Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus), selanjutnya

disingkat dengan SLE, merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang

belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta

tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Manifestasi klinis SLE sangat luas,

meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan

saraf pusat dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1.000 pasien SLE di Eropa

yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah

artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitivitif 22,9%,

keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis

yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik

4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7% (Kasjmir dkk, 2011). Banyak pasien SLE

juga mengalami gejala neurologi dan psikiatri yaitu sekitar 75% (Emmer dkk,

2010). Kumpulan gejala tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala-gejala

neuropsikiatri systemic lupus erythematosus (NPSLE) (Makdkk, 2009; Bertsias,

2010; Zandi, 2010).

Pasien SLE yang mengalami NPSLE cukup banyak terjadi. Dilaporkan oleh

beberapa penelitian, frekuensi terjadinya NPSLE cukup bervariasi dari rentang

12% hingga 95%, hal ini bergantung pada perbedaan desain studi yang digunakan,

etnis, karakter demografi, dan durasi pengamatan penelitian (Stojanovich dkk,

2007; Bertsias, 2010). Sedangkan berdasarkan studi kohort yang cukup besar,

didapatkan jumlah insiden NPSLE sebesar 30-40% dari penderita SLE(Bertsias,

2010).

1
2

Manifestasi klinis NPSLE sangat beragam mulai dari disfungsi saraf pusat

sampai saraf tepi dan gejala kognitif ringan sampai kepada manifestasi neurologik

dan psikiatrik yang berat seperti stroke dan psikosis. Selain itu, patogenesis

NPSLE sampai sekarang masih belum diketahui denganpasti, namun tampaknya

NPSLE bukan disebabkan oleh satu mekanisme saja, tetapiberbagai

mekanisme(Kasjmir dkk, 2011).Sekitar 60% kasus NPSLE tidak ditemukan

penyebabnya sehingga disimpulkan SLE sendiri sebagai penyebab manifestasi

tersebut (NPSLE primer) sedangkan sisanya 40% disebabkan oleh faktor sekunder

yang berhubungan dengan SLE seperti infeksi, efek samping obat atau gangguan

metabolik akibat kerusakan pada organ lain dalam tubuh. Oleh karena insiden

NPSLE yang masih cukup tinggi dan manifestasi klinis NPSLE yang sangat

beragam, hal ini merupakan tantangan bagi klinisi untuk mengenali kriteria

diagnosis, tanda dan gejala NPSLE, serta penanganan yang tepat.


BAB II

NEUROPSIKIATRI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Systemic lupus erythematosus(SLE) adalah suatu penyakit autoimun kronis

yang dapat terjadi relaps dan remisi berulang, dengan manifestasi klinis yang

sangat bervariasi (Ainiala, 2011). Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai

mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR) revisi

tahun 1997 yang tampak dalam Tabel 1(Kasjmir dkk, 2011).

Tabel 1. Kriteria Diagnosis SLE(Kasjmir dkk, 2011)

3
4

Suatu SLE dapat ditegakkan apabila memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria

ACR untuk SLE. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE

memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria

dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis

bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka

kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis

lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan

(Kasjmir dkk, 2011).

2.1 Definisi dan Kriteria Diagnosis NPSLE

Neuropsikiatri SLE (NPSLE) merupakan suatu sindrom neuropsikiatri yang

terkait dengan penyakit SLE. Dalam konteks ini, pengertian definisi diagnosis

untuk NPSLE merupakan kriteria eksklusi dari penyakit lain. Sebagai contoh,

pasien dengan korea namun disebabkan oleh kondisi penyakit Huntington atau

penyakit Wilson, maka dapat dieksklusi dari NPSLE (Emmer dkk, 2010). NPSLE
5

menimbulkan manifestasi klinis berupa sistem saraf pusat dan perifer yang

bervariasi. Oleh karena itu, pada tahun 1997 ACR membentuk definisi untuk

NPSLE yang terdiri dari dua elemen yaitu psikosis dan kejang. Hal ini dirasa

kurang adekuat untuk mendiagnosis NPSLE sehingga pada tahun 1999 ACR

merevisi dan membentuk standarisasi definisi kasus pada sindrom NPSLE yaitu

19 definisi kasus dengan kriteria diagnosis dan eksklusi. Rekomendasi juga

meliputi evaluasi laboratorium dan pencitraan (Ainiala, 2011).

Evaluasi pasien SLE yang menunjukkan tanda dan gejala gangguan

neuropsikiatri pada prinsipnya sama dengan pasien non SLE yang menampakkan

gejala yang sama. Adanya gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau

hiperglikemia, uremia, gangguan elektrolit, gangguan fungsi hati dan ginjal,

defisiensi vitamin B1, efek samping obat, infeksi intrakranial yang koinsiden

dengan SLE harus disingkirkan. Gangguan yang menyerupai NPSLE seperti

sinkope, hiperventilasi, dan ensefalopati hipertensi harus disingkirkan melalui

pemeriksaan fisik (Bertsias dan Boumpas, 2010).

ACR menghilangkan istilah lupus serebritis karena vaskulitis serebral yang

sesungguhnya jarang ditemukan pada pasien SLE meskipun hal tersebut cukup

popular digunakan sebagai diagnosis klinis. Istilah Central Nervous System (CNS)

lupus juga kurang tepat untuk digunakan karena dapat terjadi gangguan dari dua

sistem lain seperti gangguan psikiatri dan sistem saraf perifer. Istilah NPSLE

direkomendasikan untuk menggambarkan lebarnya rentang sindrom neurologi dan

psikiatri pada SLE (Ainiala, 2011).


6

Tabel 2. Sindrom Neuropsikiatri Pada SLE Menurut ACR (Kasjmir dkk, 2011)

2.2 Klasifikasi NPSLE

NPSLE dapat dibagi menjadi 2 yaitu NPSLE primer dan NPSLE sekunder.

NPSLE primer merupakan gejala yang berkaitan secara langsung dengan penyakit

SLE, sedangkan NPSLE sekunder merupakan gejala yang muncul akibat dari

komplikasi penyakit atau akibat terapi yang diberikan (Bertsias and Boumpas,

2010).Sekitar 60% kasus NPSLE merupakan NPSLE primer sedangkan sisanya

40% disebabkan oleh faktor sekunder atau NPSLE sekunder (Emmer dkk, 2010).

NPSLE primer dapat dibagi menjadi penyakit fokal dan difus. Penyakit fokal

sangat kuat berhubungan dengan terjadinya kejadian tromboemboli. Sedangkan

penyakit difus pada NPSLE primer merupakan kumpulan gejala neurologi,

psikiatri, dan gangguan kognitif yang terdiri dari kondisi seperti meningitis

aseptik, sindrom demyelinisasi, kejang, disfungsi kognitif, nyeri kepala, korea,

perubahan mood, myelopati, neuropati kranial, gangguan cemas, psikosis, dan

disorientasi (Emmer dkk, 2010).


7

Neuropsikiatri SLE juga dapat dibagi berdasarkan gejala mayor dan minor

(Ainiala, 2011). Gejala mayor seperti kejadian serebrovaskular, kejang, dan

psikosis. Sedangkan gejala minor meliputi nyeri kepala, perubahan mood, dan

gangguan kognitif (Denburg dkk 1993; Ainiala, 2011). NPSLE menurut ACR

juga dikelompokkan berdasarkan manifestasi klinis susunan saraf yang terlibat,

susunan saraf pusat, dan susunan saraf perifer.

Tabel 3. Klasifikasi NPSLE Berdasarkan Keterlibatan Susunan Saraf Menurut


ACR 1999 (Zandi, 2010; Popescu dan Kao, 2011).
Susunan saraf pusat Susunan saraf perifer
- Meningitis aseptik - Acute inflammatory demyelinating
- Penyakit serebrovaskuler polyradiculoneuropathy
- Sindroma demyelinisasi (SindromaGuillain-Barré)
- Nyeri kepala (termasuk migren - Gangguan otonom
danbenignintracranial - Mononeuropati tunggal/multipleks
hypertension) - Miastenia gravis
- Gangguan gerak (korea) - Neuropati saraf kranial
- Mielopati - Pleksopati
- Bangkitan - Polineuropati
- Acute confusional state(ACS)
- Gangguan cemas
- Disfungsi kognitif
- Gangguan mood
- Psikosis

Klasifikasi NPSLE juga dapat dikelompokkan berdasarkan kekerapannya

untuk timbul. Nyeri kepala merupakan gejala yang terbanyak dialami penderita

SLE yaitu sekitar 20-40%. Gangguan kognitif dan gangguan mood merupakan

gejala yang terbanyak berikutnya, terutama dialami oleh penderita SLE ras

kaukasian (Bertsias dan Boumpas, 2010).


8

Tabel 4. Klasifikasi NPSLE Berdasarkan Kekerapan Kejadian


(Bertsias dan Boumpas,2010).
Sering (>5%) - Nyeri kepala (20–40%)
- Disfungsi kognitif (10–20%)
- Gangguan mood (10–20%)
- Bangkitan (7–10%)
- Penyakit serebrovaskuler(7–10%)  Stroke
iskemik/TIA>80%
- Gangguan cemas (4–8%)
Tidak sering (1-5%) - Acute confusional state (3–4.5%)
- Psikosis (2.5–3.5%)
- Polineuropati (2– 3%)
- Mielopati (1–1.5%)
Jarang (<1%) - Neuropati saraf otak (0.5–1%)
- Mononeuropati (tunggal/multipleks) (0.5–1%)
-Meningitis aseptik (0.5–1%)
- Gangguan gerak (0.6%)
- Demyelinating syndrome (0.3%)
- Guillain–Barré syndrome (0.1%)
- Gangguan otonom (0.1%)
- Miastenia gravis (0.1%)
- Pleksopati (<0.1%)

2.3 Epidemiologi dan Faktor RisikoNPSLE

Prevalensi SLE di dunia ini berkisar 14 hingga 172 kasus per 100.000 orang,

sedangkan insiden yang terjadi 1,8 hingga 7,6 kasus per 100.000 orang. Delapan

puluh persen penyakit SLE berkembang pada usia 15 hingga 45 tahun. Onset

penyakit SLE setelah usia 45atau setelah menopause jarang terjadi. Jenis kelamin

yang sering mengalami SLE adalah wanita, dikatakan 90% penderita SLE usia 15-

45 tahun adalah wanita. Hal ini disebabkan karena estrogen dapat memicu
9

autoimunitas dan secara tidak langsung meningkatkan inflamasi, sedangkan

androgen secara umum mensupresi autoimunitas. Ras Afrika-Amerika, Latin, dan

Asia memiliki insiden terjadinya SLE lebih besar dibandingkan Kaukasian. Suatu

studi juga menyebutkan bahwa wanita Asia memiliki prevalensi tiga kali lebih

besar dibanding wanita Kaukasian (Wallace, 2009). Faktor genetik diperkirakan

juga mempengaruhi terjadinya SLE, didapatkan pengaruh 25% pada kembar

identik (Emmer dkk, 2010).

Dilaporkan oleh beberapa penelitian, frekuensi terjadinya NPSLE cukup

bervariasi dari rentang 12% hingga 95%, hal ini bergantung pada perbedaan

desain studi yang digunakan, etnis, karakter demografi, dan durasi pengamatan

penelitian (Stojanovich dkk, 2007; Bertsias, 2010).Sedangkan berdasarkan studi

kohort yang cukup besar, didapatkan jumlah insiden NPSLE sebesar 30-40% dari

penderita SLE. Manifestasi klinis NPSLE seperti nyeri kepala, gangguan mood,

penyakit serebrovaskular, dan gangguan cemas lebih banyak terjadi pada orang

kulit putih dibandingkan orang Asia (Bertsias, 2010).

Faktor risiko NPSLE dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor

risiko spesifik SLE dan non spesifik SLE(Tabel 5). Faktor risiko spesifik SLE

dapat dibagi lagi menjadi beberapa bagian. Pertama, aktivitas SLE secara umum

atau kerusakan yang ditimbulkannya (tidak termasuk kerusakan SSP) yang

dibuktikan oleh tingginya skor yang mengindikasikan adanya peningkatan

aktivitas penyakit atau keterlibatan organ-organ utama atau aktivitas serologi

klinis dan terapi kortikosteroid dosis tinggi atau agen-agen sitotoksik yang

terutama berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya bangkitan serta

gangguan fungsi kognitif berat. Kedua, adanya kejadian NPSLE sebelumnya atau
10

yang sementara terjadi, kejadian stroke atau kejang, berpengaruh terhadap

terjadinya NPSLE dikemudian hari. Ketiga, adanya antibodi antiphospholipid

(aPL), anticardiolipin (aCL) persisten yang sedangsampai tinggi, atau titer anti ß2

glikoprotein1 IgG/IgM atau lupus antikoagulan yang positif dikatakan

berhubungan dengan penyakit serebrovaskular, bangkitan, mielopati, korea dan

disfungsi kognitif yang berat.

Tabel 5. Faktor Risiko NPSLE (Bertsias dan Boumpas, 2010)

Faktor risiko non spesifik SLE seperti bertambahnya umur, hipertensi, dan

faktor risiko penyakit serebrovaskular tradisional telah dihubungkan dengan

disfungsi kognitif dan penyakit serebrovaskuler pada SLE(Bertsias dan Boumpas,

2010).
11

2.4 Patogenesis NPSLE

Penyakit SLE terjadi saat sekelompok gen yang memiliki faktor predisposisi

spesifik terpapar dengan kombinasi elemen lingkungan, agen infeksius, lupus

akibat obat-obatan, paparan sinar ultraviolet yang berlebih, dan lain sebagainya.

Patogenesis NPSLE sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti,namun

tampaknya NPSLE bukan disebabkan oleh satu mekanisme saja tapi berbagai

mekanisme. Sekitar 60% kasus NPSLE tidak ditemukan penyebabnya sehingga

disimpulkanSLE sendiri sebagai penyebab manifestasi tersebut (NPSLE primer)

sedangkansisanya 40% disebabkan oleh faktor sekunder yang berhubungan

dengan SLEseperti infeksi, efek samping obat, atau gangguan metabolik akibat

kerusakanpada organ lain dalam tubuh(Kasjmir dkk, 2011).

Sesuai dengan nomenklaturnya, NPSLE dibedakan menjadi sindroma fokal

dan difus berdasarkan struktur anatomi otak yang terkena (Gambar 1). Sebagian

besar mekanisme imunopatologi telah diajukan untuk menjelaskan

patomekanisme NPSLE. Gejala-gejala NPSLE seperti stroke dan neuropati perifer

cenderung berkorelasi dengan tromboemboli dan vaskulopati, sedangkan

mekanisme terjadinya gangguan psikiatri yang difus seperti depresi dan psikosis

lebih berhubungan dengan mekanisme autoantibodi yang diperantarai oleh

neurotoksisitas (Mak dkk, 2009).


12

Gambar 1. MekanismePatologis yang MendasariSindrom NPSLE


(Makdkk, 2009).
2.4.1 Antibodi

Antibodi memainkan peran penting dalam pathogenesis SLE. Beberapa

antibodi yang merupakan penanda spesifik penyakit tertentu juga dilaporkan

berhubungan dengan NPSLE pada beberapa kasus antara lain antibodi anti

ribosomal P, antibodi reseptor NMDA, antibodi aPL, aproliferation-inducing

ligand (APRIL) untuk survival dan fungsi sel B, antibodi antihiston, dan beberapa

antibodi lain yang sementara masih dalam tahap penelitian. Pada beberapa kasus

NPSLE, antibodi aquaporin 4 yang terdapat pada kasus neuritis optika, ternyata

ditemukan juga pada SLE dengan mielopati (Zandi, 2010; Popescu dan Kao,

2011).

Pada NPSLE telah dilakukan pengamatan antara adanya gejala neuropsikiatri

dengan adanya antibodi antiphospolipid (aPl). Penelitian lain menyebutkan

adanya efek langsung dari antibodi aPl pada jaringan SSP, kemungkinan dengan

melekat pada sel neuron atau sel glia serta menggangu fungsi dari sel tersebut,

namun ada studi lain yang tidak setuju dengan penemuan tersebut. Antibodi aPL
13

juga berhubungan dengan manifestasi neurologis fokal seperti penyakit

serebrovaskular. Sebagai tambahan, antibodi anti kardiolipin juga berimplikasi

pada aktivasi sel endotelial. Antibodi anti ribosomal P ditemukan dalam kadar

tinggi pada pasien SLE dengan depresi dan psikosis dibandingkan dengan pasien

SLE tanpa gejala-gejala tersebut (Emmer dkk, 2010).

Antibodi neuronal yang lain yang ditemukan pada NPSLE adalah antibodi

terhadap reseptor NR2anti-N-methyl-D-aspartate (anti-NMDA). Aktivasi reseptor

ini diketahui memegang peranan penting pada memori dan fungsi kognitif.

Antibodi terhadap reseptor anti-N-methyl-D-aspartate (anti-NMDA) yang

berikatan dengan neurotransmiter glutamate disebutkan memainkan peranan

terhadap timbulnya gangguan psikiatri pada SLE (Mak dkk, 2009; Emmer dkk,

2010).

Hipokampus mengekspresikan sejumlah besar reseptor NR2-NMDA dan

beberapa studi menunjukkan bahwa antagonis reseptor NMDA dapat

menyebabkan halusinasi dan paranoia. Alasan yang pasti mengapa antibodi

reseptor anti NMDA dapat menyebabkan sindroma NPSLE difus belum dapat

diterangkan dengan jelas, namun demikian antagonis reseptor NR2 diduga

menginduksi apoptosis neuron yang menyebabkan cedera neuronal kemudian

mengingatkan kita pada toksisitas asam amino eksitatorik (Mak dkk, 2009).

Reseptor NMDA termasuk dalam kelas reseptor glutamat yang bila

teraktivasi akan memperantarai neurotransmisi eksitatorik melalui pemuatan

kation-kation non selektif termasuk Ca2+melewati kanal ion. Reseptor-reseptor

NMDA tersebut terdapat dalam jumlah besar di otak dan memainkan peranan

penting dalam plastisitas sinaptik dan fungsi memori. Reseptor NMDA akan
14

teraktivasi oleh perlekatannya dengan agonis glutamat dan glisin apabila terdapat

paparan terhadap perubahan positif membran potensial di luar sel. Reseptor

NMDA subunit NR1 berikatan dengan dua glisin, sedangakan subunit NR2

berikatan dengan dua glutamat. Antibodi terhadap subunit reseptor NR2A dan

NR2Bmemperantarai kematian sel secara in vitro yang kemudian disusul oleh

kerusakan sawar darah otak. Reseptor NMDA juga diketahui memainkan peranan

pentingdalam regulasi transduksi sinyal di berbagai regio otak. Disfungsi

homeostatik karena aktivitas reseptor NMDA menyebabkan berbagai kerusakan.

Konsentrasi reseptor NMDA post sinaptik yang tinggi pada sistem limbik diduga

mendasari timbulnya berbagai gangguan psikiatri (Lakhan dkk, 2013).

Gambar 2. Target antigenik dan defisit neurologik berkaitan dengan autoantibodi


pada SLE (Lakhan dkk, 2013).

Suatu penelitian yang memakai memantin (suatu antagonis reseptor glutamat

NR2) pada tikus memberikan bukti yang menyokong peranan antibodi anti DNA

dalam NPSLE melalui reaktivitas silang dengan subunit reseptor NR2

menyebabkan inflamasi atau stres yang merusak sawar darah otak.


15

2.4.2 Sitokin

Sitokin memegang peranan penting dalam aktivasi dan mempertahankan

respon imun. Peningkatan level interferon (IFN)-α ditemukan pada pasien SLE

dan menunjukkan hubungan dengan episode psikotik pada SLE. Hal ini juga telah

dikonfirmasi melalui penelitian yang menyebutkan bahwa adanya peningkatan

ekspresi gen yang teraktivasi oleh IFN (α, β, dan γ), peningkatan ini ditemukan

pada 80% pasien SLE dan tampaknya berhubungan dengan bentuk penyakit yang

lebih parah meliputi organ multipel termasuk otak (Emmer dkk, 2010).

Kompleks imun DNA dan anti dsDNA antibodi, yang bersirkulasi pada

pasien SLE, juga mampumemicu produksi IFN-α. IFN-α selanjutnya akan

memicu sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel dendritik. Sel dendritik adalah

antigen-presenting cells (APC)profesional dan menstimulasi sel B dan T dengan

mempresentasikan circulating apoptotic cells dan nukleosom sebagai antigen

terhadap sel T. Kemudian melalui sel dendritik, IFN-α mempertahankan reaksi

imun dan menyebabkan peningkatan level kompleks imun DNA dan anti dsDNA

antibodi pada SLE (Emmer dkk, 2010).

Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan sitokin-sitokin proinflamasi

serum terlibat dalam kejadian depresi pada SLE. Sebagai contoh, pasien SLE dan

depresi menunjukkan meningkatnya level serum interleukin (IL)-1, IL-6, IL-2,

tumour necrosis factor (TNF)-α, dan IFN-α. Perubahan patologis difus yang

terjadi antara lain adalah penurunan aliran darah otak, hilangnya integritas

jaringan parenkim otak, demyelinisasi pada substansia grisea dan alba (Mak dkk,

2009).
16

Gambar 3. Lokasi Neuroanatomikal yang Berkaitan dengan Gejala NPSLE


(Mak dkk, 2009).

2.4.3 Komplemen dan Kompleks Imun

Sistem komplemen memainkan peran penting dalam memicu lisisnya sel

target, opsonisasi (coating) dari sel target, dan menarik fagosit. Komplemen dapat

bereaksi secara langsung dengan mikroorganisme tertentu atau berperan bersama

dengan antibodi untuk meningkatkan fagositosis. Berkurangnya jumlah

komplemen berhubungan denganmeningkatnya aktivitas penyakit ginjal dan

gangguan hematologi pada pasien SLE.

Kerusakan sawar darah otak merupakan neuropatologi utama NPSLE. Sel-sel

endotel yang berperan dalam pemeliharaan sawar darah otak tersebut berubah

fungsi dengan adanya peningkatan level intracellular adhesion molecule-1

(ICAM-1) pada fase aktif SLE. Kematian neuron karena reaktivitas silang

eksitatorik yang terjadi pada hipokampus tikus coba dapat dicegah dengan

pemberian memantin. Kerusakan sawar darah otak pada SLE tersebut serupa
17

dengan pemberian epinefrin, suatu katekolamin, yang juga merusak sawar darah

otak dan menyebabkan hilangnya neuron secara selektif pada amigdala lateral

yang memicu gangguan emosional pada tikus coba tersebut (Popescu dan Kao,

2011). Komples imun juga dapat memicu kerusakan dari sawar darah

otak.Komples imun banyak dijumpai pada pleksus koroideus. Tight junction pada

mikrovaskular serebral merupakan struktur yang unik dan sayangnya membuat

kompleks imun terjebak disana (Emmer dkk, 2010).

Terdapat defek pada bersihan debris seluler apoptosis, aktivasi mekanisme

innate dengan DNA dan materi inti sel lainnya serta aktivitas berlebihan sel T dan

B. Defisiensi komponen komplemen C1q pada SLE, walaupun jarang, namun

sering dihubungkan dengan vaskulitis berat pada SLE. Penelitian neuropatologi

yang dilakukan di tahun 1970 hingga 1980-an menunjukkan adanya iskemia,

vaskulopati, dan infark yang menjadi mekanisme patologi utama yang

dihubungkan dengan beberapa gejala NPSLE. Aterosklerosis, yang merupakan

dasar patologi kerusakan vaskuler juga dipercepat oleh SLE. Penelitian lain

memberi informasi bahwa lesi substansia alba subkortikal berhubungan dengan

defisit kognitif pada SLE dan berhubungan dengan meningkatnya titer antibodi

kardiolipin, namun tidak spesifik menunjukkan adanya gangguan pada susunan

saraf pusat (Zandi, 2010).

2.5 Pemeriksaan Penunjang NPSLE

Tidak ada suatu pemeriksaan ataupun gejala khusus yang dapat membedakan

NPSLE primer atau sekunder (Kasjmir dkk, 2011). Penegakan diagnosis NPSLE

selain dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, tentunya diperlukan pemeriksaan

penunjang meliputi tes-tes biokimia dan serologi serum dan analisis cairan
18

serebrospinal untuk menyingkirkan infeksi intrakranial, elektroensefalografi

(EEG) pada kasus yang dicurigai bangkitan. Penilaian fungsi kognitif dengan tes-

tes neuropsikologi, neuroimaging khususnya magnetic resonance imaging (MRI)

untuk menilai otak secara struktural dan fungsional seperti di paparkan pada Tabel

6. Berbagai biomarker serum yang menunjang diagnosis perlu diidentifikasi.

Antibodi aPL memiliki manfaat klinis yang besar untuk diagnosis NPSLE

(Bertsias dan Boumpas, 2010).

Tabel 6. Pemeriksaan Penunjang NPSLE (Bertsias dan Boumpas, 2010).

Abnormalitas analisis cairan serebrospinal (CSS) pada NPSLE aktif berupa

pleiositosis (jumlah sel rata-rata 20-100), peningkatan level protein ringan yaitu

sekitar 70-110 mg/dL, dengan kadar glukosa CSS yang relatif rendah yaitu 30-

40mg/dL, namun tidak dapat dibedakan dengan SLE tanpa gangguan

neuropsikiatri. Adanya abnormalitas profil CSS tersebut dapat membantu

membedakan dengan penyebab lain khususnya penyebab infeksi. Penilaian level

IL-6, IgG indeks, dan oligoclonal bandCSS sangat menyokong diagnosis namun

bukan pemeriksaan rutin yang diperlukan (Bertsias dan Boumpas, 2010).


19

Pencitraan otak diperlukan untuk menyingkirkan infeksi atau kelainan

patologi yang menunjukkan keterlibatan SSP.Baku emas pemeriksaan pencitraan

otak adalah MRI. Pada penelitian didapatkan 47% penderita dengan NPSLE

primer tidak menunjukan abnormalitas pada MRI konvensional. Namun demikian

MRI ini dipelurkan untuk menyingkirkan penyebab lain NPSLE (Kasjmir dkk,

2011). Protokol yang disarankan adalahMRI T1/T2-weighted, Fluid Attenuated

Inversion Recovery (FLAIR), Diffusion Weighted Imaging (DWI), dan T1-

weighted dengan kontras gadolinium yang akan memperjelas adanya peningkatan

permeabilitias sawar darah otak. Gambaran patologi MRI yang paling sering

dijumpai adalah fokal lesi hiperintens, ukuran kecil di daerah subkortikal dan

periventricular white matter pada T2-weighted. Tujuh puluh sampai 80% lokasi

lesi tersebut adalah pada regionfrontal parietal, hanya 8-10% pada basal ganglia

dan regio infratentorial (serebelum). Tidak ada korelasi antara lokasi lesi dengan

jenis gejala NPSLE yang bermanifestasi. Apabila DWI dilakukan dengan cepat

(setidaknya awitan 1 jam dari gejala) maka dapat dideteksi lesi iskemik

serebrovaskular akut. Sensitivitas MRI dalam mendeteksi lesi pada susbstansia

alba hanya 50-55%. MRI lebih sensitif dalam mendeteksi lesi fokal dibandingkan

dengan lesi difus dengan perbandingan 80-85% :40-50%. Sayangnya lesi fokal

tersebut juga didapatkan pada SLE tanpa gejala neuropsikiatri yaitu sebesar 18-

40%. Beberapa penelitian mendapatkan hubungan antara lesi tersebut dengan

penambahan umur, durasi SLE, vaskulopati, risiko kardiovaskuler, dan antibodi

aPL positif. Lesi pada substansia alba pada MRI tersebut terdapat pada sekitar 60-

80% pasien dengan NPSLE akut.


20

Suatu teknik baru yang disebut Magnetization Transfer Imaging (MTI) yaitu

teknik MRI yang dapat memberikan informasi secara kuantitatif. Alat ini lebih

sensitif dari MRI konvensional dalam mendeteksi NPSLE primer, termasuk

mendeteksi kelainan otak pada mereka dengan riwayat NPSLE tanpa gejala aktif

neuropsikiatri saat pemeriksaan dilakukan. Pencitraan otak fungsional Single

Photon Emission Computed Tomography/Photon emission Tomography

(SPECT/PET)sangat sensitif dan dapat memberikan analisis semikuantitatif aliran

darah regional dan metabolisme otak (Kasjmir dkk, 2011). SPECT juga

memperlihatkan abnormalitas substansia alba dan grisea (Bertsias dan Boumpas,

2010).Magnetic resonance spectroscopy (MRS) menunjukkan penurunan level N-

acetylaspartate yang mengindikasikan adanya kerusakan neuronal, peningkatan

cholin yang berhubungan dengan gliosis, dan kerusakan membran (Popescu dan

Kao, 2011).

2.6 Penatalaksanaan NPSLE

Pengobatan SLE menggunakan kortikosteroid terbukti memberikan hasil

efektif namun sangat disayangkan bahwa terapi kortikosteroid tersebut juga

memberikan efek gangguan psikiatri dan kognitif (Kenna dkk, 2011). Nishimura

dkk (2008) melaporkan bahwa14 pasien (10,1%) SLE dari 139 pasien SLE tanpa

manifestasi gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang diterapi kortikosteroid

mengalami gangguan psikiatri awitan baru secara primer yaitu mengalami episode

manik.

Penelitian-penelitaian lain dengan desain yang berbeda telah dilakukan

sebelumnya juga menunjukkan hasil yang hampir sama. Penggunaan prednisolon


21

atau kortikosteroid lain yang ekuivalen dosis 15-60 mg dikatakan berhubungan

dengan timbulnya gangguan psikiatri pada penderita SLE yang mendapatkan

terapi kortikosteroid (Kenna dkk, 2011).Tata laksana NPSLE bersifat multimodal

dan berkelanjutan. Saat ini terdapat tiga terapi farmakologi yang telah disetujui

untuk terapi SLE, yaitu glukokortikoid, aspirin, dan hidroklorokuin.

Glukokortikoid adalah terapi primer untuk tata laksana NPSLE.

Pemilihan terapi farmakologi tentunya berdasarkan karakteristik individu

yaitu, presentasi klinis, beratnya penyakit, dan mekanisme patogenik potensial

yang mendasari. Sebagai contoh, adanya trombosis yang disebabkan oleh antibodi

aPL mengindikasikan pasien memerlukan antikoagulan. Selain ketiga obat yang

telah disetujui oleh FDA tersebut, beberapa negara menggunakan protokol yang

berbeda untuk penanganan SLE yaitu dengan memberikan agen-agen

imunosupresan dan alkylating cytotoxic agent seperti cyclophosphamide yang

dikombinasinakan dengan azathioprine, metotrexate, mycophenolate mofetil

(MMF) yang merupakan agen anti metabolit. Pemberian immunoglobulin

intravena (IVIG) dan plasmaferesis serta rituximab dapat dipertimbangkan pada

SLE yang tidak responsif terhadap kortikosteroid (Bertsias dan Boumpas, 2010;

Popescu dan Kao, 2011).

Terapi simptomatis tambahan pada penanganan gangguan mood, psikosis,

gangguan kognitif, bangkitan, dan nyeri kepala dapat dipertimbangkan. Gangguan

psikiatri ringan mungkin hanya memerlukan terapi simptomatis saja.

Glukokortikoid dosis tinggi digunakan untuk terapi SLE akut dan flare adalah 1

gram per hari selama tiga hari secara intravena kemudian diikuti oleh 1-2

mg/kgBB per oral setiap hari. Pemberian steroid dosis tinggi dalam jangka waktu
22

lama akan memberikan banyak efek samping, termasuk salah satunya adalah

justru psikosis (Popescu dan Kao, 2011).

Obat-obat psikotropika (antidepresan, ansiolitik, dan antipsikotik atipikal)

berperanan penting dalam penanganan pasien dengan gangguan afektif ataupun

psikosis. Penanganan psikosis akut meliputi kombinasi antara glukokortikoid

untuk terapi penyakit dasar dan antipsikotik. Aspirin yang diberikan secara teratur

pada pasien SLE umur lebih tua dengan diabetes dilaporkan dapat memperbaiki

fungsi kognitif pada studi SALUD. Di lain pihak pemberian glukokortikoid secara

terus menerus pada SLE aktif atau SLE berat dihubungkan dengan penurunan

fungsi kognitif (McLaurin dkk, 2005; Popescu dan Kao, 2011).

Pemilihan anti psikotik pada skizofrenia SLE harus berhati-hati dan

mempertimbangkan efek farmakokinetik dan dinamik obat tersebut pada SLE.

Chlorpromazine (CPZ) diketahui dapat mencetuskan lupus dan memicu

fotosensitivitas sehingga dapat lebih memperberat manifestasi lupus. Olanzapin

sebagai anti psikotik atipikal lebih dipilih walaupun memiliki efek yang tidak

diinginkan yaitu menyebabkan agranulosistosis (Mak dkk, 2009).

Nishimura (2003) tidak merekomendasikan penggunaan antipsikotik generasi

pertama karena selain efek samping yang memicu lupus, obat-obat tersebut juga

mengeksaserbasi gangguan gerak pada SLE. Antipsikotik generasi kedua seperti

risperidon dan olanzapinsebaiknya tidak diberikan pada pasien SLE dengan

stroke. Herrman dan Lanctot (2005) melaporkan bahwa kedua obat tersebut

diketahui memiliki efek samping serebrovaskuler terutama pada usia lanjut pada

populasi non SLE. Quetapin dan sulpirid direkomendasikan untuk penanganan

NPSLE dengan manifestasi psikotik. Pemberian cyclophosphamide intravena


23

memberikan perbaikan yang signifikan pada NPSLE dengan gejala psikotik berat.

Terlebih lagi obat ini dapat ditoleransi dengan baik oleh orang dewasa anak-anak.

Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) sangat berguna untuk

mengobati depresi pada NPSLE namun harus diperhatikan efek samping yang

mungkin terjadi. Efek samping berupa lesi kulit eritematosus dilaporkan pada

pemberian bupropione dan sertraline. Fluoxetine dapat memicu timbulnya

gangguan ekstrapiramidal (Mak dkk, 2009).

Pada tahun 1982, seperti dikutip oleh Mak dkk (2009), Douglass dan

koleganya melaporkan kasus depresi yang disebabkan oleh lupus serebri yang

sukses ditangani dengan electroconvulsivetherapy (ECT). Terapi ini juga

memegang peranan penting dalam penatalaksanaan psikosis mania dan katatonia

yang merupakan salah satu manifestasi psikiatri SLE.

Pendekatan non farmakologi, seperti program rehabilitasi kognitif atau

intervensi dengan grup psikologi sangat penting bagi penderita NPSLE dengan

gangguan psikosis, depresi, kecemasan, atau disfungsi kognitif (gangguan

memori, konsentrasi, dan atensi). Heterogenesitas manifestasi neuropsikologi dan

kognitif menuntun kearah rehabilitasi kognitif yang memberikan hasil yang cukup

menjanjikan pada pasien NPSLE. (Mak dkk, 2009; Popescu dan Kao, 2011).

Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan terapi non farmakologi

penyokong yang sangat efektif untuk mengurangi gejala NPSLE dengan jalan

memodifikasi delusional belief pasien skizofrenia dan dapat mengontrol

halusinasi pada beberapa studi dengan jumlah sampel yang kecil. Psikoedukasi

kepada pasien dan care giver mutlak harus diberikan untuk meningkatkan tilikan
24

dan pemahaman keduanya sehingga dapat meningkatkan keluaran yang lebih baik

pada kasus NPSLE (Mak dkk, 2009).

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penatalaksaan NPSLE

mengingat masing-masing pasien NPSLE diterapi berdasarkan manifestasi yang

dialami adalah sebagai berikut:

1. Selalu pikirkan diagnosis banding karena NPSLE merupakan diagnosis

eksklusi.

2. Tentukan apakah proses penyakit tersebut bersifat sementara (hilang timbul)

atau tampaknya (secara epidemiologi) menimbulkan kerusakan yang

ireversibel.

3. Pasien SLE dengan manifestasi neuropsikistri mayor (neuritis optik,

ACS/koma, neuropati kranial atau perifer, psikosis dan myelitis

tranversa/myelopati) mungkin disebabkan oleh inflamasi, pertimbangkan

pemberian terapi imunosupresan (Kasjmir dkk, 2011)

Pengobatan simptomatis pada NPSLE disesuaikan dengan manifestasi klinis yang

muncul pada pasien seperti tampak pada tabel 9 dibawah ini.

Tabel 9. Terapi Simptomatik pada Manifestasi NPSLE (Emmer dkk, 2010)


25

Berikut ini adalah bagan penatalaksanaan NPSLE di Indonesia yang dimodifikasi

dari ACR.

Gambar 5. Algoritma Tatalaksana NPSLE (Kasjmir dkk, 2011)


BAB III

PENUTUP

Penderita SLE cukup sering mengalami gejala neuropsikiatri. Gejala-gejala

yang muncul sangat bervariasi, mulai dari yang ringan seperti nyeri kepala hingga

yang berat seperti stroke. ACR telah menetapkan nomenklatur dan klasifikasi

serta penegakan NPSLE. Dari gejala NPSLE yang muncul, harus dilakukan

pemeriksaan tambahan untuk mengeksklusi kemungkinan penyebab penyakit lain

yang menimbulkan gejala yang sama.

Pemahaman mengenai gejala NPSLE dan penanganan yang tepat sangat

penting dimiliki oleh para klinisi. Hal ini disebabkan karena NPSLE merupakan

kondisi yang perlu penanganan tepat karena dapat mengancam nyawa. Selain itu,

perlu juga dikembangkan penelitian mengenai imunologi SLE sehingga semakin

memperjelas dasar patogenesis terjadinya NPSLE dan nantinya dapat diperoleh

pengobatan NPSLE yang lebih tepat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ainiala, H., Loukkola, J., Peltola, J., Korpela, M., Hietaharju, A. 2001. The
Prevalence of Neuropsychiatric Syndromes in Systemic Lupus Erythematosus.
Neurology; (57): hal.496-500.

Ainiala, H. 2011. Neuropsychiatric Involvement in Systemic Lupus


Erythematosus. Academic DissertationUniversity of Tampere: hal. 9-40.

Appenzeller,S., Cendes, F., Castallat, L. 2008. Acute Psychosis in Systemic Lupus


Erythematosus. Rheumatology International; 28: hal. 237–43.

Bachen, E.A., Chesney, M.A., Criswell, L.A. 2009. Prevalence of Mood and
Anxiety Disorders in Women with Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis
Rheum; 61(6): hal. 822–829.

Bertsias, G., Boumpas, D. 2010. Pathogenesis, Diagnosis and Management of


Neuropsychiatric SLE Manifestations. Nat Rev Rheumatol (6): hal. 358-367.

Brey, R.L. 2007. Neuropsychiatric Lupus: Clinical and Imaging Aspects. Bulletin
of the NYU Hospital for Joint Disease 65(3): hal. 194-9.

Coín-Mejías, M.A., Peralta-Ramírez, M.I., Callejas-Rubio, J.L., Pérez-García, M.


2007. Personality Disorders and Emotional Variablesin Patients with Lupus.
Solud Mental; 3(2): hal. 19-24.

Denburg, S.D., Denburg, J.A. 2003. Cognitive Dysfunction and Antiphospholipid


Antibodies in Systemic Lupus Erythematosus. Lupus;12: hal.883-90.

Emmer, B., Huizinga, Tom, W.J., Buchem, Mark, A. 2010. Neuro-Psychiatric


Systemic Lupus Erythematosus. Leiden University Medical Center.

Emmer, B.J., Veer, I.M., Steup-Beekman. 2010. Tract Based Spatial Statistics on
Diffusion Tensor Imaging in Systemic Lupus Erythematosus Reveals Localized
Involvement of White Matter Tracts. Arthritis Rheum 2010 Chapter 7: hal. 80-9.

Hajj-Ali, R., Calabrese, Leonard, H. 2009. Central Nervous System Vasculitis.


Current Opinion in Rheumatology 21: hal. 10-18.

Hanly, J.G., Harrison, M.J. 2005. Management of Neuropsychiatric


Lupus.BestPractice and Research Clinical Rheumatology;19: hal.799–821.

Hanly, J.G., McCurdy, G., Fougere, L., Douglas, J.O., Thompson, K.


2004.Neuropsychiatric Events in Systemic Lupus Erythematosus: Attribution and
Clinical Significance. J Rheumatol; 31: hal.2156-62.

37
28

Herrmann, N., Lanctôt,K.L. 2005. Do Atypical Antipsychotics Cause


Stroke?Central Nervous System Drugs; 19: hal. 91–103.

Kasjmir, Y., Handono, K., Wijaya, LK.,Hamijoyo, L., Albar, Z. 2011. Diagnosis
dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi
Indonesia; hal.24-6.

Kenna, H., Poon, A.W., Angeles, P.D., Koran, L.M. 2011. Psychiatric
Complications of Treatment with Corticosteroids: Review with
CaseReport.Psychiatry and ClinicalNeurosciences;65: hal.549–560.

Kozora, E.,Archiniegas, D.B., Zhang, L., West, L. 2007. Neuropsychological


Patterns in Systemic Lupus Erythematosus Patients with Depression. Arthritis
Research & Therapy; 9(3).

Lakhan, S.E., Caro, M., Hadzimichallis, N. 2013.NMDA Receptor Activity in


Neuropsychiatric Disorders. Frontiers in Psychiatry; 52(4).

Luyendijk,L., Steens, Ouwendijk, W.J.N. 2011. Neuropsychiatric Systemic Lupus


Erythematosus: Lessons Learned from Magnetic Resonance Imaging. American
College of Rheumatology Arthritis & Rheumatism Vol 63, No.3: hal. 722-732.

Mak, A., Ho, R.C., Lau, C.S. 2009. Clinical Implications of Neuropsychiatric
Systemic Lupus Erythematosus.Advances in psychiatric treatment; 15: hal. 451–8.

McLaurin, E.Y., Holliday, S.L., Williams, P., Brey, R.L. 2005. Predictor of
Cognitive Dysfunction in Patients with Systemic Lupus Erythematosus.
Neurology; 64(2): hal. 297-303.

Monov, Monova, D. 2008. Classification Criteria for Neuropsychiatric Systemic


Lupus Erythematosus: Do They Need A Discussion? Hippokratia vol 12(2): 103-
107.

Nishimura, K., Harigai, M., Omori, M.,Sato, E., Hara, M. 2008. Blood-Brain
Barrier Damage as A Risk Factor for Corticosteroid-Induced Psychiatric
Disorders in SystemicLupus Erythematosus. Psychoneuroendocrinology;
33:hal.395–403.

Popescu, A., Kao, A.H. 2011. Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus.


Curr neuropharmacol;9:hal.449-57.

Radwan, M., Abda, E., Selim, Z. 2010. Value of MRI of The Brain in Patient with
Neuropsychiatric Systemic Lupus Erythematosus. AAMJ; Vol.8.

Robert, M., Sunitha, R., Thulaseedharan, K. 2006. Neuropsychiatric


Manifestations Systemic Lupus Erythematosus: A Study from South India.
Neurology India;54(1): hal. 75-7.
29

Segui, J., Ramos-Casals, M., Garcia-Carrasco, M., De-Flores, T., Cervera, R.,
Valdes, M. 2000. Psychiatricand Psychosocial Disorders in Patients with
Systemic Lupus Erythematosus: A Longitudinal Study of Active and Inactive
Stages of The Disease. Lupus; 9: hal.584–8.

Stojanovich, L.,Zandman-Goddard, G., Pavlovich, S. 2007. Psychiatric


Manifestations of Systemic Lupus Erythematosus. Autoimmunity Review; 6: hal.
421–6.

Wekking, E. 1993. Psychiatric Symptoms in Systemic Lupus Erythematosus: An


Update. Psychosomatic Medicine; 55: hal.219-28.

Zandi, M. 2010.Advance and Challenge in Neuropsychiatric Systemic


LupusErythematosus. ACNR; 10(2): hal. 8-13.

Anda mungkin juga menyukai