Anda di halaman 1dari 8

KOMPAS.

com - Salah seorang warga Banda Aceh, Berlin Silalahi, mengajukan permohonan eutanasia
dengan disuntik mati ke Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Berlin menjadi putus asa karena mengalami radang tulang dan lumpuh sejak 2014. Sayangnya, hukum
dan etika kedokteran di Indonesia tidak mengizinkan Berlin mengakhiri hidupnya.

Kode Etik Kedokteran Indonesia tahun 2012 melarang dokter membantu pasien yang tidak mungkin
sembuh menurut medis untuk melakukan eutanasia.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga memasukkan hal itu sebagai tindak pidana.

Mengapa Indonesia tak bisa melegalkan eutanasia?

Peneliti The Society of Philosophy and Technology, Budi Hartono, menilai, alasan Indonesia melarang
suntik mati cukup rasional.

"Secara hukum tentu perlu dipertimbangkan. Kalau ada hukum yang memungkinkan euthanasia, banyak
orang akan berpikir untuk melakukannya," kata Budi.

Baca Juga: Seorang Laki-laki Minta Disuntik Mati, Bagaimana Kita Harus Menyikapi?

Gagasan eutanasia berawal dari kebebasan untuk menentukan pilihan. Ini lalu dimungkinkan oleh
kemajuan sains dan teknologi.

Namun dalam praktiknya, eutanasia tak selalu berhubungan dengan penyakit yang tak bisa disembuhkan
saja tetapi bisa karena alasan psikis dan sosial.

Menurut Budi, dalam kasus Berlin, eutanasia tidak lagi murni relasi antara pasien dan dokter, bahkan ahli
etika. Ada alasan sosial ekonomi.
Melalui Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa, pemerintah bisa ikut berperan agar Berlin
mengurungkan niatnya mengakhiri hidup.

Budi mengatakan, pemerintah memiliki kapasitas untuk mengurangi penderitaan Berlin. Hal itu
diantaranya dapat dilakukan dengan bantuan pengobatan Berlin maupun perlindungan terhadap
keluarga Berlin.

"Ya perlu (perlindungan) itu. Atau konseling psikologi," ucap Budi melalui pesan singkat pada Minggu
(7/5/2017).

Baca Juga: Melogika Eutanasia, Indonesia Melarang, Kenapa Belgia Melegalkannya?

Akademisi di Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya Jakarta, Sintak Gunawan mengatakan,
Indonesia melarang eutanasia karena masih memegang teguh prinsip dasar kedokteran.

"Dokter memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan menyembuhkan pasien dengan usaha sebaik
mungkin. Jadi eutanasia tidak bisa dilakukan," katanya.

Eutanasia Pasif

Meski begitu, dikenal pula eutanasia pasif. Eutanasia pasif dilakukan dengan menghentikan alat bantu
yang menunjang kehidupan pasien.

Sintak mengatakan bahwa praktik itu ada di Indonesia. Ia menolak menyebutnya eutanasia pasif namun
sebagai "tindakan membiarkan pasien meninggal karena penyakitnya".

Tindakan itu dilakukan jika tak ada harapan kesembuhan. Selain itu, tindakan bisa dilakukan jika pasien
mengalami penyakit infeksi yang bisa menyebabkan kematian dan pengobatannya tak bisa menolong.
"Ini berbeda dengan eutanasia. Kalau eutanasia, kita lakukan pada orang yang sebenarnya mungkin
masih bisa hidup," terangnya.

Keputusan membiarkan pasien meninggal karena penyakitnya sendiri sangat rumit. "Itu harus dibahas di
komisi etik rumah sakit. Tidak bisa diputuskan satu dokter," imbuhnya.

Sintak mengatakan, tak ada dasar hukum tindakan membiarkan pasien meninggal. Itu hanya berbasis
prinsip moral. Jika disusun dasar hukumnya, akan rumit rincian teknisnya.

Baca Juga: Apa Kata Hukum Indonesia tentang Eutanasia?

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terpilih Daeng M Faqif, mengungkapkan, wacana untuk legalisasi
eutanasia pasif memang ada namun masih banyak perdebatan.

Untuk bisa dilegalkan, eutanasia pasif harus dipertimbangkan dulu oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran. Proses bisa memakan waktu lama.

Bagi yang kontra, dasarnya adalah selalu adanya kemungkinan untuk bertahan hidup, walaupun kecil.
Meski jarang terjadi, ada kasus pasien sadar usai koma sekian lama.

Eutanasia pasif sendiri menuai dilema. Jika dilegalkan, maka apa bedanya dengan mengeutanasia
langsung. Sementara, jika tidak dan keluarga pasien tidak mampu, masalah yang muncul adalah biaya.

https://sains.kompas.com/read/2017/05/07/19591261/inilah.alasannya.indonesia.melarang.eutanasia

berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri

menghadapi "konsekuensi', dari per-

buatannya tersebut?
Jadi, dari pengertian dan dilema

yang ditimbulkan tersebu! kita simpulkan

bahwa sesungguhnya praktek euthanasia

sangat bergantung kepada situasi yang

sedang dihadapi baik oieh pasien, ke-

luarga, matlpun dokter. Atau clengan ka-

ta lain, euthanasia berkembang dari

pemikiran moral barn dan etika situasi

yang menyatakan bahwa tujuan dan

motivasi menentukan baik buruknya

tindakan seseorang.3 Dan dari paham uti-

litarisme yang menganggap bahwa tujuan


prerbuatan seseorang adalah untuk me-

maksirnalkan kegunaan atan kebahagiaan

sebanvak mnngkin orang.l

B. I'EMBAGIAN EUTANASIA

Secara garis besar Eutanasia dapat

dibagi menjadi dua, yaitu euthanasia aktif

dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif

berarti mencabut kehidupan seorang

pasien untrrk menghindari penderitaan-

nya yang beriarut-larut di mana dokter

melakukan euthanasia tersebut atas

permintaan dan persetujuan dari pasien,

misalnya dengan memberikan injeksi


dengan obat yang menimbulkan kematian

atau obat penghilang kesadaran dalam

dosis yang tinggi. Sedangkan euthanasia

pasif berarti "membiarkan" kematian

terjadi untuk mengl-rindari pend eritaan.

Menurut Dr.J.E. Sahetapy, S.H,

diiihat dari tindakan dokter terhadap

pasien, maka Eutanasia positif dapat

dibagi menjad-i dua bagian 5 Yaitu:

1,. Mengadakan pencegahan, dan dilaku-

kan atas persetujuan antara pasien

dan clokter dalam hal ini pasien sadar


dan tahu bahwa penyakit yang

dideritanl.a tidak akan dapat disem-

birhkan -"r'alaupun dilakukan peng-

obatan denE;an sangat baik. Oleh

Eutanasia pasif dengan membiarkan

pasien mali dengan ser-rdirinya tanpa

sebab itu pasien tersebut meminta

kcpada dokter agar dokter tidak usah

lagi memberikan pengobatan kepada-

nya sebagai upaya penyembuhan,

atau pasien juga meminta unluk tidak

di rawat di RS lagi tetapi hanya di

rumah pasien saja. Dengan demikian


pasien tersebut akan merasa bahagia

karena ia akan segera mati clengin

tenang di samping keluarga-keluarga-

nya. Jadi eutanasia pasif yang pertama

ini seolah-olah merupakan kerjasama

antara pasien dan dokter.

2. Eutanasia pasif yang kedua, pada

dasarnya sama dengan euthanasia

pasif yang pertama tadi, hanya pada jenis yang kedua ini, tindakar-r

euthanasia yang dilakukan berasal

Anda mungkin juga menyukai