Anda di halaman 1dari 27

1

SEJARAH PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN DI NUSANTARA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model

sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang

ditemukan saat ini. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai

bahan kajian.

Pendidikan Pondok Pesatren merupakan Lembaga Pendidikan Islam yang keunikannya serta simbol – simbol yang

dipergunakannya tidak akan pernah ditemukan di Lembaga Islam mananapun didunia, sebuah lembaga pendidikan

yang sama sekali berbeda dari pakem induknya, yang denganya proses islamisasi jawa, tidak meneteskan darah

dalam upaya penyebaran ajaran agama, sebuah revolusi agama tanpa ada sama sekali korban nyawa, agama yang

pada awalnya ditolak mentah – mentah dipulau jawa ini, dengan ketelitian dan penelitian mendalam oleh tokoh –
2

tokoh islam pada masa awal penyebaran ajaran islam di Indonesia telah mengantarkan pada keberhasilan

penyebaran islam di bumi jawa.1[1]

Pondok Pesatren merupakan Pusat Transformasi Ajaran Islam tertua di Indonesia dengan sistem lingkungan

pendidikan yang integral, menurut Agus Sunyoto ada dua hal yang dilakukan sekaligus oleh Pondok Pesatren

Sebagai Lembaga Pendidikan; (1) Proses Pendidikan; dengan Pendidikan Pondok Pesatren melakukan

Pembentukan karakter dan, (2) Proses Pengajaran; dengan Proses Pengajaran Pondok Pesatren melakukan

pengembangan nalar.2[2] Abdurrahman Wahid menyamakannya dengan sistem yang dipergunakan Akademi

Militer dengan dicirikan pada adanya sebuah bangunan beranda yang disitu ada seseorang dapat mengambil

pengalaman secara integral, menurutnya ada tiga elemen yang mampu membentuk Pondok Pesatren; (1) Pola

Kepemimpinan pondok pesatren yang mandiri tidak pernah terkooptasi oleh negara, (2) Kita – kitab rujukan

1[1] Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Suluk Abdul Jalil Edisi ke 4, tokoh sentral yang telah meneliti bagaimana supaya
Islam bisa diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat agama hindu – bhuda adalah syekh Lemah
Abang atau yang lebih dikenal dengan Syekh Siti Jenar yang mempunyai nama kecil San Ali, atau Abdul Jalil (santri generasi
pertama Padepokan Giri Amparan Jati) yang dalam kaca mata kita dianggap bid’ah ajarannya, beliaulah yang menelorkan
adanya sebuah konsep Pendidikan Pondok Pesatren, , merupaka orang yang telah meneliti bagaimana supaya Islam bisa
diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat agama hindu – bhuda

2[2] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar Barat Disajikan dalam Work
Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda
3

umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dan, (3) Sistem nilai (Volue System) yang digunakan adalah

bagian dari masyarakat luas_Inilah yang menurut Abdurrahman Wahid kemudian disebut ciri Pondok Pesatren

sebagai Sub Kultur.3[3]_ Dengan demikian Pendidikan Pondok Pesantren merupakan pola pendidikan integral

antara yang religius dengan Pendidikan sosial yang merupakan pusat pengembangan ilmu yang bernafaskan islam

dengan spesifikasi untuk mempertahankan ajaran al-sunnah dengan mengembangkan kajian keilmuan melalui

khazanah kitab kuning_yang belakangan mengalami perkembangan sangat pesat tidak hanya pada khazanah kitab

kuning juga sudah merambah pada pendidikan umum, inilah yang membawa banyak pakar, baik lokal maupun

internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian

Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman

dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem

dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau

di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat,

negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan

besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan

pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan.

3[3] Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, Said Aqiel Siradj et al. Cet. Bandung : Pustaka Hidayah, 1999. Hal. 13-14
4

Dengan demikian Pendidikan Pondok Pesantren perlu dibaca sebagai warisan sekaligus kekayaan kebudayaan-

intelektual Nusantara, lebih dari itu, dalam sejumlah aspek tertentu, pesantren juga harus dipahami sebagai

benteng pertahanan kebudayaan itu sendiri karena peran sejarah yang dimainkanya.4[4] maka tidak heran kalau

kemudian Abdurrahman Wahid menyebutnya sebagai Sub Kultur disebabkan kemampuan untuk melakukan

transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya.5[5]

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang diatas penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut; (1) Apa yang

melatarbelakangi munculnya Pendidikan Pondok Pesatren, (2) Elemen –elemen yang membentuk Pondok

Pesatren? (3) dan, macam – macam tipologi Pondok Pesantren?

4[4] Ibid Pengantar Penyunting Buku Pondok Pesantren Masa Depan, Hal 7.

5[5] Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS ,2001, hal 10
5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Pondok Pesantren

Jauh sebelum masa kemerdekaan, pondok pesantren (selanjutnya disebut pesantren) telah menjadi sistem
pendidikan nusantara. Hampir di seluruh peloksok nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam telah
terdapat lembaga pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti
Meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa. Namun demikian, secara historis awal
kemunculan dan asal-usul pesantren masih menyisakan kontroversi di kalangan para ahli sejarah.

Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi ini merupakan lembaga pendidikan Islam hasil
adopsi dari luar. Sebut saja Karel A. Steenbrink dan Martin van Bruinessen yang memandang bahwa pesantren
bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal Indonesia. Jika Steenbrink—yang mengutip dari Soegarda
Poerbakawatja—memandang pesantren diambil dari India, maka Bruinessen berpendapat bahwa pesantren berasal
dari Arab. Kedua-duanya memiliki pendapat untuk memperkuat pendapatnya masing-masing.

Ada dua alasan yang dikemukakan Steenbrink untuk memperkuat pandangan bahwa pesantren diadopsi dari
India, yaitu alasan terminologi dan alasan persamaan bentuk. Menurutnya, secara terminologis, ada beberapa
6

istilah yang lazim digunakan di pesantren seperti mengaji dan pondok, dua istilah yang bukan dari Arab
melainkan dari India. Selain itu, sistem pesantren telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan
pengajaran agama Hindu di Jawa. Selain Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem dan istilah-istilah di atas
kemudian diambil oleh Islam.

Sementara itu, dari segi bentuknya ada persamaan antara pendidikan Hindu di India dan pesantren di Jawa.
Persamaan bentuk tersebut terletak pada penyerahan tanah oleh negara bagi kepentingan agama yang terdapat
dalam tradisi Hindu. Persamaan lainnya terletak pada beberapa hal yaitu seluruh sistem pendidikannya bersifat
agama, guru tidak mendapatkan gaji, penghormatan (ihtirâm) yang besar terhadap guru, dan para siswanya
meminta sumbangan ke luar lingkungan pesantren.

Selain itu, letak pesantren yang didirikan di luar kota juga membuktikan bahwa asal-usul pesantren berasal
dari India.
Sementara itu Bruinessen berpendapat bahwa pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia besar kemungkinan berasal dari Arab. Alasannya tentang posisi Arab—khususnya Mekah dan
Madinah—sebagai pusat orientasi bagi umat Islam. Ia memberi contoh salah satu tradisi 'kitab kuning' di
pesantren. Baginya, 'kitab kuning' yang berbahasa Arab merupakan salah satu bukti bahwa asal usul pesantren dari
tanah Arab. Tentang 'kitab kuning' ini, lebih lanjut beliau menulis sebagai berikut:

"Tradisi kitab kuning jelas bukan tradisi dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia berbahasa
Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di Indonesia. Demikian juga banyak kitab syarah atas teks
klasik yang bukan dari Indonesia (meskipun syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak). Bahkan,
7

pergeseran perhatian utama dalam tradisi tersebut sejalan dengan pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar
pusat dunia Islam. Sejumlah kitab dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi tidak ditulis di Indonesia, melainkan
di Mekah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi orang Indonesia sendiri)."

Selain bukti tradisi 'kitab kuning', Bruinessen juga menunjukkan bukti lain yang menunjukkan bahwa asal-
usul pesantren dari tanah Arab. Menurutnya, pola pendidikan pesantren menyerupai pola pendidikan madrasah
dan zāwiyah di Timur Tengah. Jika madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam di luar masjid, maka zāwiyah
merupakan lembaga pendidikan Islam yang berbentuk lingkaran dan mengambil tempat di sudut-sudut masjid.
Kedua lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan tempat belajar para calon ulama termasuk yang berasal dari
Indonesia. Mengingat kiai-kiai besar hampir semua menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat-pusat
pengajaran Islam terkemuka di tanah Arab, maka pola pendidikan yang mereka kenal tersebut dikembangkan di
tanah air dalam bentuk pesantren.

Pendapat Steenbrik dan Bruinessen yang menyatakan bahwa asal usul pesantren dari India dan Arab, perlu
ditelaah kembali kebenarannya. Mengingat beberapa istilah Jawa yang digunakan di pesantren, pendapat bahwa
asal-usul pesantren dari India atau Arab tidak dapat diterima. Nurcholish Madjid mencatat ada 4 (empat) istilah
Jawa yang dominan digunakan di pesantren, yaitu: santri, kiai, ngaji, dan njenggoti. Kata "santri" yang digunakan
untuk menunjuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa Jawa cantrik yang berarti seseorang yang selalu
mengikuti guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan untuk mempelajari ilmu yang dimiliki oleh sang guru.
Istilah lain untuk menunjuk guru di pesantren adalah kiai yang juga berasal dari bahasa Jawa. Perkataan kiai untuk
laki-laki dan nyai untuk perempuan digunakan oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Kata kiai dan nyai
dalam hal ini mengandung pengertian rasa ihtirām terhadap orang tua.
8

Istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihkan oleh banyak kalangan sehingga terjadi banyak

penafsiran tentang istilah – istilah tersebut disebabkan memang istilah yang dipakai ini tidak akan pernah

ditemukan pada pakem induknya.

Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau

wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang

jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan

akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap

sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat

berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Clifford Geertz, pengertian pesantren di

turunkan dari bahasa India shastri artinya ilmuan hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah

tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis.6[6]

6[6] Ali Farhan,Pendidikan Pesantren dan Proses Pembentukan Nilai (Online). (http://www.scribd. com/doc/24468955/Pendidikan-
Pesantren-Dan-Proses-Pembentukan-Nilai diakses 28 Juni 2010)
9

Sedangkan menurut Agus Sunyoto lebih rinci menjelaskan bahwa istilah Pondok Pesatren pertama kali

dikenalkan oleh murid Padepokan Giri Amparan Jati generasi ke empat yaitu Raden Sahid (Syaikh Malaya, atau

Sunan Kalijaga) pada saat musyawarah pergantian kepemimpinan ketika Pendiri Padepokan Giri Amparan Jati

Syaikh datuk Kahfi mangkat. Istilah Pondok Pesatren berasal dari kata Pondok yang diambil dari kata Funduq

yang berarti Penginapan, sedangkan kata santri diambil dari bahasa sansekerta Syastri yang berarti orang yang

mempelajari kitab suci. Kemudian kedua kata tersebut dipadukan menjadi Pondok Pesatren yang bermakna

“Tempat tinggal para murid yang mempelajari kitab suci”7[7]

Dari semua pemaparan para ahli dapat kita simpulkan bahwa Pondok Pesantren merupakan pusat pendidikan

keislaman yang para muridnya di-asrama-kan dalam rangka memahami kitab suci yang diharapkan menghasilkan

generasi penerus keberlangsungan penyebaran ajaran agama islam yang militan pada masa yang akan datang

dengan melestarikan ajaran – ajaran islam semasa nabi Muhammad SAW. serta dalam rangka mencetak manusia

– manusia yang taat terhadapa agama.

7[7] Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku 3 Cet. 4 Yokyakarta : LKiS
Hal 103
10

B. Latar Belakang Pendidikan Pondok Pesantren

Tidak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan tepatnya istilah pondok pesantren itu mulai

diperkenalkan masih ada banyak silang pendapat tentangnya sehingga kita sulit untuk menentukan Pondok

Pesantren mana yang pertama kali didirikan, Menurut Abdurrahman Wahid, kebanyakan pesantren didirikan

sebagai salah satu bentuk reaksi terhadap pola kehidupan tertentu, dan dengan demikian berdirinya pesantren itu

sendiri juga menjadi salah satu bagian dari tranformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu panjang...8[8]

menurut Wahjoetomo, model pesantren di pulau jawa mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman

wali songo. Menurutnya pondok pesantren yang pertama kali ada adalah pondok pesantren yang didirikan oleh

Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi.9[9]

Menurut Dr. Suryadi Siregar DEA, ada dua pendapat mengenai asal usul Pesantren pertama ia

menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat. Pesantren mempunyai kaitan yang

erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam

di Inonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya

kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang

8[8] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi;Esai-esai Pesastren, hlm 12.

9[9] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm 70
11

disebut Kiai itu mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh hari dalam satu tahun

dengan cara tinggal bersama, sesama angota tarekat dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah

dibawah bimbingan Kiai. Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan

tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para

pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan agama Islam. Aktifitas yang

dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya

lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga Pesantren. Kedua pesantren yang kita kenal

sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang

Hindu di Nusantara.10[10] Pendapat kedua ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Agus Sunyoto dalam

sebuah Work Shope Kaum Muda Nahdhatul Ulama yang diselenggarakan di Kediri pada tanggal 25 September

2005 (Sejarah Pendidikan Pesantren dan bagaimana Nalar Barat menghabisi Dunia Pesantren).

Dengan sangat rinci Agus Sunyoto menjelaskan tentang latar belakang proses munculnya Pendidikan

Pondok Pesantren, bahwa keberadaan Pondok Pesatren tidak lepas dari pengaruh masuknya ajaran agama Islam ke

10[10] Dr. Suryadi Siregar DEA, Pesantren sebagai sekolah tinggi di seminarkan di Kampus STMIK Bandung tanggal, 12 Desember 1996
(On line). (http://personal.fmipa.itb.ac.id/suryadi/files/2008/0 /pontrenmodelpt.pdf. diakses tanggal 14 Juli 2010)
12

Indonesia dan merupak anti tesis dari penolakan – penolakan penduduk lokal jawa terhadap ajaran Islam_yang

semula merupakan pusat keagamaan Hindu-Bhuda,

Menurutnya orang – orang Islam masuk ke Indonesia sekitar tahun 670 M. pada masa kholifah Ali Bin Abi

Tholib, orang – orang Islam ini berasal dari Negri Yaman yang sama sekali tidak mendapat sambutan dari

penduduk lokal karena pengaruh asumsi bahasa_karna kebiasaan para bangsawan arab memakai gelar Yamani,

sedangka kata Yamani dalam Bahasa Jawa Kuno adalah tempatnya dewa yama pencabut nyawa yang ada di

neraka jadi Yamani adalah Neraka. Pada abad 9 M. Juga ada perpindahan suku – suku di negri persia menuju

kenegri jawa, yang juga tidak ada sambutan dari penduduk lokal, kemudian 1386 M. terjadi imigrasi besaran –

besaran penduduk muslim Cina ke selatan 11[11]

Ini dapat dilihat dari penjelasan Marcopolo ketika singgah dipelabuhan Perlak pada abad 12 M ia menjelaskan

bahwa waktu itu penduduk kota perlak ada tiga kelompok Pribumi penyembah berhala, penduduk Cina Muslim

dan Arab Muslim, dan juga bisa dilihat dari catatan H. Ma’huan salah seorang juru tulis Laksama Cheng Ho yang

masuk ke Aceh pada tahun 1405 M. Ia menyebutkan ada tiga kelopok penduduk, sama seperti pernyataan

11[11] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar Barat Disajikan dalam
Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda NU. Kediri 25-27 September
13

marcopolo dan ia menyebutkan Laksamana Cheng Ho pernah berlabuh dipelabuhan tuban dalam catatan

perjalannya dituliskan bahwa peduduk disekitar pelabuhan tuban mayoritas Cina Muslim, 12[12]

Baru pada tahun 1440 M. Raden Rahmat (Sunan Ampel) pindah dari Negeri campa menuju jawa, waktu

itu penduduk lokal sama sekali belum mau menerima Ajaran Islam. Kemudian Raden Rahmat pindah ke ngampel

delta mendirikan padepokan untuk dijadikan pusat belajar agama islam, wilayah ini kemudian dikenal dengan

sebutan Padepokan Ampel Delta. 13[13]

Menurut Slamet Muljana (2005:48) yang dikutip dari Serat Kanda dalam Pararaton, terbitan Dr. J.

Brandes, Raden Sayid Rahmat14[14] (Sunan Ampel) datang dari Campa menuju Jawa untuk menemui saudara

ibunya Putri Dwarawati, istri dari Angkawijaya (Raja Majapahit), Raden Sayid Rahmad diterima baik oleh Prabu

Angkawijaya yang kemudian diizinkan menetap di Daerah Ngampel.

Setelah Sunan Ngampel baru kemudian Datuk Saleh dan Datuk Kahfi datang dari daratan cina menuju tanah jawa,

kemudian menetap di Cerebon mendiami daerah Giri Amparan Jati mendirikan sebuah padepokan yang kemudian

12[12] Ibid

13[13] Ibid

14[14] Dalam Preambule Prasaran, berita dari Klenteng Sam Po Kong di semarang nama lain dari Sunan Ngampel atau Sayid
Rahmatullah adalah Bong Swi Hoo
14

juga dikenal dengan sebutan padepokan Giri Amparan Jati pada saat itu penduduk lokal jawa mayoritas masih

menganut agama Hindu-Budha, dan anggapan bahwa agama Islam adalah agamanya para pembesar kerajaan,

karna disinyalir waktu itu para pembesar kerajaan telah memeluk agama Islam.15[15] Dalam perkembangannya

Padepokan Giri Amparan Jati berkembang pesat menjadi ratusan murid yang berasal dari daerah dermayu, tegal,

semarang, dan demak.

Berangkat dari penolakan inilah kemudian para wali mulai berfikir, bagaimana agar ajaran islam ini bisa diterima

seluruh penduduk jawa, lalu dilakukan penelitian tentang bagaimana cara supaya ajaran islam bisa diterima tanpa

harus ada darah yang mengalir dalam proses islamisasi yang akan dilakukan nanti_menurut Agus Sunyoto orang

yang banyak meneliti tentang kultur masyarakat jawa waktu itu adalah syekh Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar).

Nama Pondok Pesantren sebenarnya di cetuskan dalam sebuah musyawarah dewan guru yang dibentuk ketika

syaikh Datuk Kahfi (Sunan giri 1) mangkat, dewan guru tersebut adalah Syaikh Abdul Jalil, Syaikh Ibrahim

Akbar, K Gedeng Pasambangan, Ki Gedeng Babatan, Ki Gedeng Surantaka, Haji Musa bin Hasanuddin, Syaikh

Jurugem bin Hasanuddin, Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, Syarif Hidayatulla, Raden Sahid, dan Raden

Qosim. kemudian forum musyawarah ini mempercayakan atau mengangkat Raden Syarif Hidayatullah sebagai

15[15] Bisa dilihat di bukunya Agus Sunyoto, Suluk Sang Pembaharu;Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku 3. Cet Ke
IV Yogyakarta: LkiS, 2004.
15

ketua dewan guru atau pengasuh dari padepokan giri amparan jati. Dan dalam sidang yang sama kemudian Syarif

Hidatullah mengusulkan agar nama padepokan di rubah menjadi pondok yang kemudian atas usul raden sahid

nama pondok di tambah dengan pesantren untuk membedakan padepokan tempat orang hindu belajar agamanya

dengan orang islam yang mencari ilmu.16[16]

Terlepas benar dan tidaknya semua pemaparan yang ada di atas, pembaharuan yang dilakukan oleh para penyiar

islam pada masa itu dapat dilihat dari berbagai budaya yang teraplikasi dalam ajaran Islam jawa pada hari ini,

tidak terdapat dalam ajaran Islam yang ada dimanapun, hal ini dapat dilihat bagaimana sebuah transformasi

budaya Islam terhadap budaya Hindu-Budha telah terjadi dalam sebuah pembaharuan budaya, apa yang dilakukan

oleh para penyiar Islam masa itu suatu langkah yang sangat tepat karna menurut Cillford Geertz yang dikutip dari

Ward Goodenough; kebudayaan ditempatkan dalam pikiran–pikiran dan hati manusia, jadi suatu kebudayaan

masyarakat terdiri dari apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang supaya dapat berjalan dengan

suatu cara yang dapat diterima oleh anggota-anggotanya.17[17] Tidak heran kalau kemudian proses islamisasi

16[16] Agus Sunyoto, Suluk Sang Pembaharu, Ibid hal. 213

17[17] Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of Culture: Selected Essays. Yogyakarta:
Kanisius. 1992. hal 13.
16

yang dilakukan oleh para wali waktu itu perkembangan sangat cepat, karna memang apa yang silakukan oleh para

da’i islam waktu itu memang masuk dalah roh budaya penduduk lokal.

C. Elemen – Elemen Pesatren

Zamakhsyari Dhofier, dalam karyanya ‘Tradisi Pesantren’ menentukan bahwa untuk berstatus sebagai pesantren

seharusnya ada lima elemen yang pokok, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan

seorang kiai18[18]

1. Kyai; adalah elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Ia merupakan penggagas atau
pendiri, oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran
seorang kyai Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan madura sosok kyai begitu sangat
berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat di segani oleh masayrakat di lingkungan
pesantren.19[19]. Dhofier berpendapat “Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering
kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga
dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, teritama oleh kebanyakan
orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan ke khususan mereka dalam bentuk-bentuk

18[18] Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai LP3ES Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial. P18. 1982

19[19] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta, 2005, hlm 28
17

pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah dan surban”20[20]. Menurut Agus Sunyoto,
sebutan kyai merupakan gelar kebangsawanan umat hindu yang di adopsi oleh umat islam, kyai adalah
orang yang disegani, orang yang faham dan mendalam tentang ilmu agamanya.
2. Pondok; adalah tempat mukim para santri yang belajar tengtang teks-teks keagamaan, sebuah
asrama pendidikan islam tradisional di mana para santri tinggal bersama, belajar di bawah bimbingan
seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan sebutan “kyai”. Tempat mukim para santri ini berada
dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal, tempat mukim para santri ini
merupakan ciri khas tradisi pesantren jawa yang membedakannya dengan system pendidikan tradisional di
masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah islam di Negara-negara lain. Amin Haedari,
berpendapat Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama,
kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam menarik santri-santri dari jauh.
Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri
tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir
semmua pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk
dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri.
Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah
sebagi bapaknya sendiri, sedangkan menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa
di lindungi. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak untuk dapat menyediakan
tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak para sntri tumbuh perasaan pengabdian kepada

20[20] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 56


18

kyainya, sehingga para kyainya memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi
kepentingan pesantren dan keluarga kyai.21[21]

3. Masjid; merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat
yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat
jum’ah, dan mengajarkan kitab-kitab klasik. Kedudukan masjid merupakan pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren, manivestasi universalisme dari system pendidikan tradisional. Dengan kata lain kesinambungan
system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi
Muhammad saw tetap terpancar dalam system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat
pendidikan islam. Dimanapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunaka masjid sebagi tempat
pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural. Lembaga-lembaga pesantren jawa
memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid
sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban
sembahyang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain. Seorang kyai
yang ingin megembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-pertama akan mendirikan masjid di dekat
rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup
memimpin sebuah pesantren.22[22]

21[21] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta, 2005, hlm 32

22[22] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 49


19

4. Santri; orang yang belajar kitab teks – tek keagamaan, Menurut pengertian yang dalam lingkungan orang-
orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilaman memiliki pesantren dan santri yang tinggal
dalam pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu santri adalah elemen
penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi psantren, terdapat dua
kelompok santri:

a. Santri mukim yaitu murid-murid yangn berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kelompok
pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tingGal di pesantren tersebut biasanya mdrupakan
suatu kelompgk tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-
hari;mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santRi-santri m5da tentang kitab-kitab dasar $an
menengah.
b. Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren; yang biasanya
tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil
dan pesantren besar dapat dilihat d!ri komposisi santri kalong. Sebuah besar sebuah pesantren, akan
semakin besar jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri
kalong dari pada santri mukim.23[23]

23[23] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 52


20

c. Selain dua istilah santri diatas ada juga istilah “santri kelana” dalam dunia pesantren. Santri kelana
adalah santri yang bepindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hanya untuk
memperdalam ilmu agama. Santri kelana ini akan selalu berambisi untuk memiliki ilmu dan keahlian
tertentu dari kyai yang di jadikan tempat belajar atau di jadikan gurunya. Hampir semua kyai atau
ulama’ di jawayang memimpin sebuah pesantren besar, memperdalam pengetahuan dan memperluas
penguasaan ilmuagamanya dengan cara me.gembara dari pesantren ke pesantren (berkelana). Nah,
setelah pesantren mengadopsi system pendidikan modern seperti sekolah atau madrasah, tradisi kelana
ini mulai di tinggalkan.24[24]

5. Pengajaran Kitab Kuning; berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik,
khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab tanpa harakat
atau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya methode yang secara formal `i ajarkaj dalam
pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri dating dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan
inginmemperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kita` Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab TafSir, Hadits, dan lain
sebagainya. Para santri juga biasanya mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu dan
Sharaf), guna menggali makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut. Ada beberapa tipe pondok
pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf, modern, pondok takhassus al-Qur’an. Boleh jadi
lembaga, lembaga pondok pesantren mempunyai dasar-dasar ideology keagamaan yang sama dengan
pondok pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren yang bersifat personal
dan sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai. Keseluruhan kitab-kitab klasik

24[24] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta, 2005, hlm 37
21

yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan ke dalam delapan kelompok yaitu, 1). Nahwu (sintaksis)
dan saraf (morfologi), 2)fiqih; 3)ushul fiqih; 4)hadits; 5) tafsir; 6)tauhid; 7) tasawuf dan etika; 8) cabang-
cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks
yang berdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan tasawuf.25[25] Agar bisa
menerjemahkan dan memberikan pandangan tentang isi dan makna dari teks kitab tersebut, seorang kyai
ataupun santri harus menguasai tata bahasa Arab (balaghah), literature dan cabang-cabang pengetahuan
agama islam yang lain.26[26]

Sedangkan Metode Pengajaran dilakukan dengan sistematis mulai dari pengenalan teori sampai pada
tingkat praksis (teknis melaksanakannya), Metode Pengajaran Pondok Pesantren terbagi menjadi tiga yaitu :
a. Wetonan, yakni suatu metode kuliah dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang

menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing – masing dan mencatat jika perlu. Dilakukan setelah

sembahyang fardhu. Di jawa barat metode ini dikenal dengan Bandongan, sedangkan di Sumatra di kenal

dengan sebutan Halaqah

b. Sorogan yakni suatu metode dimana santri menghadap kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab

yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling rumit dari keseluruhan metode

25[25] HM. Amin Haedari, dkk, Op Cit hlm 39

26[26] HM. Amin Haedari, dkk, Ibid hlm 41


22

Pendidikan Islam Tradisional sebab sistem ini menuntut kesabaran kerjinan, ketaatan, dan disiplin pribadi

santri/ kendatipun demikian, metode ini dianggap paling intensif karna dilakukan seorang demi seorang dan

ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.

c. Hafalan yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat terntentu dari kitab yang

dipelajarinya27[27]

D. Tipologi Pesantren

Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk hingga

substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan

seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan

zaman. Menurut Yacub yang dikutip oleh Khozin (2006:101) mengatakan bahwasanya ada beberapa pembagian

pondok pesantren dan tipologinya yaitu :

1. Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik dan

tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam

pesantren salaf, yaitu dengan metode sorogan dan weton.

27[27] Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasullah sampai
Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana
23

2. Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi), memberikan ilmu

umum dan ilmu agama, serta juga memberikan pendidikan keterampilan.

3. Pesantren Kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat, dan biasanya

dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibdah dan

kepemimpinan. Sedangkan santrinya terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan

keagamaan dipesantren kilat.

4. Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan,

sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja, dengan program yang terintegrasi. Sedangkan

santrinya mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.

Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :

1. Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama

(tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat

keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad

pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren Lirboyo di

Kediri Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang, Jawa tengah dan lain-lain.
24

2. Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun dengan kurikulum yang

disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara

nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah

formal.

3. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah (sekolah umum

berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS)

dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-

fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur

adalah contohnya.

4. Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar disekolah-sekolah atau

perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam

sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak

jumlahnya. (2002:149-150)28[28]

28[28] Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam Indonesia skripsi untuk memenuhi sarat
memperoleh gelas gelar sarjana Pendidikan Islam di STAIN Jember (on line).
(http://baim32.multiply.com/journal/item/36/PENDIDIKAN_PONDOK_ PESANTREN_ TRADISONAL diakses 14 Juli 2010)
25

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Latar belakang pondok keberadaan Pendidikan Pondok Pesatren tidak lepas dari proses masuknya islam ke

Indonesia yang mengalami beberapa penolakan dari penduduk lokal yang kemudian dilakukan penelitian

dengan hasil mentranformasikan budaya islam kedalm buday hindu waktu itu, yang klimaksnya dari

Padepokan di rubah menjadi Pondok Pesantren.

2. Pondok pesatren merupak pusat menimba ilmu Agama Islam dengan berpegang pada ajaran anbi

Muhammad SAW dengan merujuk pada kitab-kitab klasik (kitab kuning), dengan system asrama yang

integral antara Kyai, Santri, dan Masjid sebagai pusat pembelajaran.

3. Secara garis besar tipologi pondok pesatren dibedakan menjadi 2 tipe yaitu; pertama Pondok Pesantren

yang mempertahan kemurnian identitas aslinya atau yang dikenal dengan Salafi Kedua Pondok Pesatren

yang mulai mengadopsi hal – hal baru dalam pendidikan (pendidikan umum) kedalam kurikulum Pondok

Pesatren dan System Pendidikannya atau yang dikenal dengan kholafi walaupun pada tingkat kholafi

masih banyak kategori model Pendidikan Pondok Pesantren.


26

Daftar Pustaka

1. Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar Barat Disajikan
dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda
2. Said Aqiel Siradj, Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, et al. Cet.I Bandung Pustaka Hidayah, 1999.
3. Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS ,2001,
4. Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam Indonesia skripsi untuk
memenuhi sarat memperoleh gelas gelar sarjana Pendidikan Islam di STAIN Jember (on line).
(http://baim32.multiply.com /journal/item/36 /PENDIDIKAN_PONDOK_ PESANTREN_ TRADISONAL
diakses 14 Juli 2010)
5. Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasullah
sampai Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana
6. HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta, 2005.
7. Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of Culture: Selected Essays.
Yogyakarta: Kanisius. 1992.
8. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai LP3ES Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Yogyakarta 1982
9. Dr. Suryadi Siregar DEA, Pesantren sebagai sekolah tinggi di seminarkan di Kampus STMIK Bandung
tanggal, 12 Desember 1996 (On line). (http://personal.fmipa.itb.ac.id/suryadi/files/2008/0 /pontrenmodelpt.pdf.
diakses tanggal 14 Juli 2010)
10. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.
27

11. Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku 3 Cet. 4
Yokyakarta : LkiS
12. Ali Farhan,Pendidikan Pesantren dan Proses Pembentukan Nilai (Online). (http://www.scribd.
com/doc/24468955/Pendidikan-Pesantren-Dan-Proses-Pembentukan-Nilai diakses 28 Juni 2010)

Anda mungkin juga menyukai