Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Malu adalah ajaran para nabi, sejak nabi pertama hingga nabi terakhir, ada
yang sudah sirna dan ada yang tidak. Di antara ajaran yang tidak pernah sirna
adalah rasa malu. Hal ini menunjukkan bahwa rasa malu memiliki kedudukan
yang sangat tinggi di dalam agama. Oleh karena itu harus mendapat perhatian
yang mendalam. Jika seseorang telah meninggalkan rasa malu, maka jangan
harap lagi (kebaikan) darinya sedikitpun.

Malu merupakan landasan akhlak mulia dan selalu bermuara kepada


kebaikan. Siapa yang banyak malunya lebih banyak kebaikannya, dan siapa yang
sedikit rasa malunya semakin sedikit kebaikannya. Rasa malu merupakan prilaku
dan dapat dibentuk. Maka setiap orang yang memiliki tanggung jawab hendaknya
memperhatikan bimbingan terhadap mereka yang menjadi tanggung jawabnya.
Tidak ada rasa malu dalam mengajarkan hukum-hukum agama serta menuntut
ilmu dan kebenaran .

Allah ta’ala berfirman : “ Dan Allah tidak malu dari kebenaran “ (33 :
53). Diantara manfaat rasa malu adalah ‘Iffah (menjaga diri dari perbuatan
tercela) dan Wafa’ (menepati janji) Rasa malu merupakan cabang iman yang
wajib diwujudkan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bunyi hadist arba’in nawawi ke-20 ?
2. Bagaimana penilaian hadist arba’in nawawi ke-20 ?
3. Apa faedah hadist arba’in nawawi ke-20 ?
4. Bagaimana cara memupuk sikap malu menurut hadits arba’in nawawi ke-
20
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui lafadz dan arti hadist arba’in nawawi ke-20
2. Untuk mengetahui Bagaimana penilaian hadist arba’in nawawi ke-20
3. Untuk mengetahui aedah hadist arba’in nawawi ke-20
4. Untuk mengetahui cara memupuk sikap malu menurut hadits arba’in
nawawi ke-20
1 | Page
BAB II
PEMBAHASAN
ُ ‫ال َح ِدي‬
َ‫ْث ال ِع ْش ُر ْون‬

َ ‫قَا‬
:‫ل‬ – ُ‫ع ْنه‬َ ُ‫ي هللا‬َ ‫ض‬ ِ ‫اري البَ ْد ِري – َر‬ َ ‫ع ْم ٍرو األ َ ْن‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ع ْقبَةَ ب ِْن‬ُ ‫ع ْن أ َ ِبي َم ْسعُ ْو ٍد‬ َ
ِ‫اس ِم ْن َكالَ ِم النُّبُ َّوة‬ُ َّ‫ “ ِإ َّن ِم َّما أ َ ْد َر َك الن‬:‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬
.‫َاري‬ ِ ‫ت” َر َواهُ البُخ‬ َ ْ‫صن َْع َما ِشئ‬ْ ‫ ِإذَا لَ ْم ت َ ْستَحْ ي ِ فَا‬:‫األ ُ ْولَى‬
A. Hadits Ke-20

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Sesungguhnya di antara
perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu,
maka berbuatlah sesukamu!’”

(HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 3484, 6120]

B. Penilaian Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari riwayat Manshur bin Al-Mu’tamar dari
Rib’iy bin Hirasy dari Abu Mas’ud dari Hudzaifah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka ada perbedaan dalam sanad hadits ini. Namun, sebagian besar ahli
hadits mengatakan bahwa ini adalah perkataan Abu Mas’ud. Yang mengatakan
demikian adalah Al-Bukhari, Abu Zur’ah, Ar-Raziy, Ad-Daruquthniy, dan lain-lain.
Yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah bahwa telah diriwayatkan dengan jalan
lain, dari Abu Mas’ud pada riwayat Masruq. Dikeluarkan pula oleh Ath-Thabraniy
dari hadits Abu Ath-Thufail dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga. Lihat Jami’
Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:496.

C. Faedah Hadits

2 | Page
Pertama: Sifat malu adalah warisan para nabi terdahulu.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan mengenai perkataan dalam hadits


tersebut “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan
nabi-nabi terdahulu.”

“Hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah sisa (atsar) dari ajaran Nabi
terdahulu. Kemudian manusia menyebarkan dan mewariskan dari para Nabi tersebut
pada setiap zaman. Maka hal ini menunjukkan bahwa kenabian terdahulu biasa
menyampaikan perkataan ini sehingga tersebarlah di antara orang-orang hingga
perkataan ini juga akhirnya sampai pada umat Islam.” (Jami’ Al-‘ulum wa Al-Hikam,
1:497)

Yang dimaksudkan dengan (‫ )النُّب َُّو ِة األ ُ ْو َلى‬adalah kenabian terdahulu yaitu (mulai dari)
awal Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan lain-lain. Lihat Syarh Al-Arba’in An-
Nawawiyyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 112.

Perkataan umat terdahulu bisa saja dinukil melalui jalan wahyu yaitu Al-Qur’an, As-
Sunnah (hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau dinukil dari perkataan orang-
orang terdahulu. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Shalih Alu
Syaikh, hlm. 207.

Karena hal ini adalah perkataan Nabi terdahulu maka hal ini menunjukkan bahwa
perkataan ini memiliki faedah yang besar sehingga sangat penting sekali untuk
diperhatikan.

Kedua: Ada pelajaran penting yang patut dipahami. Syariat sebelum Islam atau
syariat yang dibawa oleh nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam terbagi menjadi tiga:

1. Ajaran yang dibenarkan oleh syariat Islam, maka ajaran ini shahih dan
diterima.
2. Ajaran yang dibatalkan oleh syariat Islam, maka ajaran ini bathil dan tertolak.
3. Ajaran yang tidak diketahui dibenarkan atau disalahkan oleh syariat Islam,
maka sikap kita adalah tawaqquf (berdiam diri, tidak berkomentar apa-apa).
Namun, apabila perkataan semacam ini ingin disampaikan kepada manusia
dalam rangka sebagai nasihat dan semacamnya maka hal ini tidaklah mengapa,

3 | Page
dengan syarat tidak dianggap bahwa perkataan itu multak benar. (Lihat Syarh
Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
‘Utsaimin, hlm. 231-232)

Keterangan lainnya diberikan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdil ‘Aziz Asy-
Syatsri bahwa syar’un man qablanaa (syariat sebelum kita) ada dua macam:

Pertama: Syariat yang disebutkan oleh umat sebelum kita, semisal ini tidak dijadikan
hukum karena tidak terpercayanya pembawa berita.

Kedua: Syariat yang disebutkan oleh syariat kita dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah,
hal ini dibagi tiga:

1. Jika dihapus oleh syariat kita, maka tidak bisa dijadikan hukum. Seperti
disebutkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dihalalkan
ghanimah (harta rampasan perang) dan tidak dihalalkan pada orang sebelum
nabi.
2. Jika disetujui oleh syariat kita, maka dijadikan hukum. Seperti syariat puasa
diwajibkan bagi kita sebagaimana diwajibkan pula pada orang sebelum kita.
3. Jika tidak diketahui dihapus oleh syariat kita ataukah disetujui, inilah yang
terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama. Madzhab Malikiyah dan
Hambali menyatakan bisa dijadikan hukum, hal ini berbeda dengan madzhab
Hanafiyah dan Syafi’iyah. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-
Mukhtashar, hlm. 153.

Ketiga: Rasa malu merupakan bentuk keimanan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa


sallam bersabda,

‫ان‬
ِ ‫اإلي َم‬ ُ ‫ْال َحيَا ُء‬
ِ َ‫ش ْعبَةٌ ِمن‬
”Malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. Muslim, no. 161)

Rasa malu ini juga dipuji oleh Allah.

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

‫س َل أ َ َحدُ ُك ْم فَ ْليَ ْستَتِ ْر‬ َّ ‫ير يُ ِحبُّ ْال َحيَا َء َوال‬


َ َ ‫ستْ َر فَإِذَا ا ْغت‬ ٌ ِّ ِ‫ى ِست‬
ٌّ ‫ع َّز َو َج َّل َح ِي‬ َّ ‫ِإ َّن‬
َ َ‫َّللا‬

4 | Page
”Sesungguhnya Allah itu Mahamalu dan Maha Menutupi, Allah cinta kepada sifat
malu dan tertutup, maka jika salah seorang di antara kalian itu mandi maka
hendaklah menutupi diri.” (HR. Abu Daud, no. 4014, dikatakan shahih oleh Syaikh
Al-Albani).

Keempat: Malu ada dua macam yang berkaitan dengan hak Allah dan berkaitan
dengan hak sesama.

Pertama, malu yang berkaitan dengan hak Allah. Seseorang harus memiliki rasa malu
ini, dia harus mengetahui bahwa Allah mengetahui dan melihat setiap perbuatan yang
dia lakukan, baik larangan yang diterjangnya maupun perintah yang dilakukannya.

Kedua, malu yang berkaitan dengan hak manusia. Seseorang juga harus memiliki rasa
malu ini, agar ketika berinteraksi dengan sesama, ia tidak berperilaku yang tidak
pantas (menyelisihi al-muru’ah) dan berakhlak jelek.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberi contoh, dalam majelis ilmu, jika
seseorang berada di shaf pertama, lalu dia menjulurkan kakinya, maka dia dinilai
tidak memiliki rasa malu karena dia tidak menjaga al-muru’ah (kewibawaan). Jika dia
duduk di antara teman-temannya, kemudian dia menjulurkan kaki, maka ini tidaklah
meniadakan al-muru’ah. Namun, lebih baik lagi jika dia meminta izin pada temannya,
“Bolehkah saya menjulurkan kaki?”. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 233-234).

Kelima: Malu juga ada yang merupakan bawaan, dan ada malu yang mesti
diusahakan.

Sebagian manusia telah diberi kelebihan oleh Allah Ta’ala rasa malu. Ketika dia
masih kecil saja sudah memiliki sifat demikian. Dia malu berbicara kecuali jika ada
urusan mendesak atau tidak mau melakukan sesuatu kecuali jika terpaksa, karena dia
adalah pemalu.

Sedangkan malu jenis kedua adalah malu karena hasil dilatih. Orang seperti ini biasa
cekatan dalam berbicara, berbuat. Kemudian ia berteman dengan orang-orang yang
memiliki sifat malu dan dia tertular sifat ini dari mereka. Rasa malu yang pertama di

5 | Page
atas lebih utama dari yang kedua ini. (Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm. 234)

D. Cara memupuk sikap Malu

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-


Hikam menerangkan bahwa malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal
Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan
iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa
muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat
kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Jika rasa malu yang diusahakan
ini pun tidak bisa diraih, maka seseorang tidak akan bisa tercegah dari melakukan
keharaman, seakan-akan iman tidak ia miliki, wallahu a’lam.

Hal yang sama juga diterangkan oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri dalam
Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar, hlm. 155-156.

Keenam: Perlu diketahui bahwa malu adalah suatu akhlak yang terpuji kecuali jika
rasa malu tersebut itu muncul karena enggan melakukan kebaikan atau dapat terjatuh
dalam keharaman. Maka jika seseorang enggan untuk melakukan kebaikan seperti
enggan untuk nahi mungkar (melarang kemungkaran) padahal ketika itu wajib, maka
ini adalah sifat malu yang tercela.

Jadi ingat! Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak
menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. Lihat Syarh Al-
Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hlm.
234.

Ketujuh: Jika tidak malu, lakukanlah sesukamu.

Para ulama mengatakan bahwa perkataan ini ada dua makna :

Pertama:

6 | Page
Kalimat tersebut bermakna perintah dan perintah ini bermakna mubah. Maknanya
adalah jika perbuatan tersebut tidak membuatmu malu, maka lakukanlah sesukamu.
Maka makna pertama ini kembali pada perbuatan.

Kedua:

Kalimat tersebut bukanlah bermakna perintah. Para ulama memiliki dua tinjauan
dalam perkataan kedua ini:

1. Kalimat perintah tersebut bermakna ancaman. Jadi maknanya adalah: Jika kamu
tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu (ini maksudnya ancaman). Hal
ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

‫ير‬
ٌ ‫ص‬ِ َ‫ا ْع َملُوا َما ِشئْت ُ ْم ِإنَّهُ بِ َما ت َ ْع َملُونَ ب‬
”Lakukanlah sesukamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu lakukan.”
(QS. Fushilat: 40).

Maksud ayat ini bukanlah maksudnya agar kita melakukan sesuka kita termasuk
perkara maksiat. Namun, maksud ayat ini adalah ancaman: Jika kamu tidak memiliki
rasa malu, lakukanlah sesukamu. Pasti engkau akan mendapatkan akibatnya.

2. Kalimat perintah tersebut bermakna berita. Jadi maknanya adalah: Jika kamu tidak
memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu. Dan penghalangmu untuk
melakukan kejelekan adalah rasa malu. Jadi bagi siapa yang tidak memiliki rasa malu,
maka dia akan terjerumus dalam kejelekan dan kemungkaran. Dan yang menghalangi
hal semacam ini adalah rasa malu. Kalimat semacam ini juga terdapat dalam hadits
Nabi yang mutawatir,

ِ َّ‫ى ُمتَعَ ِ ِّمدًا فَ ْليَتَبَ َّوأْ َم ْقعَدَهُ ِمنَ الن‬


‫ار‬ َّ َ‫عل‬ َ َ‫َم ْن َكذ‬
َ ‫ب‬
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ambil
tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari, no. 110 dan Muslim, no. 3).

Kalimat ini adalah perintah, namun bermakna khabar (berita). Jadi jika tidak memiliki
sifat malu, pasti engkau akan terjerumus dalam kemungkaran. Itu maksud perintah di
sini bermakna berita. (Lihat Tawdhih Al-Ahkam, 4:794, Darul Atsar; Syarh Arba’in
Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 113; Syarh Arba’in Al-Utsaimin, hlm. 207; Jami’ Al-
‘Ulum wa Al-Hikam, hlm. 255)

7 | Page
Semoga Allah beri taufik agar kita dihiasi dengan rasa malu.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

8 | Page
Rasa malu termasuk perkara yang dibawa oleh syari’at-syari’at terdahulu.

Seseorang seyogyanya menjadi orang yang jujur (berterus terang). Karena jika suatu
perkara bukanlah sesuatu yang memalukan, silakan ia mengerjakannya. Hal ini
dibatasi dengan apa-apa yang jika itu dilakukan akan menimbulkan kemafsadatan.
Jika demikian, maka perbuatan itu tidak boleh dilakukan. Karena dikhawatirkan akan
terjerumus dalam kerusakan tersebut.

(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim,

DAFTAR PUSTAKA

1. Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Ibnu Rajab


Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
2. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah Al-Mukhtashar. Cetakan pertama, Tahun
1431 H. Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri. Penerbit
Dar Kunuz Isybiliya.

9 | Page
3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.
4. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh
Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Penerbit
Darul ‘Ashimah.

Selesai dilengkapi di atas udara dengan Garuda Airlines, 18 Jumadats Tsaniyyah 1440
H (Sabtu, 23 Februari 2019)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasika


Sumber https://rumaysho.com/19633-hadits-arbain-20-keutamaan-memiliki-sifat-
malu.html

10 | Page

Anda mungkin juga menyukai