Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat didalam tubuh mengalami tahapan eliminasi melalui ekskresi atau
biotransformasi (metabolisme). Ekskresi oleh ginjal merupakan rute eliminasi
dominan untuk obat dengan sifat fisikokimia tertentu sehingga mengalami
biotransformasi yang lambat oleh hati. Tahapan eliminasi dalam ginjal meliputi
filtrasi glomelurus,sekresi tubular aktif,dan reabsorbsi tubular. Pada tahap
reabsorsi obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah sangat dipengaruhi oleh
pH cairan dalam tubulus ginjal(urin) dan pKa obat. Dua faktor tersebut
mempengaruhi ionisasi obat dalam tubulus ginjal,berapa banyak persentase obat
yang terionisasi dan tidak terionisasi yang dapat direabsorbsi. Konstanta
disosiasi(pKa) obat merupakan faktor pengaruh yang bersifat tetap,sedangkan pH
urin dapat berubah karena minuman ,obat yang sedang dikonsumsi,atau fisiologis
tubuh yang abnormal(Shargel& Yu,2005).
Salah satu obat dominan di ekskresikan dalam urin adalah sulfadiazin dari
golongan sulfonamida yang digunakan untuk pengobatan dan pencegahan infeksi
saluran kemih pada manusia. Obat ini bersifat bakterisid dengan kadarnya yang
tinggi dalam urin,lebih dari 40% bentuk utuhnya di ekskresi. Sulfadiazin termasuk
asam lemah yang ekskresinya dipengaruhi oleh pH urin. Klirensnya melalui ginjal
meningkat dengan berkurangnya reabsorbsi tubular akibat suasana alkalis.
Sulfadiazin sukar larut dalam urin sehingga berpotensi menyebabkan kristaluria
dan komplikasi ginjal lainnya. Pencegahan resiko dari pemberian sulfadiazin
dapat dilakukan dengan pemberian sediaan alkalis seperti natrium
bikarbonat(Galichet,2005;Setiabudy &Mariana,2007).
Furosemid merupakan obat golongan loop diuretic berpotensi tinggi yang
banyak digunakan dalam aplikasi klinik. Senyawa ini adalah derivat asam
antranilat yang biasanya digunakan untuk terapi pada pasien dengan kondisi
hipervolemik(kitsios et al.,2014).
1.2 Tujuan Percobaan
Untuk mengetahui pengaruh bentuk sediaan sulfadiazin terhadap
laju disolusi.
Untuk membandingkan kecepatan laju disolusi tablet furosemid
generik dan sediaan dipasaran.

1.3 Manfaat
Praktikan dapat mengetahui pengaruh bentuk sediaan sulfadiazin
terhadap laju disolusi dan dapat membandingkan kecepatan laju
disolusi tablet furosemid generik dan sediaan dipasaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Eksresi obat

Obat yang larut dalam air ,mempunyai berat molekul rendah(BM


kurangdari 300) atau yang mengalami biotranformasi secara lambat oleh hati
akan dieliminasi secara dominan dengan ekskresi oleh ginjal dalam bentuk utuh
atau metabolitnya. Ginjal merupakan suatu organ yang berwarna kemerahan,
berbentuk seperti kacang, dan terletak dibawah pinggang diantara peritoneum dan
dinding abdomen posterior. Kedua ginjal ini berada di kanan dan kiri columna
vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan terletak lebih rendah
dari yang kiri karena besarnya lobus hepar yang berada diatas ginjal kanan. Ginjal
dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsula renalis,
jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan jaringan terluar adalah fascia
renal. Ketiga jaringan ini berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan memfiksasi
ginjal (Tortora, 2011).

Ekskresi oleh ginjal melibatkan 3 tahapan,yaitu filtrasi glomelurus,sekresi


aktif tubulus proksimal dan reabsorbsi pasif sepanjang tubulus. Obat-obat yang
terikat dengam protein yang berkelakuan sebagai molekul-molekul besar,sehingga
tidak dapat dilfiltrasi. Filtrasi oleh glomerulus berhubungan langsung dengan
konsentrasi obat bebas atau yang terikat bukan dengan protein dalam plasma. Bila
konsentrasi obat bebas dalam plasma naik,filtrasi glomelurus terhadap obat akan
naik secara proposional. Sekresi aktif pada tubulus proksimal merupakan proses
transprot aktif yang di perantarai oleh sistem pembawa yang membutuhkan
energi, karena obat diangkut melawan gradien konsentrasi. Sistem pembawa
tersebut memiliki kapasitas yang terbatas dan dapat mengalami kejenuhan akibat
adanya obat atau senyawa lain dengan struktur yang hampir sama bersaing untuk
menempatinya. Sekresi aktif melalui ginjal memiliki 2 sistem pembawa
selektivitasnya berbeda yaitu sisitem untuk asam lemah dan basa lemah(Shargel &
Yu,2005).
Reabsorbsi tubular terjadi setelah obat di filtrasi melalui glomelurus. Jika
suatu obat direabsorpsi secara sempurna dalam bentuk nonion yang larut dalam
lemak,maka harga klirens obat mendekati nol. Obat-obat yang direabsorbsi
sebagian harga klirensnya menjadi lebih kecil dari GPR(Glomelurus Filtration
Rate) normal (125-130 ml/menit). Reabsorbsi obat yang bersifat asam lemah atau
basa lemah di pengaruhi oleh dua faktor yang secara bersamaan menjadi
determinan presentase pbat terionisasi atau tidak terionisasi,yaitu pH cairan dalam
tubulus ginjal (urin) dan pKa obat. Umumnya jenis obat yang tidak terionisasi
lebih larut dalam lemak(sedikit larut dalam air) dan mempunyai permeabilitas
membran lebih besar. Obat-obat tersebut dengan mudah direabsorbsi dari tubulus
ginjal kembali ke dalam tubuh. Proses reabsorbsi obat secara bermakna dapat
mengurangi jumlah obat yang di ekskresi (Shargel & Yu,2005).

2.2 Sulfadiazin

Sulfadiazin ,C10H10N4O2S (berat molekul :250,3 g/mol) atau 4-Amino-n-2-


pirimidinilbenzen sulfonamid dikelompokkan sebagai antibakteri dari golongan
sulfonamida yang bekerja sebagai penghambat kompetitif PABA(asam p-
aminobenzoat)yang dibutuhkan oleh bakteri(Galichiet,2005).

Obat ini digunakan dalam pengobatan infeksi saluran kemih dan


nocardiosis. Mekanisme kerjanya adalah menyebabkan terbentuknya analog asam
folat yang tidak fungsional lagi bagi bakteri (Lacy et al.,2005).

Sulfadiazin tidak larut dalam air,klorofom,dan eter agak sukar larut dalam
etanol dan aseton larut dalam larutan natrium hidroksida dan ammonium
hidroksida. Konstanta disosiasinya (pKa) sebesar 6,5 pada suhu 250C
(Galichet,2005;Depkes RI,1995).

Sulfadiazin tersedia dalam bentuk tablet 500mg dengan dosis pemberian


untuk orang dewasa sebanyak 1 gram dua kali sehari (Lacy et al.,2005).

Untuk bayi berumur lebih dari dua bualan sebanyak 500 mg sehari dan
untuk anak-anak 500mg dua kali sehari(Setiabudy & Mariana,2007)

2.2.1 Farmakokinetika dan Farmakodinamika

Sulfadiazin di absorbsi secara cepat dengan pemberian secara oral,obat ini


terdistribusi melalui jaringan-jaringan tubuh dan cairan tubuh termasuk
pleural,peritoneal,sinovial,dan cairan olkular. Metabolisme yang di alaminya
adalah N-asetilasi. Lebih dari 15% sulfadiazin yang diberikan berada dalam
bentuk tidak aktif dalam darah ,yaitu turunan N-asetil. Waktu paruh eliminasinya
sekitar 6-17 jam. Ekskresinya berkisar antara 43% hingga 60% dalam bentuk utuh
dan 15% sampai 40% dalam bentuk metabolitnya (Galichet,2005; Lacy et
al.,2005).

2.2.2 Farmakologi

Sulfadiazine merupakan antibakteri golongan Sulfonamida, reabsobsinya


dari usus agak lambat sehingga sebagian obat bisa mencapai usus besar. Oleh
karena itu, sulfadiazine berkhasiat terhadap disentri basiler, bahkan lebih efektif
bila dibangdingkan dengan kloramfenikol dan tetrasiklin. (Tjay dan Rahardja
2006)

Absorbsi diusus terjadi cepat,kadar maksimal dalam darah tercapai waktu 3-


6 jam sesudah pemberian dosis tunggal.Kira-kira 15-40% dari obat yang diberikan
diekskresi dalam bentuk asetil yang lebih mudah untuk diekskresikan.Hampir
70% obat ini mengalami reasorbsi di tubuli ginjal dan pemberian alkali
memperbesar kebersihan ginjal dengan mengurangi reasorbsi tubuli .karna
beberapa macam sulfa sukar larut dalam dalam urin yang asam, maka sering
timbul kristaluria dan komplikasi ginjal lainnya.Untuk mencegah ini penderita
dianjurkan minum banyak air agar produksi tidak kurang dari 1200 ml/hari atau
diberikan sediaan alkalis seperti natrium bikarbonat untuk menaikkan pH urin.

Dosis permulaan oral pada orang dewasa 2-4 g,dilanjutkan dengan 2-4 g dalam 3-
6 kali pemberian,lamanya pemberian tergantung dari keadaan penyakit. Anak-
anak berumur lebih dari 2 bulan diberikan dosis awal setengah dosis perhari
kemudian dilanjutkan dengan 60-150 mg/Kg BB dalam 4-6 kali
pemberian.sediaan biasanya terdapat dalam bentuk tablet 500 mg.

Sulafadiazine merupakan kelompok zat antibakteri dengan rumus dasar yang


sama yaitu H2N-C6H4-SO2NHR dan R adalah berbagai macam subsituen .Pada
prinsipnya senyawa ini dapat digunakan terhadap berbagai infeksi.Namun setelah
ditemukannya antibiotika dan zat-zat lain yang lebih efektif (tetap kurang toksis)
maka sejak tahun 1980-an indikasi dan penggunaan nya semakin berkurang. Juga
karena banyak kuman telah menjadi resisten terhadap sulfadiazine.Meskipun
demikian dari sudut sejarah sejarah senyawa ini penting karena merupakan
kelompok obat pertama yang digunakan secara efektif terhadap infeksi bakteri
sistemis (Tjay dan Raharja,2010).

Pemerian sebuk, putih sampai agak kuning,tidak berbau atau hampir tidak
berbau,stabil diudara tetapi pada pemaparan terhadap cahaya perlahan-lahan
menjadi hitam. (DEPKES RI.1995)

Sulfadiazine bersifat amfoter artinya tidak dapat membentuk garam dengan


asam maupun basa.Daya larutnya dalam air sangat kecil,garam alkalinya lebih
baik,Walaupun larutan ini tidak stabil karena mudah terurai.(Tjay dan
Raharja,2010).

2.2.3 Aktivitas dan Mekanisme Kerja

Sulfadiazine memiliki kerja bakteriostatis yang luas terhadap banyak


bakteri gram-positif dan gram negatif:terhadap pseudomonas,proteus dan
streptococcus faecalis tidak aktif(Tjay dan Raharja,2010).

Mekanisme kerjanya,berdasarkan pencegahan sintesus (dihidro) folat dalam


kuman dengan cara antagonis saingan dengan PABA .Secara kimiawi sulfadiazine
merupakan analog-analog dari asam p-aminobenzoat (paba,H2N-C6H4-
COOH).Banyak jenis bakteri membutuhkan asam folat untuk membangun asam
intinya DNA dan RNA.

Asam ini dibentuknya sendiri dari bahan pangkal PABA(para


aminobenzonic acid) yang terdapat dimana-mana dalam tubuh manusia. Bakteri
keliru menggunakan sulfa sebagai bahan untuk mensintesa asam folat nya
sehingga DNA/RNA tidak terbentuk lagi dan pertumbuhan bakteri terhenti(Tjay
dan Raharja,2010).

2.2.4 Indentifikasi Sulfadiazin dalam Urin

Indetifikasi Sulfadiazin bebas (bentuk utuhnya) dalam darah dan urin yang
dilakukan pada tahun 1939 oleh bratton

2.3 FEROSEMID

Furosemid merupakan deuretik yang kuat dan seringkali di berikan secara


oral, karena kecilnya kelarutan furosemid dalam air menyebabkan ketersediaan
hayati furosemid pada pemberian secara oral juga di temukan sangat kecil, karena
kecepatan disolisinya merupakan langkah penentu proses absopsi obat ( Ozdemir
dan Ordu, 1998 ). Diantara indikasi penggunaan furosemid adalah kondisi volume
overload pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK). Kondisin ini biasanya
ditandai dengan adanya edema parifer edema paru, dan timbulnya hipertensi.
Lokasi aksi furosemid adalah pada lapisan tebal loop henle ascenden di nefron
dengan mekanis kerja menghambat transport aktif klorida ke kanal Na-2Cl yang
akan menurunkan reabsorbsi natrium dan klorida sehingga menyebabkn
natriuresis dan klirens air bebas (phakdeekitc haroen dan boonyawat,2012).

Melaporkan bahwa pembentukan dispersi padat antara bahan obat yang sukar
larut dalam air dapat meningkatkan disolusi dan ketersediaan hayati obat secara
bermakna polietilen glokol (PEG) merupakan bahan pembawak stabil yang dapat
menghambat pertumbuhan kristal dan fase transformasi serta dapat meningkatkan
laju disolusi obat, namun sangat sedikit produk kormelsial yang menggunakan
teknik dispersi padat dengan polietilen glokol sebagai bahan pembawa, padahal
harganya relatif murah karena disebabkan oleh hasil dispersinya yang lengket
sehingga sulit untuk di formulasi menjadi tablet. Untuk itu dilakukan usaha
dengan memodifikasi karakteristik laju disolusi furosemid lalu membentuk
dispersi padat dengan polietilen glokol, talk serta kombinasi polietilen glokol talk.
Talk berfungsi sebagai pengering dan diharapkan dapat memperbaiki sifat lengket
(tacky) dari polietilen glokol, talk secara luas telah digunakan sebagai bahan
tambahan dan telah di buktikan bahwa kombinasinya dengan polietilen glokol
memberikan hasil yang baik (Lo dan Law, 1996).

Dispersi pada furosemid dengan polietilen glokil talk dan kombinasi polietilen
glokil talk disipkan dengan metode kombinasi peleburan dan pelarut dengan
perbandingan berat (Tablet I), sedangkan untuk melihat pengaruh resiko pembawa
terhadap profil disolusi furosemid dilakukan dengan membuat perbadingan berat
furosemid dan pembawa (Tablet II). Serbuk hasil dispersi padat terlihat tekstur
fisikanya dan di uji sifat fisikanya meliputi uji sifat alir dan sudut diam. Uji sifat
alir dilakukan dengan metode corong, diukur waktu untuk mengakir dan sudut
diam dari timbunan yang terbentuk studi disolusi di lakukan pada sediaan kapsul
furosemid tunggal dan sedian dispersi padat setiap kapsul (setara dengan 40 mg)
purosemid, percobaan di lakukan dengan menggunakan metode keranjang
(basket) dengan alat uji disolusi dengan kecepatan 100 rpm sesuai Farmakope
Indonesia edisi IV (Save dan Venkitachalam, 1992).

Interaksi antara radiasi dan materi merupakan hal yang sangat menarik.
Kebanyakan molekul obat menyerap radiasi dalam darah ultraviolet spektrum
tersebut. Meskipun sebagian diwarnai oleh sehingga menyerap radikal pda daerah
merah spektrum tersebut. Serapan radiasi UV/visible terjadi melalui eksitasi
elektron-elektron didalam struktur molekuler menjadi keadaan energi yang lebih
tinggi(Watson,2010).

Spektrofotometri UV digunakan secara rutin untuk memantau pelepasan in


vitro bahan aktif dari formulasi. Untuk formulasi sederhana,bat cukup dipatau
pada panjang gelombang maksimumnya. Dalam contoh,laju pelepasan
pseudoefedrin dari formulasi lepas terkendali dipantau. Pelepasan obat diikuti
dengan pemantauan pelepasannya kedalam air destilasi dengan menggunakan
spektrofotometer UV yang diatur pada 206 nm(Watson,2010).

Jika eksipien menyerap UV terdapat didalam formulasi tersebut,panjang


gelombang UV yang digunakan untuk memantau pelepasan perlu dipilih hati-hati
atau dapat menggunakan kromatografi cair tekanan tinggi(KCCT) yang
dikombinasikan dengan deteksi UV. Untuk pengambilan sampel pada medium
disolusi dapat seluruhnya terotomatisasi sehingga medium tersebut disaring dan
dipompa kedalam spektrofotometer UV pada interval waktu yang telah diatur
untuk melihat hasil pembacaannya(Watson,2010)

Obat bersumber ganda memiliki ekuivalensi farmasetika harus


menunjukkan ekuivalensi terapeutik antara yang satu dengan yang lainnya
sehingga obat-obat tersebut dianggap dapat saling bertukar,beberapa metode
pengujian untuk penilaian bioekuivalensi,yaitu:

 Uji bioavailabilitas komparatif pada manusia,yaitu dengan mengukur


konsentrasi bahan aktif obat atau mengukur konsentrasi satu atau lebih
hasil metabolisme yang terdapat dalam cairan biologi tubuh setelah
pemberian obat,misalnya plasma,darah atau urin.
 Uji farmakodinamik komparatif pada manusia
 Uji klinis komparatif
 Uji disolusi in vitro(World Health Organization,2007).
Laju disolusi obat dapat ditingkatkan dengan mengurangi ukuran partikel
obat. Hal ini juga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kelarutannya dalam
lapisan difusi. Yang paling efektif cara memperoleh tingkat yang lebih tinggi
pembubaran adalah dengan menggunakan sangat larut dalam air garam substansi
orangtua. Meskipun garam larut dari asam lemah akan tetap mengendap sebagai
asam bebas dalam fase massal dari suatu larutan asam,seperti uid fl lambung,ia
akan melakukannya dalam bentuk partikel fi ne dengan permukaaan yang besar
daerah(Ansel et al.,2005).
Tingkat pelarutan senyawa kimia ditentukan oleh dua metode
constantsurface metode,yang menyediakan intrinsik laju disolusi agen,dan
partikulat pembubaran,dimana suspensi agen ditambahkan ke jumlah yang tetap
pelarut tanpa tepat kontrol luas permukaan(Ansel et al.,2009).
Metode permukaan konstant menggunakan kompressi disc dari daerah yang
dikenal. Metode ini menghilangkan area permukaan dan permukaan listrik biaya
sebagai variabel pembubaran. Pembubaran tingkat diperoleh dengan metode
ini,instrinsik laju disolusi adalah karakteristik dari masing-masing padat senyawa
dan pelarut diberikan dalam eksperimental kondisi. Nilai tersebut diungkapkan
sebagai miligram terlarut per menit per sentimeter kuadrat. Nilai ini berguna
dalam memprediksi kemungkinan penyerapan karena laju disolusi(Ansel et
al.,2005).
Masalah-masalah yang sering ditemukan dalam partikulat
pembubaran,sejumlah ditimbang dari bubuk sampel ditambahkan kedalam
medium disolusi dalam konstant agitasi sistem. Metode ini sering digunakan
untuk mempelajari ukuran partikel.luas permukaan dan eksipien pada aktif agent.
Kadang-kadang sifat permukaan obat menghasilkan hubungan terbalik partikel
ukuran untuk pembubaran. Dalam hal ini,permukaan muatan dan aglomerasi hasil
dalam partikel mengurangi ukuran bentuk obat menyajikan luas permukaan lebih
rendah,efektif untuk akibat pelarut pembasahan lengkap atau aglomerasi. Hukum
fick menggambarkan hubungan difusi dan pembubaran obat aktif dalam bentuk
sediaan dan bila di berikan dalam tubuh,seperti ditunjukkan pada farmasi fisik
kapsul 4.8,Hukum Fick dari Difusi dan Persamaan Noyes-Whitney(Ansel et
al.,2005)
Studi formulasi awal harus mencakup efek dari bahan farmasi pada
kelarutan karakteristik bahan obat(Ansel et al.,2005)
Pengertian disolusi adalah proses suatu zat padat masuk kedalma pelatur
menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana,disolusi adalah proses zat padat
melarut. Proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan
pelarut(syukri,2002).
Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlihat
berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik
sediaan,proses pembasahan sediaan,kemampuan penetrasi media disolusi ke
dalam sediaan merupaka faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi sediaan
obat(Syukri,2002)
Laju absorbsi obat-obatan bersifat asam yang diabsorbsi dengan mudah
dalam saluran pencernaansering ditetapkan dengan laju larut obat dari tablet. Bila
yang menjadi tujuan adalah untuk memperoleh kadar yang tinggi didalam
darah,maka cepatnya obat dan tablet melarut biasanya menjadi sangat
menentukan. Laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi atau
kemanjuran,dari tablet dan perbedaan bioavailabilitas dari berbagai formula. Dua
sasaran dalam pengembangan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan
pelepasan obat dari tablet kalo dapat mendekati 100% dan laju pelepasan seragam
pada setiap batch harus sama dengan laju pelepasan dari batch yang telah
dibuktikan bioavailabilitas dan efektif secara klinis. Medium larutan hendaknya
tidak jenuh obat, yang biasa dipakai adalah cairan lambung yang diencerkan,HCl
0,1 n ,dapar fosfat,cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung
sifat-sifat lokasi obat akan larut. Ukuran dan bentuk wadah akan mempengaruhi
laju dan tingkat kelarutan, untuk mengamati pelarutan dari obat sangat tidak larut
dalam air menggunakan wadah berkapasitas besar(Lachman,1994).
Dalam penentuan keceptan disolusi dari bentuk sediaan padat terlihat
berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik
sediaan,proses pembasahan sediaan,kemampuan penetrasi media disolusi ke
dalam sediaan,proses pengembangan,proses disintegrasi dan deagragasi
sediaan,merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi
obat dari sediaan (Syukri,2002)
Kecepatan disolusi obat merupakan tahap pembatas kecepatan sebelum obat
berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna,ada 2
kemungkinan yang akan berfungsi sebagai pembatas kecepatan. Bahan berkhasiat
dari sediaan padat tersebut prtama-tama harus terlarut,sesudah itu barulah obat
yang berada dalam larutan melewati membrane saluran cerna. Obat yang larut
baik dalam air akan melarut cepat,obat akan berdifusi secara pasif atau transfor
aktif,kelarutan obat merupakan pembatas kecepatan absorbsi melalui membran
saluran cerna. Sebaliknya kecepatan obat yang kelarutannya kecil akan dibatasi
karena pengaruhnya kecil terhadap disolusi zat aktif(Syukri,2002)
BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah Beaker Glass, Disolusi
Tester, Labu Tentukur, Neraca Analitik, Spektrofotometer UV, Stopwatch, Spuit,
dan Vial .

3.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada praktikum uji disolusi adalah Sulfadiazine


Tablet, sulfadiazine kapsul, sulfadiazine sustained release, furosemide generik,
furosemide tablet lasix, furosemide tablet farsix, larutan dapar fosfat pH 7,4,
cairan lambung buatan pH 1,2 dan aquadest.

3.2 Prosedur

3.2.1 Prosedur uji disolusi sulfadiazine (kapsul dan tablet)

1. Disiapkan alat dan bahan


2. Dipanaskan 900 ml cairan lambung buatan pH 1,2 sampai 37°C ±0,5.
3. Dimasukkan medium disolusi ke dalam tabung disolusi tester, diatur
putaran 100 rpm. Sediaan sulfadiazine dimasukkan ke dalam tabung
disolusi lalu dihidupkan alat. Pada interval waktu di pipet cuplikan
sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml,
diencerkan dengan medium disolusi sampai garis tanda. Setiap
pengambilan cuplikan diganti dengan medium disolusi dalam jumlah
yang sama, larutan diukur serapan dengan alat spektrofotometer UV
pada panjang gelombang maksimum.
Interval pengambilan
Kapsul :5,10,20,30,45,60 menit
Tablet :5,10,20,30,45,60 menit
3.2.2 Prosedur uji disolusi furosemide
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Di panaskan 900 ml larutan dapar fosfat pH 7,4 sampai sush 37°c ± 0,5.
3. Dimasukkan medium disolusi ke dalam tabung disolusi tester, diatur
putaran 100 rpm. Sediaan sulfadiazine dimasukkan ke dalam tabung
disolusi lalu dihidupkan alat. Pada interval waktu di pipet cuplikan
sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 25 ml,
diencerkan dengan medium disolusi sampai garis tanda. Setiap
pengambilan cuplikan diganti dengan medium disolusi dalam jumlah
yang sama, larutan diukur serapan dengan alat spektrofotometer UV
pada panjang gelombang maksimum.
Interval pengambilan
Lasix I(generik) :5,10,20,30,45,60 menit
Lasix II(pasaran) :5,10,20,30,45,60 menit

Anda mungkin juga menyukai