Anda di halaman 1dari 72

PERBANDINGAN KUALITAS TIDUR MENGGUNAKAN SKALA

PITTSBURGH SLEEP QUALITY INDEX (PSQI) PADA PASIEN GANGGUAN


CEMAS YANG MENDAPAT TERAPI BENZODIAZEPIN
JANGKA PANJANG DAN JANGKA PENDEK

COMPARISON OF SLEEP QUALITY BY PITTSBURGH SLEEP QUALITY


INDEX (PSQI) SCALE IN ANXIETY DISORDER PATIENTS USING
LONG-TERM AND SHORT-TERM BENZODIAZEPINES THERAPY

JUMIARNI

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIOMEDIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018
PERBANDINGAN KUALITAS TIDUR MENGGUNAKAN SKALA
PITTSBURGH SLEEP QUALITY INDEX (PSQI) PADA PASIEN GANGGUAN
CEMAS YANG MENDAPAT TERAPI BENZODIAZEPIN
JANGKA PANJANG DAN JANGKA PENDEK

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Ilmu Kedokteran Jiwa

Disusun dan diajukan oleh :

JUMIARNI

Kepada

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI BIOMEDIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Jumiarni

No Induk Mahasiswa : P1507213035

Program Studi : Biomedik

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-

benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan

atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan

bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia

menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 30 Januari 2018

Yang Menyatakan,

Jumiarni
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan berkah-

Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul : “Perbandingan

Kualitas Tidur Menggunakan Skala Pittsburgh Sleep Quality Index (Psqi) pada Pasien

Gangguan Cemas yang Mendapat Terapi Benzodiazepin Jangka Panjang dan Jangka

Pendek”.

Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak, olehnya itu dengan rasa hormat yang mendalam penulis

menyampaikan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Hasanuddin, Dekan Fakultas Kedokteran beserta

jajarannya yang telah berkenan menerima penulis sebagai mahasiswa dan

atas pelayanan serta berbagai bantuan yang telah diberikan selama

penulis mengikuti program pendidikan.

2. Bapak Dr. dr. H. M. Faisal Idrus, Sp.KJ (K) sebagai Ketua Komisi

Penasehat dan bapak Dr. dr. Sonny Teddy Lisal, Sp.KJ sebagai Anggota

Komisi Penasehat, yang telah meluangkan waktu dan pikiran tanpa kenal

lelah, memberikan bimbingan kepada penulis dalam proses penyusunan

tesis ini.

3. Bapak Dr. dr. Idham Jaya Ganda, Sp.A (K), Bapak Prof. dr. A.

Jayalangkara Tanra, Ph.D.,Sp.KJ(K) dan Bapak Dr. dr. Irfan Idris, M.Kes.

sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan bimbingan demi

penyempurnaan tesis ini.


4. Terima kasih banyak kepada Ketua Bagian Psikiatri FK UNHAS Bapak

Prof. dr. A. Jayalangkara Tanra, Ph.D, Sp.KJ (K), Ketua Program Studi

Bapak Dr. dr. Sonny Teddy Lisal, Sp.KJ dan Sekertaris Program Studi Ibu

Dr. dr. Saidah Syamsuddin, Sp.KJ yang telah sabar membimbing penulis,

banyak membantu serta memberikan dukungan moril selama mengikuti

pendidikan.

5. Seluruh supervisor, staf dosen serta staf administrasi Psikiatri FK UNHAS

yang telah dengan ikhlas memberikan bimbingan, masukan dan membagi

ilmunya kepada penulis selama pendidikan.

6. Teman seangkatan penulis saat mengikuti PPDS di Bagian Ilmu

Kedokteran Jiwa yaitu dr. Agustine Mahardika, dr. Kristanty Randa Arung,

dr. Veronika Suwono, dr. Hilmi Umasangadji dan seluruh teman sejawat

residen Psikiatri atas kebersamaan, dukungan dan semangat yang

diberikan kepada penulis. Staf paramedis di Rumah Sakit Khusus Daerah

Propinsi Sulawesi Selatan yang telah membantu pasien dalam melakukan

penelitian ini.

7. Kedua orang tua penulis ayahanda H.Umar Hasany dan ibunda Hj. Siti

Aisyah yang telah memberikan kasih sayang, dukungan dan doa yang tidak

pernah putus kepada penulis sehingga penulis dapat melewati pendidikan

ini. Anak tercinta Aufa Ahda Shibghatan dan saudara tercinta Koesmarjaya

dan dr. Ovi Rusmariza atas setiap pengertian, semangat serta doa yang

selalu diberikan kepada penulis.

8. Khusus kepada seluruh responden penelitian, terima kasih atas

kesediaannya mengikuti penelitian ini.


9. Terakhir kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu, yang telah memberikan bantuan dalam berbagai hal, penulis

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan, karena itu penulis mohon maaf bila terdapat hal-hal yang tidak

berkenan dalam penulisan ini, kritik dan saran yang membangun demi perbaikan

lebih lanjut sangat diharapkan.

Makassar, 30 Januari 2018

Jumiarni
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i

DAFTAR SINGKATAN iii

DAFTAR GAMBAR iv

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 3
C. Tujuan umum 4
D. Tujuan khusus 4
E. Hipotesis penelitian 5
F. Manfaat penelitian 5

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Gangguan Cemas 6
B. Benzodiazepin 8
C. Tidur Fisiologis 17
D. Kualitas tidur 22
E. Mekanisme benzodiazepin jangka panjang dan kualitas tidur 25

III. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP


A. Kerangka teori 28
B. Kerangka konsep 29

i
IV. METODE PENELITIAN
A. Desain penelitian 30
B. Tempat dan waktu penelitian 30
C. Populasi penelitian 30
D. Sampel dan cara pengambilan sampel 30
E. Perkiraan Besar Sampel 31
F. Kriteria inklusi dan ekslusi 31
G. Izin penelitian dan ethical clearance 32
H. Cara kerja 32
I. Identifikasi dan klasifikasi variabel 34
J. Definisi operasional dan kriteria objektif 34
K. Alur penelitian 36

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hasil penelitian 37
B. Pembahasan 48

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 54

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN-LAMPIRAN

ii
DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Keterangan

PSQI : Pitssburgh Sleep Quality Index

GABA : Gamma-Aminobutyric Acid

SSP : Susunan Saraf Pusat

REM : Rapid Eye Movement

NREM : Non-Rapid Eye Movement

EEG : Electro Encephalogram

ARAS : Ascending Reticular Activating System

LC : Locus Coeruleus

VLPO : Ventrolateral Preoptic Nucleus

iii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Halaman

1. Gambar 1. Siklus tidur 20


2. Kerangka teori 28
3. Kerangka konsep 29
4. Tabel 1. Uji validitas dan reabilitas 34
5. Alur penelitian 36
6. Tabel 2. Karakteristik sampel penelitian 37
7. Gambar 2. Grafik skala kualitas tidur PSQI kelompok alprazolam 41
>6 bulan
8. Gambar 3. Grafik skala kualitas tidur PSQI kelompok alprazolam 41
<6 bulan
9. Tabel 3. Skala perbandingan kualitas tidur PSQI (alprazolam) 42
10. Gambar 4. Grafik skala kualitas tidur PSQI kelompok clobazam 43
>6 bulan
11. Gambar 5. Grafik skala kualitas tidur PSQI kelompok clobazam 44
<6 bulan
12. Tabel 4. Perbandingan skala kualitas tidur PSQI (clobazam) 45
13. Tabel 5. Perbandingan skala kualitas tidur PSQI alprazolam 46
dan clobazam > 6 bulan
14. Tabel 6. Perbandingan skala kualitas tidur PSQI alprazolam 46
dan clobazam < 6 bulan
15. Tabel 7. Perbandingan skala kualitas tidur berdasarkan diagnosa 43

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tahun 1996 organisasi kesehatan dunia WHO mengeluarkan

sebuah pegangan program “Rational Use of Benzodiazepine”. Hal ini

disebabkan karena dalam praktek sehari-hari benzodiazepin tidak hanya

diberikan pada pasien yang mengalami gangguan psikiatri, tetapi

kebanyakan obat golongan ini digunakan 80% oleh dokter umum dan

dokter non spesialisasi psikiatri. Oleh karena itu banyak penggunaan

benzodiazepin tidak rasional dan menyalahi aturan penggunaan yang

sudah disepakati oleh badan atau organisasi kesehatan dunia. (Andri,

2011)

Obat golongan benzodiazepin yang dikenal masyarakat sebagai

obat penenang merupakan obat yang paling populer di dunia. Lebih dari

100 juta obat golongan benzodiazepin telah diresepkan untuk mengatasi

gejala yang berhubungan dengan gangguan tidur. Meskipun pada

kenyataannya obat ini diperuntukkan pada pemakaian jangka pendek saja

yaitu beberapa minggu namun banyak yang menggunakannya sampai

bertahun-tahun. (Hawari, 2013)

Benzodiazepin paling sering digunakan dan merupakan pilihan

utama untuk mengatasi gangguan tidur, baik primer yaitu pada gangguan

tidur murni maupun sekunder yaitu ganguan tidur akibat gangguan cemas

dan gangguan jiwa lainnya. Walaupun demikian, lama penggunaannya

1
harus dibatasi karena pemakaian jangka panjang yaitu lebih dari 6 bulan

keatas dapat menimbulkan beberapa efek samping seperti

ketergantungan (adiksi), masalah kualitas tidur atau dapat menutupi

penyakit yang mendasari masalah tidur, apnea tidur, penurunan kognitif,

dan gangguan koordinasi motorik. Oleh karena itu, penggunaan

benzodiazepin harus hati-hati, dengan pengawasan dokter, dan dosisnya

serendah mungkin. (Stahl, 2008; Amir , 2007)

Tidur merupakan salah satu faktor yang penting bagi kebutuhan

fisiologis dasar manusia, disini terjadi proses pemulihan bagi tubuh dan

otak untuk pencapaian kesehatan yang optimal. Kebutuhan tidur termasuk

dalam kebutuhan fisiologis atau kebutuhan primer yang menjadi syarat

dasar bagi kelangsungan hidup manusia dan ini bergantung pada kualitas

tidurnya. Kualitas tidur akan mempengaruhi psikologis dan kesehatan fisik

seseorang, yang membuat kehidupan sehari-hari terasa lebih tertekan

atau menyebabkan seseorang menjadi kurang produktif. Berbagai

gangguan jiwa diketahui berhubungan dengan terganggunya kualitas tidur

seseorang, seperti pada gangguan cemas, depresi, dan pada gangguan

jiwa berat. Kualitas tidur diukur dengan menggunakan Pittsburgh Sleep

Quality Index (PSQI) versi bahasa Indonesia, Pemilihan instrumen PSQI

versi bahasa Indonesia ini karena cukup praktis dan mudah dipahami,

selain itu sudah cukup banyak digunakan di Indonesia dengan validitas

dan tingkat realibitas cukup tinggi. (Curcio et al, 2012; Lumbantobing,

2008)

2
Beberapa penelitian tentang pemakaian benzodiazepin jangka

panjang didapatkan hasil kualitas tidur yang semakin memburuk. Contoh

penelitian yang dilakukan oleh Holbrook et al tahun 2000 didapatkan hasil

kualitas tidur yang lebih baik pada pemakaian benzodiazepin jangka

pendek (24 minggu), dibandingkan pemakaian jangka panjang (52

minggu) yaitu nilai p<0,05. Penelitian lain oleh Celyne et al tahun 2003

didapatkan hasil perbandingan yang bermakna pada kelompok yang

memakai benzodiazepin jangka panjang yaitu diperoleh nilai p<0,05.

Namun ada juga penelitian oleh Colin et al pada tahun 2012 menyatakan

bahwa terjadi perbaikan kualitas tidur pada pemakaian 24 minggu sampai

dengan 1 tahun. Dengan adanya perbedaan hasil terhadap pemakaian

benzodiazepin tersebut disertai belum adanya penelitian spesifik di

Indonesia yang menghubungkan pemakaian benzodiazepin jangka

panjang terhadap kualitas tidur, maka peneliti merasa tertarik untuk

melakukan penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas maka

dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

“Apakah ada perbedaan kualitas tidur menggunakan skala Pittsburgh

Sleep Quality Index (PSQI) pada pasien gangguan cemas yang mendapat

terapi benzodiazepin jangka panjang dan jangka pendek? “

3
C. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbandingan kualitas tidur menggunakan skala

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) pada pasien gangguan cemas yang

mendapat terapi benzodiazepin jangka panjang dan jangka pendek.

D. Tujuan Khusus

 Mengukur kualitas tidur dengan menggunakan skala Pitssburgh

Sleep Quality Index (PSQI) versi Bahasa Indonesia pada

kelompok pasien yang mendapat terapi alprazolam >6 bulan.

 Mengukur kualitas tidur dengan menggunakan skala Pitssburgh

Sleep Quality Index (PSQI) versi bahasa Indonesia pada

kelompok pasien yang mendapat terapi alprazolam <6 bulan.

 Membandingkan kualitas tidur pada kelompok pasien yang

mendapat terapi alprazolam >6 bulan dan <6 bulan.

 Mengukur kualitas tidur dengan menggunakan skala Pitssburgh

Sleep Quality Index (PSQI) versi bahasa Indonesia pada

kelompok pasien yang mendapat terapi clobazam >6 bulan

 Mengukur kualitas tidur dengan menggunakan skala Pitssburgh

Sleep Quality Index (PSQI) versi bahasa Indonesia pada

kelompok pasien yang mendapat terapi clobazam <6 bulan.

 Membandingkan kualitas tidur pada kelompok pasien yang

mendapat terapi clobazam >6 bulan dan <6 bulan.

 Membandingkan kualitas tidur pada kelompok yang mendapat

terapi alprazolam dan clobazam.

4
E. Hipotesis Penelitian

Kualitas tidur menggunakan skala Pitssburgh Sleep Quality Index

(PSQI) pada pasien gangguan cemas yang mendapat terapi

benzodiazepin jangka panjang lebih buruk dibandingkan kualitas tidur

pasien yang mendapat terapi benzodiazepin jangka pendek.

F. Manfaat Penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi

ilmiah tentang pemakaian benzodiazepin terhadap kualitas tidur

pasien.

b. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan pertimbangan

dokter dalam memberikan terapi dan memperhatikan efek

samping yang merugikan bagi pasien.

c. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan acuan bagi masyarakat

dalam memahami efek samping dan penyalahgunaan

benzodiazepin.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gangguan Cemas

Gangguan cemas disebut juga dengan gangguan neurosis. Hampir

satu abad yang lalu Sigmund Freud memperkenalkan istilah “anxiety

neurosis” dan mengidentifikasi 2 bentuk cemas yaitu kecemasan eksternal

dan internal. Menurut rumusan psikoanalitik pasca Freud, kecemasan ini

dibedakan menjadi kecemasan normal dan patologis. Kecemasan normal

merupakan suatu sinyal yang memperingatkan adanya bahaya yang

mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk

mengatasi bahaya tersebut. Kecemasan yang normal adalah bentuk dari

fungsi adaptif individu terhadap stress dan konflik yang berbeda-beda

berdasarkan kekuatan ego masing-masing. Kecemasan patologis

merupakan rasa cemas yang maladaptif dengan meningkatnya sistem

otonom disertai gejala-gejala berupa rasa takut dan khawatir yang

berlebihan, gangguan tidur, sulit berkonsentrasi, dan peningkatan

psikomotorik. (Kaplan dan Sadock, 2010)

Teori utama yang digunakan pada gangguan cemas adalah (1)

teori psikologis, disini termasuk tiga hal utama yaitu psikoanalitik, perilaku,

dan eksistansial. (2) Teori biologis, teori ini dikembangkan dari penelitian

yang dilakukan awalnya pada hewan coba dan dikembangkan untuk kerja

obat psikotropik itu sendiri. Disini yang terlibat adalah sistem saraf otonom

seperti gejala yang berhubungan dengan kardiovaskuler, muskular,

6
gastrointestinal, dan pernapasan. Berikutnya melibatkan neurotransmiter

seperti norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA).

(Kaplan dan Sadock, 2010)

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pada gangguan

cemas sering disertai dengan gangguan tidur, maka disini gangguan tidur

yang dialami adalah gangguan tidur sekunder sebagai akibat dari

kecemasan pada pasien. Gangguan tidur dapat berupa:

 Insomnia adalah keadaan dimana seseorang yang ingin tidur

mengalami kesulitan untuk memulai tidur, sulit mempertahankan

tidur, ataupun bangunnya terlalu pagi.

 Hipersomnia adalah keadaan dimana pasien tetap merasa

mengantuk walaupun jumlah jam tidurnya sudah adekuat.

 Parasomnia adalah menggambarkan keadaan-keadaan yang tidak

diinginkan yang terjadi waktu tidur.

 Apnea tidur adalah terhentinya udara ke paru selama sekurangnya

10 detik saat tertidur, dikenal tiga apnea tidur patologis yaitu apnea

tidur sentral (menurunnya dorongan untuk bernapas), apnea tidur

obstruktif (dihubungkan pada pasien yang obesitas dan sering

mendengkur), dan apnea tidur campuran.

 Gangguan ritme tidur-bangun atau dikenal dengan irama sirkadian

artinya disini terjadi gangguan pada siklus tidur-bangun yang tidak

sebagaimana lazimnya. (Lumbantobing, 2008)

7
B. Benzodiazepin

Benzodiazepin adalah sekelompok obat golongan psikotropika

yang mempunyai lima efek farmakologis sekaligus, yaitu ansiolitik,

hypnosis, sedasi, anti konvulsan, dan relaksasi otot. Benzodiazepin juga

dikenal juga sebagai transquilizer minor dan psikoleptik. Pertama kali

dikenalkan pada akhir tahun 1940-an dengan derivat pertama yang

dipasarkan adalah klordiazepoksid (semula dinamakan

methaminodiazepoksid). Pada tahun 1960 kemudian dilakukan

biotransformasi menjadi diazepam (1963), nitrazepam (1965), oksazepam

(1966), medazepam (1971), lorazepam (1972), klorazepat (1973),

flurazepam (1974), bromazepam dan clonazepam (1975),midazolam

(1976), temazepam (1977), triazolam dan clobazam (1979), ketazolam

(1980), lormetazepam (1981), flunirazepam-bromazepam-prazepam

(1982), dan alprazolam (1983). (Departemen farmakologi FKUI, 2010)

Dalam penggunaanya, efek benzodiazepin yang diinginkan adalah

efek hipnotik-sedatif. Sifat yang diinginkan dari penggunaan hipnotik-

sedatif antara lain adalah perbaikan anxietas, euforia dan kemudahan

tidur sehingga obat ini sebagai pilihan utama untuk gangguan tidur, jika

keadaan ini terjadi terus menerus, maka pola penggunaanya akan menjadi

kompulsif sehingga terjadi ketergantungan fisik. Obat-obatan hipnotik-

sedatif dengan waktu paruh lama akan dieliminasi lama untuk mencapai

penghentian obat bertahap sedikit demi sedikit. Sedangkan pada obat

dengan waktu paruh singkat akan dieliminasi dengan cepat sehingga sisa

8
metabolitnya tidak cukup adekuat untuk memberikan efek hipnotik yang

lama. Oleh karena itu, penggunaan obat dengan waktu paruh singkat

sangat bergantung dari dosis obat yang digunakan tepat sebelum

penghentian penggunaan. Gejala abstinensi juga dapat terjadi pada

penggunaan berbagai golongan obat hipnotik- sedatif. Gejala –gejala ini

dapat berupa lebih sukar tidur dibanding sebelum penggunaan obat-

obatan hipnotik-sedatif. Jika gejala ini terjadi, ada kecenderungan untuk

menggunakannya lagi, karena mungkin dari sisi psikologis. (Arana, 2000)

Dibeberapa negara maju dan berkembang seperti di Belanda dan

Indonesia, benzodiazepin digolongkan ke dalam golongan psikotropika,

sehingga penggunaanya dibatasi karena pemakaian dalam jangka

panjang dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikis, masalah

kualitas tidur atau dapat menutupi penyakit yang mendasari masalah tidur,

apnea tidur, penurunan kognitif, dan terjatuh karena gangguan koordinasi

motorik. (Amir, 2007)

B.1. Lama kerja

Berdasarkan lama kerjanya, benzodiazepin dapat digolongkan ke

dalam tiga kelompok yaitu long acting, short acting dan ultra short acting.

Benzodiazepin long acting dirombak dengan jalan demetilasi dan

hidroksilasi menjadi metabolit aktif (sehingga memperpanjang waktu kerja)

yang kemudian dirombak kembali menjadi oksazepam yang dikonjugasi

menjadi glukoronida tak aktif. Metabolit aktif desmetil biasanya bersifat

anxiolitas. Sehingga biasanya, zat long acting digunakan sebagai obat

9
tidur walaupun efek induknya yang paling menonjol adalah sedatif-hipnotik

(contoh chlordiazepoxide, diazepam, clorazepate, quazepam, dan

flurazepam). Benzodiazepin Short acting di metabolisme tanpa

menghasilkan zat zat aktif. Sehingga waktu kerjanya tidak diperpanjang.

Obat-obatan ini jarang menghasilkan efek sisa karena tidak terakumulasi

pada penggunaan berulang (contoh Alprazolam, Lorazepam, clonazepam,

oxazepam, clobazam, temazepam, estazolam). Benzodiazepin Ultra short

acting memiliki lama kerja yang lebih pendek dari short acting hanya

kurang dari 5.5 jam (contoh midazolam dan triazolam). Semakin kuat zat

berikatan pada reseptornya maka semakin lama juga waktu kerjanya.

(Arana, 2000)

Obat-obatan yang lazim digunakan untuk penatalaksanaan

gangguan tidur adalah obat golongan benzodiazepin (kerja pendek/ masa

paruh obat <10 jam: misalnya triazolam; kerja menengah/ masa paruh

obat 10-20 jam: misalnya alprazolam, lorazepam, estazolam; kerja

panjang/ masa paruh obat >20 jam: misalnya diazepam, clonazepam).

Obat golongan benzodiazepin kerja pendek efektif untuk mengatasi

gangguan tidur karena kesulitan untuk memulai tidur, sedangkan untuk

mengatasi gangguan tidur karena terbangun lebih awal/ dini hari, obat

golongan benzodiazepin kerja menengah lebih bermanfaat. (Arana, 2000)

B.2. Mekanisme kerja

Mekanisme kerja benzodiazepin merupakan potensiasi inhibisi

neuron yang menggunakan GABA sebagai mediatornya. GABA (gamma-

10
aminobutyric acid) merupakan inhibitor utama neurotransmiter di susunan

saraf pusat (SSP), melalui neuron-neuron modulasi GABAergik. Reseptor

Benzodiazepin berikatan dengan reseptor subtipe GABA-A. Berikatan

dengan reseptor agonis sehingga terjadi pembukaan inhibitory Chloride

Channel yang menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang

menyebabkan hiperpolarisasi dari membran post sinaptik, dimana dapat

membuat neuron ini resisten terhadap rangsangan. Dengan cara demikian

obat ini memfasilitasi efek inhibitor dari GABA sehingga meningkatkan

efek GABA dan menghasilkan efek sedasi, tidur dan berbagai macam efek

seperti mengurangi kegelisahan dan sebagai muscle relaxant. Reseptor

benzodiazepin dapat ditemukan di otak dan medula spinalis, dengan

densitas tinggi pada korteks serebral, serebelum dan hipokampus dan

densitas rendah pada medula spinalis. (Kaplan dan Sadock, 2006; Arana,

2000)

B.3. Farmakodinamik

Farmakodinamik benzodiazepin terdiri dari efek sedasi, hipnotik,

anastesi, efek konvulsan dan sebagai relaksan otot. Sedasi dapat

didefinisikan sebagai menurunnya tingkat respon stimulus yang tetap

dengan penurunan dalam aktivitas dan ide spontan. Perubahan ini terjadi

pada dosis yang rendah. Zat-zat benzodiazepin dapat menimbulkan efek

hipnotik jika diberikan dalam dosis besar. Efeknya pada pola tidur normal

adalah dengan menurunkan masa laten mulainya tidur, peningkatan

lamanya tidur NREM tahap 2, penurunan lamanya tidur REM, dan

11
penurunan lamanya tidur gelombang lambat. Efek dalam dosis tinggi

dapat menekan susunan saraf pusat ke titik yang dikenal sebagai stadium

III anestesi umum. Efek ini tergantung pada sifat fisikokimia yang

menentukan kecepatan mulai dan lama efek zat tersebut. Dalam

penggunaannya dalam bedah, selain efek anestesi, juga dimanfaatkan

efek amnesia retrogradnya. Sehingga pasien bedah operatif tidak

mengingat kejadian menyeramkan selama proses bedah. Kebanyakan zat

hipnotik-sedatif sanggup menghambat perkembangan dan penyebaran

aktivitas epileptiformis dalam susunan saraf pusat. Beberapa zat hipnotik-

sedatif dalam golongan benzodiazepin mempunyai efek inhibisi atas

refleks polisinaptik dan transmisi internunsius, dan pada dosis tinggi bisa

menekan transmisi pada sambungan neuromuskular otot rangka. (Arana,

2000)

Susunan Saraf Pusat (SSP). Walaupun benzodiazepin

mempengaruhi semua tingkatan aktivitas saraf, namun beberapa derivat

benzodiazepin pengaruhnya lebih besar terhadap SSP dari derivat

lainnya. Benzodiazepin tidak mampu menghasilkan tingkat depresi saraf

sekuat golongan barbiturat atau anestesi umum lainnya. Semua

benzodiazepin memiliki profil farmakologi hampir sama tetapi memiliki efek

utama yang cukup bervariasi, sehingga indikasi kliniknya dapat berbeda.

(Departemen Farmakologi FKUI, 2010)

Respirasi dan Kardiovaskular beberapa zat hipnotik-sedatif dapat

menimbulkan depresi pernapasan pada pasien dengan penyakit paru

12
obstruktif. Dan pada penyakit yang melemahkan sistem kardiovaskular

bisa menyebabkan depresi kardiovaskular. Ini kemungkinan disebabkan

oleh kerja pada pusat vasomotor pada medula oblongata. Pada dosis

tinggi, kontraktilitas miokardium dan tonus vaskular mungkin akan tertekan

yang akan menyebabkan kolaps sirkulasi. Efek terhadap respirasi dan

kardiovaskular akan lebih jelas jika diberikan secara intravena.

(Departemen Farmakologi FKUI, 2010)

B.4. Farmakokinetik

Benzodiazepin merupakan basa lemah yang sangat efektif

diarbsorbsi pada pH tinggi yang ditemukan dalam duodenum. Rearbsorbsi

di usus berlangsung dengan baik karena sifat lipofilik dari benzodiazepin

dengan kadar maksimal dicapai pada ½ sampai 2 jam. Pengecualian

adalah pada penggunaan klordiazepoksida, oksazepam dan lorazepam.

Karena sifatnya yang kurang lipofilik, maka kadar maksimumnya baru

tercapai pada 1-4 jam. Distribusi terutama di otak, hati dan jantung.

Beberapa diantara zat benzodiazepin mengalami siklus enterohepatik.

Jika diberikan suposituria, rearbsorbsinya agak lambat. Tetapi bila

diberikan dalam bentuk larutan rektal khusus, rearbsorbsinya sangat

cepat. Oleh karena itu bentuk ini sangat sering diberikan pada keadaan

darurat seperti pada kejang demam. Karena zat-zat ini bersifat lipofilik,

maka sawar plasenta mampu ditembus dan zat-zat ini dapat mencapai

janin. Namun karena aliran darah ke plasenta relatif lambat, maka

kecepatan dicapainya darah janin relatif lebih lambat dibandingkan ke

13
sistem saraf pusat. Akan tetapi, jika zat ini diberikan saat sebelum lahir,

maka akan menimbulkan penekanan fungsi vital neonatus. (Kaplan dan

Sadock, 2006)

Metabolisme di hati sangat bertanggung jawab terhadap

pembersihan dan eliminasi dari semua benzodiazepin. Kebanyakan

benzodiazepin mengalami fase oksidasi, demetilasi, dan hidroksilasi

menjadi bentuk aktif. Kemudian dikonjugasi menjadi glukoronida oleh

enzim glukoronil transferase. Kebanyakan hasil metabolit benzodiazepin

golongan long acting adalah dalam bentuk aktif yang mempunyai waktu

paruh yang lebih lama dari induknya. Sehingga lebih dapat menyebabkan

efek hangover dari pada golongan short acting pada penggunaan dosis

ganda. Yang perlu diwaspadai adalah pada penggunaan golongan short

acting lebih dapat menyebabkan efek abstinens. Efek ini timbul karena

penggunaannya dapat menekan zat endogen. Sehingga pada

penghentian mendadak, zat endogen tidak dapat mencapai maksimal

dalam waktu cepat. Sehingga terjadilah gejala abstinens yang lebih parah

daripada sebelum penggunaan zat tersebut. (Departemen Farmakologi

FKUI, 2010)

B.5. Efek samping

Beberapa efek samping dapat timbul selama pemakaian awal. Efek

tersebut antara lain adalah rasa kantuk, pusing, nyeri kepala, mulut kering,

dan rasa pahit di mulut. Adapun efek samping lainnya seperti hang over

yaitu efek sisa yang disebabkan adanya akumulasi dari sisa metabolit

14
aktif. Jika ini terjadi pada pengendara kendaraan bermotor, resiko

terjadinya kecelakaan meningkat lebih dari lima kali lipat. Amnesia

Retrograde yaitu efek samping ini bisa dimanfaatkan oleh bagian bedah

untuk menghilangkan sensasi ngeri karena melihat proses pembedahan

dan gejala paradoksal yaitu berupa eksitasi, gelisah, marah-marah, mudah

terangsang, dan kejang-kejang. Ketergantungan yaitu efek ini biasanya

lebih bersifat psikologis dan disertai dengan adanya toleransi. Timbulnya

efek ini biasanya karena gejala abstinens yang menyebabkan pemakai

merasa lebih nyaman jika menggunakan zat ini. Jika terjadi menahun, hal

ini akan menimbulkan kompulsif sehingga terjadilah ketergantungan fisik.

Masalah tidur dimana gejala yang timbul merupakan gejala yang mirip

bahkan lebih parah dibandingkan gejala sebelum memakai benzodiazepin.

Misal timbulnya nightmare, perasaan takut, cemas, dan ketegangan yang

hebat. (Arana, 2000; Departemen Farmakologi FKUI, 2010)

B.6. Jenis-jenis Benzodiazepin yang digunakan dalam penelitian

 Alprazolam

Alprazolam memiliki struktur kimia yaitu 8-kloro-1-metil-6-fenil-4H-

triazol[4,3-α]-benzodiazepina dan formula C17H13CIN4. Waktu paruh

pada alprazolam 12-15 jam. Farmakodinamik alprazolam

merupakan derivat triazolo benzodiazepin dengan efek cepat dan

sifat umum yang juga hampir mirip dengan diazepam dan memiliki

efek sedatif yang cukup kuat. Mekanisme kerja sama dengan kerja

benzodiazepin lainnya yaitu berikatan pada reseptor spesifik

15
GABA-A di susunan saraf pusat terutama untuk mengatasi

gangguan ansietas umum dan lebih spesifik pada gangguan panik.

Alprazolam adalah obat yang direkomendasikan FDA untuk

digunakan dalam terapi jangka pendek (8 minggu). Dosis yang

digunakan antara 0,25-0,5 mg dalam 3 kali pemberian. Dosis

maksimal sampai dengan 4 mg dalam dosis terbaggi. Efek samping

dapat dijumpai kurang lebih sama dengan sediaan benzodiazepin

lainnya seperti sedasi, pusing, rasa kering di mulut, konstipasi, dan

mual. ( Castillo, et.al. 2008)

 Clobazam memiliki struktur kimia yaitu 7-kloro-1-metil-5-fenil-1,5

benzodiazepin-2,4 (3H,5H)-dione dan formula C16H13CIN2O2.

Clobazam adalah 1,5 benzodiazepin yang berfungsi utama untuk

ansiolitik dan anti konvulsan yang lebih spesifik dengan sedasi

yang minimal dibandingkan golongan benzodiazepin lainnya.

Clobazam merupakan GABA reseptor agonis yang memiliki

subtitusi 1,5 bukan subtitusi biasa yaitu 1,4 diazepin seperti pada

golongan benzodiazepin lainnya. Perubahan ini menghasilkan

pengurangan 80% dalam aktivitas ansiolitik dan penurunan 10 kali

lipat dalam hal sedatifnya. Clobazam mengikat satu atau lebih

reseptor GABA spesifik di beberapa tempat di SSP termasuk

sistem limbik dan reticulo formation. Peningkatan permeabilitas dari

membran neuronal terhadap ion klorida menghasilkan efek inhibit

GABA yang kemudian terjadi hiperpolarisasi dan stabilisasi. Dosis

16
yang digunakan antara 5-30 mg/ hari. Dosis clobazam diberikan

dalam dosis terbagi dua kali sehari (dosis 5 mg dapat diberikan

sebagai dosis harian tunggal). Waktu paruh untuk clobazam adalah

12-24 jam. Efek samping dapat dijumpai kurang lebih sama dengan

sediaan benzodiazepin lainnya seperti sedasi, pusing, rasa kering

di mulut, konstipasi, mual, dan kadang-kadang tremor halus

biasanya pada awal pengobatan dan akan berangsur-angsur hilang

bila terapi dilanjutkan. Obat tidak menyebabkan reaksi idiosinkrasi

ataupun alergi, juga tidak mempengaruhi fungsi kognitif. Efek

ansiolitiknya bahkan dapat memperiki kualitas hidup pasien.

(Wildin, et.al. 2009)

C. Tidur Fisiologis

Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis: nonrapid eye movement

(NREM) dan rapid eye movement (REM). Pada tidur NREM, yang terdiri

atas tahap 1 sampai 4, sebagian besar fungsi fisiologis sangat berkurang

dibandingkan dengan keadaan terjaga. Tahap Tidur gelombang lambat

(tahap 3 dan 4) begitu tenang dan dapat dihubungkan dengan penurunan

tonus pembuluh darah perifer dan fungsi-fungsi vegetatif tubuh lainnya.

Walaupun tidur tahap ini sering disebut “tidur tanpa mimpi“ namun

sebenarnya pada tahap ini sering timbul mimpi namun biasanya tidak

dapat diingat. Tahap Tidur Non REM adalah : (Guyton dan Hall, 2014)

1. Tahap I: merupakan tingkat yang sangat tenang dan seperti bermimpi,

tetapi masih sadar akan keadaan sekeliling. Sementara otot-otot terasa

17
tenang, seringkali otot-otot tersebut menyentak dan bergerak secara

refleks. Beberapa orang terbangun dengan hentakan yang keras.

Keadaan ini disebut "myoclonic jerk" dan ini sama sekali tidak

menyakitkan.

2. Tahap II dan III: Tahap ke II dan III adalah tahapan yang menuju pada

tingkat tidur yang sesungguhnya. Seseorang tidak akan sadar

terhadap sekeliling, tetapi dapat terbangun dengan mudah.

3. Tahap IV: Sekitar 40 menit setelah tahap I, tidur akan memasuki tahap

ke IV, dimana keadaan tidur yang sangat sulit/ sukar untuk bangun.

Tahap ini adalah tahap pemulihan, penenangan dan tahap

beristirahatnya fisik. Tahap IV ini bertanggung jawab pada setiap

kegiatan buruk tidur yang bisa saja terjadi. Dalam tahap ini bisa saja

orang mendengkur, anak-anak mengompol dan tidur sambil berjalan.

Sepanjang tidur malam yang normal, tidur REM yang berlangsung

selama 5 sampai 30 menit biasanya muncul rata-rata setiap 90 menit. Bila

seseorang sangat mengantuk, setiap tidur REM berlangsung sangat

singkat dan bahkan mungkin tidak ada.

Karakteristik penting tidur REM adalah sebagai berikut : (Guyton dan Hall,

2014)

1. Tidur REM merupakan bentuk tidur aktif yang biasanya disertai

mimpi dan pergerakan otot tubuh yang aktif.

2. Tonus otot di seluruh tubuh sangat berkurang, dan ini menunjukkan

adanya hambatan yang kuat pada area pengendalian otot di spinal.

18
3. Frekuensi denyut jantung biasanya menjadi tidak teratur.

4. Walaupun ada hambatan yang sangat kuat pada otot-otot perifer,

masih timbul gerakan otot yang tidak teratur. keadaan ini

khususnya mencakup gerakan mata yang cepat.

5. Pada tidur REM otak menjadi sangat aktif, dan metabolisme di

seluruh otak meningkat sebanyak 20 %. Pada EEG terlihat pola

gelombang otak yang serupa dengan yang terjadi dalam keadaan

siaga.

Tidur REM merupakan jenis tidur yang secara kualitatif berbeda,

ditandai dengan tingginya tingkat aktivitas otak dan tingkat aktivitas

fisiologis yang menyerupai tingkat aktivitas saat terjaga. Kira – kira 90

menit setelah awitan tidur, NREM menghasilkan episode REM pertama

malam tersebut. Latensi REM 90 menit ini merupakan temuan yang

konsisten pada orang dewasa normal, pemendekan latensi REM sering

terjadi pada gangguan seperti gangguan depresif dan narkolepsi. Sifat

siklik pada tidur adalah regular dan dapat dipercaya; periode REM terjadi

kira-kira setiap 90 hingga 100 menit sepanjang malam. Periode REM

pertama cenderung menjadi yang paling singkat, biasanya berlangsung

kurang dari 10 menit; periode REM selanjutnya masing-masing dapat

berlangsung 15 hingga 40 menit. Sebagian besar periode REM terjadi

pada dua pertiga malam terakhir malam, sedangkan sebagian besar tidur

tahap 4 terjadi pada sepertiga pertama malam. (Amir, 2007;

Lumbantobing, 2008)

19
Pola tidur ini berubah selama rentang hidup seseorang. Pada

periode neonatus, tidur REM menunjukkan lebih dari 50 persen waktu

tidur, dan pola EEG bergerak dari keadaan siaga ke keadaan REM tanpa

melalui tahap 1 sampai 4. Saat dewasa muda, distribusi tahap tidur

sebagai berikut: NREM (75%) Tahap 1: 5%, Tahap 2: 45%, Tahap 3: 12%,

Tahap 4: 13%, REM (25%). Distribusi ini relatif tetap konstan sampai usia

tua, walaupun pengurangan terjadi pada tidur gelombang pendek dan tidur

REM pada orang yang berusia lebih tua. (Holbrook et al. 2000;

Lumbantobing,.2008)

Gambar 1. Siklus tidur

Sebagian besar peneliti menyimpulkan bahwa tidur memberikan

fungsi homeostatik yang bersifat menyegarkan dan penting untuk

termoregulasi normal dan penyimpan energi. Karena tidur NREM

meningkat setelah olah raga dan kelaparan, tahap ini mungkin terkait

dengan kebutuhan metabolik yang memuaskan. Pasien yang kekurangan

tidur REM dapat menunjukkan iritabilitas dan letargi. Pada penelitian

menggunakan tikus, kekurangan tidur menimbulkan sindrom yang

20
mencakup penampilan lemah, lesi kulit, meningkatnya asupan makanan,

berat badan turun, meningkatnya pemakaian energi, turunnya suhu tubuh

dan kematian. Perubahan neuroendokrin mencakup peningkatan

norepinefrin plasma serta penurunan kadar tiroksin plasma. (Guyton, dan

Hall, 2014)

Sebagian besar peneliti berpikir bahwa sebenarnya tidak ada satu

pusat pengendali tidur sederhana, melainkan terdapat sejumlah kecil

sistem atau pusat yang terutama terletak di batang otak dan saling

mengaktifkan serta menghambat satu sama lain. Proses penghambatan

aktif diduga sebagai penyebab tidur. Ada teori lama yang menyatakan

bahwa area eksitasi pada batang otak bagian atas yang disebut sistem

aktivasi retikuler mengalami kelelahan setelah seharian terjaga sehingga

menjadi tidak aktif. Keadaan ini disebut teori pasif dari tidur. Percobaan

penting telah mengubah pandangan ini ke teori yang lebih baru bahwa

tidur disebabkan oleh proses penghambatan aktif. (Ancoli, 2010)

Tidur juga dipengaruhi irama biologis disebut sebagai irama

sirkardian. Dalam periode waktu 24 jam, orang dewasa tidur sekali,

kadang-kadang dua kali. Irama ini tidak terdapat saat lahir tetapi

berkembang setelah 2 tahun pertama kehidupan. Tidur siang yang

dilakukan pada waktu yang berbeda di siang hari sangat berbeda proporsi

tidur REM dan NREM-nya. Pada tidur malam yang normal, tidur siang

yang dilakukan di pagi hari atau siang hari akan mencakup tidur REM

yang jauh lebih sedikit. Irama Sirkardian diatur oleh Nukleus

21
Suprachiasmatikus yang berada di Hipotalamus dan berhubungan dengan

regulasi suhu tubuh, hormon pertumbuhan, level melatonin dan sekresi

kortisol. Nukleus Suprachiasmatikus berperan sebagai pacemaker jam

biologis tubuh. (Bastien, 2003)

D. Kualitas Tidur

D.1. Pengertian

Kualitas tidur adalah ukuran dimana seseorang itu dapat dengan

mudah dalam memulai tidur dan untuk mempertahankan tidur. Kualitas

tidur seseorang dapat digambarkan dengan lama waktu tidur, dan

keluhan-keluhan yang dirasakan saat tidur ataupun setelah bangun tidur.

Kebutuhan tidur yang cukup ditentukan oleh faktor kualitas tidur dan

jumlah jam tidur (kuantitas tidur). Beberapa faktor yang mempengaruhi

kualitas tidur dan kuantitas tidur adalah faktor fisiologis, faktor psikologis,

lingkungan dan gaya hidup. Dari faktor fisiologis berdampak dengan

penurunan aktivitas sehari-hari, rasa lemah, lelah, daya tahan tubuh

menurun, dan ketidakstabilan tanda-tanda vital, sedangkan dari faktor

psikologis berdampak depresi, cemas, dan sulit untuk konsentrasi. (Potter

dan Perry, 2010)

D.2. Faktor- faktor yang mempengaruhi kualitas tidur

Pemenuhan kebutuhan tidur bagi setiap orang berbeda – beda ,

ada yang yang dapat terpenuhi dengan baik bahkan sebaliknya.

22
Seseorang bisa tidur ataupun tidak, dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain: (Chen et al, 2016)

a. Status kesehatan

Seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan ia dapat tidur

dengan nyenyak, sedangkan untuk seseorang yang kondisinya kurang

sehat (sakit) dan rasa nyeri , makan kebutuhan tidurnya akan tidak

nyenyak.

b. Lingkungan

Lingkungan dapat meningkatkan atau menghalangi seseorang untuk

tidur. Pada lingkungan bersih, bersuhu dingin, suasana yang tidak

gaduh (tenang), dan penerangan yang tidak terlalu terang akan

membuat seseorang tersebut tertidur dengan nyenyak, begitupun

sebaliknya jika lingkungan kotor, bersuhu panas, susana yang ramai

dan penerangan yang sangat terang, dapat mempengaruhi kualitas

tidurnya.

c. Stres psikologis

Cemas dan depresi akan menyebabkan gangguan pada frekwensi

tidur. Hal ini disebabkan karena kondisi cemas akan meningkatkan

norepinefrin darah melalui sistem saraf simpatis. Zat ini akan

mengurangi tahap IV NREM dan REM.

d. Diet

Makanan yang banyak menandung L-Triptofan seperti keju, susu,

daging, dan ikan tuna dapat menyebabkan seseorang mudah tidur.

23
Sebaliknya minuman yang mengandung kafein maupun alkohol akan

mengganggu tidur.

e. Gaya hidup

Kelelahan yang dirasakan seseorang dapat pula mempengaruhi

kualitas tidur seseorang. Kelelahan tingkat menengah, orang dapat

tidur dengan nyenyak. Sedangkan pada kelelahan yang berlebih akan

menyebabkan periode tidur REM lebih pendek.

f. Obat-obatan

Obat-obatan yang dikonsumsi seseorang ada yang berefek

menyebabkan tidur, adapula yang sebaliknya mengganggu tidur. Obat

dan manipulasi yang meningkatkan pencetusan neuron noradrenergik

ini menimbulkan pengurangan nyata tidur REM (neuron REM-off) dan

peningkatan keadaan terjaga.

Aspek-aspek dari kualitas tidur diukur dengan skala Pittsburgh

Sleep Quality Indeks (PSQI) versi bahasa Indonesia. Instrumen ini telah

baku dan banyak digunakan dalam penelitian kualitas tidur seperti dalam

penelitian Majid (2014). Skala Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) versi

bahasa Indonesia ini terdiri dari 9 pertanyaan. Pada variabel ini

menggunakan skala ordinal dengan skor keseluruhan dari Pittsburgh

Sleep Quality Index (PSQI) adalah 0 sampai dengan nilai 21 yang

diperoleh dari 7 komponen penilaian diantaranya kualitas tidur secara

subjektif (subjective sleep quality), waktu yang diperlukan untuk memulai

tidur (sleep latency), lamanya waktu tidur (sleep duration), efisiensi tidur

24
(habitual sleep efficiency), gangguan tidur yang sering dialami pada

malam hari (sleep disturbance), penggunaan obat untuk membantu tidur

(using medication), dan gangguan tidur yang sering dialami pada siang

hari (daytime disfunction). (Curcio et al, 2012)

Apabila semakin tinggi skor yang didapatkan, maka akan semakin

buruk kualitas tidur seseorang. Keuntungan dari PSQI ini adalah memiliki

nilai validitas dan reliabilitas tinggi. Namun ada juga kekurangan dari

kuesioneir PSQI ini yaitu dalam pengisian memerlukan pendampingan

untuk mengurangi kesulitan respoden saat mengisi kuesioneir. Masing-

masing komponen mempunyai rentang skor 0 – 3 dengan 0 = tidak pernah

dalam sebulan terakhir, 1 = 1 kali seminggu, 2 = 2 kali seminggu dan 3 =

lebih dari 3 kali seminggu. Skor dari ketujuh komponen tersebut

dijumlahkan menjadi 1 (satu) skor global dengan kisaran nilai 0 – 21. Ada

dua interpretasi pada PSQI versi bahasa Indonesia ini adalah kualitas tidur

baik jika skor < 5 dan kualitas tidur buruk jika skor > 5. (Curcio, 2012;

Contreras, 2014; Vicens, 2014)

E. Mekanisme Benzodiazepin Jangka Panjang dan Kualitas Tidur

Benzodiazepin tetap menjadi pilihan utama mengatasi masalah

yang berhubungan dengan gangguan tidur, baik primer maupun sekunder.

Efeknya pada pola tidur adalah dengan menurunkan masa laten mulainya

tidur, peningkatan lamanya tidur NREM tahap 2, penurunan lamanya tidur

REM dan penurunan lamanya tidur gelombang lambat. Namun

penggunaan jangka panjang benzodiazepin tidak dianjurkan, karena akan

25
menimbulkan masalah tidur itu sendiri. Benzodiazepin dapat mengganggu

ventilasi pada apnea tidur serta efek samping pada fungsi kognitif dan

gangguan koordinasi motorik. (Amir N., 2007)

Penggunaan jangka panjang ( >6 bulan) obat-obat hipnotik seperti

benzodiazepin akan mengakibatkan efektivitasnya berkurang sehingga

dapat terjadi toleransi obat, adanya efek putus zat yang menimbulkan

rebound insomnia, dan memperburuk kualitas tidur dibandingkan awal

gangguan. Benzodiazepin bekerja pada empat dari 6 subtype dari

reseptor GABA-A yaitu alpha 1, alpha 2, alpha 3, dan alpha 5. Untuk

fungsi hypnosis-sedasi, benzodiazepin bekerja pada reseptor GABA-A

khususnya subtype alpha 1, yang merupakan 60% dari semua jenis

reseptor GABA-A yang ditemukan pada otak terutama di korteks serebral,

korteks serebelum, dan thalamus. Reseptor subtipe alpha 2 dan alpha 3

berhubungan pada ansiolitik, relaksasi otot, dan aksi potensial alkohol

pada bagian hipokampus dan amigdala. Untuk subtipe alpha 5 sebagian

besar di hipokampus yang berhubungan pada fungsi kognitif. (Stahl, 2008)

Di otak, fungsi kesadaran/ bangun dan tidur dilakukan pada formasi

retikularis yang kita kenal dengan ARAS (Ascending Reticular Activating

System). Perjalanannya melalui nuclei dari thalamus hingga ke bagian

neokorteks. Aktivitas dari ARAS ini dapat dipengaruhi oleh obat-obatan

seperti benzodiazepin yang bekerja di korteks serebral, dan thalamus.

Pada pemakaian benzodiazepin awal, aktivitas thalamus akan menurun

akibat ikatan dari reseptor GABA-A alpha1, sehingga mempengaruhi kerja

26
dari locus coeruleus (LC) sebagai neuron noradrenergik juga akan

menurun, hal ini akhirnya akan meningkatkan aktivitas dari ventrolateral

preoptic nucleus (VLPO) sebagai pusat dari tidur-bangun dan sel orexin/

hypocretin pada region perifornical di hipotalamus untuk menghasilkan

tidur. Sebaliknya pada pemakaian jangka panjang, efektivitas dari reseptor

GABA-A akan menurun akibat proses adaptasi dimana locus coeruleus

akan mengaktifkan neuron adrenergik berlebihan dan mengalahkan kerja

dari GABA, disini dapat terjadi toleransi dan akhirnya akan menurunkan

aktivitas dari ventrolateral preoptic nucleus (VLPO), sehingga akan

mengganggu kualitas dari tidur. (Lu dan Greco, 2006)

27
BAB III

KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

A. KERANGKA TEORI

Gangguan Cemas Stressor Biopsikososial

Benzodiazepin

Pembukaan inhibitory
Berikatan dengan reseptor GABA-A
Chloride Channelion
dengan Subtipe α1, α2, α3, α5
Cl - masuk dalam sel

Korteks Serebral, Hiperpolarisasi


Thalamus membran post sinaptik→
memfasilitasi  efek GABA

(jangka panjang)
Berikatan dengan reseptor Efek sedasi,Mengurangi
GABA-A subtype α1
cemas, muscle relaxant

Menurunkan efektivitas
reseptor GABA-A
Locus Coeruleus
(neuron adrenergic)

VLPO (ventrolateral
preoptic nuclei)

Penurunan
Kualitas Tidur

28
B. KERANGKA KONSEP

Kepatuhan Terapi Pola Hidup


Jenis Kelamin Faktor Genetk

Pekerjaan
Pendidikan

Pasien yang  Penurunan efektivitas PENURUNAN


memakai reseptor GABA-A KUALITAS TIDUR
Benzodiazepin
 VLPO

Lama Terapi Umur Riwayat Penyakit

Keterangan :

: Variabel Terikat : Variabel Antara

: Variabel Bebas : Variabel random

: Variabel Kendali

29
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional

dengan pendekatan cross sectional yaitu untuk mengetahui kualitas

tidur terhadap pemakaian benzodiazepin dalam waktu tertentu.

B. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Pendidikan

dan jejaringnya pada bulan Oktober-November 2017.

C. Populasi penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua pasien gangguan cemas yang

mendapat terapi benzodiazepin.

D. Sampel dan cara pengambilan sampel

Sampel pada penelitian adalah pasien gangguan cemas yang

mendapat terapi benzodiazepin dan memenuhi kriteria inklusi serta

kriteria eksklusi. Sampel diambil mulai bulan Oktober sampai

November 2017 dengan cara Consecutive Sampling, yaitu semua

pasien yang memenuhi kriteria penelitian sampai jumlah sampel yang

diperlukan terpenuhi.

30
E. Perkiraan besar sampel

Dihitung berdasarkan rumus besar sampel analitik komparatif katerogik

tidak berpasangan:

Zα 2 + Zβ 1 1+ 2 2 2

n1 = n 2 =
P1 - P2

Zα : 1,96 P1 : 0.9 Q1: 0,1

Zβ : 0,84 P2 : 0,3 Q2: 0,4

Zα 2 + Zβ 1 1+ 2 2 2

n1 = n 2 =
P1 - P2

1,96 2.0,75 + 0,84√0,09 + 0,24 2

n1 = n 2 = = 23.04 = 23 (dibulatkan)
0,9 - 0,3

Dari rumus di atas, maka besar sampel minimal adalah 23 orang.

F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

 Semua pasien gangguan cemas yang mendapat terapi

golongan benzodiazepin dalam jangka waktu >6 bulan dan <6

bulan.

 Umur 30-55 tahun.

 Bersedia mengikuti penelitian

2. Kriteria Eksklusi

 Tidak bersedia ikut dalam penelitian

31
 Pasien dengan riwayat penyalahgunaan NAPZA lainnya.

 Pasien dengan riwayat gangguan mental organik.

G. Izin penelitian dan Ethical Clearance (Kelaikan Etik)

Sebelum melakukan penelitian ini, terlebih dahulu akan meminta

persetujuan subjek penelitian dan memberikan inform concent kepada

pasien dan memperoleh keterangan kelayakan etik (ethical clearance)

dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada Manusia Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin.

H. Cara Kerja

a. Setiap pasien yang mendapat terapi benzodiazepin dan memenuhi

kriteria inklusi pada kelompok penelitian, dicatat identitas dan di

anamnesis riwayat gangguan sekarang dan penyakit dahulu.

b. Dilakukan pengukuran skala Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

versi bahasa Indonesia pada pasien yang mendapat terapi

benzodiazepin >6 bulan dan pasien yang mendapat terapi

benzodiazepin <6 bulan.

c. Sebelum melakukan pengukuran skala Pittsburgh Sleep Quality

Index (PSQI) versi bahasa Indonesia, maka terlebih dahulu

dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

1. Uji validitas

Uji validitas bertujuan untuk mengukur kualitas instrumen

penelitian. Instrumen dikatakan valid jika instrumen tersebut dapat

mengukur apa yang seharusnya diukur (Cooper & Schindler, 2014).

32
Dalam penelitian ini, pengujian validitas akan dilakukan dengan

menggunakan metoda Confirmatory Faktor Analysis (CFA) dengan

bantuan SPSS. CFA diadopsi dalam penelitian ini digunakan untuk

mengevaluasi validitas konvergen dan validitas diskriminan dari

skala pengukuran. Menurut Hair, et al., (2010), sebuah instrumen

penelitian dapat diterima jika nilai loading dari setiap itemnya

adalah ≥0.4. Penelitian oleh Contreras, et al., (2014) tentang

kuesioner PSQI didapatkan loading dari setiap itemnya adalah

≥0.4, sehingga kuesioner PSQI dinyatakan valid.

2. Uji realiabilitas

Uji reliabilitas bertujuan untuk mengukur kehandalan suatu alat ukur

atau kuesioner. Instrumen yang dikatakan reliable jika instrumen

yang jika digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang

sama, akan menghasilkan data yang sama (Cooper & Schindler,

2014). Menurut Hair, et al., (2010), sebuah instrumen penelitian

dapat dikatakan reliable jika memiliki nilai Cronbach Alpha ≥0.60,

semakin mendekati angka 1 nilai cronbach alpha, maka semakin

baik instrumen pengukuran. Dalam penelitian ini, pengujian

reliabilitas menggunakan metode analisis Cronbach alpha dengan

bantuan SPSS, dan didapatkan Cronbach alpha sebesar 0,810

sehingga kuesioner PSQI dapat dikatakan reliable. Hasil uji

validitas dan reliabilitas skala PSQI versi Indonesia yang dilakukan

oleh peneliti sebagai berikut :

33
Tabel 1. Gambaran validitas dan reliabilitas skala PSQI versi

bahasa Indonesia.

Cronbach’s Alpha Cronbach’s Alpha Based on


Standardized Items
0.810 0.42
Uji validitas dan reliabilitas

d. Melakukan pengolahan data dan analisis data yang telah

dikumpulkan secara statistik dengan sistem komputerisasi.

I. Identifikasi & klasifikasi variabel

1. Variabel bebas: Obat golongan Benzodiazepin

2. Variabel tergantung: Kualitas Tidur diukur dengan Pittsburgh Sleep

Quality Index (PSQI).

3. Variabel kendali: Umur, Lama Terapi, Riwayat Penyakit.

4. Variabel Random: Jenis kelamin, Faktor genetik, Pola hidup,

Pekerjaan, Pendidikan.

J. Definisi operasional dan kriteria obyektif

1. Benzodiazepin adalah golongan obat psikotropik yang bekerja pada

reseptor GABA-A, benzodiazepin yang dipilih pada penelitian ini

adalah alprazolam dan clobazam.

2. Skala Kualitas tidur adalah skor yang diperoleh dari responden

yang telah menjawab pertanyaan-pertanyaan pada Pittsburgh

Sleep Quality Index (PSQI) versi bahasa Indonesia, yang terdiri dari

7 (tujuh) komponen, yaitu kualitas tidur subjektif, latensi tidur, durasi

34
tidur, efisiensi tidur sehari-hari, gangguan tidur, penggunaan obat

tidur, dan disfungsi aktivitas siang hari. Masing-masing komponen

memiliki kisaran nilai 0 – 3 dengan 0 = tidak pernah dalam sebulan

terakhir, 1 = 1 kali seminggu, 2 = 2 kali seminggu dan 3 = lebih dari

3 kali seminggu. Skor dari ketujuh komponen tersebut dijumlahkan

menjadi 1 (satu) skor global dengan kisaran nilai 0 – 21. Ada dua

interpretasi pada PSQI versi bahasa Indonesia yaitu:

 Kualitas tidur baik jika skor <5

 Kualitas tidur buruk jika skor >5

3. Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat dan fungsi biologis

laki-laki dan perempuan

4. Usia adalah umur kronologis sampel dalam hitungan tahun.

5. Lama terapi adalah waktu yang diperlukan oleh suatu obat untuk

memberikan respons klinis.

6. Riwayat penyakit adalah deskripsi tentang perjalanan waktu dan

perkembangan penyakit dimulai sejak terjadinya hingga akibat dari

penyakit tersebut.

7. Pola hidup adalah gambaran dari aktivitas atau kegiatan yang

didukung oleh keinginan dan minat dalam menjalani hidup dan

interaksi dengan lingkungan.

8. Faktor genetik adalah faktor yang memepengaruhi penyakit pasien

dari sifat pewarisan/ keturunan secara biologis.

35
9. Kepatuhan terapi adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju pada

instruksi petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi.

10. Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan manusia untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

11. Pendidikan adalah tingkat yang diperoleh seseorang melalui proses

pengajaran, pelatihan, atau penelitian.

K. Alur Penelitian

Populasi Penelitian

Memenuhi kriteria inklusi Memenuhi kriteria eksklusi keluar

Mengisi identitas sampel

Mengukur kualitas tidur menggunakan skala


Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) versi bahasa
Indonesia pada kelompok yang mendapat terapi
benzodiazepin >6 bulan dan kelompok yang
mendapat terapi benzodiazepin <6 bulan.

Membandingkan skala kualitas tidur Pittsburgh Sleep Quality


Index (PSQI) pada dua kelompok terapi benzodiazepin

Analisis Data

Hasil dan Kesimpulan


36
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

Karakteristik Penelitian

Telah dilakukan penelitian terhadap pasien gangguan cemas

dengan keluhan gangguan pola tidur yang menggunakan terapi

benzodiazepin di RS Pendidikan dan jejaringnya pada bulan Oktober

sampai November 2017 dengan menggunakan pendekatan analitik

observasional cross sectional. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi

dimasukkan dalam penelitian secara consecutive sampling. Pasien yang

memenuhi kriteria inklusi sebanyak 94 orang sebagai sampel penelitian.

Tabel 2: Karakteristik sampel dalam penelitian

Kelompok > 6 bulan Kelompok < 6 bulan


Variabel (N=47) (N=47)
N % N %
Jenis Kelamin
Laki-laki 19 40.42 25 53.19
Perempuan 28 59.58 22 46.81
Umur (tahun)
30-40 11 23.4 20 42.5
41-50 22 46.8 20 42.5
51-55 14 29.8 7 14.9

37
Pendidikan
14 29.8 3 6.4
SD
6 12.8 5 10.6
SMP
13 27.6 20 42.5
SMA
14 29.8 19 40.4
Sarjana

Pekerjaan
7 14.9 2 4.2
Tidak Bekerja
19 40.4 9 19.1
IRT
3 6.4 2 4.2
Petani
6 12.8 18 38.3
Swasta
7 14.9 16 34.1
PNS-Profesional

Jenis Benzodiazepin
Alprazolam 32 68.1 32 68.1
Clobazam 15 31.9 15 31.9

Diagnosa

Gangguan cemas yang khas (I) 14 29.8 12 25.5


Gangguan cemas tidak khas (II) 22 46.8 21 44.7
Gangguan campuran anxietas dan 11 23.4 14 29.8
depresi (III)
Sumber : Data Primer, 2017

Berdasarkan karakteristik sampel diperoleh jenis kelamin yang

jumlahnya hampir sama pada kedua kelompok, walaupun secara statistik

pada kelompok >6 bulan jenis kelamin perempuan lebih banyak. Hal ini

sesuai dengan teori pada gangguan cemas yaitu secara epidemiologi

perempuan lebih banyak dua kali dari laki-laki rentan dalam mengalami

gangguan kecemasan. (Kaplan dan Saddock, 2010)

38
Karakteristik sampel berdasarkan kelompok umur, terlihat bahwa

kelompok umur dengan rentang usia 41-50 tahun lebih banyak pada

kelompok >6 bulan yaitu sebanyak 22 pasien (46,8 %), sedangkan

rentang usia 30-40 dan 41-50 sama jumlahnya pada kelompok <6 bulan

yaitu sebanyak 20 pasien (42,5 %). Berdasarkan tingkat pendidikan,

sampel dibagi atas 4 jenjang pendidikan yaitu SD, SMP, SMA, dan

Sarjana dengan proporsi sebarannya pada kelompok >6 bulan tingkat

pendidikan SD, SMA, dan Sarjana hampir sama, tingkat pendidikan SMP

paling kecil yaitu 6 sampel (12,8%) dan pada kelompok <6 bulan tingkat

pendidikan SD dan SMP sebanyak 3 dan 5 sampel (6,4% dan 10,6%),

sedangkan tingkat pendidikan SMA dan Sarjana hampir sama.

Berdasarkan pekerjaan, terlihat proporsi pada kelompok >6 bulan yang

bekerja sebagai ibu rumah tangga (IRT) lebih banyak yaitu, sebanyak 19

sampel (40,4%) dan pada kelompok <6 bulan pekerjaan swasta lebih

banyak yaitu sebanyak 18 sampel (38,3%). Pada tingkat umur dan

pendidikan memang disebutkan bahwa gangguan kecemasan dapat

terjadi pada semua tingkat usia dan semua status sosial dan pendidikan.

Walaupun diketahui paling sering gangguan kecemasan ini berkembang

pada usia dewasa yaitu 25 tahun keatas. (Kaplan dan Saddock, 2010).

Jenis benzodiazepin yang digunakan pada penelitian ini ada 2 yaitu

alprazolam sebanyak 64 orang yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu 32

orang mendapatkan terapi >6 bulan dan 32 orang yang mendapatkan

terapi <6 bulan. Kemudian yang mendapatkan benzodiazepin jenis

39
clobazam sebanyak 30 orang yaitu 15 orang pada kelompok yang

mendapatkan terapi >6 bulan dan 15 orang yang mendapatkan terapi <6

bulan. Dari karakteristik diagnosa dikelompokkan menjadi 3 kelompok

diagnosa pada penelitian ini yaitu kelompok I Gangguan Cemas yang

khas (Anxietas fobik, Gangguan Panik, Gangguan Anxietas Menyeluruh)

sebanyak 26 orang; kelompok II Gangguan cemas tidak khas (Gangguan

Anxietas YTT dan Gangguan Anxietas Lainnya) sebanyak 43 orang dan

kelompok III Gangguan Campuran Cemas dan Depresi sebanyak 25

orang.

Sebelum dilakukan uji analitik pada penelitian ini, terlebih dahulu

dilakukan Uji Normalitas dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov

pada sampel yang memakai benzodiazepin alprazolam karena jumlah

sampel penelitian >50 dan dilakukan pula uji normalitas pada sampel yang

memakai clobazam dengan uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel

penelitian <50. Uji normalitas ini dikatakan kriteria sebaran normal jika nilai

p>0,05, uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh

telah terdistribusi normal atau tidak, sehingga dapat menentukan jenis uji

analitik selanjutnya yang akan digunakan. Pada uji normalitas diperoleh

hasil data terdistribusi tidak normal, maka uji analitik yang dipilih adalah Uji

Nonparametrik untuk 2 sampel yang tidak berpasangan yaitu Uji Mann-

Whitney dan Uji Wilcoxon.

40
Skala kualitas tidur (PSQI) pada pemakaian alprazolam >6 bulan
Lama Terapi (Tahun)
18
16
Skala PSQI
14
12
10
8
6
4
2
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Lama Terapi (Tahun) 5 1 1 3 10 7 3 3 8 2 2 1 14 7 7 4 10 8 1 4 7 2 1 8 4 7 10 9 7 17 15 12
Skala PSQI 7 5 7 5 10 9 6 5 7 7 6 5 13 9 13 8 11 12 11 9 11 7 7 13 10 14 15 6 9 17 9 16

Gambar 2: Grafik skala kualitas tidur (PSQI) pada kelompok yang memakai alprazolam
>6 bulan

Skala kualitas tidur (PSQI) pada pemakaian alprazolam < 6 bulan


8
LAMA TERAPI (BLN)
7
SKALA PSQI 6
5
4
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
LAMA TERAPI (BLN) 3 4 3 3 6 6 4 4 2 3 6 6 4 2 3 1 1 3 6 6 3 3 4 2 2 1 3 3 1 4 1 4
SKALA PSQI 4 5 3 4 5 5 4 3 3 4 3 3 5 5 5 4 4 4 3 5 3 7 6 3 4 3 3 4 3 6 4 3

Gambar 3: Grafik skala kualitas tidur (PSQI) pada kelompok yang memakai alprazolam <6
bulan

Gambar 2 dan 3 menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan

skala kualitas tidur yang diukur dengan menggunakan skala PSQI versi

41
bahasa Indonesia pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi

alprazolam >6 bulan dan <6 bulan. Namun terdapat pula beberapa orang

sampel yang skala kualitas tidur PSQI tidak sesuai dengan trend yang

ada, yaitu mengalami kenaikan pada waktu yang lebih pendek dan

mengalami penurunan pada waktu yang lebih panjang dibandingkan

sampel lainnya. Hal ini menunjukkan adanya respons yang bervariasi tiap

sampel pada kualitas tidurnya setelah mendapatkan terapi benzodiazepin

alprazolam. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh beberapa faktor

seperti faktor biologis yaitu respon tubuh seseorang terhadap

farmakoterapi dan onset gangguan yang dialami, faktor psikosial atau

kepribadian orang tersebut dalam mengatasi stressor dan juga faktor

lingkungan. Selain itu, dapat juga disebabkan karena kesalahan atau

kurang memahami kuesioneir yang diberikan.

Tabel 3: Perbandingan skala kualitas tidur pada pemakaian benzodiazepin


(alprazolam)
N Kelompok >6 bulan Kelompok <6 bulan P

Median Rerata+SD Median Rerata+SD


(minimum- (minimum-
maksimum maksimum
Lama
pemakaian 64 84.00(12-204) 75.00+52.26 3.00(1-6) 3.34+1.69 <0.001

Skala PSQI 64 9.00(5-17) 9.34+3.39 4.00(3-7) 4.06+1.07 <0.001

Uji Mann-Whitney.Keterangan N: jumlah sampel, SD: Standar Deviasi, nilai p: significancy

Dalam tabel 3 hasil uji Mann-Whitney dilakukan pada 64 orang

sampel, menunjukkan hasil perbedaan yang sangat bermakna antara 2

42
kelompok, yaitu pada kelompok yang menggunakan terapi benzodiazepin

alprazolam jangka panjang >6 bulan didapatkan nilai median untuk skala

kualitas tidur yang diukur dengan menggunakan skala PSQI versi bahasa

Indonesia adalah 9, sedangkan kelompok yang menggunakan terapi

alprazolam <6 bulan nilai median kualitas tidur 4. Nilai signifikansi untuk

kedua kelompok adalah p<0,001.

Skala kualitas tidur (PSQI) pada pemakaian clobazam >6 bulan


12

10
LAMA TERAPI (TAHUN)
8
SKALA PSQI
6

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
LAMA TERAPI (TAHUN) 1 1 1 11 2 3 9 4 4 2 6 6 2 1 6
SKALA PSQI 4 4 5 7 5 6 7 6 3 4 3 3 3 3 3

Gambar 4: Grafik skala kualitas tidur (PSQI) pada kelompok yang memakai clobazam >6
bulan

43
Skala kualitas tidur (PSQI) pada pemakaian clobazam <6 bulan
7
LAMA TERAPI (BLN) 6

SKALA PSQI 5
4
3
2
1
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
LAMA TERAPI (BLN) 6 3 1 2 1 2 1 3 4 1 2 1 3 4 1
SKALA PSQI 5 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 5 3

Gambar 5: Grafik skala kualitas tidur (PSQI) pada kelompok yang memakai clobazam <6
bulan

Gambar 4 dan 5 juga menunjukkan adanya kecenderungan

kenaikan skala kualitas tidur yang diukur dengan menggunakan skala

PSQI versi bahasa Indonesia pada pasien yang mendapatkan terapi

clobazam >6 bulan dan <6 bulan. Namun skala kualitas tidur yang tampak

pada gambar 4 dan 5 tidak menggambarkan kenaikan atau penurunan

skala kualitas tidur yang ekstrim dibandingkan gambaran pada pasien

yang mendapat terapi alprazolam, walaupun dalam pemakaian jangka

panjang yaitu >6 bulan. Hal ini dapat disebabkan karena clobazam adalah

turunan benzodiazepin yang memiliki efek sedasi yang paling minimal

dibandingkan turunan benzodiazepin lainnya sehingga kemungkinan pada

pasien yang mendapatkan terapi clobazam, efek ketergantungannya lebih

rendah untuk menyebabkan rebound insomnia yang dapat berpengaruh

pada kualitas tidur itu sendiri. (Stahl, 2008)

44
Tabel 4: Perbandingan skala kualitas tidur pada pemakaian benzodiazepin
(clobazam)

N Kelompok >6 bulan Kelompok <6 bulan p

Median Rerata+SD Median Rerata+SD


(minimum- (minimum-
maksimum maksimum
Lama
pemakaian 30 36.00(12-132) 48.00+36.84 2.00(1-6) 2.33+1.49 <0.001

Skala PSQI 30 4.00(3-7) 4.40+1.50 3.00(3-5) 3.33+0.72 0.021

Uji Mann-Whitney.Keterangan N: jumlah sampel, SD: Standar Deviasi, nilai p: significancy

Dalam tabel 4 hasil uji Mann-Whitney dilakukan pada 30 orang

sampel, menunjukkan hasil perbedaan yang bermakna antara 2 kelompok,

yaitu pada kelompok yang mendapat terapi benzodiazepin clobazam

jangka panjang yaitu >6 bulan didapatkan nilai median untuk skala kualitas

tidur yang diukur dengan menggunakan skala PSQI versi bahasa

Indonesia adalah 4, sedangkan kelompok yang mendapat terapi clobazam

<6 bulan nilai median kualitas tidur adalah 3. Nilai signifikansi kualitas tidur

untuk kedua kelompok adalah p= 0,021 atau nilai p<0,05.

45
Tabel 5: Perbandingan skala kualitas tidur pada pemakaian benzodiazepin

alprazolam dan clobazam > 6 bulan

n Kelompok alprazolam Kelompok clobazam p

Median Rerata+SD Median Rerata+SD


(minimum- (minimum-
maksimum maksimum
Lama
pemakaian 47 84.00(12-204) 75.00+52.26 36.00(12-32) 48.00+36.84 <0.001

Skala PSQI 47 9.00(5-17) 9.34+3.39 4.00(3-7) 4.40+1.50 0.01

Uji Mann-Whitney.Keterangan n: jumlah sampel, SD: Standar Deviasi, nilai p: significancy

Tabel 6: Perbandingan skala kualitas tidur pada pemakaian benzodiazepin


alprazolam dan clobazam < 6 bulan
n Kelompok alprazolam Kelompok clobazam p

Median Rerata+SD Median Rerata+SD


(minimum- (minimum-
maksimum maksimum
Lama
pemakaian 47 3.00(1-6) 3.34+1.69 2.00(1-6) 2.33+1.49 0.51

Skala PSQI 47 4.00(3-7) 4.06+1.07 3.00(3-5) 3.33+0.72 0.09

Uji Mann-Whitney.Keterangan n: jumlah sampel, SD: Standar Deviasi, nilai p: significancy

Dalam tabel 5 dan 6 hasil uji Mann-Whitney dilakukan pada 47

orang sampel dengan membandingkan pasien yang mendapat terapi

alprazolam dan clobazam, hasil yang diperoleh adalah terdapat

perbedaan yang bermakna untuk skala kualitas tidur menggunakan skala

PSQI versi bahasa Indonesia pada kelompok yang mendapat terapi

benzodiazepin jangka panjang yaitu >6 bulan dengan nilai signifikansi

p=0.01 atau nilai p<0.05, sedangkan kualitas tidur pada kelompok yang

mendapat terapi benzodiazepin <6 bulan menunjukkan perbedaan yang

46
tidak bermakna dengan nilai signifikansi p=0.09 atau dikatakan nilai

p>0.05.

Tabel 7: Perbandingan skala kualitas tidur berdasarkan sub diagnosa

gangguan cemas

N Kelompok I Kelompok II Kelompok III p

Median Rerata+ Median Rerata+ Median Rerata+SD


(minimum- SD (minimum- SD (minimum-
maksimum maksimum maksimum

PSQI 94 6.00(3-17) 6.16+3.61 6.00(3-13) 6.05+3.06 6.00(3-15) 6.52+3.65 0.064

Uji Kruskal-Wallis. Keterangan N: jumlah sampel, SD: Standar Deviasi, nilai p: significancy

Dari Tabel 7 perbandingan skala kualitas tidur menggunakan uji

Kruskal-Wallis yaitu uji komparatif numerik pada >2 kelompok yang tidak

berpasangan dengan 1 kali pengukuran yang berdasarkan sub diagnosa

gangguan cemas yaitu kelompok I Gangguan Cemas yang khas (Anxietas

fobik, Gangguan Panik, Gangguan Anxietas Menyeluruh) sebanyak 26

orang; kelompok II Gangguan cemas tidak khas (Gangguan Anxietas YTT

dan Gangguan Anxietas Lainnya) sebanyak 43 orang; dan kelompok III

Gangguan Campuran Cemas dan Depresi sebanyak 25 orang didapatkan

perbedaan kualitas tidur yang tidak bermakna dengan p=0.64 atau nilai

p>0.05. Hasil tersebut menggambarkan bahwa kualitas tidur memang

tidak hanya dipengaruhi oleh jenis penyakit namun banyak faktor lain yang

dapat mempengaruhi kualitas tidur antara lain status kesehatan,

lingkungan, stress psikologis, diet, obat-obatan, gaya hidup. (Chen et al,

2016)

47
B. PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan terhadap pasien gangguan cemas dengan

keluhan gangguan pola tidur yang menggunakan terapi benzodiazepin di

RS Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya pada bulan Oktober sampai

bulan November 2017 dengan menggunakan pendekatan analitik

observasional cross sectional. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi

sebanyak 94 orang sebagai sampel penelitian, dengan dibagi dalam 2

kelompok yang memakai benzodiazepin (alprazolam) yaitu sebanyak 64

orang dan yang memakai benzodiazepin (clobazam) yaitu sebanyak 30

orang. Dilakukan penilaian kualitas tidur dengan menggunakan skala

PSQI versi bahasa Indonesia pada pasien yang mendapat terapi

benzodiazepin >6 bulan dan pasien yang mendapatkan terapi

benzodiazepin <6 bulan. Berdasarkan data karakteristik sampel diperoleh

jenis kelamin yang jumlahnya hampir sama pada kedua kelompok,

walaupun secara statistik pada kelompok >6 bulan jenis kelamin

perempuan lebih banyak. Hal ini sesuai dengan teori pada gangguan

cemas yaitu secara epidemiologi perempuan lebih banyak dua kali dari

laki-laki rentan dalam mengalami gangguan kecemasan. Karakteristik

sampel berdasarkan kelompok umur, terlihat bahwa kelompok umur

dengan rentang usia 41-50 tahun lebih banyak. Berdasarkan tingkat

pendidikan proporsi sebarannya hampir sama. Pada tingkat umur dan

pendidikan memang disebutkan bahwa gangguan kecemasan dapat

terjadi pada semua tingkat usia dan semua status sosial dan pendidikan.

48
Walaupun diketahui paling sering gangguan kecemasan ini berkembang

pada usia dewasa yaitu 25 tahun keatas. (Kaplan dan Saddock, 2010)

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini diuji secara statistik dengan

menggunakan uji komparatif Mann-Whitney dan uji Wilcoxon. Diperoleh

nilai signifikansi yang sangat bermakna pada kelompok yang

menggunakan alprazolam yaitu p<0.001. Hasil diatas juga diperkuat

dengan data nilai median dan rerata yang diperoleh yaitu kualitas tidur

pada kelompok > 6 bulan yang memakai alprazolam nilai median= 9.00,

rerata= 9,34 dan standar deviasi (SD)= 3,395 dimana nilai ini lebih tinggi

dibandingkan nilai median dan rerata pada kelompok < 6 bulan yaitu

median=4.00, rerata= 4,06 dan standar deviasi (SD)= 1,076. Demikian

juga pada pemakaian benzodiazepin jenis clobazam terdapat perbedaan

yang bermakna antara kelompok > 6 bulan dan kelompok < 6 bulan

dengan nilai p= 0,021 atau nilai signifikansi p< 0,05. Untuk nilai kualitas

tidur pada kelompok > 6 bulan nilai median= 4.00, rerata= 4,40 dan

standar deviasi (SD)= 1,502 nilai ini lebih tinggi dibandingkan nilai pada

kelompok < 6 bulan dengan nilai median= 3.00, rerata= 3,33 dan standar

deviasi (SD)= 0,724. Hasil ini sesuai dengan hipotesa awal yaitu kualitas

tidur yang diukur dengan skala Pitssburgh Sleep Quality Index (PSQI)

pada pasien yang memakai terapi benzodiazepin jangka panjang yaitu >6

bulan lebih buruk dibandingkan pasien yang memakai terapi

benzodiazepine jangka pendek yaitu <6 bulan. Hasil ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Holbrook et. al. tahun 2000, dan Celyne et.

49
al. pada tahun 2003 yang menyatakan pemakaian jangka panjang

benzodiazepin memperburuk kualitas tidur. (Holbrook, 2000; Bastien,

2003)

Pada grafik masing-masing kelompok pemakaian benzodiazepin

baik alprazolam dan clobazam, menunjukkan adanya kecenderungan

kenaikan skala kualitas tidur yang diukur dengan menggunakan skala

PSQI versi bahasa Indonesia pada pasien-pasien yang mendapatkan

terapi >6 bulan dan <6 bulan. Namun terdapat pula beberapa orang

sampel yang skala kualitas tidur PSQI tidak sesuai dengan trend yang

ada, yaitu mengalami kenaikan pada waktu yang lebih pendek dan

mengalami penurunan pada waktu yang lebih panjang dibandingkan

sampel lainnya. Hal ini menunjukkan adanya respons yang bervariasi tiap

sampel pada kualitas tidur setelah mendapatkan terapi benzodiazepin.

Pada hasil analisa berdasarkan diagnosa sub bagian dari gangguan

cemas didapatkan hasil perbedaan yang tidak bermakna dengan nilai

p>0.05. Hal ini dapat disebabkan karena bayak faktor yang dapat

mempengaruhi kualitas tidur itu sendiri, bukan hanya dari jenis penyakit

yang dialami namun ada beberapa faktor lain seperti faktor biologis yaitu

respon tubuh seseorang terhadap farmakoterapi dan onset gangguan

yang dialami, faktor psikosial atau kepribadian orang tersebut dalam

mengatasi stressor dan juga faktor lingkungan. Hal tersebut juga dapat

disebabkan karena kesalahan atau pemahaman yang kurang dalam

mengisi kuesioneir yang diberikan. Sebagaimana diketahui cukup banyak

50
faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang antara lain

status kesehatan, lingkungan, stress psikologis, diet, obat-obatan, gaya

hidup. (Chen et al, 2016)

Perbedaan hasil perbandingan kualitas tidur pada alprazolam dan

clobazam dapat juga diakibatkan oleh perbedaan struktur kimia diantara

keduanya. Alprazolam memiliki struktur kimia yaitu 8-kloro-1-metil-6-fenil-

4H-triazol[4,3-α]-benzodiazepina dan formula (C17H13CIN4) sedangkan

clobazam memiliki struktur kimia yaitu 7-kloro-1-metil-5-fenil-1,5

benzodiazepin-2,4 (3H,5H)-dione dan formula C16H13CIN2O2. Clobazam

merupakan derivat terbaru dari golongan benzodiazepin yang digunakan

terutama untuk ansiolitik dan anti konvulsi yang lebih spesifik memiliki

subtitusi 1,5 diazepin bukan subtitusi biasa yaitu 1,4 diazepin, serta

memiliki efek sedasi yang paling minimal dibandingkan golongan

benzodiazepin lainnya. (Castillo, et.al., 2008; Wildin, et.al., 2009)

Perbandingan skala kualitas tidur berdasarkan sub diagnosa

gangguan cemas yaitu kelompok I Gangguan Cemas yang khas (Anxietas

fobik, Gangguan Panik, Gangguan Anxietas Menyeluruh) sebanyak 26

orang; kelompok II Gangguan cemas tidak khas (Gangguan Anxietas YTT

dan Gangguan Anxietas Lainnya) sebanyak 43 orang; dan kelompok III

Gangguan Campuran Cemas dan Depresi sebanyak 25 orang didapatkan

perbedaan kualitas tidur yang tidak bermakna dengan nilai p>0.05.

Penggolongan sub diagnosa ini berdasarkan gejala klinis pada masing-

masing kelompok diagnosa yang mengacu pada Pedoman Penggolongan

51
Diagnostik Gangguan Jiwa III (PPDGJ III). Namun dari hasil tersebut

menggambarkan bahwa kualitas tidur memang tidak hanya dipengaruhi

oleh jenis penyakit namun banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi

kualitas tidur antara lain status kesehatan, lingkungan, stress psikologis,

diet, obat-obatan, gaya hidup. (Chen et al, 2016)

Sebelum melakukan penilaian skor Pittsburgh Sleep Quality Index

(PSQI) versi bahasa Indonesia, maka terlebih dahulu dilakukan uji

validitas dan reliabilitas. Uji validitas bertujuan untuk mengukur kualitas

instrumen penelitian. Instrumen dikatakan valid jika instrumen tersebut

dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Sebuah instrumen

penelitian dapat diterima jika nilai loading dari setiap itemnya adalah ≥ 0,4.

Kuesioner PSQI pada penelitian ini didapatkan loading dari setiap itemnya

adalah ≥0,6, sehingga skala Pitssburgh Sleep Quality Index (PSQI) versi

bahasa Indonesia yang digunakan dinyatakan valid. (Contreras, 2014)

Uji reliabilitas bertujuan untuk mengukur kehandalan suatu alat ukur

atau kuesioner. Instrumen yang dikatakan reliable jika instrumen yang jika

digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama, akan

menghasilkan data yang sama, sebuah instrumen penelitian dapat

dikatakan reliable jika memiliki nilai Cronbach Alpha ≥0,60. Semakin

mendekati angka 1 nilai cronbach alpha, maka semakin baik instrumen

pengukuran. Dalam penelitian ini, pengujian reliabilitas menggunakan

metode analisis Cronbach alpha dengan bantuan SPSS, dan didapatkan

Cronbach alpha sebesar 0,810 sehingga skala PSQI versi bahasa

52
Indonesia yang digunakan di penelitian ini dapat dikatakan reliable.

(Curcio et al, 2012)

Keterbatasan dan hambatan dalam penelitian ini :

1. Tidak dilakukan pengukuran skala kualitas tidur PSQI sebelum pasien

mendapat terapi.

2. Tidak dilakukan pengukuran skala derajat kecemasan sebelum

dilakukan pengukuran skala kualitas tidur PSQI.

3. Subjektivitas partisipan dalam mengisi lembar kuisioneir kualitas tidur

PSQI.

53
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

 Kualitas tidur menggunakan skala Pitssburgh Sleep Quality

Index (PSQI) versi bahasa Indonesia pada pasien gangguan

cemas yang mendapat terapi benzodiazepin (alprazolam dan

clobazam) jangka panjang lebih buruk dibandingkan yang

memakai terapi jangka pendek.

 Kualitas tidur menggunakan skala Pitssburgh Sleep Quality

Index (PSQI) versi bahasa Indonesia terdapat perbedaan yang

bermakna antara pasien yang mendapat terapi alprazolam dan

clobazam jangka panjang sedangkan pada terapi alprazolam

dan clobazam jangka pendek tidak terdapat perbedaan yang

bermakna.

 Berdasarkan sub diagnosa dari gangguan cemas tidak terdapat

perbedaan yang bermakna pada kualitas tidur menggunakan

skala PSQI versi bahasa Indonesia.

B. SARAN

Perlu dilakukan pemeriksaan kualitas tidur pada pemakaian jangka

panjang turunan benzodiazepin lainnya seperti lorazepam,

estazolam, diazepam dibandingkan dengan golongan

nonbenzodiazepin seperti zolpidem, zaleplon, ramelteon.

54
DAFTAR PUSTAKA

Amir, N. 2007. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia Diagnosis dan


Penatalaksanaan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 196-206

Ancoli, S. 2010. Sleep Disorders in Older Adults a Mini Review. USA:


Gerontology; 56:181–189.

Andri, 2011. Psikosomatik Apa dan Bagaimana?. Medik Publishing.


Jakarta

Arana, G.W., Rosenbaum, J.F. 2000. Benzodiazepine, Handbook of


Psychiatry Drug Teraphy, 4th ed. Baltimore, Lippincott Williams &
Wilkins, USA, 170-52.

Bastien, C.H., Le Blanc, M., Carrier, J. 2003. Sleep EEG Power Spectra,
Insomnia, and Chronic Use of Benzodiazepines. Canada.

Castillo, A; Sotillo, C; Mariategui, J. 2008. Alprazolam Compared to


Clobazam and Placebo in Anxious Outpatients. Instituto Nacional
de salud Mental, Honorio Delgado-Lima, Peru.

Chen, L., Bell, S. et al. 2016. The Association Between Benzodiazepine


Use and Sleep Quality in Residential Aged Care Facilities: a Cross
Sectional Study. Research article. BMC Geriatrics. 16:196.

Contreras F.H., Lopez E.M., Roman P.A.L., Garrido F., Santos M.A., Amat
A.M., 2014. Reliability and validity of the Pittsburgh Sleep Quality
Index (PSQI). Int.34 929-936.

Curcio G., Tempesta D., Scarlanta S., Marzano C., Moroni F., Rossini P.,
et al. 2012. validity of the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
Neuronal Sci. Pubmed US National Library of Medicine.

55
Departemen Farmakologi FKUI. 2010. Benzodiazepin. Farmakologi dan
Terapi, FKUI-Edisi V, Jakarta.

Guyton,A.C., Hall,J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Mississipi:


Saunder –Elsevier. .779-782.

Hawari, D. 2013. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Holbrook, A.M., et al. 2000. Meta-Analysis of Benzodiazepine Use in The


Treatment of Insomnia. Review article. 162(2):225-33.

Kaplan, H., Sadock, B. 2006. Benzodiazepine and Drugs Acting on


Benzodiazepine Receptors. Pocket Handbook of Psychiatric Drug
Treatment, 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins. New York. 72-81.

Kaplan, H., Sadock, B. 2010. Gangguan Kecemasan. Sinopsis Psikiatri


Jilid 2. Binarupa Aksara. Jakarta. 17-76

Kramer M., Ruth M., 2011. Long Term Use of Hypnotic Agents in The
Treatment Insomnia. (online)
http://ps.psychiatryonline.org/vol.56/no.6, diakses 6 Juni 2017.

Lu, J., Greco, M.A. 2006. Sleep Circuit and The Hypnotic Mechanisme of
GABA-A Drugs. Journal of Clinical Sleep Medicine Vol.2. No.2.
Menlo Park. CA.

Lumbantobing, S.M. 2008. Gangguan Tidur. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta.

Potter, Perry. 2010. Fundamental of Physiology: Nursing concept,


practical. Edisi 7. Vol.3. EGC. Jakarta.

Rickels, K. et al. 2008. Effect of Long-Term Benzodiazepine use, British


Journal Clinical Pharmacology.107–113.

56
Stahl, S.M., 2008. Disorder of Sleep and Wakefulness and Their
Treatment. Stahl’l Essential Psychopharmacology – Neuroscietific
Basis and practical Applications. Third Edition. Cambridge
University Press. 732-741.

Vicens, C., Benloucif, S. et al. 2014. Morning or Evening Activity


Improves Neuropsychological Performance and Subjective Sleep
Quality in Older Adults Sleep. The British Journal of Psychiatry.

Vinkers, C.H., and Olivier, B. 2011. Mechanisme Underlying Tolerance


after long-term Benzodiazepine Use: A Future Subtype-Selective
GABAA Receptors Modulators?. Review Article.

Wildin, JD; Pleuvry, BJ. Mawer, GE; Millington, L. 2009. Respiratory and
Sedative effects of Clobazam and Clonazepam in Volunteers.
British Journal of Clinical Pharmacology.

57
Lampiran 1

No penelitian :

PERSETUJUAN PENELITIAN

(Informed Consent)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Tempat/tanggal lahir :

Jenis Kelamin :

Pendidikan :

Alamat :

Setelah diberi penjelasan mengenai penelitian ini, maka dengan ini saya menyatakan
bersedia menjadi peserta penelitan dengan judul: PERBANDINGAN KUALITAS TIDUR
MENGGUNAKAN SKALA PITTSBURGH SLEEP QUALITY INDEX (PSQI) PADA
PASIEN GANGGUAN CEMAS YANG MENDAPAT TERAPI BENZODIAZEPIN JANGKA
PANJANG DAN JANGKA PENDEK

Makassar, 2017

( )
Lampiran 2

KUESIONER KUALITAS TIDUR (PSQI)

1. Jam berapa biasanya anda mulai tidur malam?


2. Berapa lama anda biasanya baru bisa tertidur tiap malam?
3. Jam berapa anda biasanya bangun pagi?
4. Berapa lama anda tidur dimalam hari?

5 Seberapa sering masalah-masalah dibawah ini Tidak 1x 2x ≥3x


mengganggu tidur anda? pernah seminggu seminggu seminggu
a) Tidak mampu tertidur selama 30 menit sejak
berbaring
b) Terbangun ditengah malam atau terlalu dini

c) Terbangun untuk ke kamar mandi

d) Tidak mampu bernafas dengan leluasa

e) Batuk atau mengorok

f) Kedinginan dimalam hari

g) Kepanasan dimalam hari

h) Mimpi buruk

i) Terasa nyeri

j) Alasan lain ………

6 Seberapa sering anda menggunakan obat tidur

7 Seberapa sering anda mengantuk ketika


melakukan aktifitas disiang hari
Tidak Kecil Sedang Besar
antusias
8 Seberapa besar antusias anda ingin
menyelesaikan masalah yang anda hadapi
Sangat Baik kurang Sangat
baik kurang
9 Pertanyaan preintervensi : Bagaimana kualitas
tidur anda selama sebulan yang lalu

Pertanyaan postintervensi : Bagaimana kualitas


tidur anda selama seminggu yang lalu

Nama:
Umur:
Pendidikan:
Pekerjaan:
Lama Pemakaian BZ:
Tanggal :

Anda mungkin juga menyukai