Anda di halaman 1dari 4

Bab 1, tentang apa itu filsafat.

Filsat berasal dari dua kata Yunani yang berarti


“mencintai kebijaksanaan”. Tugas utama filsafat adalah pendidikan etika, artinya filsafat
harus mengajarkan tentang kehidupan yang baik. Terdapat dua pendekatan filsafat yaitu
filsafat analitis atau analitis konseptual dan filsafat spekulatif. Analisis konseptual adalah
keyakinan pada studi analitis atas konsep-konsep dengan tujuan mendefinisikan istilah-
istilah filosofis dan ilmiah yang menjelaskan ide-ide. Sedangkan filsafat spekulatif
menekankan pembuatan sintesis atas hasil-hasil kajian konseptual menjadi gambaran
realitas yang menyeluruh dan terpadu dengan tujuan menjelaskan secara sistematis unsur
pokok dari dunia dan realitas serta mendefinisikan kedudukan yang tepat dari manusia
berikut aktivitasnya dalam dunia ini. Salah satu tujuan utama filsafat adalah mengadakan
klarifikasi, filsafat berkaitan dengan pemikiran kritis tentang dasar kebenaran dan buktinya,
kajian filsafat berpusat pada pencarian kebenaran, analisis dan penjelasan filosofis
membutuhkan acuan pada berbagai sistem prinsip, dan beberapa filsafat memusatkan
perhatian pada sifat keberadaan atau realitas.
Bab 2, tentang bidang-bidang ilmu dalam filsafat. Filsafat memiliki cabang-cabang
utama antara lain etika, logika, epistemologi, dan metafisika. Etika mempelajari aturan dan
kewajiban yang menuntut kepada tindakan yang benar. Filsafat agama dan filsafat ilmu
pengetahuan berupaya untuk mengevaluasi secara kritis konsep dan metodologi disiplin.
Logika membahas peraturan-peraturan beragumentasi yang benar. Epistemologi adalah
teori pengetahuan yang menyelidiki tentang asal muasal dan sifat-sifat pengetahuan.
Metafisika adalah studi tentang realitas atau hakikat.
Bab 3, tentang metodologi dalam filsafat. Metode untuk berfilsafat ada banyak
antara lain metode dari masa lalu seperti metode Socrates (interogasi), metode Zeno
(Reductio ad Absurdum), metode Aristoteles (deduksi). Metode dalam dunia modern
antara lain metode induktif, metode ilmiah, dan metode kontemporer antara lain metode
eksistensial, metode fenomenologis, metode analitis yang terbagi dalam metode verifikasi
dan metode klarifikasi. Dalam berfilsafat harus mencari metode yang lebih cocok dalam
pencarian kebenaran. Filusuf Kristen bersifat fideistis atau bersandar pada iman semata
dengan berpendapat bahwa tidak ada jalan rasional untuk membenarkan suatu
kepercayaan religius. Keberadaan Allah yang menyatakan diriNya sendiri dalam kitab suci
adalah kepercayaan terpenting dari Agama Kristen.
Bab 4, tentang alat-alat filsafat. Alat utama para filusuf adalah logika, yang
berhubungan dengan aturan bagi argumentasi yang baik. Perbedaan mendasar antara
argumen induktif dan deduktif adalah hubungan antara premis-premis dengan kesimpulan.
Dalam argumen induktif, premis hanya menunjang pembentukan kesimpulan. Bilamana
argumennya valid dan premis-premisnya benar, premis-premis itu menjamin kebenaran
kesimpulan dalam argumen deduktif. Filusuf memusatkan perhatian pada bentuk dan
kebenaran argumen-argumennya sehingga ia bisa mengajukan argumen-argumen
tersebut dalam bentuk silogistik, sebagian besar dari kita memusatkan perhatian pada
logika dalam pengertian yang lebih informal.
Bab 5, tentang tantangan terhadap filsafat. Tantangan filsafat bagi orang Kristen
ada dua yaitu tantangan umum berupa cara berpikir kritis, jernih, tepat, dan komprehensif
tentang dunia. Karena berbagai keyakinan alkitabiahnya yang mendasar, umat Kristen
memiliki beban filosofis khusus. Ia menggunakan filsafat dalam sistematisasi berbagai
keyakinan ini, dan dalam argumentasi untuk mempertahankan Kekristenan. Ia
membutuhkan filsafat untuk menyampaikan pandangan Kristen kepada orang-orang yang
mempunyai pandangan hidup yang berbeda. Umat Kristen membutuhkan filsafat untuk
membuat hal yang dapat dipercaya itu dapat dimengerti. Filsafat adalah alat yang
dengannya umat Kristen membuat imannya menjadi masuk akal.
Bab 6, tentang bentuk-bentuk skeptisisme dan argumennya. Skeptisisme tidak
dapat dibenarkan sebagai suatu pendapat epistemologi. Skeptisisme berlaku bagaikan
bunyi pada pelana si epistemolog, yang meminta agar setiap pernyataan tentang
1
pengetahuan didasarkan pada bukti yang memadai dan bebas dari kontradiksi atau
kejanggalan.
Bab 7, tentang lima sumber dan metode pembenaran keyakinan yaitu iman,
subyektivisme, rasionalisme, empirisme, dan pragmatisme. Iman atau kesaksian orang
lain adalah sumber utama pengetahuan kita pada masa yang lalu. Intuisi adalah dasar
rasa keindahan kita, atau cita rasa (rasa estetika), dan juga etika serta metafisika bagi
sebagian orang. Nalar berfungsi baik dalam peran negatif maupun positif. Nalar
mengajarkan kepada kita bahwa keyakinan yang berlawanan tidak mungkin dibenarkan.
Nalar adalah juga sumber keyakinan kita tentang matematika, logika, dan universalia.
Pengalaman menambahkan kepada nalar pengetahuan tentang dunia luar, karena
pengalaman adalah sumber pengetahuan faktual. Dan akhirnya, pragmatisme mengatur
perilaku sosial dan individual kita di mana norma-norma moral tidak berlaku.
Bab 8, tentang kepastian. Kepastian atau keadaan tidak diragukan adalah syarat
penting untuk mengetahui. Pengetahuan manusia bersifat dapat keliru atau merupakan
kemungkinan karena pengetahuan manusia hanya sebagian saja. Hanya Allah yang dapat
mengetahui segala sesuatu secara pasti dan mutlak. Kadang-kadang manusia melakukan
kesalahan hanya karena tidak mengetahui satu atau beberapa fakta yang berhubungan.
Hal ini tidak mungkin terjadi pada Allah karena Allah mengetahui segalanya, baik yang
nyata maupun yang mungkin (Mzm. 139:1-6). Selain itu pengetahuan Allah adalah benar.
Artinya, pengetahuan Allah cocok dengan realitas (Kel. 34:6; Bil 23:19; Ul 32:4). Jadi,
ketidaktahuan atau kekeliruan bukan ciri-ciri pengetahuan Allah.
Bab 9, mempelajari tentang 3 pandangan tentang sifat dan kemandirian dunia
materiil dan orang yang mengetahuinya. Realisme menetapkan bahwa kita langsung
berhubungan dengan suatu dunia yang berada di luar, bersifat materiil, dan mandiri.
Dualisme menekankan keberadaan dua alam, yang satu adalah alam ide-ide, kesan-
kesan, atau data dari penginderaan, dan yang lain adalah obyek-obyek materiil. Idealisme
mereduksi semua “dunia” menjadi alam subyek atau subyektivitas.
Bab 10, terdapat epistemolog Kristen pada kedua sisi dari masalah pembenaran
epistemik. Pada titik tertentu baik fondasionalisme (mau mengakui keyakinan-keyakinan
fundamental yang tidak pasti dan berbagai alasan yang tidak konklusif secara logis)
maupun koherenisme (mau menerima pandangan bahwa keyakinan-keyakinan di sisi luar
jaringan berada di luar pengalaman) saling mendekati, maka dua pandangan ini memiliki
beberapa kesamaan penting.
Bab 11, tentang realitas itu tunggal atau jamak. Monoisme dalam artinya yang tepat
mendukung pendapat bahwa hanya ada satu wujud dalam alam semesta. Pluralisme
dalam artinya yang tepat menandaskan bahwa wujud pada hakikatnya banyak; terdapat
banyak wujud. Penganut teisme Kristen tidak memandang wujud sebagai sesuatu yang
pasti identik di mana pun ditemukan. Wujud adalah serupa (analog), namun tidak identik
satu dengan yang lain. Allah adalah wujud; segala yang lain memiliki wujud karena Allah
memberikannya (Yoh. 1:2; Why. 4:11).
Bab 12, tentang hubungan antara pikiran dan tubuh. Sebagian besar filsuf
kontemporer yang mendalami soal pikiran menganut bentuk tertentu dari teori identitas,
interaksionisme atau epifenomenalisme namun teori identitas itu bertentangan dengan
ajaran Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa manusia lebih daripada sekadar materi murni.
Tubuh manusia diambil dari debu tanah, tetapi Allah menghembuskan napas-Nya ke
dalam manusia (Kej. 2:7). Jadi, manusia adalah sesuatu yang lebih daripada sekadar
tubuh.
Bab 13, membahas apakah manusia bebas. Diantara pandapat dari determinisme
keras, lunak, indeterminasi sederhana, libertarianisme dan teori dua tingkat untuk
persoalan kebebasan manusia. Indeterminasi sederhana adalah yang paling tidak masuk
akal. Dalam berpendapat, orang Kristen sangat dipengaruhi oleh determinasi teologis

2
(pandangan bahwa Allah menetapkan setiap kejadian dan keadaan; manusia tidak
mempunyai kemampuan untuk memilih atau mempengaruhi nasib akhir dirinya sendiri).
Bab 14, tidak ada alasan yang tegas untuk menolak kekekalan. Bagi orang Kristen,
pertanyaan mengenai akhirat secara tegas dijawab oleh Yesus Kristus. Sebagai Anak
Allah, Dia mengetahui apakah ada kehidupan setelah kematian. Sebagai seorang yang
telah melewati kematian dan hidup lagi, Dia secara unik memenuhi syarat untuk
menjawab pertanyaan mengenai kekekalan. Dengan jelas Dia menegaskan bahwa ada
kehidupan setelah kematian (Luk. 16; Yoh. 11).
Bab 15, membahas tentang anggapan adanya pikiran-pikiran lain. Argumen dari
analogi mendukung anggapan adanya pikiran-pikiran lain. Argumen ini mendapat banyak
kritikan dalam pemikiran kontemporer, namun argumen ini tampaknya sama dapat
dipertahankan seperti setiap alternatif lain. Argumen itu ada yang mencela, tetapi tidak
satu pun dari sanggahan-sanggahan yang diajukan untuk menentangnya kelihatan
meyakinkan.
Bab 16, ada 4 teori penting mengenai kebenaran: teori koherensi, teori pragmatis,
teori performatif, dan teori korespondensi. 3 teori pertama tidak memadai, bahwa hanya
teori korespondensi yang memadai. Sebagai umat Kristen kita tidak mungkin menerima
suatu teori tentang kebenaran yang hasilnya adalah relativisme atau agnotisisme. Alkitab
jelas menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui kebenaran, dan akan dianggap
bertanggung jawab atas pengetahuan itu.
Bab 17, hubungan antara iman dan nalar, pada hakikatnya ada satu kesepakatan
penting diantara orang-orang Kristen. Nalar itu melebihi pernyataan benar secara
epistemologis, pernyataan melebihi nalar benar secara ontologis, pernyataan semata
benar dalam pengertian bahwa pada akhirnya secara ontologis semua kebenaran datang
dari Allah, nalar semata memiliki kebenaran tertentu, pernyataan dan nalar benar karena
secara tepat memberikan peran kepada masing-masing dan menunjukkan hubungan
mereka satu sama lain. Orang harus bernalar mengenai dan untuk pernyataan, jika tidak
maka dia memiliki iman yang tidak masuk akal. Demikian juga, nalar tidak mempunyai
pedoman tanpa pernyataan dan ragu-ragu dalam kesalahan.
Bab 18 tentang memahami Allah. Dari sudut pandang Kristen, Allah dilihat sebagai
Pencipta yang baik serta berkuasa tidak terbatas dan sebagai penopang dunia ini. Dia
menciptakan manusia dengan pilihan bebas dan mengizinkan adanya kejahatan untuk
maksud yang baik, yaitu untuk pada akhirnya mengalahkan kejahatan itu dan untuk
mendapatkan kebajikan yang lebih besar. Apa yang diketahui orang Kristen melalui iman
pada penyataan Allah, yaitu Alkitab, dikonfirmasi oleh nalar manusia.
Bab 19, ada 5 pendapat mengenai eksistensi Allah. Orang-orang berusaha
membuktikan bahwa eksistensi Allah merupakan suatu kepastian logis, mempertahankan
pendirian yang keliru dengan mengasumsikan eksistensi Allah, atau sekurang-kurangnya
eksistensi sesuatu yang darinya mereka menyimpulkan tentang eksistensi Allah. Menurut
penganut teisme memberikan alasan-alasan yang tepat untuk mendukung keyakinannya
pada eksistensi Allah. Alasan-alasan yang tepat itu disediakan oleh argumen-argumen
yang mendukung adanya suatu Wujud pribadi, yang pasti dan tidak terbatas yang oleh
penganut teisme disebut “Allah”.
Bab 20 tentang berbicara mengenai Allah. Pembicaraan tentang Allah yang
bermakna tunggal (bersifat univokal) adalah sisi positif sedangkan pendapat bahwa istilah-
istilah yang dipakai untuk Allah memiliki arti ganda adalah sisi negatif dari bahasa
keagamaan. Pembicaraan tentang Allah yang memadai adalah pembicaraan tentang Allah
(bersifat deskriptif dan positif) dan pembicaraan yang mendatangkan respons dari pihak
kita kepada Allah yang transenden.
Bab 21 tentang masalah kejahatan. Ada orang yang menerima kejahatan dan
menyangkal realitas Allah (ateisme), yang menerima Allah dan menyangkal realitas
kejahatan (panteisme). Banyak orang berusaha menerima dua-duanya. Dualisme
3
menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan dalam posisi berlawanan selama-lamanya,
dan ini berarti menyangkal supremasi Allah. Finitisme mengklaim bahwa Allah tidak
mungkin mengalahkan kejahatan, dan ini menyangkal ketidakterbatasan Allah. Teisme
mempunyai penjelasan paling memadai mengenai kejahatan, yaitu bahwa Allah yang baik
serta berkuasa secara tak terbatas mengizinkan kejahatan dengan maksud untuk
mendapatkan kebaikan yang lebih besar.
Bab 22, inti dari pengalaman agamawi terletak pada keinginan manusia, bahkan
kebutuhan manusia untuk melampaui batas-batas biasa. Jika hanya fakta saja bahwa
orang menginginkan Allah (Yang Transenden) bukanlah bukti bahwa Alah ada. Tetapi
manusia selalu bersifat religius; dia memang membutuhkan Allah. Kebutuhan manusia
merupakan petunjuk yang jauh lebih baik tentang ada atau tidaknya Allah ketimbang
keinginan manusia agar Allah ada. Manusia membutuhkan sesuatu yang Tertinggi, maka
Yang Tertinggi itu nyata.
Bab 23 tentang apa yang benar itu. Beberapa pendapat mengenai apa yang
dimaksud dengan kebenaran memiliki beberapa kelemahan tetapi tidak terdapat dalam
pandangan kristiani tentang kebenaran. Pandangan kristiani tentang etika mempunyai
satu sumber tertinggi yaitu Allah, suatu manifestasi tertinggi yaitu Yesus Kristus,
pernyataan tertinggi yaitu Alkitab, dan motivasi tertinggi yaitu kasih Kristus.
Bab 24 membahas tentang bagaimana kita mengetahui apa yang benar. Semua
orang yang berusaha membenarkan yang benar secara pragmatis, sosial atau politis
gagal, karena dasar-dasar ini sering bersifat jahat. Soal benar tidak dapat dibuktikan
kebenarannya melalui intuisi, sebab intuisi hanyalah sebuah sumber, bukan dasar
pembenaran pengetahuan. Suatu acuan kepada otoritas untuk membuktikan kebenaran
soal benar akhirnya akan berujung pada Otoritas Tertinggi (Allah) yang diatas-Nya tidak
ada pengadilan untuk naik banding.
Bab 25, membahas tentang hubungan antara aturan-aturan dengan hasil-hasil. Ada
2 pendekatan pokok terhadap etika. Etika deontologis menekankan kewajiban dalam
peraturan-peraturan. Etika teleologis menekankan tujuan dalam hasil-hasil. Dua aspek ini
tidak ada sangkut-pautnya. Suatu etika yang komprehensif akan mencakup keduanya.
Peraturan tidak ditentukan oleh hasil-hasil, tetapi orang yang hendak membuat keputusan
harus mempunyai gambaran tentang hasil-hasilnya.
Bab 26 membahas tentang apakah yang benar berlaku universal. Bagi orang
Kristen, norma-norma etika yang universal terkait kuat pada karakter yang tidak berubah
dari Allah. Yang dimaksudkan dengan itu adalah bahwa semua orang tunduk pada
kewajiban-kewajiban moral tertentu, misalnya untuk mengasihi dan bertindak adil kapan
saja dan di mana saja. Kewajiban mutlak tidak selalu mempunyai hubungan langsung
dengan cara bertindak yang aktual. Dalam dunia yang telah jatuh ini keadaan-keadaan
yang ada kurang dari ideal sehingga memerlukan penyesuaian yang tepat dalam tindakan
yang ditujukan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban universal.
Bab 27, membahas tentang pernahkah kewajiban-kewajiban moral bertentangan.
Pandangan alternatif-ketiga menandaskan bahwa tidak ada konflik-konflik nyata.
Pandangan ini tidak realistis, tidak alkitabiah dan tidak konsisten. Pandangan kejahatan-
lebih-ringan berpendapat bahwa ada beberapa dilema nyata, tetapi dalam setiap hal
kedua alternatif sama-sama jahat. Pendapat ini ternyata tidak cocok dengan kehidupan
Kristus, dan fakta tentang salib. Pandangan ini juga mengandung hal-hal yang secara
moral tidak masuk akal. Satu-satunya pandangan yang memadai ialah suatu bentuk
pandangan kebaikan-lebih-besar, yang menurutnya Allah membebaskan manusia dari
ketaatan pada perintah-perintah yang lebih rendah mengingat kewajiban di dalamnya
berlawanan dengan kewajiban dalam perintah yang lebih tinggi. Bagi orang Kristen,
Alkitab menyatakan perintah-perintah mana yang lebih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai