Anda di halaman 1dari 25

Modul

Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Presentan:

Fahrizal Yanuar R., dr.

Pembimbing:

Ervita Ritonga. dr., MKes., SpPD.

Program Pendidikan Dokter Spesialis I – Ilmu Penyakit Dalam

Rumah Sakit Hasan Sadikin/Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Bandung

2018
PATOFISIOLOGI DIABETES MELITUS TIPE 2

1. Definisi

Diabetes melitus Type 2 adalah kelompok gangguan yang dikarakteristikan dengan derajat
resistensi insulin yang bervariasi, gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi
glukosa1.

2. Fisiologi Regulasi Glukosa

2.1. Absorpsi Glukosa di Usus

Glukosa akan di absorpsi di dalam lumen usus melalui Na+ glucose simporter
kemudian akan diteruskan ke dalam aliran darah melalui glucose uniporter (GLUT-2).
Ketika ada stimulus dari transport nutrisi di sel usus, akan terjadi sekresi dari GLP-1
hormon. GLP-1 hormon dihasilkan oleh sel L pada saluran perncernaan dan digolongkan
sebagai incretin. Fungsi fisiologi dari GLP-1 antara lain menaikan sinyal pelepasan insulin
pada sel beta, serta menurunkan sekresi glucagon dari sel alfa pancreas, menekan sekresi
glucagon. GLP-1 ini memiliki waktu paruh kurang dari 2 menit, dan didegradasi oleh
enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4)2.

1
2

2.2. Insulin
2.2.1 Sintesis Insulin
Sel  pulau-pulau Langerhans pankreas memproduksi insulin, sebagai preproinsulin,
single-chain 86-amino-acid precursor polypeptide. Selanjutnya, proteolitik memecah
amino-terminal signal peptide sehingga terbentuk proinsulin. Secara struktur, proinsulin
mirip dengan insulin-like growth factors I dan II, yang berikatan lemah dengan reseptor
insulin. Pemecahan fragmen 31-residu internal dari proinsulin menghasilkan C-peptide
dan rantai A (21 asam amino) dan B (30 asam amino) insulin yang dihubungkan oleh
ikatan disulfide. Molekul insulin yang matang dan C-peptide disimpan bersamaan dan
disekresikan dari granul sekretori pada sel . Peptida C diekskresikan lebih lambat
daripada insulin, sehingga peptida C menjadi penanda sekresi insulin untuk penyebab
hipoglikemia (insulin endogenus atau eksogenus)1,2.

Sel  pankreas juga mensekresikan IAPP (islet amyloid polypeptide) atau amylin, 37-
peptida asam amino, bersamaan dengan insulin. IAPP berfungsi sebagai komponen
mayor fibril amyloid yang ditemukan di pulau-pulau Langerhans pasien DM tipe 27.
Analog amylin (contoh : pramlintide) dapat digunakan sebagai suplemen pada terapi
insulin diabetes tipe 1 dan 2 karena diketahui mekanisme kerja analog amylin yang
sinergis dengan insulin dalam menurunkan berat badan, nilai HbA1c, dan juga dosis
insulin1,2.

2.2.2 Sekresi Insulin

Regulasi glukosa sangat dipengaruhi oleh insulin. Insulin sendiri merupakan hormon
yang diproduksi dan disekresikan oleh sel beta di pancreas. Kadar glukosa diatas
70mg/dL menstimulasi produksi insulin. Dalam keadaan ini, glukosa akan di transport
oleh glucose transporter (GLUT 1) ke dalam sel beta di pancreas. Selanjutnya, glukosa
akan di posforilasi oleh glucokinase menjadi Glucose-6-phospate dan kemudian akan
dilakukan diglikolisis sehingga menghasilkan ATP. Produksi dari ATP ini akan
menghambat aktifitas dari ATP-sensitive K+channel. Hambatan ini mengakibatkan
depolarisasi dan merubah voltase dari membran sel beta, perubahan voltase membran ini
akan menstimulasi voltage-dependent Ca2+Channel untuk membuka dan menyebabkan
3

masuknya Ca2+ ke dalam sel. Masuknya Ca2+ ini akan menstimulasi granul yang berisi
insulin untuk disekresikan ke luar sel1,2.

Selain glukosa, sekresi insulin juga dapat di stimulasi oleh :

a. Asam amino, terutama asam amino esensial, termasuk leucine, arginine, dan lysine.
b. Keton dan asam lemak rantai panjang dan rantai pendek
c. Inkretin terutama hormon GLP-1.
d. Stimulus saraf parasimpatis menyebabkan sekresi insulin, glukagon, dan polipeptida
pankreas secara langsung dan melalui neuropeptides vasoactive intestinal peptide,
gastrin-releasing polypeptide, dan pituitary adenylate cyclase-activating
polypeptide.
4

2.2.3 Mekanisme Kerja Insulin

Fungsi dari insulin sangat berhubungan dengan kelebihan sumber energi yang ada di
dalam tubuh. Insulin memiliki efek terhadap metabolisme karbohidrat, lemak dan juga
protein.

2.2.3.1 Efek Insulin Terhadap Metabolisme Glukosa

Ketika insulin di sekresikan ke dalam system vena porta, sekitar 50% akan di buang
dan didegradasi oleh hati. Sedangkan sisa insulin yang tidak dibuang akan masuk ke
dalam sirkulasi sistemik untuk berikatan dengan target sel terutama sel otot skeletal.
Ikatan insulin dengan respetor di sel akan mengaktifasi intrinsic tyrosine kinase,
menyebabkan autophosporilasi reseptor dan aktifasi dari intraceluller signaling molecule,
seperti insulin receptor substrate (IRS dan Shc). Selanjutnya, aktifasi IRS dan Shc ini
akan menginisiasi reaksi posforilasi dan deposforilasi yang menyebabkan efek metabolik
dan mitogenik. Dalam regulasi glukosa, akan terjadi aktifasi dari phosphatidylinositol-3-
kinase (PI-3-kinase) menstimulasi translokasi facilitative glucose transporter (GLUT-4)
ke permukaan sel dan menyebabkan uptake dari glukosa dan lemak. Aktifasi jalur lain
menyebabkan sintesis glycogen, sintesis protein, lipogeneis1,2.
5

2.2.3.2 Efek Insulin Terhadap Metabolisme Lemak

Insulin akan meningkatkan penggunaan glukosa pada sebagian besar jaringan tubuh,
yang secara otomatis akan menurunkan penggunaan lemak sehingga akan disimpan di
dalam jaringan adiposa dan akan memicu sintesis asam lemak. Ketika sisa glukosa sudah
masuk ke dalam penyimpanan di liver, maka terbentuklah lemak. Glukosa akan dipecah
menjadi pyruvat melalui glycolytic pathway untuk menjadi acetyl coenzyme A (acetyl-
CoA) yang akan menjadi bahan untuk asam lemak. Selanjutnya, acetyl-CoA akan
dikarboksilase oleh acetyl-CoA carboxylase untuk menjadi malonyl-CoA. Kebanyakan
dari asam lemak akan disintesis di dalam liver dan akan membentuk trigliserida yang
kemudian akan ditransport oleh lipoprotein, yang teraktifasi oleh insulin, ke dalam sel
adiposa. Insulin juga akan menghambat aktifitas dari lipase dan menyebabkan transport
glukosa ke dalam sel adiposa yang kembali akan menjadi bahan untuk pembentukan
trigliserida, terutama alfa gliserol posfat. Dimana gliserol akan berikatan dengan asam
lemak untuk membentuk trigliserida sehingga dapat disimpan di dalam sel adiposa2.

2.2.3.3 Efek Insulin Terhadap Metabolisme Protein


Insulin menstimulasi transport berbagai macam jenis asam amino ke dalam sel,
meningkatkan translasi dari mRNA untuk membentuk protein baru. Selain itu, insulin
juga akan meingkatkan aktifitas transkripsi dari DNA di dalam nukleus sel. Efek lain dari
insulin adalah menghambat katabolisme dari protein dan juga menekan aktifitas dari
gluconeogenesis di hati2.

2.3. Homeostasis glukosa

Homoestasis glukosa dalam tubuh artinya terdapat keseimbangan antara produksi glukosa
di liver (HGP: hepatic glucose production) dan pengambilan serta penggunaan glukosa di
perifer. Dalam kondisi puasa (basal), dimana kadar insulin rendah, akan meningkatkan
produksi glukosa melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di liver, disertai
penurunan ambilan glukosa di jaringan (otot, lemak)1.
6

Hormon glukagon, yang disekresikan oleh sel alfa di pankreas saat kadar glukosa atau
insulin rendah, akan menstimulasi glikogenolisis dan glukoneogenesis di liver dan medula
renal. Sebaliknya pada kondisi post prandial, kadar glukosa akan merangsang kenaikan
insulin dan menurunkan hormon glukagon. Insulin juga berpengaruh pada penyimpanan
karbohidrat, lemak, serta sintesis protein(1).

Kadar glukosa puasa di plasma berada di angka 70–110 mg/dL dan lebih tinggi setelah
makan atau melakukan aktivitas. Diantara waktu makan dan puasa, kadar glukosa
dipertahankan oleh produksi glukosa endogen, glikogenolisis di liver, dan glukoneogenesis
liver (serta ginjal). Rata-rata, glikogen di hati dapat mempertahankan kadar glukosa darah
sekitar 8 jam. Glukoneogenesis terjadi saat kadar insulin rendah dengan adanya rangsangan
dari hormon anti-insulin (counterregulatory hormon), dan koordinasi dari otot, jaringan
lemak, liver, dan ginjal(1).
7

3. Patogenesis DM Tipe 2

Resistensi insulin dan abnormalitas sekresi insulin merupakan faktor utama yang
menyebabkan munculnya DM type 2. Beberapa studi menyebutkan bahwa resistensi insulin
merupakan penyebab awal dari DM type 2 ini, dengan bertambahnya waktu, resistensi ini akan
menyebabkan penurunan sekresi dari insulin. Dalam jurnal yang diterbitkan oleh American
Diabetic Assosiation (ADA) pada tahun 2016, disebutkan bahwa terdapat teori baru yang dapat
menjelaskan patogenesis dari DM tipe 2. Jurnal tersebut menyebutkan bahwa ptogenesis DM tipe
2 berpusat pada sel beta pankreas, dan terdapat 11 faktor yang menyebabkan kerusakan sel beta
pankreas ini, faktor ini disebut sebagai egregious eleven (1, 3-5).
8

1. Kegagalan sel beta pancreas

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Penyebabnya multifaktor, diantaranya terjadi glukolipotoksisitas dan deposit dari amyloid yang
menyebabkan terjadinya apoptosis sel beta melalui jalur oksidasi di retikulum endoplasma.
Menurunnya fungsi sel beta pankreas pada pasien diabetes dapat terjadi karena kemampuan sel
untuk regenerasi tidak cukup cepat mengganti sel yang sudah ter-apoptosis5.

2. Penurunan efek inkretin

Seperti kita ketahui, inkretin memiliki fungsi untuk meingkatkan sekresi dari insulin. Dalam
keadaan lanjut, penurunan inkretin tentunya akan berefek pada regulasi gula darah. Selain itu,
inkretin memiliki efek untuk memperlambat pengosongan lambung. Penurunan efek inkretin ini
menyebabkan pengosaongan lambung menjadi lebih cepat dan meningkatkan absorpsi glukosa.
Selain itu juga dapat menstimulus rasa lapar yang lebih cepat5.
9

3. Gangguan sel alfa pankreas

Sel alpha pancreas juga berperan dalam hiperglikemia. Kerusakan sel beta pankreas juga
ternyata memiliki peran terhadap gangguan pada sel alfa pankreas. Keruasakan sel alfa ini
mengakibatkan peningkatan glukagon yang memicu hiperglikemia. Seperti yang kita tahu,
glukagon memiliki efek untuk meningkatkan glukosa dalam darah melalui proses glukogenesis
ataupun glukoneogeneis5.

4. Meningkatnya lipolisis

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan
proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan
FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan
otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut
sebagai lipotoxocity5.

5. Menurunnya uptake glukosa di otot

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di


intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa
dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa5.

6. Liver

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan akan memicu
glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose
production) meningkat5.

7. Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang DM
maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi diotak5.
10

8. Colon

Dalam keadaan obesitas ataupun gangguan imun, terjadi perubahan microba di dalam usus
besar. Perubahan ini menyebabkan munculnya efek inflamasi yang dapat menurunkan produksi
GLP-1. Akibatnya terdapat penurunan sensitifitas sekresi insulin5.

9. Disregulasi Imun dan Inflamasi

Gangguan imun dan inflamasi yang terdapat pada penderita memberikan kontribusi yang
cukup besar terhadap keruakan sel beta pankreas. Selain itu, penanda dari inflamasi sistemik,
termasuk CRP (C- reactive protein) dan IL-6 (interleukin-6) menunjukkan hubungan dengan
sensitivitas insulin dan fungsi sel beta. Selain itu, glukosa dan FFA meningkatkan produksi IL-1β
pada sel beta pankreas yang selanjutnya akan memberikan efek inflamasi direk pada sel beta itu
sendiri5.
Ekspansi dari jaringan adipose berhubungan dengan akumulasi makrofag teraktivasi yang
mengekspresikan sejumlah gen proinflamasi termasuk sitokin seperti TNF-α yang selnajutnya
secara local dapat mengganggu signaling insulin. Jika efek ini terakumulasi maka sitokin-sitokin
proinflamasi ini dapat bekerja ke tempat-tempat lebih jauh seperti liver dan otot sehingga
memperberat resistensi insulin. Proses yang serupa juga dapat terjadi pada liver yaitu pada sel
Kupffer (makrofag hepar) 5.

10. Usus Halus dan Lambung

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan secara
intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-
like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga
gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan
resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim
DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Saluran pencernaan juga mempunyai peran
dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida
menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa
darah setelah makan5.
11

11. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal
memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini
akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada
tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita
DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan
lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor5.

4. Patofisiologi DM Tipe 2

DM tipe 2 dikarakteristikan dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi


glukosa yang berlebihan dari hati dan metabolisme lemak yang abnormal. Obesiteas, terutama tipe
viseral atau sentral menjadi faktor risiko utama (80%) pada DM tipe 2 ini. Pada fase awal, toleransi
glukosa masih dalam batas normal, namun sudah terdapat resistensi insulin. Resistensi insulin ini
akan dikompensasi oleh sel beta pankreas untuk meningkatkan sekresi insulin. Dengan resistensi
insulin dan kompensasi hiperinsulinemia yang terus berlangsung, sel pankreas tidak akan mampu
beradaptasi dengan keadaan hiperinsulin tersebut, hal ini terlihat dengan peningkatan glukosa post
prandial. Lama kelamaan, terjadi penurunan produksi insulin dari sel beta pankreas. Hal ini
ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah ketika puasa. Dalam keadaan ini terjadilah
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin secara bersamaan, yang memperburuk keadaan
hiperglikemia kronisnya1.
12

a. Liver - Terjadi pada kondisi basal.


Pada penderita Diabetes Melitus tipe-2 terjadi resistensi insulin, kemudian memicu
proses glukoneogenesis di liver, sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat.1
Otak membutuhkan glukosa, dimana 50% dari kebutuhan tersebut berada dalam
kondisi puasa. Kebutuhan ini disediakan oleh organ liver. Selama puasa, liver akan
memproduksi glukosa dengan kecepatan ~2 mg/kg per menit. Sedangkan pada DM tipe 2,
produksinya meningkat menjadi ~2,5 mg/kg per menit. Kondisi ini menggambarkan
adanya peningkatan glukoneogenesis di liver. Selain itu, ada faktor lain yang berpengaruh
pada kondisi meningkatkan produksi glukosa oleh liver, diantaranya (1) meningkatnya
glukagon di darah dan meningkatnya sensitivitas liver terhadap glukagon, (2) lipotoksisitas
yang meningkatkan ekspresi dan aktivitas dari phosphoenol pyruvate carboxykinase dan
pyruvate carboxylase (enzim pemicu gluconeogenesis), dan (3) glukotoksisitas, yang
meningkatkan ekspresi dan aktivitas glucose-6 phosphatase, enzim untuk pengeluaran
glukosa dari liver1,2.

b. Otot - resistensi saat kondisi insulin di stimulasi (saat makan).


Pada otot, resistensi insulin dimanifestasikan dengan adanya kegagalan ambilan
glukosa (impaired glucose uptake) saat tubuh mencerna karbohidrat sehingga
menghasilkan hiperglikemia setelah makan (post prandial). Hal ini terjadi karena adanya
cacat pada intramyocellular yang berfungsi dalam uptake insulin, seperti gangguan
transport glukosa dan fosforilasi, menurunnya sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa.4
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di
intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.1
13

c. Transduksi sinyal insulin yang terganggu.


Agar dapat bekerja, insulin harus berikatan dan mengaktifkan reseptor insulin melalui
proses fosforilasi tirosin di rantai beta. Hal ini akan menghasilkan translokasi Insulin
Receptor Substrate (IRS)-1 ke membran plasma, yang nantinya akan berinteraksi dengan
reseptor insulin melalui fosforalisasi tirosin. Hal ini akan mengaktivasi PI 3-kinase dan
Akt, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel, mengaktivasi sintesis nitride oxide (untuk
vasodilatasi arteri), dan menstimulasi serangkaian proses metabolik intraseluler. Pada DM
tipe 2, terjadi kerusakan/gangguan di IRS-11,2.

Selain IRS-1, terdapat jalur mitogen-activation protein (MAP) kinase yang sensitif
terhadap insulin, dan bila teraktivasi akan merangsang inflamasi, proliferasi selular, dan
aterosklerosis. Bila IRS-1 terganggu, maka aktivitas MAP akan meningkat. Ini
menjelaskan mengapa terdapat korelasi kuat antara resistensi insulin dengan peningkatan
angka kejadian kardiovaskular1,2.
Gangguan dari taransduksi sinyal insulin ini dicurigai karena faktor obesitas. Pada
pasien obesitas, sel adiposa akan menghasilkan nonesterified free fatty acids, retinol-
binding protein 4, leptin, TNF-α, resistin, IL-6, dan adiponectin. Kelebihan produksi
produk biologis ini ternyata dapat menyerang insulin reseptor dan mengakibatkan
terjadinya resistensi insulin1.
14

5. Komplikasi DM Type 2

Secara umum, terdapat 3 jenis komplikasi diabetes, yaitu gangguan mikrovaskular,


makrovaskular dan gangguan lainnya, yang terdiri dari (1, 6):

a. Mikrovaskular
a. Penyakit mata : Retinopati (non proliferative dan proliferative), edema macular
b. Neuropai : Sensoris dan motoris (mono- dan polineuropati), autonomic
c. Nefropati : albuminuria dan penurunan fungsi glomerulus
b. Makrovaskular
a. Penyakit jantung coroner (CAD)
b. Penyakit arteri perifer (PAD)
c. Penyakit serebrovaskular
c. Gangguan lainnya
a. Gastrointestinal (gastroparesis, diare)
b. Genitourinari (uropathy, disfungsi skesual)
c. Dermatologis
d. Katarak
e. Glaukoma
f. Penyakit periodontal
g. Gangguan pendengaran

Terdapat empat teori yang menjelaskan tentang komplikasi kronis yang muncul pada pasien
dengan DM, antara lain(1, 6) :

a. Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan terbentuknya advance glycosylation end


products, yang berikatan dengan reseptor di permukaan sel melalui glikosilasi non
enzimatik dari protein intra dan ekstraseluler. Hal ini menyebabkan adanya cross-linking
dari protein dan berakibat pada akselerasi atherosclerosis, disfungsi glomerular, disfungsi
endothel dan gangguan pembentukan ekstraseluler matriks.
15

b. Keadaan hiperglikemia akan meningkatkan metabolisme glukosa via jalur sorbitol yang
berhubungan dengan enzim aldose reductase.
c. Hiperglikemia meningkatkan pembentukan diacylglycerol, akan mengaktifasi protein
kinase C, selanjutnya akan menyebabkan trasnkripsi gen untuk fibronectin, kolagen tipe
IV, contractile protein, dan ekstraselular protein di endotel dan neuron.
d. Hiperglikemia meningkatkan jalur hexosamine untuk memproduksi fructose-6-phospate
yang merupakan substrat yang berikatan dengan O-linked glycosilation dan produksi
proteoglikan. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi dari glikosilasi protein seperti sintesis
endhotelial nitric oxide atau dengan perubahan ekspresi gen dari TGF-β atau plasminogen
activator inhibitor-I

a. Retinopati Diabetikum

Peningkatan produk akhir dari metabolisme glukosa yang mengendap di vaskular retina
menyebabkan rusaknya perisit di retina, meningkatkan permeabilitas vaskular, gangguan
aliran darah retina, dan gangguan mikrovaskular dinding retina akan menyebabkan iskemia
pada retina. Selain itu, diketahui pula terdapat proses yang sama pada neurovaskular unit
retina yang terdiri dari neuron, sel glia, astrosit dan muller sel(1, 6).
16

b. Nefropati Diabetikum

Petogenesis terjadinya komplikasi nefropati dikarenakan aktifasi faktor-faktor seperti


growth factor, angiotensin II, endhotelin, advance glyvcation end products (AGEs) di dalam
mikrosirkulasi, hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi dan hiperperfusi sehingga meningkatkan
tekanan kapiler glomerular. Hal ini menyebabkan perubahan struktur dari glomerulus yang
ditandai dengan peningkatan ekstraselular matrik, penebalan membran basement, ekspasi
mesangial dan fibrosis. Kerusakan struktur inilah yang menginduksi ada kegagalan fungsi
glomerulus(1, 6).
17

c. Neuropati Diabetikum

Hal yang mendasari mekanisme patologis dari diabetik neuropati ini adalah faktor
metabolik dan vaskular yang berhubungan dengan hiperglikemia yang kronis. Inflamasi,
iskemik, stres oksidatif pembentukan advance glycation end products (AGE) dan peningkatan
pembentukan poliol memberikan andil dalam demyelinasi, degenerasi syaraf dan perlambatan
konduksi syaraf(1, 6).
18

a. Poli/mononeuropati

Secara morfologis, bagian syaraf yang sering terkena adalah syaraf sensoris. Hal
ini dikarenakan, pada proses awal neuropati ini terjadi degenerasi aksonal yang
melibatkan serabut syaraf sensoris, khususnya unmyelinated peripheral C fiber dan
serabut yang lebih besar yaitu serabut A. Selanjutnya terjadi gangguan aktifitas dari
19

sel Schwann yang menyebabkan hilangnya myelin secara segemental. Dalam keadaan
diabetik neruopathy yang kronis dapat terlihat pola karakteristik demielisasi dan
remielisasi dari serabut saraf. Kerusakan ini dapat terjadi di spinal cord, root ganglia
posterior atau syaraf perifer. Keadaan kronis dari diabetik neuropati ini juga dapat
menyerang serabut syaraf motoris(1, 6).

Gambaran klinis khas akibat kerusakan sensoris yang dirasakan pasien adalah
sensasi seperti menggunakan stoking atau sarung tangan. Beberapa pasien bahkan
dapat merasakan sensasi seperti terbakar atau tertusuk-tusuk. Secara objektif dapat
dilihat penurunan refleks, sensory loss dan gangguan propiosepsi. Jika terdapat
keterlibatan syaraf motoris, maka akan muncul kelemahan kekuatan otot dan dapat
menyebabkan atropi otot, terutama di ekstrimitas bawah(1, 6).

b. Neuropati otonom

Dalam satu waktu, diabetik neuropati dapat menyerang sistem syaraf otonom
secara luas. Neuropati ini dapat menyerang sistem kardiovsakular, gastrointestinal,
genitourinaria dan sistem metabolik(1, 6).

d. Gangguan Gastrointestinal

Keluhan dari neuropati diabetik pada sistem gastrointestinal paling sering muncul adalah
mual, kembung, gastroparesis (penundaan pengosongan lambung), mencret atau konstipasi(1, 6).

e. Gangguan Genitourinaria

Gangguan otonom dari sistem genitourinaria yang biasa muncul adalah kehilangan sensasi
berkemih, atau retensi urin di kandung kemih, dan disfungsi ereksi(1, 6).

f. Kardiovaskular
20

Gangguan sistem kardiovaskular bisa diakibatkan oleh kelainan system otonom ataupun
peningkatan risiko kelainan yang berhubungan dengan pembuluh darah koroner. Gangguan
sistem otonom dapat menyebabkan gangguan regulasi denyut jantung, penurunan sensitifitas
bari reseptor, infrak jantung yang tidak nyeri dan kematian yang tiba-tiba(1, 6).

Sedangkan gangguan yang berhubungan dengan pembuluh darah koroner disebabkan


adanya kerusakan fungsi dari endotel yang menyebabkan meningkatnya pembentukan plak di
pembuluh darah(1, 6).

g. Komplikasi ekstrimitas bawah

Komplikasi lain yang dapat muncul adalah penyakit arteri perifer (peripheral arterial
disease). Hal ini sangat berkaitan dengan neuropati dan gangguan vaskular, terutama proses
pembentukan aterosklerosis pada pembuluh darah perifer. Kedua hal tersebut pada akhirnya
21

akan menyebabkan terbentuknya gangrene diabetik pada ekstrimitas bawah dan berujung pada
amputasi(1, 6).

h. Infeksi

Peningkatan risiko infeksi pada pasien dengan diabetes diakibatkan beberapa faktor, antara
lain(1, 6) :

1. Penurunan kewaspadaan. Hal ini berkaitan dengan gangguan penglihatan pada pasein
dengan diabetes kronis, sehingga terjadi penurunan kemampuan proteksi diri terhadap
22

risiko cedera. Trauma berulang dapat meningkatkan risiko munculnya luka terbuka,
kerusakan jaringan atau tulang.
2. Hipoksia. Keadaan hipoksia pada kulit, menyebabkan gangguan integritas kulit, dan
menurunkan fungsi proteksi terhadap infeksi. Keadaan hipoksia disebabkan glikosilasi
hemoglobin yang berlebihan, sehingga menurunkan kemampuan hemoglobin untuk
menghantar oksigen ke jaringan.
3. Patogen. Beberapa patogen yang merupakan flora normal, dapat melakukan proliferasi
yang sangat cepat dikarenakan tingginya kadar glukosa di dalam cairan tubuh. Glukosa
yang tinggi ini dapat dijadikan sumber energi untuk berproliferasi.
4. Aliran darah. Penurunan aliran darah yang diakibatkan oleh perubahan struktur pembuluh
darah dan disfungsi otonom menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan.
5. Supresi respon imun. Hiperglikemia kronis menekan sistem imun adaptif atau innate,
sehingga terjadi abnormalitas dalam respon vasoaktif, kemotaksis dan fagositosis. Dalam
keadaan ini, tanda klinis infeksi sering tidak terlihat pada pasien.
6. Lambatnya proses penyembuhan luka. Melambatnya sintesis dari kolagen dan penurunan
angiogenesis akan meningkatkan peluang infeksi pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Loscalzo FBKHLJ. Harrison's Principal of Internal Medicine. United States: McGraw Hills;
2015.
23

2. E. HJ. Guyton and Hall, Textbook of Human Physiologi. Phyladelphia. United States:
Elsevier; 2016.

3. Soebagijo Adi Soelistijo HN, Achmad Rudijanto,, Pradana Soewondo KS, Asman Mana.
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
Indonesia: PB PERKENI; 2015.

4. DeFronzo R. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment
of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes Journal. 2009.

5. Stanley S. Schwartz SE, Barbara E. Corkey, Struan F.A. Grant,, James R. Gavin III aRBA.
The Time Is Right for a New Classification System for Diabetes: Rationale and Implications
of the b-Cell–Centric Classification Schema. Diabetes Care 2016. 2016;41.

6. Katherin M. Patophysiologi, The Biologic Basis for Diseae in Adults and Children. 7th
Edition. St. Louis. United States: Elsevier; 2014.

Anda mungkin juga menyukai