Anda di halaman 1dari 8

7 Macam-Macam Penyakit Hati

dalam Islam
Oleh
Mufakir Ahmad

Penyakit hati itu sungguh berbahaya. Karena dampaknya sangatlah buruk:

 Berdosa, terancam siksa di Neraka


 Bisa mendatangkan adzab
 Merugikan dan membuat risih orang lain
 Kadang bisa membuat fisik sendiri juga jadi sakit
 Dan masih banyak lagi

Maka dari itu, pentinglah kita ketahui apa saja penyakit hati itu, agar kemudian
bisa kita cegah. Nah, setidaknya, ada 7 penyakit hati yang lumayan
mengerikan. Berikut ini dia.

1. Takabbur
Takabbur itu artinya sombong.

Ngerinya sombong ini, dia bisa jadi kita sadari atau tidak. Sudah begitu, nyata-
nyata meresahkan orang lain.

Misalnya, tatkala ada seseorang yang hendak menasehati kita, tapi kita
malah menolaknya. Kita manganggap diri kita sudah benar, hebat, dan pintar;
tidak ada yang salah sama sekali. Jadi tidak perlu mendengarkan apa-apa
masukan dari orang lain. Karena orang lain itu kebanyakan salah, bodoh, dan
tidak berguna. Padahal, bisa jadi itu hanya anggapan saja, bukan realita.
Sombong prakteknya bisa bermacam-macam. Namun intinya sombong itu
adalah merendahkan orang lain dan menolak kebenaran.

Beberapa contoh orang-orang sombong yang dimusnahkan oleh Allah


diantaranya adalah: Firaun, Raja Namrud, Qarun, dan lain-lain.

Allah SWT berfirman: Janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan penuh
kesombongan(QS al-Isra’ [17]: 37).

Allah SWT pun berfirman (yang artinya): Itulah kampung akhirat yang Kami
jadikan bagi orang-orang yang tidak menghendaki kesombongan di muka bumi
dan tidak pula membuat kerusakan. Akibat kebaikan itu adalah bagi kaum yang
bertakwa (QS al-Qashash [28]: 83).

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk Surga orang yang di dalam
kalbunya ada sikap sombong meski sebesar biji sawi.”

Bagi mereka yang mengidap penyakit sombong, sebenarnya cara agar


sembuhnya agak mudah. Yaitu, cukup ‘buka mata’ saja untuk melihat fakta.
Karena kerapnya orang yang sombong itu adalah mereka yang tak melihat
fakta bahwa sejatinya dirinya tidak seperti yang ia khayalkan.

2. Riya’
Orang yang riya ’ itu dia memperlihatkan suatu amal sholeh kepada sesama
manusia. Misalnya:

 Ada seseorang yang dia itu sholatnya jadi diperbagus dan


diperpanjang hanya bila dilihat oleh orang lain. Supaya orang lain
melihatnya. Kalau orang lain sedang tidak ada, maka sholatnya asal-
asalan.
 Merekayasa penampilan dan tampang yang seolah islami,
supaya orang lain menganggap dirinya alim.
 Tiba-tiba mendadak jadi melakukan amal sholeh setelah dia telah
melakukan hal yang buruk, namun tujuannya supaya citra dirinya jadi
bagus di pandangan orang lain. Bukan karena semata-mata untuk
mendekatkan diri pada Allah.

Pengertian Riya Menurut Istilah adalah melakukan ibadah, dengan niat ingin
nantinya dipuji manusia, dan tidak berniat beribadah kepada Allah semata.

Menurut Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Baari
berkata: “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu
mereka memuji pelaku amalan itu”.

Menurut Imam Al-Ghazali, riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia
dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan.

Riya’ ini bisa muncul kapan saja. Bisa saat sebelum beramal, ataupun saat
sedang beramal.

“Janganlah kalian menghilangkan pahala shadaqah kalian dengan menyebut-


nyebutnya atau menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang
menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak berimana
kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah: 264)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang


lalai dari shalatnya, yang berbuat karena riya.” (QS. Al Maa’uun 4-6)
3. Ujub
Ujub adalah sikap mengagumi diri sendiri, karena merasa lebih dari yang lain.
Berbangga diri gitu.

Mungkin agak mirip dengan takabbur. Namun kalau ujub, belum tentu sambil
berkeyakinan menolak kebenaran.

Kalau menurut Imam Al-Ghazali, “Perasaan ‘ujub adalah kecintaan seseorang


pada suatu karunia dan merasa memilikinya sendiri, tanpa mengembalikan
keutamaannya kepada Alloh.”

Meski tentu tidak selalu, namun bisa jadi seseorang itu menjadi ujub karena
dipicu oleh:

 Mendapatkan banyak pujian-pujian dari orang lain


 Banyak berhasil beberapa kali
 Memiliki wewenang besar dan langka, yang bila dimanfaatkan akan
sangat memudahkan yang biasanya sulit
 Terkenal
 Memiliki banyak pengetahuan
 Fisik dan penampilan yang baik dan menarik
 Dan lain-lain…

Yang pasti, ujub itu terjadi bila telah berhenti dari berdzikir kepada Allah.

“Bagi Allah semua kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
antaranya.” (QS. Al Maidah: 120)

Rasulullah Saw bersabda, “Tiga hal yang membinasakan: Kekikiran yang


diperturutkan, hawa nafsu yang diumbar, dan kekaguman seseorang pada
dirinya sendiri.” (HR. Thabrani)
4. Sum’ah
Kata “sum’ah” berasal dari kata “samma’a”, yang artinya secara bahasa adalah
“memperdengarkan”.

Sedangkan definisinya secara istilah, sum’ah adalah sikap seorang muslim yang
membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak
diketahui atau tersembunyi- kepada manusia lain, agar dirinya mendapatkan
kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan
keuntungan materi.

Hmm, mungkin sebagian dari Anda ada yang bingung, terus bedanya apa
antara sum’ah ini dengan riya yang sebelumnya?

Dalam kitab Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani ada mengetengahkan
pendapat Izzudin bin Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah.
Bahwa riya adalah sikap seseorang yang beramal bukan untuk Allah; sedangkan
sum’ah adalah sikap seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah,
namun ia bicarakan hal tersebut kepada manusia.

Sehingga, menurut beliaiu, semua riya itu termasuk perbuatan tercela.


Sedangkan sum’ah, bisa jadi termasuk amal terpuji jika ia melakukannya
karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia
membicarakan amalnya di hadapan manusia.

Dalam Al-Qur’an Allah telah memperingatkan tentang sum’ah dan riya ini: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si
penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada
manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264)
Rasulullah Saw juga memperingatkan dalam haditsnya, “Siapa yang berlaku
sum’ah maka akan diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah dan siapa yang
berlaku riya maka akan dibalas dengan riya.” (HR. Bukhari)

Diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah maksudnya adalah, diumumkan aib-


aibnya di akhirat. Sedangkan dibalas dengan riya, artinya diperlihatkan pahala
amalnya, namun tidak diberi pahala kepadanya.

5. Hasad
Hasad adalah merasa iri dengki pada kenikmatan dan kelebihan orang lain,
disertai harapan agar semua itu hilang dari orang lain itu. Baik disertai harapan
agar berpindah kepada dirinya, atau pokoknya asal lenyap saja.

Hasad hukumnya haram, baik dalam hal duniawi atau hal agama. Apalagi kalau
hasad itu disertai tindakan, perbuatan, atau ucapan, langsung atau tidak
langsung, agar kenikmatan/kelebihan itu hilang dari pemiliknya.

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:


“Janganlah kalian saling dengki, jangan saling menipu, jangan saling menjauhi,
dan jangan sebagian kalian membeli di atas pembelian yang lain. Jadilah kalian
sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara
bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzaliminya, enggan membelanya,
membohonginya dan menghinanya. Takwa itu di sini—Rasul menunjuk dada
beliau tiga kali. Keburukan paling keterlaluan seseorang adalah ia menghina
saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim lainnya itu haram
darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR Muslim dan Ahmad)

6. Taqtir
Taqtir itu artinya terlalu pelit. Tidak mau mengeluarkan harta, padahal wajib.
Imam Ibnu Jauzi dalam kitabnya at-thibbu ar-ruhi mendefinisikan kikir sebagai
sifat enggan menunaikan kewajiban, baik harta benda ajau jasa.

Kikir ini termasuk penyakit hati yang sangat membahayakan. Apalagi


kalau semakin banyak orang yang seperti ini, bisa-bisa semasyarakat akan
hancur. Lantaran, tiap orang memang punya hak dari orang lain. Kalau itu
ditahan, maka kebutuhan orang akan macet. Namun tentu alasan utamanya
adalah karena bila kewajiban ditahan, maka Allah akan murka, sehingga sulit
bahkan bisa saja mustahil mendapat berkah.

Rasulullah Saw bersabda: “Seburuk-buruk sifat yang ada pada seseorang


adalah sifat pelit yang sangat pelit dan sifat pengecut yang sangat pengecut.”
(HR. Ahmad)

Maka, apabila kita termasuk orang yang seperti itu, hendaknya


kita menghilangkan penyakit hati tersebut dengan cara
merenungkan bagaimana kondisi kita di Akhirat kelak bila sifat kikir itu
dipelihara terus-terusan. Malah bisa jadi balasan buruknya bukan sekadar
didapat di Akhirat, di Dunia pun bisa jadi dapat juga.

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan
kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang
mereka bakhilkan akan dikalungkan kelak di lehernya pada hari kiamat. Dan
kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 180)

“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta
mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya
(jalan) yang sukar” (QS. Al Lail: 8-10)
7. Panjang angan-angan
Orang yang terlalu panjang angan-angan pun berbahaya. Karena dia
mengerahkan segenap tenaganya, waktunya, dan uangnya untuk mengejar
keinginan-keinginannya; sembari melalaikan kewajibannya dan malah tak
peduli hal-hal yang diharamkan.

Orang seperti itu, seolah-olah atau memang menganggap dirinya tak akan mati,
atau matinya masih lama. Sehingga, dia tidak mempersiapkan bekal untuk
menghadapi hari Akhir.

“Orang berakal adalah yang tidak panjang angan-angannya. Karena, siapa saja
yang kuat angan-angannya, maka amalnya lemah. Siapa saja yang dijemput
ajalnya, maka angan-angannya pun tidak ada gunanya. Orang berakal tidak
akan meninggal tanpa bekal; berdebat tanpa hujah dan berbenturan tanpa
kekuatan. Dengan akal, jiwa akan hidup; hati akan terang; urusan akan
berjalan dan dunia akan berjalan.” (Ibn Hayyan al-Basti, Raudhatu al-‘Uqala’ wa
Nuzhatu al-Fudhala’)

Anda mungkin juga menyukai