umur 20-35 tahun. Di bawah atau di atas usia tersebut akan
meningkatkan resiko kehamilan dan persalinan (Depkes, 2003). Usia
seseorang sedemikian besarnya akan mempengaruhi sistem reproduksi,
karena organ-organ reproduksinya sudah mulai berkurang
kemampuannya dan keelastisannya dalam menerima kehamilan.
b. Paritas
Paritas adalah banyaknya anak yang dilahirkan oleh ibu dari anak
pertama sampai dengan anak terakhir. Adapun pembagian paritas yaitu
primipara, multipara, dan grande multipara. Primipara adalah seorang
wanita yang baru pertama kali melahirkan dimana janin mancapai usia
kehamilan 28 minggu atau lebih. Multipara adalah seorang wanita yang
telah mengalami kehamilan dengan usia kehamilan minimal 28 minggu
dan telah melahirkanbuah kehamilanya 2 kali atau lebih. Sedangkan
grande multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami hamil
dengan usia kehamilan minimal 28 minggu dan telah melahirkan buah
kehamilannya lebih dari 5 kali (Wikjosastro, 2007). Wanita yang telah
melahirkan beberapa kali dan pernah mengalami KPD pada kehamilan
sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat diyakini lebih
beresiko akan mengalami KPD pada kehamilan berikutnya (Helen, 2008).
c. Anemia
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi.
Jika persediaan zat besi minimal, maka setiap kehamilan akan
mengurangi persediaan zat besi tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia.
Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami
hemodelusi atau pengenceran dengan peningkatan volume 30% sampai
40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Pada ibu
hamil yang mengalami anemia biasanya ditemukan ciri-ciri lemas, pucat,
cepat lelah, mata berkunang-kunang. Pemeriksaan darah dilakukan
minimal dua kali selama kehamilan yaitu pada trimester pertama dan
trimester ke tiga.
Dampak anemia pada janin antara lain abortus, terjadi kematian
intrauterin, prematuritas, berat badan lahir rendah, cacat bawaan dan
mudah infeksi. Pada ibu, saat kehamilan dapat mengakibatkan abortus,
persalinan prematuritas, ancaman dekompensasikordis dan ketuban pecah
dini. Pada saat persalinan dapat mengakibatkan gangguan his, retensio
plasenta dan perdarahan post partum karena atonia uteri (Manuaba,
2009). Menurut Depkes RI (2005), bahwa anemia berdasarkan hasil
pemeriksaan dapat digolongkan menjadi (1) HB > 11 gr %, tidak anemia,
(2) 9-10 gr % anemia sedang, (3) < 8 gr % anemia berat.
d. Perilaku Merokok
Kebiasaan merokok atau lingkungan dengan rokok yang intensitas
tinggi dapat berpengaruh pada kondisi ibu hamil. Rokok mengandung
lebih dari 2.500 zat kimia yang teridentifikasi termasuk
karbonmonoksida, amonia, aseton, sianida hidrogen, dan lain-lain.
Merokok pada masa kehamilan dapat menyebabkan gangguan-gangguan
seperti kehamilan ektopik, ketuban pecah dini, dan resiko lahir mati yang
lebih tinggi (Sinclair, 2003).
e. Riwayat KPD
Pengalaman yang pernah dialami oleh ibu bersalin dengan kejadian
KPD dapat berpengaruh besar pada ibu jika menghadapi kondisi
kehamilan. Riwayat KPD sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami
ketuban pecah dini kembali. Patogenesis terjadinya KPD secara singkat
ialah akibat penurunan kandungan kolagen dalam membran sehingga
memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah preterm. Wanita
yang pernah mengalami KPD pada kehamilan atau menjelang persalinan
maka pada kehamilan berikutnya akan lebih beresiko dari pada wanita
yang tidak pernah mengalami KPD sebelumnya karena komposisi
membran yang menjadi rapuh dan kandungan kolagen yang semakin
menurun pada kehamilan berikutnya (Helen, 2008).
f. Serviks yang inkompetensik
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada
otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah,
sehingga sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak
mampu menahan desakan janin yang semakin besar. Inkompetensia
serviks adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata,
disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan
suatu kelainan kongenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya
dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan
trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan
dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi (Manuaba,
2009).
g. Tekanan intra uterm yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya :
1) Trauma; berupa hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
2) Gemelli
Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada
kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini
terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan
kantung (selaput ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian bawah
tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis
dan mudah pecah (Saifudin.2002)
F. GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala pada kehamilan yang mengalami KPD adalah keluarnya
cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan
tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau
menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan
berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila
anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya
mengganjal atau menyumbat kebocoran untuksementara. Demam, bercak
vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat
merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi (Manuaba, 2009).

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan KPD aterm
harus meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan
presentasi janin, dan penilaian kesejahteraan maternal dan fetal. Tidak semua
pemeriksaan penunjang terbukti signifikan sebagai penanda yang baik dan
dapat memperbaiki luaran. Oleh karena itu, akan dibahas mana pemeriksaan
yang perlu dilakukan dan mana yang tidak cukup bukti untuk perlu dilakukan.
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan spekulum).
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnesis pasien dan
visualisasi adanya cairan amnion pada pemeriksaan fisik. Dari anamnesis
perlu diketahui waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi
dan taksiran persalinan, riwayat KPD aterm sebelumnya, dan faktor
risikonya. Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa
indikasi sebaiknya dihindari karena hal ini akan meningkatkan risiko
infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi terlebih dahulu
dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan steril dan sebaiknya tidak
menyentuh serviks. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk menilai
adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian terbawah janin
(pada presentasi bukan kepala); menilai dilatasi dan pendataran serviks,
mendapatkan sampel dan mendiagnosis KPD aterm secara visual. Dilatasi
serviks dan ada atau tidaknya prolaps tali pusat harus diperhatikan dengan
baik. Jika terdapat kecurigaan adanya sepsis, ambil dua swab dari serviks
(satu sediaan dikeringkan untuk diwarnai dengan pewarnaan gram, bahan
lainnya diletakkan di medium transport untuk dikultur. Jika cairan amnion
jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan lagi pemeriksaan
lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak dapat
dikonfirmasi, lakukan tes pH dari forniks posterior vagina (pH cairan
amnion biasanya ~ 7.1-7.3 sedangkan sekret vagina ~ 4.5 - 6) dan cari
arborization of fluid dari forniks posterior vagina. Jika tidak terlihat
adanya aliran cairan amnion, pasien tersebut dapat dipulangkan dari
rumah sakit, kecuali jika terdapat kecurigaan yang kuat ketuban pecah
dini.
2. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk
menilai indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau
indeks cairan amnion yang berkurang tanpa adanya abnormalitas ginjal
janin dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat (PJT) maka
kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar, walaupun normalnya
volume cairan ketuban tidak menyingkirkan diagnosis. Selain itu USG
dapat digunakan untuk menilai taksiran berat janin, usia gestasi dan
presentasi janin, dan kelainan kongenital janin.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk
menyingkirkan kemungkinan lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/
perineum. Jika diagnosis KPD aterm masih belum jelas setelah menjalani
pemeriksaan fisik, tes nitrazin dan tes fern, dapat dipertimbangkan.
Pemeriksaan seperti insulin-like growth factor binding protein 1(IGFBP-
1) sebagai penanda dari persalinan preterm, kebocoran cairan amnion,
atau infeksi vagina terbukti memiliki sensitivitas yang rendah. Penanda
tersebut juga dapat dipengaruhi dengan konsumsi alkohol. Selain itu,
pemeriksaan lain seperti pemeriksaan darah ibu dan CRP pada cairan
vagina tidak memprediksi infeksi neonatus pada KPD preterm (Torbe et
al, 2010)

H. PENATALAKSANAAN
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas
dan morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena
infeksi atau akibat kelahiran preterm pada kehamilan dibawah 37 minggu.
Prinsipnya penatalaksanaan ini diawali dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan beberapa pemeriksaan penunjang yang mencurigai tanda-tanda KPD.
Setelah mendapatkan diagnosis pasti, dokter kemudian melakukan
penatalaksanaan berdasarkan usia gestasi. Hal ini berkaitan dengan proses
kematangan organ janin, dan bagaimana morbiditas dan mortalitas apabila
dilakukan persalinan maupun tokolisis.

Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu


manajemen aktif dan ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah penanganan
dengan pendekatan tanpa intervensi, sementara manajemen aktif melibatkan
klinisi untuk lebih aktif mengintervensi persalinan.
a. Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm
didapatkan bahwa morbiditas minor neonatus seperti hiperbilirubinemia
dan takipnea transien lebih besar apabila ibu melahirkan pada usia tersebut
dibanding pada kelompok usia lahir 36 minggu. Morbiditas mayor seperti
sindroma distress pernapasan dan perdarahan intraventrikular tidak secara
signifikan berbeda (level of evidence III). Pada saat ini, penelitian
menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan adalah pilihan yang
lebih baik. (Lieman JM, 2005)
b. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 24 - 34 minggu. Pada usia kehamilan
antara 24-34 minggu, persalinan lebih baik daripada mempertahankan
kehamilan dalam menurunkan insiden korioamnionitis secara signifikan
(p<0,05, level of evidence 1b). Tetapi tidak ada perbedaan signifikan
berdasarkan morbiditas neonatus. Pada saat ini, penelitian menunjukkan
bahwa persalinan lebih baik dibanding mempertahankan kehamilan
(Mercer, 2003).
c. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 34 – 38 minggu. Pada usia kehamilan
lebih dari 34 minggu, mempertahankan kehamilan akan meningkatkan
resiko korioamnionitis dan sepsis (level of evidence Ib). Tidak ada
perbedaan signifikan terhadap kejadian respiratory distress sydnrome.
Pada saat ini, penelitan menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan
lebih buruk dibanding melakukan persalinan.

Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm.


Dibuktikan dengan 22 uji meliputi lebih dari 6000 wanita yang mengalami
KPD preterm, yang telah dilakukan meta-analisis (level of evidence Ia).
Terdapat penurunan signifikan dari korioamnionitis (RR 0,57;95% CI 0,37-
0,86), jumlah bayi yang lahir dalam 48 jam setelah KPD` (RR 0,71; 95%
0,58-0,87), jumlah bayi yang lahir dalam 7 hari setelah KPD (RR 0,80; 95%
ci 0,71-0,90), infeksi neonatal (rr 0,68;95% ci 0,53-0,87), dan jumlah bayi
dengan USG otak yang abnormal setelah keluar dari RS (rr 0,82; 95% ci 0,68-
0,98). Sehingga dapat disimpulkan bahwa administrasi antibiotik mengurangi
morbiditas maternal dan neonatal dengan menunda kelahiran yang akan
memberi cukup waktu untuk profilaksis dengan kortikosteroid prenatal.
Pemberian co-amoxiclav pada prenatal dapat menyebabkan neonatal
necrotizing enterocolitis sehingga antibiotik ini tidak disarankan. Pemberian
eritromisin atau penisilin adalah pilihan terbaik.14 Pemberian antibiotik dapat
dipertimbangkan digunakan bila KPD memanjang (> 24 jam).

MEDIKAMENTOSA D R FREKUENSI
Benzilpenisilin 1,2 gram IV Setiap 4 jam
Klindamisin (jika 600 mg IV Setiap 8 jam
sensitif penisilin)

Jika pasien datang dengan KPD >24 jam, pasien sebaiknya tetap dalam
perawatan sampai berada dalam fase aktif. Penggunaan antibiotik IV sesuai
dengan tabel di atas.

Dibandingkan dengan plasebo, pemberian antibiotik pada wanita dengan


PPROM memberikan keuntungan yang besar untuk ibu dan neonatus. Antibiotik
harus rutin diberikan, keuntungan dari pemberian antibiotik adalah:

- Penurunan angka kejadian korioamnionitis sampai 43%


- Penurunan kejadian RDS dan NEC dengan pemberian ampicillin dan
eritromisin.
- Perpanjangan masa kehamilan.

Pemberian ampicilin dan eritromicin atau eritromicin saja memberikan


keuntungan yang signifikan pada kesejahteraan janin. Antibiotik harus diberikan
secara rutin pada wanita dengan PPROM usia gestasi 24 – 34 minggu.
Kombinasi dari pemberian ampicillin 2gr dan erythromycin 250mg per intravena
setiap 6 jam selama 24 jam, dilanjutkan dengan amoxicillin 250mg dan
erythromicin basal 333mg per oral setiap 8 jam selama 5 hari pada wanita dengan
PPROM tanpa pemberian steroid menunjukan hasil yang signifikan dengan
mengurangi komplikasi (kematian, RDS, sepsis, IVH, NEC) dari 53% menjadi
44%. Dibandingkan dengan plasebo, pemberian erythromicin 250mg per oral 4
kali dalam sehari selama 10 hari dapat menurunkan kematian bayi, penyakit paru
kronis, dan abnormalitas serebral mayor.

Apabila sudah terdiagnosis sebagai korioamnionitis, perlu diberikan


antibiotik teraupetik, contohnya ampicillin (2gr/6jam/IV) ditambahkan
gentamicin (1,5mg/kgBB /8 jam/ IV atau 7mg/kgBB /24 jam). Untuk persalinan
sectio cesarean diperlukan pemberian antibiotik sebagai profilaksis. Profilaksis
Group-B Streptococcal sebaiknya diberikan sampai hasil kultur bakteri keluar.
Regimen yang direkomendasikan adalah penicillin, ampicillin (2gr IV
dilanjutkan 1gr/4 jam).

Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita dengan KPD preterm telah


dibuktikan manfaatnya dari 15 RCT yang meliputi 1400 wanita dengan KPD dan
telah disertakan dalam suatu metaanalisis. Kortikosteroid antenatal dapat
menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RR 0,56; 95% CI 0,46-0,70),
perdarahan intraventrikkular (RR 0,47; 95% CI 0,31-0,70) dan enterokolitis
nekrotikan (RR 0,21; 95% CI 0,05-0,82), dan mungkin dapat menurunkan
kematian neonatus (RR0,68; 95% ci 0,43-1,07)15 Pemberian steroid perlu
dilakukan pada wanita dengaan PPROM usia gestasi 24-32 minggu. Pemberian
steroid dapat menurunkan komplikasi pada neonatus. Angka kejadian RDS
mengalami penurunan sampe 44%, IVH 53%, NEC 79%, dan 32% untuk
kematian neonatal. Penurunan komplikasi ini tanpa disertai dengan peningkatan
infeksi maternal atau neonatal. Kortikosteroid yang dapat diberikan antara lain :
Betamethasone 12 – 24 mg/24 jam/IM, Dexamethasone 6mg/6jam/IM. The
National Institutes of Health (NIH) merekomendasikan pemberian kortikosteroid
pada usia keahamilan < 32 minggu. Tetapi apabila kematangan paru janin tidak
dapat dikonfirmasi pada PPROM usia kehamilan 32-34 minggu, kortikosteroid
harus diberikan.

Tokolisis pada kejadian KPD preterm tidak direkomendasikan. Tiga uji


teracak 235 pasien dengan KPD preterm melaporkan bahwa proporsi wanita yang
tidak melahirkan 10 hari setelah ketuban pecah dini tidak lebih besar secara
signifikan pada kelompok yang menerima tokolisis (levels of evidence Ib).

Perempuan dengan infeksi HSV yang aktif atau HIV dengan viral load > 1000
memerlukan penatalaksanaan yang khusus, terutama jika PPROM terjadi pada
usia kehamilan lebih dari 32 minggu.

Semua ibu hamil dengan PPROM harus selalu dipantau tanda dan gejala
infeksi dengan melakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan antara pemeriksaan tanda vital (suhu, nadi, respirasi, tekanan darah),
denyut jantung janin, kontraksi uterus dan discharge vagina. Adanya demam yang
tidak diketahui penyebabnya besar kemungkinan terjadinya korioamnionitis jika
ibu mengalami PPROM.

Untuk menilai kesejahteraan janin dapat digunakan NST atau biophysical


profile (BPP). Abnnormalitas pada tes ini dapat memprediksi infeksi pada fetus
dan kompresi tali pusat yang berhubungan dengan oligohidramnion. NST dan
BPP mempunyai sensitifitas yang rendah (39% dan 25%). NST lebih sering
digunakan karena lebih murah. Perlu monitoring yang lebih pada
oligohidramnion, lakukan pemeriksaan BPP jika hasil NST meragukan.

Pemberian amnioinfusi transabdominal dengan jarum 20G untuk 250ml NaCl


cukup mengembalikan AFI menjadi normal kembali pada wanita dengan PPROM
dengan usia gestasi 24 – 326/7 minggu. Selain itu, pemberian amnioinfusi juga
dapat menurunkan angka kelahiran dalam 7 hari dari 64% sampai 11% dalam
studi kecil. Namun, amnioinfusi tidak terbukti mencegah hipoplasia pulmoner.
Pemberian vitamin C dan vitamin E tidak menunjukkan efek yang signifikan.
Dalam studi sederhana, dibandingkan dengan plasebo, vitamin C 500 mg dan
vitamin E 400 IU perhari diberikan pada wanita dengan PPROM 26 – 34 minggu
tidak menunjukkan efek yang berarti terkait morbiditas dan mortalitas ibu dan
janin.

Terminasi sebelum 32 minggu berhubungan dengan risiko komplikasi pada


neonatal, termasuk peningkatan morbiditas dan kematian. Manajemen konservatif
lebih memungkinkan untuk dilakukan. Sedangkan pada usia kehamilan lebih dari
34 minggu, penatalaksanaan menggunakan manajemen ekspektatif tidak
menunjukkan pengaruh yang signifikan dan meningkatkan infeksi maternal. Pada
usia kehamilan 32 – 37 minggu dengan paru janin yang sudah matang, sebaiknya
dilakukan terminasi.

Tabel 2. Medikamentosa yang digunakan pada KPD

MAGNESIUM SULFAT IV:


Magnesium
Bolus 6 gram selama 40 menit
Untuk efek neuroproteksi pada
dilanjutkan infus 2 gram/ jam
PPROM < 31 minggu bila
untuk dosis pemeliharaan sampai
persalinan diperkirakan dalam
persalinan atau sampai 12 jam
waktu 24 jam
terapi
BETAMETHASONE:
Kortikosteroid 12 mg IM setiap 24 jam dikali
untuk menurunkan risiko 2 dosis Jika Betamethasone tidak
sindrom distress pernapasan tersedia, gunakan deksamethason
6 mg IM setiap 12 jam
Antibiotik AMPICILLIN
Untuk memperlama masa laten 2 gram IV setiap 6 jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48
jam, dikali 4 dosis diikuti dengan
AMOXICILLIN
250 mg PO setiap 8 jam selama 5
hari dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama 5
hari, jika alergi ringan dengan
penisilin, dapat digunakan:
CEFAZOLIN
1 gram IV setiap 8 jam selama 48
jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48
jam diikuti dengan :
CEPHALEXIN
500 mg PO setiap 6 jam selama 5
hari dan
ERYTHROMYCIN
333 mg PO setiap 8 jam selama
hari Jika alergi berat penisilin,
dapat diberikan
VANCOMYCIN
1 gram IV setiap 12 jam selama 48
jam dan
ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48
jam diikuti dengan
CLINDAMYCIN
300 mg PO setiap 8 jam selama 5
hari
Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Lee et al pada tahun 2016
menunjukkan hasil bahwa ceftriaxone, clarithromycin, dan metronidazole
lebih efektif digunakan dibandingkan dengan ampicillin pada pasien PPROM
(Lee et al, 2016).

I. PROGNOSIS
Prognosis dari KPD tergantung dari cara penatalaksanaan, komplikasi

yang ditimbulkan, dan umur kehamilan ibu. Semakin muda usia kehamilan

maka prognosis KPD terutama pada janin semakin buruk. Prognosis pada

janin yaitu kelahiran premature yang berhubungan dengan risiko kecacatan

dan kematian janin (Mochtar, 2011).

J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini tergantung dari usia
kehamilan. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain, persalinan prematur,
RDS (respiratory distress syndrome), korioamnionitis, abruptio plasenta,
antepartum fetal death, dan lain lain. 50% dari kejadian persalinan prematur
terjadi dalam 24 jam dan 80-90% terjadi dalam 7 hari setelah pecahnya
ketuban. Persalinan prematur dan komplikasi dari prematuritas adalah
penyebab paling besar dari mortalitas dan morbiditas dari ibu dan janin.
Komplikasi berkurang seiring dengan bertambahnya usia gestasi.

Morbiditas neonatus yang paling umum terjadi adalah respiratory distress


syndrome (RDS), intraventricular hemorrhage (IVH), periventricular
leukomalacia (PVL), infeksi dan necrotizing enterocolitis (NEC). Infeksi pada
neonatus terjadi sekitar 5% dari PPROM dan 15-20% kasus berkembang
menjadi korioamnionitis (Anna et al, 2007).

Pada ibu hamil yang mengalami kejadian ketuban pecah dini dikarenakan
oleh infeksi dapat menyebabkan ibu menderita korioamnionitis, endometritis
dan sepsis. Angka kejadian dari korioamnionitis sekitar 3-15%. Ibu yang
terkena korioamnionitis dapat menyebabkan infeksi pada serebral dan paru
neonatus (Meller et al, 2018).

Komplikasi lain yang dapat terjadi akibat dari ketuban pecah dini adalah
abruptio plasenta, kematian perinatal, hipoplasi pulmonal, peningkatan sectio
cesarean dan retensi plasenta. Komplikasi tersebut lebih umum terjadi pada
early dan very early PPROM.

Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat


hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya
gawat janin dan derajat oligohidramnon, semakin sedikit air ketuban janin akan
semakin gawat.
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang perempuan usia 22 tahun G1P0A0 hamil 27 minggu 3 hari datang


ke RSUD Panembahan Senopati Bantul dengan keluhan perut terasa kencang-
kencang dan tiba-tiba merasa keluar cairan banyak dari jalan lahir yang diduga air
ketuban. Pasien merasa mulai kencang-kencang dan keluar darah tanggal 25 Juni
2018, keluar lendir darah tanggal 29 Juni 2018 dan merasa keluar air ketuban
pada tanggal 30 Juni 2018 (12 jam). Pasien mengalami emesis/hiperemesis waktu
usia kehamilan 1 – 2 bulan, pusing (-), mual (-), DJJ 148x/menit, nitrazin test (+).
Penegakkan diagnosa pasien berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan obstetrik dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis
diperoleh adanya keluar cairan banyak dari jalan lahir yang diduga air ketuban
sejak tanggal 30 Juni 2018(12 jam) disertai kencang-kencang sejak tanggal 25
Juni 2018 (5 hari). Gerakan janin masih dirasakan pasien. Menurut Stuart et al
(2005), pada anamnesis sebaiknya ditanyakan riwayat demam, trauma, diurut-
urut, minum jamuan, intercourse terakhir, dan riwayat keputihan. Hal ini berguna
untuk menentukan faktor predisposisi PPROM. Pemeriksaan obstetrik sangat
dibutuhkan untuk membantu penegakkan diagnosis. Pecahnya ketuban
didiagnosis ketika cairan amnion dilihat dengan adanya pooling di fornix
posterior atau cairan bening mengalir dari saluran serviks. Pada pemeriksaan
nitrazine test terjadi perubahan warna merah menjadi biru pada kertas lakmus.
Normalnya, pH cairan vagina normal berkisar 4,5-5,5, sedangkan cairan amnion
berkisarantara 7,0- 7,5.13 Pada pasien ini terjadi perubahan kertas lak mus merah
menjadi biru, hal ini mengindikasikan bahwa terdapat cairan amnion. Pada
pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil dalam batas normal serta tidak
terdapat peningkatan kadar leukosit. Hal ini menunjukkan bahwa pasien tidak
dalam keadaan infeksi.
Dari anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan pada pasien
mengarahkan ke diagnosis PPROM, sehingga diagnosa G1P0A0 hamil 27 minggu
3 hari belum dalam persalinan dengan PPROM sudah tepat. Pada pasien ini
diberikan terapi konservatif dengan pertimbangan pasien tidak menunjukkan
tanda tanda infeksi dan keadaan umum ibu serta janin masih baik. Terapi
konservatif yang dilakukan pada pasien yaitu observasi tanda vital ibu, his, dan
DJJ tiap setengah jam sekali, diberikan terapi cairan, pemberian antibiotik, Injeksi
dexamethasone 1A/12jam/IV untuk pematangan paru janin, diberikan tokolitik
menggunakan nifedipine 3 x 10 mg, dan bedrest.
Antibiotik yang diberikan pada pasien ini dianggap terlalu berlebihan. Pada
pasien ini diberikan ceftriaxon, sedangkan rekomendasi tata laksana pada pasien
ini untuk antibiotik sebagai profilaksis bisa menggunakan ampicilin. Ampicilin
dapat diberikan 2 gram tiap 6 jam intra vena. Ampicilin juga lebih efektif untuk
mencegah respiratory distress syndrome dan necrotizing enterocolitis (Yudin et
al, 2017).
Pada hari keempat rawat inap, pasien dirujuk ke RSP Sarjito dengan indikasi
cairan ketuban yang semakin sedikit, dibuktikan dari pemeriksaan penunjang
menggunakan USG didapatkan AFI 2,91 yang menunjukkan jika pasien
mengalami oligohidramnnion. Pasien dirujuk ke RSP Sarjito dimana di rumah
sakit tersebut jika pasien melahirkan preterm, bayi yang lahir dapat dirawat
dengan baik. Selain itu di RSP Sarjito juga bisa dilakukan amnioinfusion untuk
menambah cairan ketuban.
DAFTAR PUSTAKA

Anna, Locatelli, Grimes-Dennis, J., & Berghella, V. (2007). Preterm Premature


Rupture of Membrane. Current opinion in obstetrics and Gynecology, 16(2),
138-150.
Canavan TP, Simhan HN, Caritis S. An evidence-based approach to the evaluation
and treatment of premature rupture of membranes: part I. Obstet Gynecol
Surv 2004; 59: 669–77.[review]
Cuningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap II LC, Wendstrom KD.
2014. William Obstetrics, 25th Edition, Chapter 21 Disorder of Aminic Fluid
Volume . USA : McGRAW-HILL
Lee, J., Romero, R., Kim, S. M., Chaemsaithong, P., & Yoon, B. H. (2016). A new
antibiotic regimen treats and prevents intra-amniotic inflammation/infection in
patients with preterm PROM. The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal
Medicine, 29(17), 2727-2737.
Manuaba IBG. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan, dan KB Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Meller, C. H., Carducci, M. E., Ceriani, J. C., & Otano, L. (2018). Preterm premature
rupture of membranes. Archivos argentinos de pediatria, 116(4), e575-e581.
Mercer BM, Crocker LG, Pierce WF. 2016. Clinical characteristics and outcome of
twin gestation complicated by preterm premature rupture of the membranes.
Prawirohardjo S. 2009. Ilmu Kebidanan Edisi 4. Jakarta : YBP-SP
Stuart EL, Evans GS, Lin YS, Powers HJ. Reduced Collagen and Ascorbic Acid
Concentrations and Increased Proteolytic Susceptibility with Prelabor Fetal
Membrane Rupture in Women. Biol Reprod. 2005; 72(1): 230-5.
Tsakiridis, I., Mamopoulos, A., Chalkia-Prapa, E. M., Athanasiadis, A., & Dagklis, T.
(2018). Preterm Premature Rupture of Membranes: A Review of 3 National
Guidelines. Obstetrical & gynecological survey, 73(6), 368-375.
Yudin, M. H., van Schalkwyk, J., & Van Eyk, N. (2017). No. 233-Antibiotic Therapy
in Preterm Premature Rupture of the Membranes. Journal of Obstetrics and
Gynaecology Canada, 39(9), e207-e212.

Anda mungkin juga menyukai