Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR HUMERUS
A. DEFINISI
Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari
ekstremitas superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan
skapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang,
ulna dan radius.
Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada
tulang humerus.
Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yg lebih tua yang
terkait dengan osteoporosis. Perbandingan wanita dan pria adalah mekanisme
trauma pada orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan
kerapuhan tulang (osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat
terjadi karena high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda
motor. Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu,
trauma langsung, kejang, proses patologis malignansi.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri
pada saat digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat
dinding dada dan pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan
dengan cedera toraks.

B. ETIOLOGI
Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus
menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan.
Trauma dapat bersifat:
1. Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan.
Tekanan pada tulang dapat berupa :
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
2. Tekanan membengkok yang meny ebabkan fraktur transversal
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat meny ebabkan fraktur
impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah
5. Trauma oleh karena remuk
6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik
sebagian tulang

C. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum tanda dan gejala fraktur yang terjadi biasanya seperti menurut
M. Clevo & Margareth, tahun 2012 :
1. Pada tulang traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri.
Setelah terjadi patah tulang terjadi spasme otot yang menambanh rasa nyeri.
Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri
2. Bengkak dan nyeri tekan: edema muncul secara cepat dari lokasi dan
ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Deformitas: Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang
berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi
seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
4. Mungkin tampak jelas posisi tulang dan ekstermitas yang tidak alami
5. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
6. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
7. Tenderness/keempukan
8. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
9. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
10. Pergerakan abnormal
11. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
12. Krepitas

D. PATOFISIOLOGI

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. ini
merupakan dasar penyembuhan tulang.
E. PATHWAY
F. KOMPLIKASI
Komplikasi awal
1. Kerusakan arteri: pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cianosis bagian distal, hematoma yang lebar
dan dingin pada ekstermitas
2. Kompartement syndrom
Merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang,
saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.
3. Fat embolism syndrom
Yang paling sering terjadi pada fraktur tulang panjang. Terjadi karena sel-
sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk kealiran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, takikardi, hipertensi, tachypnea, demam
4. Infeksi: jika sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
5. Avaskuler nekrosis
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang
6. Shock: karena kehilangan banyak darah

Komplikasi dalam waktu lama

1. Delayed union
Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung karena penurunan suplai darah ke tulang.
2. Nonunion
Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Ditandai dengan
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseudoarthritis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3. Malunion
Penyembuhan tulang yang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimmobilisasi yang baik.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hemoglobin,
hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED)
meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa
penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah.
2. Radiologi
Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garis fraktur
(transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapat terbaca
jelas). Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan. Sendi bahu dan
siku harus terlihat dalam foto. Radiografi humerus kontralateral dapat
membantu pada perencanaan preoperative. Kemungkinan fraktur
patologis harus diingat. CT-scan, bone-scan dan MRI jarang diindikasikan,
kecuali pada kasus dengan kemungkinan fraktur patologis.
Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk
mendeteksi struktur fraktur yang lebih kompleks.

H. PENATALAKSANAAN

1. Konservatif
Pada umumnya, pengobatan patah tulang shaft humerus dapat ditangani
secara tertutup karena toleransinya yang baik terhadap angulasi,
pemendekan serta rotasi fragmen patah tulang. Angulasi fragmen sampai
300 masih dapat ditoleransi, ditinjau dari segi fungsi dan kosmetik. Hanya
pada patah tulang terbuka dan non-union perlu reposisi terbuka diikuti
dengan fiksasi interna.
Dibutuhkan reduksi yang sempurna disamping imobilisasi; beban pada
lengan dengan cast biasanya cukup untuk menarik fragmen ke garis tengah.
Hanging cast dipakai dari bahu hingga pergelangan tangan dengan siku
fleksi 90° dan bagian lengan bawah digantung dengan sling disekitar leher
pasien. Cast (pembalut) dapat diganti setelah 2-3 minggu dengan pembalut
pendek (short cast) dari bahu hingga siku atau functional polypropylene
brace selama ± 6 minggu.
Pergelangan tangan dan jari-jari harus dilatih gerak sejak awal. Latihan
pendulum pada bahu dimulai dalam 1 minggu perawatan, tapi abduksi aktif
ditunda hingga fraktur mengalami union. Fraktur spiral mengalami union
sekitar 6 minggu, variasi lainnya sekitar 4-6 minggu. Sekali mengalami
union, hanya sling (gendongan) yang dibutuhkan hingga fraktur mengalami
konsolidasi.
Pengobatan non bedah kadang tidak memuaskan pasien karena pasien
harus dirawat lama. Itulah sebabnya pada patah tulang batang humerus
dilakukan operasi dan pemasangan fiksasi interna yang kokoh.
Berikut beberapa metode dan alat yang digunakan pada terapi
konservatif:
a. Hanging cast
b. Coaptation splint
c. Thoracobranchial immobilization (velpeu dressing)
d. Shoulder spica cast
e. Functional bracing
2. Tindakan operatif
Pasien kadang-kadang mengeluh hanging cast tidak nyaman,
membosankan dan frustasi. Mereka bisa merasakan fragmen bergerak dan
hal ini kadang-kadang cukup dianggap menyusahkan. Hal penting yang
perlu diingat bahwa tingkat komplikasi setelah internal fiksasi pada
humerus tinggi dan sebagian besar fraktur humerus mengalami union tanpa
tindakan operatif.
Meskipun demikian, ada beberapa indikasi untuk dilakukan tindakan
pembedahan, diantaranya:
1. Cedera multiple berat
2. Fraktur terbuka
3. Fraktur segmental
4. Fraktur ekstensi intra-artikuler yang bergeser
5. Fraktur patologis
6. Siku melayang (floating elbow) – pada fraktur lengan bawah
(antebrachi) dan humerus tidak stabil bersamaan
7. Palsi saraf radialis (radial nerve palsy) setelah manipulasi
8. Non-union

Fiksasi dapat berhasil dengan;


1. Kompresi plate and screws
2. Interlocking intramedullary nail atau pin semifleksibel
3. External Fixation

Plating menjadikan reduksi dan fiksasi lebih baik dan memiliki


keuntungan tambahan bahwa tidak dapat mengganggu fungsi bahu dan siku.
Biar bagaimanapun, ini membutuhkan diseksi luas dan perlindungan pada
saraf radialis. Plating umumnya diindikasikan pada fraktur humerus dengan
kanal medulla yang kecil, fraktur proksimal dan distal shaft humerus, fraktur
humerus dengan ekstensi intraartikuler, fraktur yang memerlukan eksplorasi
untuk evaluasi dan perawatan yang berhubungan dengan lesi neurovaskuler,
serta humerus non-union.
Interlocking intramedullary nail diindikasi pada fraktur segmental
dimana penempatan plate akan memerlukan diseksi jaringan lunak, fraktur
humerus pada tulang osteopenic, serta pada fraktur humrus patologis.
Antegrade nailing terbentuk dari paku pengunci yang kaku (rigid
interlocking nail) yang dimasukkan kedalam rotator cuff dibawah control
(petunjuk) fluoroskopi. Pada cara ini, dibutuhkan diseksi minimal namun
memiliki kerugian, yaitu menyebabkan masalah pada rotator cuff pada
beberapa kasus yang berarti. Jika hal ini terjadi, atau apabila nail keluar dan
fraktur belum mengalami union, penggantian nailing dan bone grafting
mungkin diperlukan; atau dapat diganti dengan external fixator.
Retrograde nailing dengan multiple flexible rods dapat menghindari
masalah tersebut, tapi penggunaannya lebih sulit, secara luas kurang
aplikatif dan kurang aman dalam mengontrol rotasi dari sisi yang fraktur.
External fixation mungkin merupakan pilihan terbaik pada fraktur
terbuka dan fraktur segmental energy tinggi. External fixation ini juga
prosedur penyelamatan yang paling berguna setelah intermedullary nailing
gagal. Indikasi umumnya pada fraktur humerus dengan non-union infeksi,
defek atau kehilangan tulang, dengan luka bakar, serta pada luka terbuka
dengan cedera jaringan lunak yang luas.

A. Intervensi / Rencana Keperawatan


1. Dx: Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang,
kompresi saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme
otot sekunder.
Tujuan: nyeri berkurang, hilang, atau teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau
dapat diatasi, mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau
mengurangi nyeri. Klien tidak gelisah. Skalanyeri 0-1 atau teratasi.
Intervensi:
1) Kaji nyeri dengan skala 0-4.
Rasional: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan
menggunakan skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas
tingkat cidera.
2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
Rasional: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang yang menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan
atas.
3) Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.
Rasional: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi
kandung kemih, dan berbaring lama.
4) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri
nonfarmakologi dan noninvasife.
Rasional: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nonfarmakologi lainnya efektif dalam mengurangi nyeri.
5) Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan otot rangka yang
dapat mengurangi intensitas nyeri. Tingkatkan relaksasi masase.
Rasional:teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga O2
padajaringan terpenuhi dan nyeri berkurang.
6) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
Rasional: mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal yang
menyenakan.
7) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman, misalnya waktu tidur, belakang tubuh klien dipasang
bantal kecil.
Rasional: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga semua akan
meningkatkan kenyamanan.
8) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan hubungkan
dengan berapa lama nyeri akan berlangsung.
Rasional: pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri membantu
mengurangi nyeri. Hal ini dapat membantu meningkatkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.
9) Pantau keadaan pemasangan gips.
Rasional: gips harus tergantung (dibiarkan tergantung bebas tanpa
disangga) karena berat gips dapat digunakan sebagai traksi terus-
menerus pada aksis panjang lengan. Klien dinasihati untuk tidur dalam
posisi tegak sehingga traksi dari berat gips dapat dipertahankan secara
konstan.
10) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic.
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan
berkurang.

2. Dx: Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas


jaringan tulang, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
Tujuan: klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kemampuannya.
Kriteria hasil: klien dapat ikut seta dalam program latihan, tidak
mengalami kontraktur sendi, kekuatan otot bertambah, dan klien
menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya peningkatan kerusakan.
Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan
aktivitas.
2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas. Rasional :imobilisasi yang
adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang menjadi
unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas.
3) Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang
tidak sakit.
Rasional: gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot,
serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
4) Bantu klien melakukan ROM dan perawatan diri sesuai toleransi.
Rasional: untuk mempertahankan fleksibilitas sendi sesuai
kemampuan.
5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk melatih fisik klien.
Rasional: kemampuan mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan
dengan latihan fisik dan tim fisisoterapi.

3. Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée
luka operasi pada lengan atas.
Tujuan: infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria hasil: klien mengenal factor risiko, mengenal tindakan
pencegahan/mengurangi factor risiko infeksi, dan
menunjukan/mendemonstrasikan teknik-teknik untuk meningkatkan
lingkungan yang aman.
Intervensi:
1) Kaji dan monitor luka operasi setiap hari.
Rasional :mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin
timbul secara sekunder akibat adanya luka pasca operasi.
2) Lakukan perawatan luka secara steril.
Rasional: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi
kontaminasi kuman.
3) Pantau/batasi kunjungan.
Rasional :mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu
program latihan.
Rasional: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan
merangsang pengembalian system imun.
5) Berikan antibiotic sesuai indikasi.
Rasional: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat
pathogen dan infeksi yang terjadi.

4. Dx: Risiko cedera berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik


Tujuan: cedera tidak terjadi
Kriteria hasil: klien mau berpartisipasi dalam mencegah cedera
Intervensi:
1) Pertahankan imobilisasi pada lengan atas
R: meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan antara fragmen
tulanng dan jaringan lunak sekitarnya
2) Bila klien menggunakan gips, pantau adanya penekanan setempat dan
sirkkullasi perifer
R: Mendeteksi adanya sindrom kompartemen dan menilai secara dini
adanya gangguan sirkulasi pada bagian distal lengan atas
3) Bila terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan
selimut agar posisi tetap netral
R: mencegah perubahan posisi dengan tetap mempertahankan
kenyamanan dan keamanan
4) Evaluasi bebat terhadap resolusi edema
R: bila fase edema telah lewat kemungkinan bebat menjadi longgar
dapat terjadi
5) Evaluasi tanda/gejalah perluasan cedera jaringan (peradangan
local/sistemik, seperti peningkatan nyeri, edema, dan demam)
R: menilai perkembangan masalah klien

5. Dx: Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular


dan penurunan kekuatan lengan atas.
Tujuan: perawatan diri klien dapat terpenuhi
Kriteria Hasil: klien dapat menunjukan perubahan gaya hidup untuk
kebutuhan merawat diri, mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai
dengan tingkat kemampuan, dan mengidentifikasi individu yang dapat
memmbantu
Intervensi:
1) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk
melakukan ADL.
R: memantau dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan
untuk kebutuhan individual.
2) Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
R: hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga harga diri
klien karena klien dalam keadaan cemas dan membutuhkan bantuan
orang lain.
3) Ajak klien untuk berpikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya.
Berikan klien motivasi dan izinkan ia melakukan tugas, kemudianb beri
umpan balik positif atas uasaha yang telah dilakukan.
R: klien memerlukan empati dan perawatan yang konsisten. Intervensi
tersebut dapat meningkatkan harga diri, memandirikan klien, dan
menganjurkan klien untuk terus mencoba.
4) Rencanakan tindakan untuk mengurangi pergerakan pada sisi lengan
yang sakit, seperti tempatkan makanan dan peralatan dalam suatu
tempat yang belawanan dengan sisi yang sakit.
R: klien akan lebih mudah mengambil peralatan yang diperlukan
karena lebih dekat dengan lengan yang sehat. \
5) Identifikasi kebiasaan BAB. Ajurkan minum dan tingkatkann latiahan.
R: meningkatkan latihan dapat mencegah konstipasi.
6. Dx: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani
operasi, status ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
Tujuan: Ansietas hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil: klien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi
penyebab atau factor yang mempengaruhi, dan menyatakan ansietasnya
berkurang.
Intervensi:
1) Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas. Dampingi klien dan lakukan
tindakan bila klien menunjukan perilaku merusak
R: reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan
gelisa.
2) Hindari konfrontasi.
R: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja
sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan.
3) Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan
yang tenang dan suasana penuh istirahat.
R: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
4) Tingkatkan control sensasi klien.
R: control sensasi klien (dalam mengurangi ketakutan) denga cara
membberikan informasi tentang keadaan klien, menekankann
penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang
positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan, serta
memberikan umpan balik yang positif.
5) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas
yang diharapkan.
R: orientasi terhadap prosedur operasi dapat mengurangi ansietas.
6) Beri kesempatan klen mengungkapkan ansietasnya
R: dapat menghilangkann ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.
7) Berikan privasi kepada klien dengan orang terdekat.
R: memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan
ansietas, dan perillaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman
yang dipilih klien untuk melakukan aktivitas pengalihan perhatian akan
mengurangi perasaan terisolasi.
DAFTAR PUSTAKA

Adi Mahartha Gde Rastu, Dkk. 2013. Manajemen Fraktur Pada Trauma
Muskuloskeletal. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14484&val=9
70diakses senin 28-12-2-15 (12:20)

Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3.
EGC. Jakarta

Mansjoer Arif, dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Price S.A, Wilson L.M. 2006. Patofifisiologi Konsepklinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta : EGC

Rendy, M Clevo dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal


Bedah Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika

Smeltzer. 2001 .Keperawatan Medikal Bedah, Brunner and Suddarth. Jakarta: EGC

Wilkinson Mjudith, Ahern R. 2011. Buku Saku Diangnosa Keperawatan


Edisi9Nanda Nic Noc. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai