Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah gangguan autoimun multisistem yang
mempengaruhi imunitas humoral dan selular. SLE dapat menyerang banyak sistem organ
sehingga awitan dan rangkaian penyakit sedikit beragam (Kyle & Carman, 2017). SLE
merupakan jenis lupus yang paling sulit dideteksi karena gejala pada penyakit ini sering
menyerupai penyakit lain, sehingga SLE sering kali disebut sebagai penyakit seribu wajah
(Waluyo & Putra, 2012). Sedangkan menurut Gergianaki & Bertsias (2018), Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kronis yang kompleks yang
memanifestasikan berbagai keterlibatan organ.

B. Etiologi
Faktor berisiko untuk SLE adalah gender yaitu 90% penderita SLE adalah wanita, usia
terbanyak umumnya penderita lupus berusia remaja hingga usia dewasa dan etnik yang
sering menderita SLE adalah berkulit gelap (Asia, Amerika, Hispanik) berisiko lebih tinggi
disbanding berkulit putih. Selain itu SLE dapat dipicu oleh kondisi saat pubertas, saat
melahirkan, selama menopause, setelah infeksi virus, setelah mengalami terauma,
memakai obat-obatan dalam jangka waktu lama dan setelah terpapar sinar matahari
(Waluyo & Putra, 2012)

C. Patofisiologi
Autoantibodi pada SLE bereaksi dengan antigen untuk membentuk kompleks imun.
Kompleks imun berakumulasi dalam jaringan dan organ, menyebabkan respons inflamasi
yang mengakibatkan vasculitis. Cidera terhadap jaringan dan nyeri terjadi. SLE dapat
menyerang banyak sistem organ sehingga gangguan atau kerusakan hebat pada jaringan di
manapun dalam tubuh dapat terjadi. Respon autoimun dapat didahului oleh reaksi obat,
infeksi, atau pajanan sinar matahari berlebihan. Gejala yang terjadi pada anak awalnya
terkait dengan hematologik dan musculoskeletal. Penyakit bersifat kronik, dengan periode
remisi (sembuh) dan eksaserbasi (flare-up) (Kyle & Carman, 2017).
Menurut Waluyo & Putra (2012), SLE berkaitan dengan sistem imunitas berlebihan.
Antibodi yang terbentuk dalam sistem imnitas tubuh untuk menyerang sumber penyakit
yang masuk kedalam tubuh belebihan. Akibatnya, antibody yang belebih ini menyerang
jaringan dan sel-sel tubuh yang sehat (autoimunitas). Antibodi yang berlebih dapat masuk
ke seluruh jaringan tubuh dengan dua cara yaitu antibody langsung menyerang jaringan
dan sel tubuh dan antibody yang dapat bergabung dengan antigen (zat perangsang
pembentukan antibody) yang membentuk ikatan yang disebut kompleks imun. Gabungan
antibody dan antigen tersebut ikut mengalir bersama darah dan jika tersangkut di salah
satu pembuluh darah kapiler maka dapat menyebabkan peradangan. Dalam kondisi
normal, kompleks imun ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) namun dalam kondisi
lupus, kompleks imun tidak sepenuhnya bisa dibatasi. Bahkan sel-sel radang semakin
banyak disertai pengeluaran enzim yang menimbulkan peradangan disekitar kompleks
imun. Akibatnya peradangan berkepanjangan, merusak dan mengganggu organ tubuh
yang bertempat pada perhentian kompleks imun. Gejalanya akan tampak sebagai penyakit.
Hal tersebut dikarenakan kompleks imun dapat mengikuti aliran darah, maka organ-organ
tubuh setiap sistem tubuh akan terancam. Dengan demikian penyembuhan penyakit lupus
sulit dilakukan.

Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal Faktor Lingkungan

SLE

(Systemic Lupus Evythomatasus)

Gejala & gambaran menurut ACR

(American Collage Of Rheumatology 1997)

Sistemik Kulit Oral Laboratorium

  Gangguan
 Arthritis  Butterfly Xerostomin
rash  Lesi darah
 Serositis
 Gangguan
 Ganggua  Discoid Ulserasi
rash  Lesi Diskoid imun
n ginjal
  Antibody
 Ganggua  Fotosensi Lesi Mirip
tivitas lichen antinuklir
n saraf
plamus (ANA)
PATHWAY SLE

D. Manifestasi Klinis
Berbagai gejala klinis tidak selalu terjadi secara bersamaan dan dapat berkembang
pada setiap tahap penyakit. Gejala sebagai bagian dari SLE adalah demam, kelelahan, dan
arthralgia adalah yang paling sering terjadi gejala spesifik pada awal penyakit adalah
pembengkakan sendi, ruam yang berbentuk seperti kupu-kupu atau butterfly rash terutama
pada wanita usia subur (Kuhn, et al., 2015). Kelelahan dilaporkan sebagai gejala yang
paling sering dirasakan oleh penderita SLE. Kelelahan merupakan salah satu gejala yang
paling sering mereka rasakan selain rasa sakit pada persendian dan otot (Garris, et al.,
2013).
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011), kecurigaan akan penyakit
SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria:
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterly / malar rash), fotosensitivitas, lesi membrane
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap penyakit lainnya.

E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011), pemeriksaan penunjang pada
penderita SLE dapat dijelaskan pada tabel berikut:
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar
dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang
Pleuritis didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura
Perikarditis b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction
rub atau terdapat bukti efusi perikardium
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Kriteria Batasan
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,
atau ketidak-seimbangan elektrolit).
b. b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolik (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat obatan.
Gangguan imunologik a. Anti DNA: antibodi terhadap native DNA dengan
titer yang abnormal
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid
didasarkan atas:
1) Kadar serum antibbodi antikardiolipin abnormal
baik IgG atau IgM
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan
metoda standar
3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurangnya 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi treponemia pallidum atau test
fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
Antibodi antinuklear Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
positif (ANA) pemeriksaan imunofl uoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang
diperlukan.

F. Penatalaksanaan
Menurut Gergianaki & Bertsias (2018) penatalaksanaan medis pada penderita SLE
adalah sebagai berikut:
1. Glukokortikoid dan obat antimalaria
Glukokortikoid adalah yang utama dalam manajemen lupus bersama dengan
imunosupresif atau obat biologik. Glukokortikoid terkait dengan efek jangka panjang
yang merugikan konsekuensi termasuk kerusakan organ. Terapi pemeliharaan kronis
SLE, dosis steroid tidak boleh lebih dari 5 mg / hari prednisone setara. Sebaliknya,
efek yang menguntungkan dari pengobatan jangka panjang dengan antimalaria, tidak
hanya pada pengendalian aktivitas penyakit tetapi juga untuk mengurangi kerusakan
organ dan tingkat kematian.
2. Terapi adjuvant
Terapi ajuvan harus dipertimbangkan untuk mengontrol komorbiditas pada
lupus, rekomendasi obat seperti anti-hipertensi, agen penurun lipid, hipoglikemik,
antiplatelet / antikoagulan, dan agen pelindung tulang. Perawatan ini aman dan manjur
pada pasien SLE seperti pada populasi umum, meskipun jumlahnya sangat sedikit studi
terkontrol untuk mendukung manfaat pada hasil jangka panjang.

G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Kyle & Carman (2017) pengkajian yang berhubungan dengan SLE
adalah sebagai berikut:
a. Riwayat Kesehatan
Kaji penjelasan lengkap sakit saat ini dan keluhan utama. Tanda dan gejala
umum yang dilaporkan selama riwayat kesehatan adalah riwayat keletihan,
demam, perubahan berat badan, nyeri atau pembengkakan pada sendi, baal,
kesemutan, atau rasa dingi pada ekstremitas, atau perdarahan yang memanjang.
Kaji untuk faktor risiko yang meliputi jenis kelamin, riwayat keluarga, infeksi
terbaru atau reaksi obat, dan pajanan terhadap sinar matahari yang berlebihan.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Observasi kulit untuk ruam malar (ruam yang berbentuk seperti kupu-kupu di
pipi).
2) Lesi discoid pada wajah, kulit kepala, leher, perubahan pada pigmentasi kulit
atau jaringan parut.
3) Terdapat alopesia.
4) Inspeksi rongga mulut terhadap ulkus/ulserasi yang tidak terasa nyeri dan
sendi terdapat edema.
5) Hipertensi dapat terjadi akibat terpengaruhnya ginjal.
6) Suara nafas tambahan dapat terjadi jika sistem pulmonal terpengaruh.
7) Nyeri tekan pada sendi
8) Nyeri tekan pada abdomen jika terjadi gangguan pada abdomen
c. Pemeriksaan Penunjang.
Terdapat penurunan haemoglobin dan hematokrit, penurunan hitung trombosit,
dan WBC rendah. Kadar komplemen C3 dan C4 akan menurun. Meskipun tidak
spesifik untuk SLE, amtibodi antinuclear (ANA), biasanya positif pada anak yang
mengalami SLE.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Herdman (2018), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
SLE adalah sebagai berikut:
a. Nyeri Akut
b. Ketidakefektifan Pola Nafas
c. Penurunan Curah Jantung
d. Hambatan Mobilitas Fisik
e. Gangguan Citra Tubuh
3. Intervensi Keperawatan
Manajemen keperawatan berfokus pada pencegahan dan pemantauan
komplikasi. Menurut Moorhead, et al (2013) dan Bulechek, et al (2013) sebagai
berikut:
Diagnosa Tujuan Intervensi
No
Keperawatan (NOC) (NIC)
1 Nyeri Akut a. Kontrol nyeri (1605) Manajemen nyeri
1) Mengenali kapan (1400)
nyeri terjadi 1) Observasi adanya
2) Menggambarkan petunjuk non verbal
faktor penyebab 2) Lakukan pengkajian
3) Menggunakan nyeri komperhensif
tindakan 3) Ajarkan prinsip-
pencegahan nyeri prinsip manajemen
4) Menggunakan nyeri
tindakan nyeri 4) Dukung istirahat
tanpa analgesik yang adekuat
5) Melaporkan nyeri 5) Berikan informasi
yang terkontrol yang akurat.
6) Melaporkan gejala 6) Libatkan keluarga
yang tidak dalam penurunan
terkontrol pada nyeri
Diagnosa Tujuan Intervensi
No
Keperawatan (NOC) (NIC)
profesional 7) Ajarkan teknik non
kesehatan farmakologi
b. Tingkat nyeri (2102) (distraksi dan
1) Nyeri yang relaksasi)
dilaporkan
2) Episode nyeri
berkurang
3) Ekspresi wajah
tenang
4) Dapat beristirahat
5) Tidak mengerang
dan menangis
2 Ketidakefektifan Status Pernafasan (0415) Terapi Oksigen
Pola Nafas 1. Frekuensi pernafasan 1. Berikan oksigen
normal sesuai yang
2. Irama pernafasan normal diperintahkan
3. Suara auskultasi nafas 2. Pertahankan
normal kepatenan jalan nafas
4. Kepatenan jalan nafas 3. Konsultasi dengan
5. Tidak sianosis tenaga kesehatan
6. Tidak ada pernafasan mengenai
cuping hidung penggunaan oksigen
tambahan selama
kegiatan tidur
4. Amati tanda-tanda
hipoventilasi
5. Monitor efektivitas
terapi oksigen

Monitor Pernafasan
1. Monitor kecepatan,
irama, kedalaman dan
kesulitan bernafas
2. Monitor suara nafas
tambahan
3. Monitor pola nafas
4. Auskultasi suara
nafas
5. Kaji perlunya
penyedotan pada
jalan nafas
6. Monitor hasil foto
thorax
3 Penurunan Curah Status Sirkulasi (0401) Pengaturan
Jantung 1) Tidak terjadi asites Hemodinamik
2) Tidak kelelahan 1. Lakukan
3) Wajah tidak pucat pemeriksaan
komprehensif
Diagnosa Tujuan Intervensi
No
Keperawatan (NOC) (NIC)
4) Tidak suara nafas terhadap status
tambahan hemodinamik
5) Penurunan suhu kulit dengan tepat
6) Tidak terjadi parathesia 2. Gunakan beberapa
paramete untuk
menentukan status
klinis pasien
3. Arahkan pasien dan
keluarga mengenai
pemantauan
hemodinamik
misalnya obat-
obatan, terapi dan
tujuan peralatan
4. Monitor adanya
tanda dan gejala
masalah pada status
perfusi
5. Lakukan auskultasi
pada jantung
6. Berikan obat
antiaritmia
7. Monitor efek obat
8. Minimalkan stress
lingkungan
9. Berkolaborasi
dengan dokter
4 Hambatan Pergerakan Exercise therapy :
Mobilitas Fisik 1. Bergerak dengan ambulation
mudah 1. Monitoring vital
2. Keseimbangan stabil sign
3. Dapat berjalan sebelum/sesudah
4. Gerakan sendi baik latihan dan lihat
5. Cara berjalan baik respon pasien saat
latihan
2. Konsultasikan
dengan terapi fisik
tentang rencana
ambulasi sesuai
dengan kebutuhan
3. Bantu klien untuk
menggunakan
tongkat saat
berjalan dan cegah
terhadap cedera
4. Ajarkan pasien atau
tenaga kesehatan
Diagnosa Tujuan Intervensi
No
Keperawatan (NOC) (NIC)
lain tentang teknik
ambulasi
5. Kaji kemampuan
pasien dalam
mobilisasi
6. Latih pasien dalam
pemenuhan
kebutuhan ADLs
secara mandiri
sesuai kemampuan
7. Dampingi dan
Bantu pasien saat
mobilisasi dan
bantu penuhi
kebutuhan ADLs
pasien.
8. Berikan alat bantu
jika klien
memerlukan.
9. Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika
diperlukan.

5 Gangguan Citra Citra Tubuh (1200) a. Peningkatan citra


Tubuh 1) Penyesuaian terhadap tubuh (5220)
tampilan fisik 1) Gunakan
2) Penyusuaian terhadap bimbingan
perubahan fungsi tubuh antisipasi terkait
3) Penyesuaian terhadap perubahan citra
status kesehatan tubuh
4) Kepuasan dengan 2) Kaji perasaan
penampilan tubuh tidak suka
terhadap
perubahan fisik
3) Monitor apakah
pasien bisa
melihat bagian
tubuh yang
berubah
4) Bantu pasien
mendiskusikan
stressor
b. Peningkatan harga
diri (5400)
1) Monitor
pernyataan
Diagnosa Tujuan Intervensi
No
Keperawatan (NOC) (NIC)
pasien mengenai
harga diri
2) Dukung pasien
untuk bisa
mengidentifikasi
kekuatan
3) Bantu pasien
mengidentifikasi
respon positif
dari orang lain
4) Bantu pasien
untuk menerima
ketergantungan
pada orang lain
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. 2013. Nursing
Interventions Classification (NIC). United States of America: Elsevier.
Garris, C., Oglesby, A., Sulcs, A. & Lee, M., 2013. Impact of Systemic Lupus Erythematosus
on burden of illness and work productivity in the United State. Lupu, pp. 1977-1086.
Gergianaki, I. & Bertsias, G., 2018. Systemic Lupus Erythematosus in Primary Care: An
Update and Practical Messages for General Practitioner. Frontiers in Medicine, Volume
5, pp. 1-12.
Herdman, H. T., & Kamitsuru, S. 2018. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-
2020 . Jakarta: EGC.
Hikmah, Z. & Prihaningtyas, R. A., 2018. Bersahabat dengan Lupus. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Kuhn, A. et al., 2015. The Diagnosis and Treatment of Systemic Lupus Erythematosus.
Deutsches Ärzteblatt International , Volume 112, p. 423–32.
Kyle, T. & Carman, S., 2017. Buku Ajar Keperawatan Pediatri. 2 ed. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC). United States of America: Elsevier.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Waluyo, S. & Putra, B. M., 2012. 100 Question and Answer Lupus. 1st ed. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai