PENDAHULUAN
belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta
tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Manifestasi klinis SLE sangat luas,
meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan
saraf pusat dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1.000 pasien SLE di Eropa
artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitivitif 22,9%,
yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik
4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7% (Kasjmir dkk, 2011). Banyak pasien SLE
juga mengalami gejala neurologi dan psikiatri yaitu sekitar 75% (Emmer dkk,
Pasien SLE yang mengalami NPSLE cukup banyak terjadi. Dilaporkan oleh
12% hingga 95%, hal ini bergantung pada perbedaan desain studi yang digunakan,
2007; Bertsias, 2010). Sedangkan berdasarkan studi kohort yang cukup besar,
2010).
1
2
Manifestasi klinis NPSLE sangat beragam mulai dari disfungsi saraf pusat
sampai saraf tepi dan gejala kognitif ringan sampai kepada manifestasi neurologik
dan psikiatrik yang berat seperti stroke dan psikosis. Selain itu, patogenesis
tersebut (NPSLE primer) sedangkan sisanya 40% disebabkan oleh faktor sekunder
yang berhubungan dengan SLE seperti infeksi, efek samping obat atau gangguan
metabolik akibat kerusakan pada organ lain dalam tubuh. Oleh karena insiden
NPSLE yang masih cukup tinggi dan manifestasi klinis NPSLE yang sangat
beragam, hal ini merupakan tantangan bagi klinisi untuk mengenali kriteria
yang dapat terjadi relaps dan remisi berulang, dengan manifestasi klinis yang
sangat bervariasi (Ainiala, 2011). Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai
mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR) revisi
3
4
ACR untuk SLE. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE
memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria
dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis
lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan
terkait dengan penyakit SLE. Dalam konteks ini, pengertian definisi diagnosis
untuk NPSLE merupakan kriteria eksklusi dari penyakit lain. Sebagai contoh,
pasien dengan korea namun disebabkan oleh kondisi penyakit Huntington atau
penyakit Wilson, maka dapat dieksklusi dari NPSLE (Emmer dkk, 2010). NPSLE
5
menimbulkan manifestasi klinis berupa sistem saraf pusat dan perifer yang
bervariasi. Oleh karena itu, pada tahun 1997 ACR membentuk definisi untuk
NPSLE yang terdiri dari dua elemen yaitu psikosis dan kejang. Hal ini dirasa
kurang adekuat untuk mendiagnosis NPSLE sehingga pada tahun 1999 ACR
merevisi dan membentuk standarisasi definisi kasus pada sindrom NPSLE yaitu
neuropsikiatri pada prinsipnya sama dengan pasien non SLE yang menampakkan
defisiensi vitamin B1, efek samping obat, infeksi intrakranial yang koinsiden
sesungguhnya jarang ditemukan pada pasien SLE meskipun hal tersebut cukup
popular digunakan sebagai diagnosis klinis. Istilah Central Nervous System (CNS)
lupus juga kurang tepat untuk digunakan karena dapat terjadi gangguan dari dua
sistem lain seperti gangguan psikiatri dan sistem saraf perifer. Istilah NPSLE
Tabel 2. Sindrom Neuropsikiatri Pada SLE Menurut ACR (Kasjmir dkk, 2011)
NPSLE dapat dibagi menjadi 2 yaitu NPSLE primer dan NPSLE sekunder.
NPSLE primer merupakan gejala yang berkaitan secara langsung dengan penyakit
SLE, sedangkan NPSLE sekunder merupakan gejala yang muncul akibat dari
komplikasi penyakit atau akibat terapi yang diberikan (Bertsias and Boumpas,
40% disebabkan oleh faktor sekunder atau NPSLE sekunder (Emmer dkk, 2010).
NPSLE primer dapat dibagi menjadi penyakit fokal dan difus. Penyakit fokal
psikiatri, dan gangguan kognitif yang terdiri dari kondisi seperti meningitis
Neuropsikiatri SLE juga dapat dibagi berdasarkan gejala mayor dan minor
psikosis. Sedangkan gejala minor meliputi nyeri kepala, perubahan mood, dan
gangguan kognitif (Denburg dkk 1993; Ainiala, 2011). NPSLE menurut ACR
untuk timbul. Nyeri kepala merupakan gejala yang terbanyak dialami penderita
SLE yaitu sekitar 20-40%. Gangguan kognitif dan gangguan mood merupakan
gejala yang terbanyak berikutnya, terutama dialami oleh penderita SLE ras
Prevalensi SLE di dunia ini berkisar 14 hingga 172 kasus per 100.000 orang,
sedangkan insiden yang terjadi 1,8 hingga 7,6 kasus per 100.000 orang. Delapan
puluh persen penyakit SLE berkembang pada usia 15 hingga 45 tahun. Onset
penyakit SLE setelah usia 45atau setelah menopause jarang terjadi. Jenis kelamin
yang sering mengalami SLE adalah wanita, dikatakan 90% penderita SLE usia 15-
45 tahun adalah wanita. Hal ini disebabkan karena estrogen dapat memicu
9
Asia memiliki insiden terjadinya SLE lebih besar dibandingkan Kaukasian. Suatu
studi juga menyebutkan bahwa wanita Asia memiliki prevalensi tiga kali lebih
bervariasi dari rentang 12% hingga 95%, hal ini bergantung pada perbedaan
desain studi yang digunakan, etnis, karakter demografi, dan durasi pengamatan
kohort yang cukup besar, didapatkan jumlah insiden NPSLE sebesar 30-40% dari
penderita SLE. Manifestasi klinis NPSLE seperti nyeri kepala, gangguan mood,
penyakit serebrovaskular, dan gangguan cemas lebih banyak terjadi pada orang
Faktor risiko NPSLE dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor
risiko spesifik SLE dan non spesifik SLE(Tabel 5). Faktor risiko spesifik SLE
dapat dibagi lagi menjadi beberapa bagian. Pertama, aktivitas SLE secara umum
klinis dan terapi kortikosteroid dosis tinggi atau agen-agen sitotoksik yang
gangguan fungsi kognitif berat. Kedua, adanya kejadian NPSLE sebelumnya atau
10
(aPL), anticardiolipin (aCL) persisten yang sedangsampai tinggi, atau titer anti ß2
Faktor risiko non spesifik SLE seperti bertambahnya umur, hipertensi, dan
2010).
11
Penyakit SLE terjadi saat sekelompok gen yang memiliki faktor predisposisi
akibat obat-obatan, paparan sinar ultraviolet yang berlebih, dan lain sebagainya.
tampaknya NPSLE bukan disebabkan oleh satu mekanisme saja tapi berbagai
dengan SLEseperti infeksi, efek samping obat, atau gangguan metabolik akibat
dan difus berdasarkan struktur anatomi otak yang terkena (Gambar 1). Sebagian
mekanisme terjadinya gangguan psikiatri yang difus seperti depresi dan psikosis
berhubungan dengan NPSLE pada beberapa kasus antara lain antibodi anti
ligand (APRIL) untuk survival dan fungsi sel B, antibodi antihiston, dan beberapa
antibodi lain yang sementara masih dalam tahap penelitian. Pada beberapa kasus
NPSLE, antibodi aquaporin 4 yang terdapat pada kasus neuritis optika, ternyata
ditemukan juga pada SLE dengan mielopati (Zandi, 2010; Popescu dan Kao,
2011).
adanya efek langsung dari antibodi aPl pada jaringan SSP, kemungkinan dengan
melekat pada sel neuron atau sel glia serta menggangu fungsi dari sel tersebut,
namun ada studi lain yang tidak setuju dengan penemuan tersebut. Antibodi aPL
13
pada aktivasi sel endotelial. Antibodi anti ribosomal P ditemukan dalam kadar
tinggi pada pasien SLE dengan depresi dan psikosis dibandingkan dengan pasien
Antibodi neuronal yang lain yang ditemukan pada NPSLE adalah antibodi
ini diketahui memegang peranan penting pada memori dan fungsi kognitif.
terhadap timbulnya gangguan psikiatri pada SLE (Mak dkk, 2009; Emmer dkk,
2010).
reseptor anti NMDA dapat menyebabkan sindroma NPSLE difus belum dapat
mengingatkan kita pada toksisitas asam amino eksitatorik (Mak dkk, 2009).
NMDA tersebut terdapat dalam jumlah besar di otak dan memainkan peranan
penting dalam plastisitas sinaptik dan fungsi memori. Reseptor NMDA akan
14
teraktivasi oleh perlekatannya dengan agonis glutamat dan glisin apabila terdapat
NMDA subunit NR1 berikatan dengan dua glisin, sedangakan subunit NR2
berikatan dengan dua glutamat. Antibodi terhadap subunit reseptor NR2A dan
kerusakan sawar darah otak. Reseptor NMDA juga diketahui memainkan peranan
Konsentrasi reseptor NMDA post sinaptik yang tinggi pada sistem limbik diduga
NR2) pada tikus memberikan bukti yang menyokong peranan antibodi anti DNA
2.4.2 Sitokin
respon imun. Peningkatan level interferon (IFN)-α ditemukan pada pasien SLE
dan menunjukkan hubungan dengan episode psikotik pada SLE. Hal ini juga telah
ekspresi gen yang teraktivasi oleh IFN (α, β, dan γ), peningkatan ini ditemukan
pada 80% pasien SLE dan tampaknya berhubungan dengan bentuk penyakit yang
lebih parah meliputi organ multipel termasuk otak (Emmer dkk, 2010).
Kompleks imun DNA dan anti dsDNA antibodi, yang bersirkulasi pada
memicu sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel dendritik. Sel dendritik adalah
imun dan menyebabkan peningkatan level kompleks imun DNA dan anti dsDNA
serum terlibat dalam kejadian depresi pada SLE. Sebagai contoh, pasien SLE dan
tumour necrosis factor (TNF)-α, dan IFN-α. Perubahan patologis difus yang
terjadi antara lain adalah penurunan aliran darah otak, hilangnya integritas
jaringan parenkim otak, demyelinisasi pada substansia grisea dan alba (Mak dkk,
2009).
16
target, opsonisasi (coating) dari sel target, dan menarik fagosit. Komplemen dapat
endotel yang berperan dalam pemeliharaan sawar darah otak tersebut berubah
(ICAM-1) pada fase aktif SLE. Kematian neuron karena reaktivitas silang
eksitatorik yang terjadi pada hipokampus tikus coba dapat dicegah dengan
pemberian memantin. Kerusakan sawar darah otak pada SLE tersebut serupa
17
dengan pemberian epinefrin, suatu katekolamin, yang juga merusak sawar darah
otak dan menyebabkan hilangnya neuron secara selektif pada amigdala lateral
yang memicu gangguan emosional pada tikus coba tersebut (Popescu dan Kao,
2011). Komples imun juga dapat memicu kerusakan dari sawar darah
otak.Komples imun banyak dijumpai pada pleksus koroideus. Tight junction pada
innate dengan DNA dan materi inti sel lainnya serta aktivitas berlebihan sel T dan
dasar patologi kerusakan vaskuler juga dipercepat oleh SLE. Penelitian lain
defisit kognitif pada SLE dan berhubungan dengan meningkatnya titer antibodi
Tidak ada suatu pemeriksaan ataupun gejala khusus yang dapat membedakan
NPSLE primer atau sekunder (Kasjmir dkk, 2011). Penegakan diagnosis NPSLE
penunjang meliputi tes-tes biokimia dan serologi serum dan analisis cairan
18
(EEG) pada kasus yang dicurigai bangkitan. Penilaian fungsi kognitif dengan tes-
untuk menilai otak secara struktural dan fungsional seperti di paparkan pada Tabel
Antibodi aPL memiliki manfaat klinis yang besar untuk diagnosis NPSLE
pleiositosis (jumlah sel rata-rata 20-100), peningkatan level protein ringan yaitu
sekitar 70-110 mg/dL, dengan kadar glukosa CSS yang relatif rendah yaitu 30-
IL-6, IgG indeks, dan oligoclonal bandCSS sangat menyokong diagnosis namun
otak adalah MRI. Pada penelitian didapatkan 47% penderita dengan NPSLE
MRI ini dipelurkan untuk menyingkirkan penyebab lain NPSLE (Kasjmir dkk,
permeabilitias sawar darah otak. Gambaran patologi MRI yang paling sering
dijumpai adalah fokal lesi hiperintens, ukuran kecil di daerah subkortikal dan
periventricular white matter pada T2-weighted. Tujuh puluh sampai 80% lokasi
lesi tersebut adalah pada regionfrontal parietal, hanya 8-10% pada basal ganglia
dan regio infratentorial (serebelum). Tidak ada korelasi antara lokasi lesi dengan
jenis gejala NPSLE yang bermanifestasi. Apabila DWI dilakukan dengan cepat
(setidaknya awitan 1 jam dari gejala) maka dapat dideteksi lesi iskemik
alba hanya 50-55%. MRI lebih sensitif dalam mendeteksi lesi fokal dibandingkan
dengan lesi difus dengan perbandingan 80-85% :40-50%. Sayangnya lesi fokal
tersebut juga didapatkan pada SLE tanpa gejala neuropsikiatri yaitu sebesar 18-
aPL positif. Lesi pada substansia alba pada MRI tersebut terdapat pada sekitar 60-
Suatu teknik baru yang disebut Magnetization Transfer Imaging (MTI) yaitu
teknik MRI yang dapat memberikan informasi secara kuantitatif. Alat ini lebih
mendeteksi kelainan otak pada mereka dengan riwayat NPSLE tanpa gejala aktif
darah regional dan metabolisme otak (Kasjmir dkk, 2011). SPECT juga
cholin yang berhubungan dengan gliosis, dan kerusakan membran (Popescu dan
Kao, 2011).
memberikan efek gangguan psikiatri dan kognitif (Kenna dkk, 2011). Nishimura
dkk (2008) melaporkan bahwa14 pasien (10,1%) SLE dari 139 pasien SLE tanpa
mengalami gangguan psikiatri awitan baru secara primer yaitu mengalami episode
manik.
dan berkelanjutan. Saat ini terdapat tiga terapi farmakologi yang telah disetujui
yang mendasari. Sebagai contoh, adanya trombosis yang disebabkan oleh antibodi
telah disetujui oleh FDA tersebut, beberapa negara menggunakan protokol yang
SLE yang tidak responsif terhadap kortikosteroid (Bertsias dan Boumpas, 2010;
Glukokortikoid dosis tinggi digunakan untuk terapi SLE akut dan flare adalah 1
gram per hari selama tiga hari secara intravena kemudian diikuti oleh 1-2
mg/kgBB per oral setiap hari. Pemberian steroid dosis tinggi dalam jangka waktu
22
lama akan memberikan banyak efek samping, termasuk salah satunya adalah
untuk terapi penyakit dasar dan antipsikotik. Aspirin yang diberikan secara teratur
pada pasien SLE umur lebih tua dengan diabetes dilaporkan dapat memperbaiki
fungsi kognitif pada studi SALUD. Di lain pihak pemberian glukokortikoid secara
terus menerus pada SLE aktif atau SLE berat dihubungkan dengan penurunan
sebagai anti psikotik atipikal lebih dipilih walaupun memiliki efek yang tidak
pertama karena selain efek samping yang memicu lupus, obat-obat tersebut juga
stroke. Herrman dan Lanctot (2005) melaporkan bahwa kedua obat tersebut
diketahui memiliki efek samping serebrovaskuler terutama pada usia lanjut pada
memberikan perbaikan yang signifikan pada NPSLE dengan gejala psikotik berat.
Terlebih lagi obat ini dapat ditoleransi dengan baik oleh orang dewasa anak-anak.
mengobati depresi pada NPSLE namun harus diperhatikan efek samping yang
mungkin terjadi. Efek samping berupa lesi kulit eritematosus dilaporkan pada
Pada tahun 1982, seperti dikutip oleh Mak dkk (2009), Douglass dan
koleganya melaporkan kasus depresi yang disebabkan oleh lupus serebri yang
intervensi dengan grup psikologi sangat penting bagi penderita NPSLE dengan
kognitif menuntun kearah rehabilitasi kognitif yang memberikan hasil yang cukup
menjanjikan pada pasien NPSLE. (Mak dkk, 2009; Popescu dan Kao, 2011).
penyokong yang sangat efektif untuk mengurangi gejala NPSLE dengan jalan
halusinasi pada beberapa studi dengan jumlah sampel yang kecil. Psikoedukasi
kepada pasien dan care giver mutlak harus diberikan untuk meningkatkan tilikan
24
dan pemahaman keduanya sehingga dapat meningkatkan keluaran yang lebih baik
eksklusi.
ireversibel.
dari ACR.
PENUTUP
yang muncul sangat bervariasi, mulai dari yang ringan seperti nyeri kepala hingga
yang berat seperti stroke. ACR telah menetapkan nomenklatur dan klasifikasi
serta penegakan NPSLE. Dari gejala NPSLE yang muncul, harus dilakukan
penting dimiliki oleh para klinisi. Hal ini disebabkan karena NPSLE merupakan
kondisi yang perlu penanganan tepat karena dapat mengancam nyawa. Selain itu,
26
DAFTAR PUSTAKA
Ainiala, H., Loukkola, J., Peltola, J., Korpela, M., Hietaharju, A. 2001. The
Prevalence of Neuropsychiatric Syndromes in Systemic Lupus Erythematosus.
Neurology; (57): hal.496-500.
Bachen, E.A., Chesney, M.A., Criswell, L.A. 2009. Prevalence of Mood and
Anxiety Disorders in Women with Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis
Rheum; 61(6): hal. 822–829.
Brey, R.L. 2007. Neuropsychiatric Lupus: Clinical and Imaging Aspects. Bulletin
of the NYU Hospital for Joint Disease 65(3): hal. 194-9.
Emmer, B.J., Veer, I.M., Steup-Beekman. 2010. Tract Based Spatial Statistics on
Diffusion Tensor Imaging in Systemic Lupus Erythematosus Reveals Localized
Involvement of White Matter Tracts. Arthritis Rheum 2010 Chapter 7: hal. 80-9.
37
28
Kasjmir, Y., Handono, K., Wijaya, LK.,Hamijoyo, L., Albar, Z. 2011. Diagnosis
dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi
Indonesia; hal.24-6.
Kenna, H., Poon, A.W., Angeles, P.D., Koran, L.M. 2011. Psychiatric
Complications of Treatment with Corticosteroids: Review with
CaseReport.Psychiatry and ClinicalNeurosciences;65: hal.549–560.
Mak, A., Ho, R.C., Lau, C.S. 2009. Clinical Implications of Neuropsychiatric
Systemic Lupus Erythematosus.Advances in psychiatric treatment; 15: hal. 451–8.
McLaurin, E.Y., Holliday, S.L., Williams, P., Brey, R.L. 2005. Predictor of
Cognitive Dysfunction in Patients with Systemic Lupus Erythematosus.
Neurology; 64(2): hal. 297-303.
Nishimura, K., Harigai, M., Omori, M.,Sato, E., Hara, M. 2008. Blood-Brain
Barrier Damage as A Risk Factor for Corticosteroid-Induced Psychiatric
Disorders in SystemicLupus Erythematosus. Psychoneuroendocrinology;
33:hal.395–403.
Radwan, M., Abda, E., Selim, Z. 2010. Value of MRI of The Brain in Patient with
Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus. AAMJ; Vol.8.
Segui, J., Ramos-Casals, M., Garcia-Carrasco, M., De-Flores, T., Cervera, R.,
Valdes, M. 2000. Psychiatricand Psychosocial Disorders in Patients with
Systemic Lupus Erythematosus: A Longitudinal Study of Active and Inactive
Stages of The Disease. Lupus; 9: hal.584–8.