Anda di halaman 1dari 8

MANDI WAJIB

‫(الغسل‬Mandi) secara bahasa adalah kata yang tersusun dari tiga huruf yaitu ghain, sin dan lam
untuk menunjukkan sucinya sesuatu dan bersihnya.
‫ الغسل‬adalah mengalirnya air pada sesuatu secara mutlak.
Dan ‫الغسل‬secara istilah adalah menyiram air ke seluruh badan secara khusus.

Mandi Wajib disyariatkan untuk kondisi :

1. Karena Junub

‫سبِي ٍل َحتَّى ت َ ْغت َ ِسلُوا‬


َ ‫َارى َحتَّى ت َ ْعلَ ُموا َما تَقُولُونَ َو ََل ُجنُبًا إِ ََّل َعابِ ِرى‬
َ ‫سك‬ُ ‫ص ََلة َ َو أَنت ُ ْم‬
َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ََل ت َ ْق َربُوا ال‬
Wahai orang-orang beriman janganlah kalian mendekati sholat sedangkan kalian dalam
keadaan mabuk sampai kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan. Dan janganlah pula
dalam keadaan junub sampai kalian mandi kecuali hanya sekedar untuk melewati jalan…
(Q.S. an-Nisa’/4: 43)

َّ َ‫َو إِن ُكنت ُ ْم ُجنُبًا ف‬


‫اط َّه ُروا‬
Maka apabila kalian junub maka bersucilah. [QS. Al-Ma’idah/ 5: 6].
Berkata al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah, ”Yaitu mandilah dengan air”. (Fat-h al-Qodir:
II/ 23)

‫س ْو ُل هللاِ صلى هللا عليه و سلم‬ ُ ‫ف قِيَا ًما فَخ ََر َج إِلَ ْينَا َر‬ ُ ‫صفُ ْو‬ُّ ‫ت ال‬ِ َ‫صَلَة ُ َو ع ُِدل‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ‫ أُقِ ْي َم‬:َ‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قَال‬
ُ‫صلَّ ْينَا َم َعه‬ ُ ‫سهُ َي ْق‬ ْ َ َ‫ َمكَانَ ُك ْم ث ُ َّم َر َج َع فَا ْغت‬:‫صَلَّهُ ذَك ََر أَنَّهُ ُجنُبٌ فَقَا َل لَنَا‬
ُ ‫س َل ث ُ َّم خ ََر َج ِإلَ ْينَا َو َرأ‬
َ َ‫ط ُر فَ َكب ََّر ف‬ َ ‫فى ُم‬ َ َ‫فَلَ َّما ق‬
ِ ‫ام‬
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, “Sholat telah diikomatkan dan shaff telah
diluruskan, lalu keluarlah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada kami. Ketika beliau
telah berdiri di tempat sholat, beliau teringat masih dalam keadaan junub. Lalu beliau
bersabda kepada kami, “Tetaplah di tempat kalian!”. Kemudian beliau kembali dan mandi
lalu keluar kepada kami sedangkan kepalanya masih menetes (air). Lalu Beliau bertakbir dan
kamipun sholat bersamanya. [HR al-Bukhoriy: 275, 639, 640, Muslim: 605, Abu Dawud: 235,
an-Nasa’iy: II/ 81-82, 89 dan Ahmad: II/ 283.

(‫ ِإ َّن َما أَنَا َبش ٌَر َو ِإني ِ ُك ْنتُ ُجنُبًا‬:َ‫صَلَة َ َقال‬ َ ‫ َفلَ َّما َق‬:ِ‫آخ ِره‬
َّ ‫ضى ال‬ ِ ‫ َو َقا َل‬:‫)و فى رواية‬
ِ ‫فى‬
Di dalam satu riwayat, dan ia berkata di akhirnya, ”Ketika Beliau selesai dari sholatnya,
Beliau bersabda, ”Aku ini hanyalah manusia dan sesungguhnya aku tadi malam keadaan
junub”). [HR Abu Dawud: 233, 234 dan Ahmad: V/ 41.

Masalah keluarnya mani disertai syahwat dihukumi wajib mandi, semua ulama madzhab
yang muktabar telah sepakat. Hal ini sesuai dalil :
Dari Ummu Salamahz, beliau berkata :
‫ق فَ َه ْل‬ِ ‫س ْو َل هللاِ ِإ َّن هللاَ َلَ يَ ْستَحْ ِي ْي ِمنَ ْال َح‬ُ ‫ يَا َر‬: ‫ت‬ ْ َ‫سلَّ َم فَقَال‬
َ ‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آ ِل ِه َو‬
َّ ‫صل‬َ ِ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ‫ت أ ُ ُّم‬
ُ ‫سلَي ٍْم ِإلَى َر‬ ْ ‫َجا َء‬
ْ
‫ت ال َما َء‬ َ َ َّ
ِ ‫ نَعَ ْم إِذا َرأ‬: ‫سل َم‬ َ َ
َ ‫ى هللاُ َعل ْي ِه َو َعلى آ ِل ِه َو‬َّ ‫صل‬
َ ‫ي‬ َّ َ َ ْ َ
ُّ ِ‫ِي احْ تل َمت ؟ فقا َل النب‬َ َ ُ ْ َ ْ َ
َ ‫َعلى ال َم ْرأةِ ِمنَ الغ ْس ِل إِذا ه‬
“Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah r kemudian berkata : Wahai Rasulullah
sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran, maka apakah wajib atas seorang wanita
untuk mandi bila dia bermimpi ?. Maka Nabi menjawab : Iya bila ia melihat air (mani-pen.)”
(HR. Bukhary-Muslim).

Hadits ‘Ali bin Abi Thalib :


‫ َوفِ ْي‬.‫ إِذَا َحذ َ ْفتَ فَا ْغتَس ِْل ِمنَ ْال َجنَابَ ِة فَإِذَا لَ ْم تَ ُك ْن َحا ِذفًا فََلَ ت َ ْغتَس ِْل‬: ‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آ ِل ِه َو‬
َّ ‫صل‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬
‫ضحْ تَ ْال َما َء فَا ْغتَس ِْل‬ ِ ‫ض َح ْال َم‬
َ َ‫ فَإِذَا ف‬: ‫ َوفِ ْي َل ْفظٍ آخ ََر‬.‫اء َفا ْغتَس ِْل‬ ْ ‫ َفإِذَا َرأَيْتَ َف‬: ‫ َل ْفظٍ آخ ََر‬.
“Sesungguhnya Rasulullah bersabda : Jika kamu memancarkan mani dengan kuat) maka
mandilah dari janabah dan jika tidak, maka tidak wajib mandi. Dan dalam lafazh yang lain :
“Jika kamu melihat mani yang memancar dengan kuat maka mandilah”. Dan dalam lafazh
yang lain : “Jika kamu memancarkan mani dengan kuat maka mandilah”. (HR. Ahmad 1/107,
109, 125, Abu Daud 206 dan An-Nasa`i 1/93

Perbedaan terjadi saat berbicara mengenai jika keluarnya mani tidak disertai syahwat.

Imam Syafi’i: Kalau mani itu keluar maka ia wajib mandi, tak ada bedanya, baik keluar
karena syahwat maupun tidak.
Dalil :
Dari Aisyah beliau berkata :
َ‫ َل‬: ‫الر ُج ِل يَ َرى أَنَّهً قَ ِد احْ تَلَ َم َوَلَ يَ ِجد ُ ْالبَلَ َل قَا َل‬
َّ ‫ َو َع ْن‬.ُ‫ يَ ْغت َ ِسل‬: ‫الر ُج ِل يَ ِجد ُ بَلَ َل َوَلَ يَذْ ُك ُر ِإحْ تَِلَ ًما قَا َل‬
َّ ‫س ْو ُل هللاِ َع ْن‬
ُ ‫سئِ َل َر‬
ُ
َ ُ
‫غ ْس َل َعل ْي ِه‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang seseorang yang mendapatkan bekas
basahan dan dia tidak menyebutkan bahwa dia mimpi, beliau r menjawab : Wajib mandi. Dan
(beliau r juga ditanya) tentang seseorang yang menganggap bahwa dirinya mimpi tapi tidak
mendapatkan basahan, beliau menjawab : Tidak wajib atasnya untuk mandi”. (HR. Abu Daud
no. 236, At-Tirmidzy no. 112 dan Ibnu Majah no. 612). Dan juga dalam hadits Ummu
salamah di atas :
‫ت ْال َما َء‬ِ َ‫ نَعَ ْم إِذَا َرأ‬:َ‫فَقَال‬
“(Rasulullah) menjawab : ” Iya bila ia melihat air (mani-pen.)”.

Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali: Tidak diwajibkan mandi kecuali kalau pada
waktu keluarnya itu merasakan nikmat. Kalau mani itu keluar karena dipukul, dingin, atau
karena sakit bukan karena syahwat, maka ia tidak diwajibkan mandi.
Dalil :
‘Ali bin Abi Thalib t :
ٍ‫ َو ِف ْي لَ ْفظ‬.‫ ِإذَا َحذ َ ْفتَ فَا ْغتَس ِْل ِمنَ ْال َجنَا َب ِة فَإِذَا لَ ْم ت َ ُك ْن َحا ِذفًا فََلَ ت َ ْغتَس ِْل‬: ‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آ ِل ِه َو‬
َّ ‫صل‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬
ْ
‫ضحْتَ ال َما َء فَا ْغتَس ِْل‬ ْ َ
َ َ‫ فَإِذَا ف‬: ‫ َوفِ ْي لفظٍ آخ ََر‬.‫اء فَا ْغتَس ِْل‬ ْ
ِ ‫ض َح ال َم‬ َ
ْ َ‫ فَإِذَا َرأيْتَ ف‬: ‫آخ ََر‬.
“Sesungguhnya Rasulullah r bersabda : Jika kamu memancarkan mani dengan kuat) maka
mandilah dari janabah dan jika tidak, maka tidak wajib mandi. Dan dalam lafazh yang lain :
“Jika kamu melihat mani yang memancar dengan kuat maka mandilah”. Dan dalam lafazh
yang lain : “Jika kamu memancarkan mani dengan kuat maka mandilah”. (HR. Ahmad 1/107,
109, 125, Abu Daud 206 dan An-Nasa`i 1/93)

ِ ‫ض ُح ْال َم‬
hadits ini mensyaratkan ‫اء‬ ْ ‫ َف‬untuk wajibnya mandi sedangkan ‫ض ٌح‬ ْ َ‫ف‬adalah keluarnya air
dengan kuat.
Kata Ibnu Manzhur dalam Lisanul Arab : 3/46 ‫اء‬ ِ ‫ض ُح ْال َم‬
ْ َ‫ف‬adalahُ‫(دَ ْفقُه‬memancar). Dan kata Ibnu
Qudamah ? dalam Al-Mughny 1/267 : ‫الشدَّ ِة‬ ْ َ‫(ا َ ْلف‬Keluarnya air mani dengan
ِ ‫ض ُح ُخ ُر ْو ُجهُ َعلَى َوجْ ِه‬
cara yang kuat).
Ini menunjukkan bahwasanya jika mani keluar tidak dengan syahwat maka tidak wajib mandi,
sebab mani itu dapat keluar dengan kuat dan memancar dan hal tersebut tidaklah terjadi
kecuali kalau keluarnya dengan syahwat. Ini adalah pendapat Jumhur, Abu Hanifah, Malik
dan Ahmad (Lihat : Nailul Authar 1/258 dan Asy-Syarah Al-Mumti’ 1/386-387.).

Menurut ulama yang berpendapat tidak wajibnya mandi jika mani keluar tidak disertai
syahwat saat berbicara tentang hadits :
Dari Aisyah beliau berkata :
َ‫ َل‬: ‫الر ُج ِل يَ َرى أَنَّهً قَ ِد احْ تَلَ َم َوَلَ يَ ِجد ُ ْالبَلَ َل قَا َل‬
َّ ‫ َو َع ْن‬.ُ‫ يَ ْغت َ ِسل‬: ‫الر ُج ِل يَ ِجد ُ بَلَ َل َوَلَ يَذْ ُك ُر ِإحْ تَِلَ ًما قَا َل‬
َّ ‫س ْو ُل هللاِ َع ْن‬
ُ ‫سئِ َل َر‬
ُ
َ ُ
‫غ ْس َل َعل ْي ِه‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang seseorang yang mendapatkan bekas
basahan dan dia tidak menyebutkan bahwa dia mimpi, beliau menjawab : Wajib mandi. Dan
(beliau juga ditanya) tentang seseorang yang menganggap bahwa dirinya mimpi tapi tidak
mendapatkan basahan, beliau menjawab : Tidak wajib atasnya untuk mandi”. (HR. Abu Daud
no. 236, At-Tirmidzy no. 112 dan Ibnu Majah no. 612

Mereka berpendapat bahwa berbeda kasus keluarnya mani tidak disertai syahwat saat sadar
dan saat bermimpi, karena seringkali orang lupa akan mimpi yang dialaminya. Sehingga
untuk keluarnya mani yang diketahui saat bangun tidur tetap diwajibkan mandi sesuai dalil
tersebut.

2. Bertemunya dua khitan (kemaluan) walaupun tidak keluar mani

Dalil :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam bersabda :
‫ب ْالغُ ْس ُل َوفِ ْي ِر َوايَ ٍة ِل ُم ْس ِل ٍم َوإِ ْن لَ ْم يُ ْن ِز ْل‬
َ ‫شعُبِ َها ْاْل َ ْربَ ِع ث ُ َّم َج َهدَهَا فَقَدْ َو َج‬
ُ َ‫س أ َ َحد ُ ُك ْم بَيْن‬
َ َ‫إِذَا َجل‬
“Apabila seseorang duduk antara empat bagiannya (tubuh perempuan) kemudian ia
bersungguh-sungguh maka telah wajib atasnya mandi. Dan salah satu riwayat dalam Shohih
Muslim “walaupun tidak keluar”. (HR. Bukhary-Muslim)

Berdasarkan dalil tersebut di atas, semua ulama sepakat tentang wajibnya mandi dikarenakan
hal tersebut di atas.

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ualama dan Imam madzhab sehubungan dengan
syarat tersentuhnya, apakah hanya sekedar tersentuh ataukah sudah masuk.

Imam Hanafi: Wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat; yaitu:


Pertama,baliqh. Kalau yang baligh itu hanya yang disetubuhi, sedangkan yang menyetubuhi
tidak, atau sebaliknya, maka yang mandi itu hanya yang baligh saja, dan kalau keduanya
sama-sama kecil, maka keduanya tidak wajibkan mandi.
Kedua, harus tidak ada batas yang dapat mencegah timbulnya kehangatan.
Ketiga, orang yang disetubuhi adalah orang yang masih hidup. Maka kalau memasukkan
zakarnya kepada binatang atau kepada orang yang telah meninggal, maka ia tidak diwajibkan
mandi

Imam Syafi’i : Sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau sebagiannya saja juga belum
masuk, maka ia sudah cukup diwajibkannya mandi, tak ada bedanya baik baligh maupun
tidak, yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi ada batas maupun tidak, baik terpaksa
maupun karena suka, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun sudah meninggal, baik
pada binatang maupun pada manusia.

Imam Hambali dan Imam Maliki : Bagi yang menyetubuhi maupun yang disetubuhi itu wajib
mandi, kalau tidak ada batas yang dapat mencegah kenikmatan, tak ada bedanya baik pada
binatang maupun pada manusia, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun yang sudah
meniggal. Kalau yang telah baligh.

Perbedaan Imam Maliki dengan Imam Hambali yakni :


Imam Maliki : Bagi yang menyetubuhi itu wajib mandi kalau ia telah mukallaf dan juga
orang yang disetubuhi.
Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhi.
Bagi orang yang disetubuhi wajib mandi, kalau yang menyetubuhinya sudah baligh, tapi
kalau belum baligh atau masih kecil, maka ia tidak diwajibkan mandi kalau belum sampai
keluar mani.

Hambali: Mensyaratkan bahwa lelaki yang menyetubuhi itu umurnya tidak kurang dari
sepuluh tahun, bagi wanita yang disetubuhi itu tidak kurang dari sembilan tahun.

Adapun hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu sebelumnya yang membatasi mandi hanya
ketika keluar mani adalah hadits yang telah dimansukh (terhapus) hukumnya dalam jima’
oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ini dengan konteks lafazh yang tegas “walaupun
tidak keluar”.
Berkata Imam An-Nawawy : Adapun hadits Hadits Abu Sa’id Al-Khudry t, Nabi r bersabda :
ِ ‫إِنَّ َما ْال َما ُء ِمنَ ْال َم‬
‫اء‬
“Air itu hanyalah dari air”. (HR. Bukhary-Muslim).

jumhur shahabat dan yang setelah mereka menyatakan bahwa ia telah dimansukh dan
mansukh yang mereka maksudkan adalah bahwa mandi karena melakukan jima tanpa keluar
mani telah gugur (hukumnya) dan kemudian menjadi wajib. (Lihat Syarah Muslim 4/36).

Dan hal ini diperjelas oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu :
ِ ْ ‫اْل ْسَلَ ِم ث ُ َّم أ ُ ِم ْرنَا ِب‬
َ ِ‫اْل ْغت‬
ُ‫سا ِل َب ْعد‬ ِ ْ ‫صةً أ َ َّو َل‬ ِ ‫ِإنَّ َما َكانَ ْال َما ُء ِمنَ ْال َم‬
َ ‫اء ُر ْخ‬
“Sesungguhnya mandi dengan keluarnya air mani adalah rukhshoh (keringanan) pada awal
Islam kemudian kami diperintahkan untuk mandi sesudah itu” (HR. Ahmad 5/115-116, Abu
Daud no. 215, At-Tirmidzy no. 111 dan beliau berkata : Hadits ini Hasan Shohih)
Beberapa tambahan sehubungan dengan jima’ dan junub :

Dari Abu Said Al-Khudri dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
‫إِذَا أَت َى أ َ َحد ُ ُك ْم أَ ْهلَهُ ث ُ َّم أ َ َرادَ أ َ ْن يَعُودَ فَ ْليَت ََوضَّأ ْ بَ ْينَ ُه َما ُوضُو ًءا‬
“Apabila salah seorang dari kalian menyenggamai istrinya, kemudian berkehendak untuk
mengulanginya lagi maka hendaklah dia berwudhu di antara keduanya.” (HR. Muslim no.
308)

Dari Ibnu Umar -radhiallahu anhu- dia berkata:


‫ضأ َ أَ َحدُ ُك ْم فَ ْل َي ْرقُدْ َوه َُو‬
َّ ‫سلَّ َم أ َ َي ْرقُد ُ أ َ َحدُنَا َوه َُو ُجنُبٌ قَا َل نَ َع ْم ِإذَا ت ََو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫سأ َ َل َر‬
َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫َّللا‬ َ ‫ب‬ َّ ‫ع َم َر بْنَ ْال َخ‬
ِ ‫طا‬ ُ ‫أ َ َّن‬
ٌ‫ُجنُب‬
“Umar bin Al-Khaththab bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah
boleh seorang dari kami tidur dalam keadaan dia junub?” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi
wasallam- menjawab, “Ya. Jika salah seorang dari kalian berwudlu, maka hendaklah dia tidur
meskipun dalam keadaan junub.” (HR. Al-Bukhari no. 287 dan Muslim no. 306)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,


َّ ‫ضأ َ ِلل‬
ِ‫صَلَة‬ َّ ‫ َوت ََو‬، ُ‫س َل فَ ْر َجه‬ َ ‫ َغ‬، ٌ‫َام َو ْه َو ُجنُب‬ َ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – إِذَا أ َ َرادَ أ َ ْن يَن‬ ُّ ِ‫َكانَ النَّب‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa jika dalam keadaan junub dan hendak tidur, beliau
mencuci kemaluannya lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.” (HR. Bukhari no.
288).
‘Aisyah pernah ditanya oleh ‘Abdullah bin Abu Qois mengenai keadaan Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam,
َ ‫س َل فَن‬
‫َام‬ َ ‫صنَ ُع فِى ْال َجنَابَ ِة أ َ َكانَ يَ ْغت َ ِس ُل قَ ْب َل أ َ ْن يَن‬
ْ َ‫َام أ َ ْم يَنَا ُم قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْغتَ ِس َل قَال‬
َ َ‫ت ُك ُّل ذَلِكَ قَدْ َكانَ يَ ْفعَ ُل ُربَّ َما ا ْغت‬ ْ َ‫ْف َكانَ ي‬
َ ‫َكي‬
َ ‫ قُ ْلتُ ْال َح ْمد ُ ِ َّّلِلِ الَّذِى َج َع َل فِى اْل َ ْم ِر‬.‫َام‬
ً‫س َعة‬ َ ‫ضأ َ فَن‬
َّ ‫ َو ُربَّ َما ت ََو‬.
“Bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub? Apakah beliau
mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?” ‘Aisyah menjawab, “Semua itu pernah
dilakukan oleh beliau. Kadang beliau mandi, lalu tidur. Kadang pula beliau wudhu, barulah
tidur.” ‘Abdullah bin Abu Qois berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan
segala urusan begitu lapang.” (HR. Muslim no. 307).

3. Haid dan Nifas

Dalil

1. ُ‫َّللا‬ ُ ‫ط َّه ْرنَ فَأْتُوه َُّن ِم ْن َحي‬


َّ ‫ْث أَ َم َر ُك ُم‬ َ َ‫َفإِذَا ت‬
“Jika mereka telah suci maka datangilah mereka sesuai dengan apa yang Allah perintahkan
kepada kalian “. (QS. Al-Baqarah : 222).

2. . Hadits ‘Aisyah tatkala Nabi berkata kepada Fatimah binti Abi Hubeisy :
ْ ‫صَلَة َ َوإِذَا أَدْبَ َر‬
َ ‫ت فَا ْغت َ ِس ِل ْي َو‬
‫ص ِلي‬ َ ‫ت ْال َح ْي‬
َّ ‫ضةُ فَد َ ِعي ال‬ ِ َ‫إِذَا أ َ ْقبَل‬
“Jika waktu haid datang maka tinggalkanlah sholat dan jika telah selesai maka mandilah dan
sholatlah”. (HR. Bukhary-Muslim).

Adapun dalil tentang nifas diwajibkan mandi tidak ada, kecuali ijma’ ulama yang sepakat
bahwa nifas sama dengan haid, sehingga setelah selesainya nifas maka diwajibkan mandi.
Para ulama sepakat nifas sama dengan haid, merujuk kepada dalil dari Aisyah bahwa
Rasulullah pernah bersabda kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anha yang sedang haidh,
ِ ‫لَ َع ِل ِك نَ ِف ْس‬
‫ت‬
“Barangkali saja engkau nifas.” (Muttafaqun ‘alaih)
Makna “nifas” di sini adalah haidh karena ‘Aisyah tidak pernah melahirkan anak sehingga
‘Aisyah tidak mengalami nifas. Rasulullah kadang menggunakan kata “nifas” sebagai ganti
kata “haid”, sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum wajib mandi setelah haid berlaku pula
untuk nifas.

Ibnu Qudamah : tidak ada khilaf tentang wajibnya mandi karena haid dan nifas (Al-Mughny
1/277).
Dan Ibnu Hazm ? juga menukil ijma’ dalam Maratibul Ijma’ : 21, dan Imam Asy-Syaukany ?
dalam Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/48.

Imam An-Nawawy : Ulama telah sepakat tentang wajibnya mandi karena sebab haid dan
sebab nifas dan di antara yang menukil ijma’ pada keduanya adalah Ibnu Mundzir dan Ibnu
Jarir dan selainnya (Majmu’ 2/168).

Asy-Syirazy : Adapun darah nifas maka mewajibkan mandi karena sesungguhnya itu adalah
haid yang terkumpul, dan diharamkan puasa dan jima’ dan gugur kewajiban sholat maka
diwajibkan mandi seperti haid (lihat Al-Majmu’: 2/167).

Masalah akan muncul manakala saat melahirkan ternyata tidak mengeluarkan darah sama
sekali. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, seperti tergambar di dalam pendapat 4
Imam madzhab yang muktabar.

Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Syafi’i berpendapat tetap wajib mandi, karena menurut
mereka darah tetap akan keluar walau hanya sedikit.
Akan tetapi menurut madzhab Hambali, tidak wajib mandi karena tidak terjadi hukum nifas
atau haid, yakni keluarnya darah yang banyak dari vagina.

Terjadi pula perbedaan pendapat mengenai batasan nifas di kalangan ulama, seperti
tergambar di bawah ini :

1. Ulama Syafi’iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40 hari
sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya adalah 60 hari.
2. Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah,
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum dan para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Ahmad, At-Tirmizi bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya darah nifas adalah 40
hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah dia berkata, “Para wanita yang nifas di zaman
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka
selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah
no. 648).
3. Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal masa nifas,
bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi nifas. Namun, pendapat ini tidak
masyhur dan tidak didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.

Terdapat perbedaan di kalangan ulama juga terjadi pada masalah istihadhoh.

1. Wajib Mandi :
Dalil :
‫ ا ُ ْم ُكثِي قَد َْر َما‬:َ‫َّللاِ صلى هللا عليه وسلم اَلد ََّم فَقَال‬ َّ َ ‫سو ِل‬ ُ ‫َت إِلَى َر‬ َ ‫َّللاُ َع ْن َها; أ َ َّن أ ُ َّم َحبِيبَةَ بِ ْنتَ َجحْ ٍش‬
ْ ‫شك‬ َّ َ ‫ي‬ ِ ‫شةَ َر‬
َ ‫ض‬ َ ِ‫َو َع ْن َعائ‬
‫ص ََل ٍة‬
َ َّ
‫ل‬ ُ
‫ك‬ ُ
‫ل‬ ‫س‬ِ َ ‫ت‬‫غ‬ْ َ ‫ت‬ ْ
‫َت‬ ‫ن‬‫َا‬
‫ك‬ َ ‫ف‬ ‫ي‬ ‫ل‬
ِ ‫س‬
ِ َ ‫ت‬‫غ‬ْ ِ ‫ا‬ ‫م‬
َّ ُ ‫ث‬ ‫ك‬
ِ ُ ‫ت‬‫ض‬َ ‫ي‬
ْ ‫ح‬
َ ‫ك‬
ِ ‫س‬
ُ ‫ب‬
ِ ْ‫ح‬َ ‫ت‬ ْ
‫َت‬ ‫ن‬‫َا‬
‫ك‬
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Ummu Habibah binti Jahsy mengadukan pada
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tentang darah (istihadlah. Beliau bersabda:
Berhentilah (dari shalat) selama masa haidmu menghalangimu kemudian mandilah.
Kemudian dia mandi untuk setiap kali shalat. [HR Al Bukhari (327) dan Muslim (334)]

2. Tidak Wajib Mandi


Dalil :
ََ ‫َّللاِ صلى هللا عليه وسلم إِ َّن دَ َم‬ َّ َ ‫سو ُل‬ ُ ‫َت ت ُ ْستَ َح‬
ُ ‫اض فَقَا َل َر‬ ْ ‫اط َمةَ بِ ْنتَ أَبِي ُحبَي ٍْش كَان‬ ِ َ‫ إِ َّن ف‬:‫ت‬ ْ َ‫َّللاُ َع ْن َها قَال‬
َّ َ ‫ي‬ ِ ‫شةَ َر‬
َ ‫ض‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
‫ص ِلي‬
َ َ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ئ‬
ِ ‫ض‬
َّ ‫َو‬
َ ُ‫ت‬َ ‫ف‬ ‫َر‬
‫خ‬ ْ
‫ْل‬ َ ‫ا‬ َ‫ان‬ َ
‫ك‬ ‫ا‬َ ‫ذ‬ ‫إ‬ َ
ِ ِ َّ‫ف‬ ‫ة‬ َ
‫َل‬ ‫ص‬ ‫ل‬ َ ‫ا‬ َ‫ن‬ ‫م‬
ِ ‫ي‬ ‫ك‬
ِ ‫س‬
ِ ‫م‬
ْ َ ‫أ‬ َ ‫ف‬ ‫ل‬
َ‫ِك‬ َ ‫ذ‬ َ‫ان‬ َ
‫ك‬ ‫ا‬َ ‫ذ‬ ‫إ‬ َ ‫ف‬ ‫ف‬ ‫ر‬ ‫ع‬ُ
ِ ُ َْ َ ٌ ِ َ‫ي‬ ُ ‫د‬ ‫ْو‬
‫س‬ َ ‫أ‬ ‫م‬َ ‫د‬ ‫ْض‬ ‫ي‬ ‫ح‬ ْ
‫ل‬ َ ‫ا‬
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy sedang keluar darah
penyakit (istihadlah). Maka bersabdalah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kepadanya:
Sesungguhnya darah haid adalah darah hitam yang telah dikenal. Jika memang darah itu yang
keluar maka berhentilah dari shalat namun jika darah yang lain berwudlulah dan shalatlah.
[HR Al Bukhari (306) dan Muslim (333)]

Hadits Aisyah radhiallahu ‘anha:

َّ ‫ث ُ َّم ت ََو‬
َ ‫ض ِئي ِل ُك ِل‬
‫ص ََل ٍة‬
“… kemudian berwudhuklah engkau untuk setiap shalat.” [HR Al Bukhari (228)]

Jumhur ulama sepakat pada pendapat yang kedua di atas. Adapaun hadit mengenai mandinya
Ummu Habibah binti Jahsy di atas memberikan pengertian, hal tersebut adalah sunnah.

4. Mandi Karena Masuk Islam


Ada perbedaan pendapat tentang mandinya orang yang masuk Islam, entah akrena murtad
kemudian masuk Islam lagi ataupun dahulunya memang kafir kemudian masuk Islam.

1. Pendapat yang mengatakan hukumnya wajib


Ulama yang berpendapat seperti itu adalah Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Tsaur, Ibnul
Mundzir, dan Ibnu Hazm, al-Khaththabiy, Asy-Syaukaniy dan lain-lain.

Dalil yang digunakan :


ُّ ِ‫ َوأَ َم َرهُ اَلنَّب‬-‫ص ِة ث ُ َما َمةَ ب ِْن أُثَا ٍل ِع ْندَ َما أ َ ْسلَم‬
ََ ‫ي صلى هللا عليه وسلم أَ ْن‬ َّ ِ‫فِي ق‬- ) ‫َو َع ْن أَبِي ه َُري َْرة َ رضي هللا عنه‬
‫) َي ْغتَ ِس َل‬
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu tentang kisah tsamamah Ibnu Utsal ketika masuk
Islam Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruhnya mandi. (HR Bukhori Muslim)

Hadits Qois bin A’shim :


ِ ُ‫سلَّ َم أ ُ ِر ْيد‬
‫اْل ْسَلَ َم فَأ َ َم َرنِ ْي أ َ ْن أَ ْغت َ ِس َل بِ َماءٍ َو ِسد ٍْر‬ َ ‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آ ِل ِه َو‬
َّ ‫صل‬ َّ ِ‫أَتَيْتُ النَّب‬
َ ‫ي‬
“Saya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Islam maka Nabi
memerintahkan kepadaku untuk mandi dengan air dan daun bidara”. (HR. Ahmad 5/61, Abu
Daud no. 355, An-Nasa`i 1/91, At-Tirmidzy no. 605)

Merujuk pada dalil di atas, akan kita dapati kalimat perintah. Jumhur ulama sepakat bahwa
setiap perintah hukumnya adalah wajib, maka ulama yang mengikuti madzhab ini
berpendapat bahwa mandi hukumnya adalah wajib.

2. Pendapat yang mengatakan mandi hukumnya tidak wajib bagi orang yang baru masuk
Islam.

Pendapat ini diikuti oleh Imam Syafi’i dan Imam Hanafi. Akan tetapi Imam Syafi’i
berpendapat bahwa memberikan syarat jika yang masuk Islam itu sebelumnya junub, maka
dia wajib mandi, akan tetapi jika tidak junub maka tidak wajib mandi tetapi hukumnya hanya
sunnah saja. Sedangkan Imam Hanafi secara mutlak menyatakan tidak wajib mandi, entah
sebelumnya junub ataupun tidak.

Dalil yang dipegang oleh kelompok ini adalah :

‫اريَ ٍة ِم ْن‬ ِ ‫س‬َ ‫طوهُ ِب‬ ُ َ‫ت بِ َر ُج ٍل ِم ْن بَ ِني َحنِيفَةَ يُ َقا ُل َلهُ ث ُ َما َمةُ ْبنُ أُثَا ٍل فَ َرب‬ ْ ‫سلَّ َم َخي ًَْل قِبَ َل نَجْ ٍد فَ َجا َء‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ُّ ِ‫ث النَّب‬
َ َ‫بَع‬
‫س َل ث ُ َّم دَ َخ َل‬ََ ‫ب ِم ْن ْال َمس ِْج ِد فَا ْغت‬ ٍ ِ ٍ‫ي‬‫ر‬ َ ‫ق‬ ‫ل‬ ‫َخ‬ْ ‫ن‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫إ‬
ِ َ‫ق‬َ ‫ل‬ َ
‫ط‬ ْ
‫ن‬ ‫ا‬ َ ‫ف‬ َ ‫ة‬ ‫م‬ ‫ا‬
َ َ ‫م‬ُ ‫ث‬ ‫وا‬ُ ‫ق‬‫ل‬ِ ْ
‫ط‬ َ ‫أ‬ ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ‫م‬ َّ ‫ل‬‫س‬‫و‬ ‫ه‬
َ َ َ ِ َ ُ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬ َّ
‫َّللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫ي‬ ‫ب‬ َّ
َ ُّ ِ ِ ِ َ َ ‫ن‬‫ال‬ ‫ه‬ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ج‬ ‫َر‬
‫خ‬ َ ‫ف‬ ‫د‬
ِ ِ ‫س َو ِاري ْال َم‬
‫ْج‬‫س‬ َ
َّ ‫سو ُل‬
ِ‫َّللا‬ َ
ُ ‫َّللاُ َوأ َّن ُم َح َّمدًا َر‬ َّ َ َ َ
َّ ‫ال َمس ِْجدَ فَقَا َل أ ْش َهد ُ أ ْن ََل إِلهَ إَِل‬ ْ
“Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬mengirim pasukan ke daerah Najd, lalu mereka kembali dengan
membawa seorang lelaki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal. Mereka
kemudian mengikatnya di salah satu tiang mesjid. Lalu Nabi ‫ صلى هللا عليه وسلم‬keluar
menemuinya dan berkata: “Lepaskanlah Tsumamah!” Kemudian Tsumamah pergi ke sebuah
kebun kurma di dekat mesjid, lalu mandi, kemudian masuk ke dalam mesjid dan berkata:
“Saya bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah (sesembahan) yang boleh disembah kecuali hanya
Allah dan saya bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah.” [HR Al Bukhari
(462) ]

Dari hadits tersebut di atas,dapat kita ketahui bahwa Tsumamah bin Utsal mandi itu karena
keinginan sendiri, dan bukan perintah Nabi. Pada dalil sebelumnya menceritakan bahwa ada
sebuah perintah dari Nabi kpd Tsumamah untuk mandi, akan tetapi di lain hadits menjelaskan
bahwa mandi itu adalah keinginan Tsumamah sendiri, dari dua dalil tersebut dapat disepakati
bahwa perintah Nabi adalah hukumnya sunnah atau mustahab (disukai) saja dan bukan
mengarah pada wajibnya.

Selain itu di dalam banyak hadits, Rasulullah hanya memerintahkan berdakwah mengajak
kepada Islam, contoh kisah dari Mu’adz bin Jabal ke Yaman Rasulullahberpesan :
‫ادعهم إلى شهادة أن َل إله إَل هللا وأن محمدا عبده ورسوله‬. . .
“Serulah mereka menuju syahadat ‘Tidak ada ilaah yang berhak disembah dengan benar
kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya…” [HR al-
Bukhariy (1395) dan Muslim (19)]

Menurut kelompok yang berpendapat tidak wajibnya mandi mengatakan, jika mandi bagi
orang yang masuk Islam adalah wajib maka tentu ada perintah untuk mandi juga karena tidak
sah ke-Islam-an mereka tanpa mandi.

Jika mandi diwajibkan, tentu ada kisah setiap orang2 yang masuk Islam di jaman Nabi
diperintahkan untuk mandi agar sah menjadi muslim. Yang ada adalah riwayat tentang
sebagian diperintah mandi dan sebagian lainnya tidak ada perintahnya. Sehingga dihukumi
sekedar sunnah dan bukan wajib.

5. Meninggal

Maksudnya wajib bagi orang yang hidup untuk memandikan orang yang meninggal.
Adapun dalil-dalilnya :
(1) Hadits Ibnu Abbas tentang orang yang jatuh dari ontanya dan meninggal, Nabi r
bersabda :
‫ا ْغ ِسلُ ْوهُ بِ َماءٍ َو ِسد ٍْر َوك َِفنُ ْوهُ فِي ث َ ْوبَي ِْن‬.
“Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara dan kafanilah dengan dua baju”. (HR.
Bukhary-Muslim).
(2) Hadits Ummu ‘Athiyah tatkala anak Nabi r meninggal, beliau bersabda :
‫س ْبعًا أَ ْو أَ ْكثَ َر إِ ْن َرأَ ْيت ُ َّن ذَلِكَ بِ َماءٍ َو ِسد ٍْر‬ ً ‫ا ْغس ِْلنَ َها ثََلَثًا أَ ْو َخ ْم‬
َ ‫سا أَ ْو‬
“Mandikanlah dia tiga kali atau lima atau tujuh atau lebih jika kalian melihatnya dengan air
dan daun bidara”. (HR. Bukhary-Muslim).

https://almubayyin.wordpress.com/about/mandi-wajib/

Anda mungkin juga menyukai