2
(pandangan bahwa Allah menetapkan setiap kejadian dan keadaan; manusia tidak
mempunyai kemampuan untuk memilih atau mempengaruhi nasib akhir dirinya sendiri).
Bab 14, tidak ada alasan yang tegas untuk menolak kekekalan. Bagi orang Kristen,
pertanyaan mengenai akhirat secara tegas dijawab oleh Yesus Kristus. Sebagai Anak
Allah, Dia mengetahui apakah ada kehidupan setelah kematian. Sebagai seorang yang
telah melewati kematian dan hidup lagi, Dia secara unik memenuhi syarat untuk
menjawab pertanyaan mengenai kekekalan. Dengan jelas Dia menegaskan bahwa ada
kehidupan setelah kematian (Luk. 16; Yoh. 11).
Bab 15, membahas tentang anggapan adanya pikiran-pikiran lain. Argumen dari
analogi mendukung anggapan adanya pikiran-pikiran lain. Argumen ini mendapat banyak
kritikan dalam pemikiran kontemporer, namun argumen ini tampaknya sama dapat
dipertahankan seperti setiap alternatif lain. Argumen itu ada yang mencela, tetapi tidak
satu pun dari sanggahan-sanggahan yang diajukan untuk menentangnya kelihatan
meyakinkan.
Bab 16, ada 4 teori penting mengenai kebenaran: teori koherensi, teori pragmatis,
teori performatif, dan teori korespondensi. 3 teori pertama tidak memadai, bahwa hanya
teori korespondensi yang memadai. Sebagai umat Kristen kita tidak mungkin menerima
suatu teori tentang kebenaran yang hasilnya adalah relativisme atau agnotisisme. Alkitab
jelas menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui kebenaran, dan akan dianggap
bertanggung jawab atas pengetahuan itu.
Bab 17, hubungan antara iman dan nalar, pada hakikatnya ada satu kesepakatan
penting diantara orang-orang Kristen. Nalar itu melebihi pernyataan benar secara
epistemologis, pernyataan melebihi nalar benar secara ontologis, pernyataan semata
benar dalam pengertian bahwa pada akhirnya secara ontologis semua kebenaran datang
dari Allah, nalar semata memiliki kebenaran tertentu, pernyataan dan nalar benar karena
secara tepat memberikan peran kepada masing-masing dan menunjukkan hubungan
mereka satu sama lain. Orang harus bernalar mengenai dan untuk pernyataan, jika tidak
maka dia memiliki iman yang tidak masuk akal. Demikian juga, nalar tidak mempunyai
pedoman tanpa pernyataan dan ragu-ragu dalam kesalahan.
Bab 18 tentang memahami Allah. Dari sudut pandang Kristen, Allah dilihat sebagai
Pencipta yang baik serta berkuasa tidak terbatas dan sebagai penopang dunia ini. Dia
menciptakan manusia dengan pilihan bebas dan mengizinkan adanya kejahatan untuk
maksud yang baik, yaitu untuk pada akhirnya mengalahkan kejahatan itu dan untuk
mendapatkan kebajikan yang lebih besar. Apa yang diketahui orang Kristen melalui iman
pada penyataan Allah, yaitu Alkitab, dikonfirmasi oleh nalar manusia.
Bab 19, ada 5 pendapat mengenai eksistensi Allah. Orang-orang berusaha
membuktikan bahwa eksistensi Allah merupakan suatu kepastian logis, mempertahankan
pendirian yang keliru dengan mengasumsikan eksistensi Allah, atau sekurang-kurangnya
eksistensi sesuatu yang darinya mereka menyimpulkan tentang eksistensi Allah. Menurut
penganut teisme memberikan alasan-alasan yang tepat untuk mendukung keyakinannya
pada eksistensi Allah. Alasan-alasan yang tepat itu disediakan oleh argumen-argumen
yang mendukung adanya suatu Wujud pribadi, yang pasti dan tidak terbatas yang oleh
penganut teisme disebut “Allah”.
Bab 20 tentang berbicara mengenai Allah. Pembicaraan tentang Allah yang
bermakna tunggal (bersifat univokal) adalah sisi positif sedangkan pendapat bahwa istilah-
istilah yang dipakai untuk Allah memiliki arti ganda adalah sisi negatif dari bahasa
keagamaan. Pembicaraan tentang Allah yang memadai adalah pembicaraan tentang Allah
(bersifat deskriptif dan positif) dan pembicaraan yang mendatangkan respons dari pihak
kita kepada Allah yang transenden.
Bab 21 tentang masalah kejahatan. Ada orang yang menerima kejahatan dan
menyangkal realitas Allah (ateisme), yang menerima Allah dan menyangkal realitas
kejahatan (panteisme). Banyak orang berusaha menerima dua-duanya. Dualisme
3
menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan dalam posisi berlawanan selama-lamanya,
dan ini berarti menyangkal supremasi Allah. Finitisme mengklaim bahwa Allah tidak
mungkin mengalahkan kejahatan, dan ini menyangkal ketidakterbatasan Allah. Teisme
mempunyai penjelasan paling memadai mengenai kejahatan, yaitu bahwa Allah yang baik
serta berkuasa secara tak terbatas mengizinkan kejahatan dengan maksud untuk
mendapatkan kebaikan yang lebih besar.
Bab 22, inti dari pengalaman agamawi terletak pada keinginan manusia, bahkan
kebutuhan manusia untuk melampaui batas-batas biasa. Jika hanya fakta saja bahwa
orang menginginkan Allah (Yang Transenden) bukanlah bukti bahwa Alah ada. Tetapi
manusia selalu bersifat religius; dia memang membutuhkan Allah. Kebutuhan manusia
merupakan petunjuk yang jauh lebih baik tentang ada atau tidaknya Allah ketimbang
keinginan manusia agar Allah ada. Manusia membutuhkan sesuatu yang Tertinggi, maka
Yang Tertinggi itu nyata.
Bab 23 tentang apa yang benar itu. Beberapa pendapat mengenai apa yang
dimaksud dengan kebenaran memiliki beberapa kelemahan tetapi tidak terdapat dalam
pandangan kristiani tentang kebenaran. Pandangan kristiani tentang etika mempunyai
satu sumber tertinggi yaitu Allah, suatu manifestasi tertinggi yaitu Yesus Kristus,
pernyataan tertinggi yaitu Alkitab, dan motivasi tertinggi yaitu kasih Kristus.
Bab 24 membahas tentang bagaimana kita mengetahui apa yang benar. Semua
orang yang berusaha membenarkan yang benar secara pragmatis, sosial atau politis
gagal, karena dasar-dasar ini sering bersifat jahat. Soal benar tidak dapat dibuktikan
kebenarannya melalui intuisi, sebab intuisi hanyalah sebuah sumber, bukan dasar
pembenaran pengetahuan. Suatu acuan kepada otoritas untuk membuktikan kebenaran
soal benar akhirnya akan berujung pada Otoritas Tertinggi (Allah) yang diatas-Nya tidak
ada pengadilan untuk naik banding.
Bab 25, membahas tentang hubungan antara aturan-aturan dengan hasil-hasil. Ada
2 pendekatan pokok terhadap etika. Etika deontologis menekankan kewajiban dalam
peraturan-peraturan. Etika teleologis menekankan tujuan dalam hasil-hasil. Dua aspek ini
tidak ada sangkut-pautnya. Suatu etika yang komprehensif akan mencakup keduanya.
Peraturan tidak ditentukan oleh hasil-hasil, tetapi orang yang hendak membuat keputusan
harus mempunyai gambaran tentang hasil-hasilnya.
Bab 26 membahas tentang apakah yang benar berlaku universal. Bagi orang
Kristen, norma-norma etika yang universal terkait kuat pada karakter yang tidak berubah
dari Allah. Yang dimaksudkan dengan itu adalah bahwa semua orang tunduk pada
kewajiban-kewajiban moral tertentu, misalnya untuk mengasihi dan bertindak adil kapan
saja dan di mana saja. Kewajiban mutlak tidak selalu mempunyai hubungan langsung
dengan cara bertindak yang aktual. Dalam dunia yang telah jatuh ini keadaan-keadaan
yang ada kurang dari ideal sehingga memerlukan penyesuaian yang tepat dalam tindakan
yang ditujukan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban universal.
Bab 27, membahas tentang pernahkah kewajiban-kewajiban moral bertentangan.
Pandangan alternatif-ketiga menandaskan bahwa tidak ada konflik-konflik nyata.
Pandangan ini tidak realistis, tidak alkitabiah dan tidak konsisten. Pandangan kejahatan-
lebih-ringan berpendapat bahwa ada beberapa dilema nyata, tetapi dalam setiap hal
kedua alternatif sama-sama jahat. Pendapat ini ternyata tidak cocok dengan kehidupan
Kristus, dan fakta tentang salib. Pandangan ini juga mengandung hal-hal yang secara
moral tidak masuk akal. Satu-satunya pandangan yang memadai ialah suatu bentuk
pandangan kebaikan-lebih-besar, yang menurutnya Allah membebaskan manusia dari
ketaatan pada perintah-perintah yang lebih rendah mengingat kewajiban di dalamnya
berlawanan dengan kewajiban dalam perintah yang lebih tinggi. Bagi orang Kristen,
Alkitab menyatakan perintah-perintah mana yang lebih tinggi.