Anda di halaman 1dari 5

Hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional

A. Dasar-dasar berlakunya Hukum Internasional


Para Sarjana mengemukakan beberapa teori untuk menerangkn dasar pengikat berlakunya
Hukum Internasional dilingkungan masyarakat dunia. Diantara beberapa teori yang ada adalah :

1. Teori Hukum Alam ( Natural Law )


Penganut teori ini mendalilkan bahwa hokum internasional itu adalah “Hukum Alam” yang
merupakan hokum ideal karena mempunyai kedudukan tinggi daripada hokum negara ,
sehingga negara negara harus mentaati hokum internasional. Kelemahan dari teori ini adalah
konsep hokum alam itu terlalu abstrak dan cenderung bersifat subjektif, tergantung dari apa
yang diyakini oleh masing masing pribadi secara ideal.

2. Teori Voluntaris ( Teori Kehendak Negara )


Teori ini mendalilkan bahwa Hukum Intenasional ini berlaku karena adanya kehendak
dari negara yang bersangkutan untuk tunduk pada Hukum Internasional tersebut.
Kelemahan teori iniadalah tidak dapat diterimanya logika bahwa negara negara tidak
menghendaki suatu hokum untuk berlaku, maka ketentuan itu bukan lagi suatu “Hukum”.

3. Teori Objektivis
Dasar pengingakat hukum internasional adalah norma hokum yang lebih tinggi yang
didsarkan pada norma yang lebih tinggi lagi, dan seterusnya sehingga pada ketingkat
norma atau kaidah dasar yang disebut “Grundnorm” tersebut.

4. Teori Fakta-Fakta Kemasyarakatan


Sifata alami manusia sebagai makhluk sosial adalah untuk bergabung dengan manusia
yang lain dalam suatu masyarakat demikian juga negara yang tentunya ingin bergaul
dengan negara-negara yang lain dalam lingkungan masyarakat internasional.

B. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional


Dua aliran besar telah terbentuk akibat adanya pandangan yang berbeda mengenai dasar
pengikat berlakunya hokum internasional, khususnya teori voluntaris dan objektivis.
Aliran-aliran tersebut adalah :
1. Aliran Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa hukum nasional (“state law”) dan hokum internasinal
adalah dua sistem hukum yang berbeda. Trieple, salah seorang pemuka aliran ini
mengemukakan dua perbedaan mendasar dari kedua system hokum tersebut, yaitu:
a. Subyek hukum nasional adalah individu,sedangkan subyek hukum internasional
adalah negara
b. Sumbar dari hokum nasional adalah kehendak negara masing-masing. Sedangkan
hukum internasional adalah kehendak bersama negara-negara.
c. Prinsip dasar yang melandasi hukum nasional adalah prinsip dasar atau norma
dasar dari konstitusi,sedangkan hukum internasinal dilandasi oleh prinsip
“pejanjian adalah mengikat” {“pacta sunt servanda”)
2. Aliran Mononisme
Penganut aliran ini berpendapat bahwa hokum nasional dan hokum internasional
adalah merupakan bagian dari satu kesatuan ilmu hokum. Semua hokum adalah satu
kesatuan yang terdiri dari aturan aturan yang memikat , apakah itu terhadap negara,
individu, ataupun subjek lain selain negara. Oleh karena itu baik hokum nasional
maupun hokum internasional adalah bagian dari satu ilmu hokum yang mengatur
kehidupan manusia.
Akibat dari pandangan ini adalah dimungkinkannya suatu hubungan “Hierarki” antara
kedua system hokum tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya dua pendapat yang
berbeda mengenai manakah system hokum yang utama diantara keduanya jika terjadi
suatu pertentangan atau konflik. Faham-faham tersebut adalah :
a. Faham Monisme dengan Primat Hukum Nasional
Faham ini menganggap bahwa hukum nasional lebih utama kedudukannya
daripada hukum nasional dan pada hakekatnya adalah sumber dari hukum
internasional. Alasan yang di kemukakan adalah:
1. Tidak adda satu organisasi dunia yang berbeda di atas negara-negara dan
mengatur kehidupan negara-negara tersebut.
2. Dasar dari hukum internasioanal terletak pada wewenang konstitusional
negara-negara (kewenangan negara untuk membuat perjanjian)
b. Faham Mononisme dengan Primat Hukum Internasional
Faham ini beranggapan bahwa hukum nasional itu bersumber pada hukum
internasional yang pada dasarnya mempunyai hierarkis yang lebih tinggi, maka
supremasi hukum harus dibagikan kepada lebih dari 100 negara-negara di dunia
dengan system yang masing-masing berbeda. Hukum internasional pada dasarnya
lebih unggul daripada hukum nasional. Hal ini didasarkan pada dua fakta
strategis, yaitu :
1. Jika hukum internasional tegantung pada konstitui negara maka apabila
konstitusi itu diganti maka hukum internasonal tidak dapat berlaku lagi.
2. Telah diakui bahwa suau negara baru memenuhi masyarakat internasional
akan terikat oleh hukum internasional yang berlaku, tanpa ada persetujuan
terlebih dahulu.

Tempat Hukum Internasional Dalam Tata Hukum Secara Keseluruhan


Pembahasan persoalan tempat atau kedudukan hukum internasional dalam rangka hujum
secarakeseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum,
hukuminternasional merupakan bagian dari pada hukum pada umumnya. Anggapan atau
pendiriandemikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagai
suatuperangkat ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang efektif yang benar-benar hidup di
dalamkenyataan dan karenanya mempunyai hubungan yang efektif pula dengan ketentuan-
ketentuanatau bidang-bidang hukum lainnya, di antaranya yang paling penting adalah ketentuan-
ketentuanhukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masing-masing lingkungan
kebangsaannyayang dikenal dgnnama hukum nasional. Karena pentingnya hukum nasional
masing-masingnegara dalam konstelasi politik dunia dewasa ini dengan sendirinya pula
persoalanbagaimanakah hubungan antar berbagai hukum nasional itu dengan hukum internasional

2. Primat Hukum Internasional Menurut Praktik Internasional

Praktik hukum internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi

kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional dewasa ini

hukum internasional cukup memiliki wibawa terhadap hukum nasional untuk mengatakan bahwa

pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum nasional itu pada hakikatnya tunduk

pada hukum internasional.

Sebagai contoh, negara-negara mentaati hukum internasional mengenai batas

wilayah negara sebagai suatu hukum yang mengikat dirinya dalam pergaulan dengan negara lain,

khususnya dengan negara tetangganya.

Kenyataan yang dilukiskan di atas yaitu bahwa pada umumnya negara-negara di

dunia ini saling menghormati garis batas yang memisahkan wilayahnya dari wilayah negara lain

tidak berarti bahwa sekali-sekali tidak bisa terjadi sengketa perbatasan. Sengketa perbatasan antara

India dan RRC, RRC dan USSR.

Contoh lain kaidah hukum internasional yang umumnya ditaati ialah hukum yang

mengatur perjanjian internasional antarnegara. Di sini pun sekali-sekali hal terjadi penyimpangan

dari keadaan umum ini seperti juga dalam hal hukum internasional mengenai perbatasan wilayah.

Sering apa yang tampak sebagai pelanggaran suatu perjanjian tertentu, yang dengan

demikian merupakan suatu pelanggaran hukum internasional in concreto di bidang hubungan


diplomatik dan konsuler dan perlakuan terhadap orang asing termasuk miliknya. Ada kalanya

kekebalan diplomatik dan konsuler yang dijamin oleh ketentuan hukum internasional ini terpaksa

dilanggar oleh negara tuan rumah seperti misalnya dalam usaha menangkap atau menundukkan

pemberontak yang berlindung di gedung atau halaman gedung kedutaan atau konsuler negara

asing.

Bagaimanapun juga secara umum dapat dikatakan bahwa negara tuan rumah tidak

akan melanggar hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik dan konsuler kecuali ada alasan yang

kuat untuk ini dan setelah tidak ada jalan lain untuk mengatasinya.

Juga mengenai perlakuan terhadap orang asingdan hak milik asing dalam keadaan

tertentu, ketentuan hukum internasional mengenai perlakuan terhadap orang asing dan milik asing

tidak bisa dipertahankan karena ada kepentingan lain yang lebih mendesak dan lebih tinggi. Prima

facie merupakan tindakan yang melanggar hukum internasional yang memberikan perlindungan

kepada orang asing dan miliknya. Dalam persoalan tindakan pemerintah Indonesia terhadap

perkebunan dan perusahaan lain milik Belanda pada tahun 1958 ini, yang kemudian dikenal

dengan nama Perkara Tembakau Bremen. Keputusan yang diambil oleh pengadilan Bremen yakni

bahwa pengadilan tidak mencampuri sah tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi

pemerintah Indonesia itu, secara tidak langsung dapat diartikan sebagai membenarkan tindakan

terhadap perusahaan dan perkebunan milik Belanda.

Bidang lain dalam praktik hukum internasional ialah hukum laut. Sejak tahun 1958

yakni tahun diadakannya Konferensi Hukum Laut di Jenewa yang pertama tidak dapat lagi

dikatakan bahwa 3 mil laut merupakan batas lebar laut teritorial yang berlaku umum.

Persoalan penetapan batas lebar laut teritorial (sepenuhnya) menjadi urusan

masing-masing negara? Persoalan batas lebar laut teritorial itu sepenuhnya diatur oleh hukum
nasional negara masing-masing yang pada hakikatnya berarti penyangkalan terhadap adanya

hukum internasional yang mengatur persoalan ini.

Pendapat Mahkamah Internasional menunjukkan bahwa betapapun lemahnya

ketentuan (pembatasan) hukum internasional tentang penetapan lebar laut teritorial, kesimpulan

pokok yang dapat kita tarik darinya ialah bahwa penetapan batas lebar laut teritorial bukanlah

semata-mata merupakan tindakan sepihak suatu negara.

Pada waktu Konferensi Hukum Laut III di Caracas Venezuela (tahu 1974) dimulai

persoalan batas lebar laut teritorial sudah tidak menjadi masalah lagi karena tidak ada negara

peserta yang dapat menyangkal batas lebar 12 mil sebagai batas yang berlaku umum.

Dari uraian pertumbuhan dan terbentuknya kaidah hukum laut internasional

mengenai atas lebar laut wilayah dapat kita tarik beberapa kesimpulan.

Salah satu di antaranya ialah bahwa kita perlu ada pertentangan hakiki atau

fundamental antara tindakan sepihak (unilateral act) suatu negara dengan hukum internasional.

Anda mungkin juga menyukai