Anda di halaman 1dari 5

Opini WTP diberikan dengan kriteria: sistem pengendalian internal memadai dan tidak ada

salah saji yang material atas pos-pos laporan keuangan. Secara keseluruhan laporan keuangan
telah menyajikan secara wajar sesuai dengan SAP," tulis BPK.

Kemudian opini WDP diberikan dengan kriteria sistem pengendalian internal memadai,
namun terdapat salah saji yang material pada beberapa pos laporan keuangan. Laporan
keuangan dengan opini WDP dapat diandalkan, tetapi pemilik kepentingan harus
memperhatikan beberapa permasalahan yang diungkapkan auditor atas pos yang dikecualikan
tersebut agar tidak mengalami kekeliruan dalam pengambilan keputusan.

Lalu untuk opini TMP diberikan BPK apabila terdapat suatu nilai yang secara material tidak
dapat diyakini auditor karena ada pembatasan lingkup pemeriksaan oleh manajemen sehingga
auditor tidak cukup bukti dan atau sistem pengendalian intern yang sangat lemah. Dalam
kondisi demikian auditor tidak dapat menilai kewajaran laporan keuangan.

Misalnya, auditor tidak diperbolehkan meminta data-data terkait penjualan atau aktiva tetap,
sehingga tidak dapat mengetahui berapa jumlah penjualan dan pengadaan aktiva tetapnya,
serta apakah sudah dicatat dengan benar sesuai dengan SAP. Dalam hal ini auditor tidak bisa
memberikan penilaian apakah laporan keuangan WTP, WDP, atau TW.

Terakhir adalah opini TW yang diberikan BPK jika sistem pengendalian internal tidak
memadai dan terdapat salah saji pada banyak pos laporan keuangan material. Dengan
demikian secara keseluruhan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan
SAP.
Pada hari menjelang 1 Ramadan 1438 H atau 26 Mei 2017, penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menangkap tangan tujuh orang yang diduga terlibat dalam tindak pidana
korupsi terkait dengan pemberian predikat opini laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).

Tujuh orang itu terdiri atas tiga orang pejabat dan staf dari BPK, dan lainnya diduga berasal
dari unsur pejabat dan staf Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi (Kemendes). Mereka diduga terlibat dalam transaksi suap supaya Kemendes
memperoleh predikat tertinggi atas laporan keuangan tahun 2016 yaitu Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP).
Dalam perkembangannya berdasarkan keterangan resmi KPK pada 27 Mei 2017, KPK
menetapkan 4 orang tersangka, yaitu Irjen Kemendes Sugito, pejabat eselon III Kemendes
Jarot Budi Prabowo, pejabat eselon I BPK Rochmadi Saptogiri, dan auditor BPK Ali Sadli
(detik.com/27 Mei 2017).

Menurut KPK, Sugito dan Jarot diduga memberikan uang suap kepada Rochmadi dan Ali
agar Kemendes memperoleh opini WTP terhadap laporan keuangan Kemendes.

Sugito dan Jarot disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau
Pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Rochmadi dan Ali disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11
UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Penangkapan dan penetapan tersangka itu tentu mengagetkan, di tengah apresiasi yang
membuncah oleh status laporan keuangan WTP yang dikeluarkan oleh BPK untuk pertama
kalinya terhadap laporan keuangan pemerintah pusat.

Pada 23 Mei 2017, BPK telah menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2016 kepada Presiden Joko Widodo. Dalam
laporannya, BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk pemerintah
pusat.

Menurut BPK, ini merupakan prestasi, karena untuk pertama kalinya setelah 12 tahun,
predikat opini WTP akhirnya diterima pemerintah. Sebelumnya, laporan keuangan
pemerintah pusat selalu mendapat predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP).

Dalam menjalankan tugasnya melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan lembaga negara
di pusat dan daerah, sebagaimana diatur di dalam Pasal 23E ayat 1-3 UUD 1945, BPK
memberikan empat jenis opini, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan
Pengecualian (WDP), Tidak Memberikan Pendapat (TMT/Disclaimer) dan Tidak Wajar
(TW/Adverse opinion).

Opini WTP diberikan BPK dengan kriteria sistem pengendalian internal memadai dan tidak
ada salah saji yang material atas pos-pos laporan keuangan. Secara keseluruhan, laporan
keuangan telah menyajikan secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP).

Sementara opini WDP diberikan dengan kriteria sistem pengendalian internal memadai.
Namun, terdapat salah saji yang material pada beberapa pos laporan keuangan.

Opini Disclamier atau TMP diberikan apabila terdapat suatu nilai yang secara material tidak
dapat diyakini auditor karena ada pembatasan lingkup pemeriksaan oleh manajemen sehingga
auditor tidak cukup bukti dan atau sistem pengendalian internal yang sangat lemah.

Adapun opini TW diberikan jika sistem pengendalian internal tidak memadai dan terdapat
salah saji pada banyak pos laporan keuangan yang material. Dengan demikian secara
keseluruhan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan.

Penetapan tersangka terhadap pejabat eselon I di BPK dan Kemendes atas dugaan suap untuk
memperoleh status WTP atas laporan keuangan Kemendes tentu tidak main-main, karena
melibatkan pejabat tinggi. Hal ini mengkonfirmasi bahwa status WTP bukan merupakan
jaminan bahwa tidak ada korupsi di lembaga terkait.

Pun demikian dengan status di bawah WTP yaitu WDP dan Disclaimer, yang belum tentu
menunjukkan buruknya pengelolaan keuangan berindikasi korupsi pada lembaga
pemerintahan.

Hasil pemeriksaan BPK atas 87 Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL)


dan satu Laporan Keuangan BUN menemukan, sebanyak 74 LKKL atau 84% memperoleh
opini WTP, 8 LKKL (9%) memperoleh opini WDP dan opini Tidak Memberikan Pendapat
(TMP/Disclaimer) pada 6 LKKL (7%).
Menurut BPK, opini WDP atas 8 LKKL dan opini TMP atas 6 LKKL tidak berpengaruh
secara material terhadap LKPP Tahun 2016

Enam kementerian/lembaga yang memperoleh status Disclaimer untuk laporan keuangan


2016 adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Keamanan Laut (Bakamla),
Kementerian Pemuda dan Olahraga, Televisi Republik Indonesia, Badan Ekonomi Kreatif,
dan Komnas HAM.

Dengan status Disclaimer tersebut, banyak konsekuensi yang harus diterima oleh lembaga
terkait, misalnya penurunan anggaran untuk tahun anggaran berikutnya, terhambatnya
remunerasi bagi pegawai dan reformasi birokrasi, dan terganggunya kredibilitas lembaga di
mata publik.

Padahal, status disclaimer tidak berhubungan dengan kinerja lembaga dalam melayani publik,
meskipun bisa jadi ada pengaruhnya. Contohnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang
dikenal berkinerja sangat baik di bawah kepemimpinan Menteri Susi Pudjiastuti.

Sebagai bentuk pemeriksaan atas kinerja keuangan yang bersifat administratif, rekomendasi
dari BPK atas lembaga yang statusnya WDP dan Disclaimer seharusnya lebih pada perbaikan
dan pendampingan pengelolaan keuangan supaya memenuhi Standar Akuntansi
Pemerintahan, dengan memperhatikan karakteristik lembaga terperiksa.

Hal ini karena kesalahan yang sifatnya administratif bisa dikarenakan diantaranya oleh
keterbatasan kemampuan staf, ketidaktahuan staf atas peraturan yang terkait dengan
pengelolaan anggaran, tidak efektifnya sosialisasi atas peraturan/kebijakan keuangan,
ketidakpaduan aplikasi sistem keuangan dan hal-hal lain yang sifatnya situasional dan
kontekstual sesuai dengan karakteristik lembaga terperiksa.

Kecuali, jika ada kesengajaan dalam melakukan kesalahan administrasi untuk niat dan tujuan
mencari keuntungan tertentu bagi pribadi/kelompok.

Dengan demikian, status WTP tidak bisa merefleksikan bahwa sebuah lembaga pemerintahan
telah bebas dari praktik korupsi dan telah melakukan pengelolaan keuangan secara paripurna.
Pun sebaliknya dengan status di bawah WTP, belum tentu lantas ada indikasi tindak pidana
korupsi dan kinerjanya buruk.

Dengan terbongkarnya kasus dugaan suap terhadap pejabat BPK, Presiden Jokowi dan
pimpinan BPK harus memerintahkan pembenahan menyeluruh atas BPK untuk menegakkan
integritas auditor dan supaya proses dan pelaksanaan pemeriksaan keuangan lembaga
pemerintahan menjadi lebih transparan, partisipatif, akuntabel, dan mandiri.

Hal ini agar status WTP tidak hanya menjadi alat pencitraan yang membuka peluang
terjadinya penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi, pemeriksaan oleh BPK dapat secara
sinergis menjadi mekanisme yang efektif untuk mencegah tindak pidana korupsi dan
meningkatkan pelayanan yang paripurna kepada publik.

Anda mungkin juga menyukai