Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Penulisan Dan Penelitian Hukum
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BATAM
2018
1
KATA PENGANTAR
Demikianlah, Semoga niat baik kita mendapat ridha dan berkah dari Allah
SWT dan bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta penerus bangsa.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB IV PENUTUP.............................................................................................35
4.1 Kesimpulan................................................................................................35
4.2 Saran..........................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................37
3
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1Latar Belakang
4
Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 menjamin bahwa keputusan dan/atau tindakan badan dan/atau pejabat
pemerintahan terhadap warga masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-
mena. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 maka warga
masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu,
Undang-Undang ini merupakan transformasi Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik (AUPB) yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang
mengikat.
Pada dasarnya konsep “menyalahgunakan kewenangan” berada pada
wilayah abu-abu. Ada persinggungan antara norma hukum pidana dengan norma
hukum administrasi. Dalam kerangka hukum administrasi negara, parameter yang
membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara (discretionary power) adalah
“detournement de pouvouir” (penyalahgunaan kewenangan) dan “willekeur”
(tindakan sewenang-wenang), sedangkan dalam area hukum pidana juga memiliki
kriteria yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara
Permasalahannya adalah manakala aparatur negara melakukan perbuatan yang
dinilai menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum, artinya mana yang
akan dijadikan ujian bagi penyimpangan aparatur negara ini, hukum administrasi
negara ataukah hukum pidana, khususnya dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.
Kasus yang menimpah Ketua DPD RI Irman Gusman yang tertangkap
tangan KPK menerima suap dari pengusaha gula asal sumatera senilai seratus juta
rupiah di rumahnya untuk menggunakan kewenangannya agar dapat
mempengaruhi tentang kuota gula impor. Meskipun DPD tidak mempunyai tugas
eksekusi dalam mengambil kebijakan namun karena Irman Gusman adalah
penyelenggara negara maka itu merupakan praktik korupsi menurut KPK dalam
hal penyalahgunaan wewenang. Bagaimana menurut Hukum Admnistrasi Negara
terkait penyalagunaan wewenang yang kemudian berimbas pada rana hukum
pidana.
5
Berdasarkan latar belakang tersebut makalah ini akan memjelaskan terkait
“Kasus Dugaan Suap Ketua DPD RI Ditinjau dari Hukum Administrasi
Negara Tentang Penyalahgunaan Kewenangan dalam Tindak Pidana
Korupsi”.
1. 2 Rumusan Masalah
1. 4 Manfaat Penulisan
6
BAB II
KAJIAN TEORI
7
Akan halnya kepentingan umum itu yang dimaksudkan adalah kepentingan
nasional (bangsa), masyarakat dan negara. Kepentingan Umum harus lebih
didahulukan daripada kepentingan individu, golongan dan kepentingan daerah
dengan pengertian bahwa kepentingan perseorangan tidak sampai terdesak sama
sekali oleh kepentingan umum itu. Untuk Indonesia sudah jelas bahwa antara
kepentingan umum dan kepentingan perseorangan harus dilindungi secara
seimbang , sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan negara dan pemerintahan
seperti tertera dengan jelas di dalam Pembukaan UUD l945 yang berbunyi : “ ......
melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi dan keadilan
sosial ...... “ . Hukum Administrasi materiil terletak diantara hokum privat dan
hukum pidana. Hukum Pidana berisi norma - norma yang begitu penting ( esensial
) bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma–norma tersebut tidak
diserahkan pada pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum
Privat berisi norma - norma yang penegakannya dapat diserahkan kepada pihak
partikelir. Diantara kedua bidang hukum itu terletak Hukum Administrasi .1
1
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2005), hal. 47-48
8
Atas dasar tersebut, tampak bahwa keberadaan hukum administrasi negara
seiring berjalan dengan keberadaan negara hukum dan hukum tata negara, J.B.J.M
Ten Berge mengatakan bahwa hukum administrasi negara berkaitan erat dengan
kekuasaan dan kegiatan penguasa. Kerana kekuasaan dan kegiatan penguasa itu
dilaksanakan, maka lahirlah hukum administrasi negara. Dengan kata lain, hukum
administrasi negara, sebagaimana hukum tata negara berkaitan erat dengan
persoalan kekuasaan. Mengingat negara itu merupakan organisasi kekuasaan ,
maka pada akhirnya hukum administrasi akan muncul sebagai instrumen untuk
mengawasi penggunaan kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, keberadaan
hukum administrasi negara itu muncul karena adanya penyelenggaraan kekuasaan
negara dan pemerintahan dalam suatu negara hukum, yang menuntut dan
menghendaki penyelenggaraan tugas-tugas kenegaraan, pemerintahan, dan
kemasyarakatan yang berdasarkan atas hukum.
Antara HAN dan HTN tidak terdapat perbedaan yang hakiki atau tidak
terdapat perbedaan yuridis yang prinsipil. Pendapat pada umumnya dianut oleh
para sarjana hukum di Perancis, Inggris, Amerika Serikat dan negara-negara
sosialis.
2
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 19-22
9
Prins berpendapat bahwa HTN mengenai hal yang pokok seperti dasar
susunan negara yang langsung mengenai setiap warga negara, sedangkan HAN
mengenai peraturan teknis.
Di Indonesia yang menganut pendapat ini adalah Prajudi (1995, 47) yang
berpendapat bahwa:tidak ada perbedaan-perbedaan yuridis prinsipil antara HAN
dan HTN.
Pendapat ini banyak dianut di negara Belanda yang kemudian diikuti oleh
sarjana hukum Indonesia. Para ahli hukum itu antara lain:
a. Oppenheim
33
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2012), h.225-26.
10
HAN adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengikat badan-badan
negara baik yang tinggi maupun yang rendah jika badan-badan itu mulai
menggunakan wewenangnya yang ditentukan dalam HTN (negara dalam keadaan
bergerak).
b. Van Vollenhoven
c. Logemann,
Perbedaan antara HAN dan HTN adalah sebagai berikut:
1. Hukum tata negara dalam arti sempit meliputi:
a. Persoonsleer yaitu yang mengenai person dalam arti hukum yang
meliputi hak dan kewajiban manusia, personifikasi, pertanggung-
jawaban, lahir dan hilangnya hak dan kewajiban tersebut, hak
organisasi, batasan-batasan dan wewenang.
b. Gebiedsleer, yaitu yang menyangkut wilayah atau lingkungan
dimana hukum itu berlaku dan yang termasuk dalam lingkungan
itu adalah waktu, tempat dan manusia atau kelompok dan benda.
44
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2012), h.26-27.
11
2. Hukum administrasi negara meliputi: ajaran mengenai hubungan
hukum. HAN mempelajari jenisnya, bentuk serta akibat hukum yang
dilakukan oleh para pejabat dalam melakukan tugasnya.
a. Menurut Vegting, HTN dan HAN mempunyai lapangan
penyelidikan yang sama, yang membedakannya hanya dalam cara
pendekatan yang digunakan. Cara pendekatan yang dilakukan oleh
HTN ialah untuk mengetahui organisasi dari negara, serta badan-
badan lainnya, sedangkan HAN menghendaki bagaimana caranya
negara serta organ-organnya melakukan tugasnya.
Vegting berpendapat bahwa HTN mempunyai obyek penyelidikan
hal-hal yang pokok mengenai organisasi daripada negara,
sedangkan bagi HAN obyek penyelidikannya adalah mengenai
peraturan-peraturan yang bersifat tertulis.
b. Menurut Sri Soemantri, hubungan HTN dan HAN adalah sebagai
berikut:
1. HTN mempelajari Negara dalam keadaan diam, HAN
mempelajari negara dalam keadaan bergerak
2. Kalau HTN dengan meminjam istilah kedokteran di ibaratkan
anatomi, maka HAN diibaratkan dengan fisiologi (ilmu faal)
3. HTN berkenaan dengan pembuatan kebijakan, HAN sebagai
pelaksanaan kebijakan.5
55
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2012), h.27-28.
6
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, hal. 52-53
12
2.3 Hubungan HAN dengan Hukum Pidana
Hubungan antara HAN dan hukum pidana menurut para ahli adalah
sebagai berikut:
13
Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hubungan antara
HAN denga hukum pidana adalah: bila terjadi pelanggaran terhadap HAN, maka
sanksinya terdapat dalam hukum pidana.
Badan hukum juga dapat dijatuhi hukuman, yaitu dapat dikenakan sanksi
adalah anggota pengurus dan kuasanya.7
77
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2012), h.30-31.
14
Secara implisit, kedudukan DPD berada di bawah DPR dan Presiden.
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan :
1) Otonomi Daerah;
2) Hubungan Pusat dan Daerah;
3) Pembentukan dan Pemekaran serta penggabungan daerah;
4) Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Ekonomi lainya;
5) Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (22D ayat 1)
Jelas sekali, apabila DPR dan Presiden berasal dari kalangan partai
politik (parpol) (6Aayat 2 dan 22E ayat 3), peserta pemilu untuk memilih anggota
DPD adalah perseorangan (22E ayat 4). Ketiadaan hak legislasi DPD
menyebabkan kepentingan parpol bisa mengatur susunan, kedudukan, dan
pemberhentian anggota DPD.
Apabila sepertiga anggota MPR dari DPD sepakat untuk mengubah arah
desentralisasi, atau memperkuat wewenang DPD, dan mampu memengaruhi
anggota DPR, betapa berbeda UUD nantinya. Begitu pula menyangkut
perkembangan civil society, hubungan negara dengan civil society, atau upaya
memperkuat civil society lewat konstitusi, mengingat keanggotaan DPD yang
tidak boleh dari parpol.
15
b. Fungsi dan Wewenang DPD
Legislasi :
a. Mengajukan usulan RUU bidang tertentu terkait UU OTDA,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, serta
penggabungan daerah dan Prolegnas.
b. Menyampaikan pandangan dan pendapat atas RUU yang diajukan
pemerintah.
c. Ikut membahas RUU bersama Pemerintah dan DPR RI.
Pertimbangan :
a. Memberikan pertimbangan kepada DPB atas RUU APBN dan
RUU tentang Pajak, Pendidikan, dan Agama.
b. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas hasil pemeriksaan
BPK.
c. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK.
Pengawasan :
a. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU OTDA,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, hub.
Pusda, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya.
b. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU APBN, pajak,
pendidikan, dan agama.8
8
Pusat Data dan Informasi Bidang Pemberitaan dan Media Visual DPD RI, Peran Dan Fungsi
Dewan Perwakilan Daerah, (Seminar Study Ekskursi, DPD RI, Jakarta, 13 Mei, 2016)
16
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2) Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomidaerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah;
3) Pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang
tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
dan
4) Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi
daerah, pembentukan,pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, danagama.9
9
http://dokumen.tips/documents/makalah-dpd-55b07aed4bd89.html diakses pada tanggal 12
Oktober 2016
17
5) Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dandaerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
6) Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomidaerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dandaerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR
sebagai bahanpertimbangan untuk ditindaklanjuti;
7) Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai
bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-
undang yang berkaitan denganAPBN;
8) Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK; dan
9) Ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
10
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
18
pengesahannya bisa diketahui bahwa regulasi itu sudah berlaku sejak 17 Oktober
2014. UU AP merupakan bagian penting dari proses reformasi birokrasi karena
menegaskan manajemen pemerintahan agar bisa berjalan dengan benar dalam
menjalankan fungsi pokok. Spirit UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (UU AP) adalah bahwa Seorang pejabat pemerintah tidak bisa lagi
menjalankan kewenangannya dengan sewenang-wenang. UU AP mengatur
bagaimana seorang pejabat administrasi pemerintahan menggunakan
kewenangannya dalam membuat keputusan dan tindakan. UU AP bisa dikatakan
menjadi salah satu manual book of governance activity, yaitu buku manual yang
menjadi standarisasi administrasi dalam tindakan atau aktifitas pemerintahan dari
seorang pejabat.11
Undang-undang ini menjadi dasar hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan
yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk
mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian,
Undang Undang ini harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik,
transparan, dan efisien.12 Dibuatnya UU AP merupakan upaya untuk menciptakan
kepastian hukum kepada masyarakat dan badan/ pejabat pemerintah. Keputusan
yang dibuat oleh pejabat pemerintahan pun dipastikan sesuai dengan kaedah
hukum dan metanorma dalam prinsip-prinsip jalannya pemerintahan. UU AP juga
diharapkan dapat menjamin akuntabilitas badan/pejabat karena dalam UU ini
ditentukan hak untuk mengakses dasar-dasar yang menjadi pertimbangan untuk
menentukan keputusan administrasi pemerintahan.
Selain itu, UU AP juga mengatur mengenai bagaimana semua keputusan
administrasi pemerintahan yang sifatnya memberatkan dan membebani
masyarakat, maka pejabat harus memberitahukan terlebih dahulu kepada
masyarakat dan memberi perlindungan hukum kepada masyarakat. Termasuk juga
pejabat harus menjelaskan berapa lama waktu untuk membuat keputusan dan
waktu penyampaian keputusan kepada masyarakat. Namun respon dan reaksi
11
Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Naskah Akadmeik
Rancangan Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan, hlm. 35.
12
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, hlm. 4.
19
(baik positif maupun negatif) terhadap substansi Undang-undang Administrasi
Pemerintah itu, baru bermunculan secara sporadik akhir-akhir ini.
Salah satu alasan yang menyebabkan respon tersebut adalah terdapat
norma hukum yang terkesan baru dan bisa dikatakan progresif termuat dalam
Undang-undang tersebut. Meski mayoritas berisi regulasi dan standar normatif
pelaksanaan administrasi pemerintahan maupun yang berkaitan erat dengan
penegakan (internal) hukum administrasi, terdapat pula satu norma vital yang
berkaitan dengan penegakan hukum pidana, khususnya pemberantasan tindak
pidana korupsi. Penyalahgunaan wewenang merupakan salah satu unsur dalam
Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tipikor, yang menurut Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014 harus dinyatakan terlebih dahulu kebenarannya melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara. Ini menarik sebab bila ditelaah, dalam satu istilah
tersebut terdapat garis tipis yang berpotensi membuatnya berada dalam dua rezim
hukum yang berbeda. Dalam konteks Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor,
penyalahgunaan wewenang merupakan mixing antara konsep maupun norma
hukum administrasi dengan norma hukum pidana, dalam arti sebuah aturan
administrasi yang juga memuat sanksi pidana. Inilah yang sering umum
disebut administrative penal lawatau verwaltungs strafrecht.
Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 menyatakan:
“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak
ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan” Sementara Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2014, menyatakan: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan”.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, memberikan perluasan kewenangan bagi Pengadilan Tata Usaha
Negara. Yang paling kentara adalah perluasan makna Keputusan Tata Usaha
Negara (vide Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014) serta Pengujian
Ada/Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan (videPasal 21 Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2014). Jiwa dari pengujian ada/tidaknya
penyalahgunaan wewenang sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi
20
berdasarkan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, sebenarnya sejalan atau tidak
jauh berbeda bila dikomparasikan dengan sifat pengujian praperadilan dalam
sebuah tindak pidana yang hanya menguji salah satu unsur formal dari tindak
pidana korupsi, yaitu penyalahgunaan wewenang.
Keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga penguji
penyalahgunaan wewenang, bukan merupakan bentuk reduksi terhadap
kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Tipikor), sebagai langkah mundur
dalam pemberantasan korupsi, melainkan sebagai langkah penegakan hukum,
karena meskipun yang diuji adalah salah satu unsur pidana dalam Pasal 3 UU
Pemberantasan Tipikor, akan tetapi konteks penyalahgunaan wewenang berada
dalam ranah hukum administrasi.13 Hal yang sama juga merupakan substansi dari
pengertian menyalahgunakan kewenangan tidak ditemukan eksplisitasnya dalam
hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata
yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya. Adanya peranan
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menguji ada/tidaknya penyalahgunaan
wewenang dimaksudkan untuk mempermudah penentuan unsur “penyalahgunaan
wewenang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor,
sehingga pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa Tindak Pidana Korupsi
selanjutnya akan lebih fokus pada unsur-unsur pidana dari Tindak Pidana Korupsi
itu sendiri. Sejalan dan merupakan efek lanjutan dari pendapat Romli
Atmasasmita14: “…bahwa penyidik dan penuntut tindak pidana korupsi eks Pasal
3 UU Tipikor 2001/1999, pasca berlakunya UU ADP 2014 tidak akan mengalami
kesulitan yang berarti untuk menerjemahkan pengertian istilah Penyalahgunaan
Wewenang terkait penuntutan dan pembuktian tindak pidana korupsi oleh
penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri lainnya atau aparat penegak hukum.
Sejauh ini, pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam konteks
Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, secara praktis mengambil alih pengertian
“penyalahgunaan wewenang” dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986. Hal yang bisa dikatakan merupakan implementasi dari
teoriAutonomie van het Materiele Strafrecht, yang pada prinsipnya menyatakan
13
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), (Jakarta: Rajawali Press, 2011). H.275.
14
Atmasasmita, Romli. Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. (Yogyakarta: Genta Publshing, 2012,) hlm. 53.
21
bahwa: Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang
berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan
tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian
yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. 15 Namun di dalam realitas sosial,
terjadi perbedaan pemahaman mengenai penerapan teori “Autonomie van het
Materiele Strafrecht” tersebut. Sebagian kalangan menganggap prasayarat
pengujian penyalahgunaan wewenang yang dilakukan di Pengadilan Tata Usaha
Negara, telah tepat. Akan tetapi ada pula yang menganggap hal tersebut tidaklah
perlu, karena Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, bisa menafsirkan sendiri unsur
penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, dengan
melandaskan diri pada asas tersebut di atas, dengan mengambil alih konsep serupa
yang telah ada dalam Hukum Administrasi.
Dalam UU AP yang baru ini, penyalahgunaan wewenang dalam jabatan
sebagai salah satu unsur dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor hakikatnya
merupakan rezim Hukum Administasi, sebab jabatan berhubungan dengan
tindakan/urusan pejabat maupun badan publik dalam melakukan urusan
administrasi pemerintahan di pusat maupun daerah, berdasarkan kewenangan atau
diskresi yang ada padanya. Penalaran ini pun sejalan dengan ketentuan Pasal 53
ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, bahwa pengujian sengketa
di bidang administrasi (baik berdasarkan Undang-undang Peratun maupun
Undang-undang Administrasi Pemerintahan), salah satunya karena adanya
pelanggaran terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Pelanggaran
terhadap larangan penyalahgunaan wewenang tersebut tidak dinormakan sebagai
peraturan, pada hakikatnya penyalahgunaan wewenang tetap merupakan bagian
dari Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), sehingga jangkauan
kewenangan pengujiannya tetap berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Terlebih pengkajian mengenai ketidakberwenangan sebagaimana pasal 17 ayat (2)
UU Administrasi Pemerintahan (baik dalam bentuk detournement de
pouvoirmaupun willekeur), selama ini sudah menjadi domain Pengadilan Tata
Usaha Negara untuk mengujinya.
15
Adami Chawazi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Cetakan Kedua,
(Malang: Banyu Media Publishing, 2005), hlm. 341.
22
2.5 Definisi Korupsi
Korupsi merupakan bagian dari proses immoral yang sistemik dan daapt
dilakukan oleh siapapun tanpa pandang agama. Istilah korupsi berasal dari bahasa
latin yaitu corruptio. Kata corruption berasal dari kata corrumpore. Dari bahasa
latin inilah yang diikuti dalam bahsa Eropa seperti corruption, corrupt dalam
bahasa Inggris; Corruption dalam bahasa Prancis dan Corruptie dalam bahasa
Belanda.16
Dalam ensiklopedia Indoensia disebutkan bahwa korupsi dari
latin: corruptio sama dengan penyuapan dan corrumpore sama dengan merusak
yaitu gejala bahwa pejabat badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Dalam kamus bahasa
Indonesia disebutkan bahwa korupsi mengandung pengertian penyelewengan atau
penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk keuntungan
pribadi atau orang lain.17
Sementara itu, korupsi seringkali di kaitkan dengan praktek kolusidan
nepotisme, 18 menurut standar yang digunakan untuk memberikan pengertian
tindak pidana korupsi secara konstitusional diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999
Pasal 1 ayat (3)m, (4) dan ayat (5) menjabarkan:
1. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi;
16
Igm Nurjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perspektif Keadilan Melawan
Hukum,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 14.
17
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1997), hlm. 527.
18
Igm Nurjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perspektif Keadilan Melawan
Hukum,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 18.
23
Dalam definisi yang sudah disebutkan, maka terdapat tiga unsur dari
pengertian korupsi, yaitu:
1. Menyalahgunakan kekuasaan;
24
Dalam Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dijelaskan tentang pengertian korupsi yaitu bahwa: “Dihukum
karena tindak pidana korupsi ialah:
1. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan din sendiri atau orang lain
atau suatu hadan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung
atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
3. Barang siapa memberi hadith atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si
pemberi hadith atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
itu.
4. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420
KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang
berwajib.
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).
25
2.6 Jenis dan Tipologi Korupsi
Jenis dan Tipologi Korupsi menurut bentuk-bentuk TIPIKOR menurut UU
No. 31 Tahun 1999 dan diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
1. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain,
atau Suatu Korporasi (Pasal 2).
4. Tindak Pidana Korupsi Suap pada Hakim dan Advokat (Pasal 6).
5. Korupsi dalam Hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan Bangunan dan
Korupsi dalam Hal Menyerahkan Alat Keperluan TM dan KNRI (Pasal 7).
10. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggaraan Negara atau Hakim dan
Advokat Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa
Membayar, Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan,
MenggunakanTanah Negara, dan Turut Serta dalam Pemborongan (Pasal
12).
26
13. Tindak Pidana Pelanggaran Terhadap Pasal 220, 231, 421, 429, dan 430
KUHP (Pasal 23).
27
BAB III
PEMBAHASAN
19
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
28
telah dijelaskan mengenai kode etik dan larangan yang harus dipatuhi oleh
anggota DPD RI.
Menurut Pasal-Pasal diatas jika dikaitkan dengan kasus dugaan suap yang
menimpa Irman, maka Pengadilan berhak menerima, memeriksa, dan
memutuskan apakah kasus dugaan suap tersebut memang benar dilakukan oleh
29
Irman atau tidak, karena Irman adalah termasuk sebagai Pejabat Pemerintahan
yaitu Ketua DPD RI.
3.2 Hubungan HAN dengan Hukum Pidana dalam Kasus Dugaan Suap
Ketua DPD RI
30
atau bertindak sewenang-wenang, maka ia dianggap telah menyalahgunakan
wewenangnya.
Terkait kasus dugaan suap yang dialami oleh Irman Gusman yang
dianggap telah mempergunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi pihak
tertentu, dalam hal ini terdapat beberapa point bahasan yang akan
menghubungkan kasus tersebut dengan pendapat para ahli mengenai hubungan
antara HAN dan Hukum Pidana :
31
3) Dalam hal Anggota dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
Anggota yang bersangkutan diaktifkan.
32
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut
ada hubungan dengan jabatannya.
33
Ketua DPD RI, yang mana dalam dugaan kasusnya ia dianggap telah
melakukan pelanggaran terhadap kode etik dalam Peraturan DPD RI serta
perundang-undangan tentang administrasi pemerintahan.
Hal tersebut juga berlaku dalam kasus Irman Gusman, yang mana
ia tetap harus menerima konsekuensi peraturan administratif berupa
diberhentikannya jabatannya sebagai Ketua DPD RI, dan apabila terbukti
bersalah juga harus tetap dijerat Pasal Undang-Undang Tipikor
sebagaimana disebutkan sebelumnya.
34
Administrasi Negara, maka Irman Gusma harus menempuh ranah Hukum
Pidana sebagai akibat pelanggarannya.
35
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
36
hal tersebut menyebabkan kedudukannya dicabut berdasarkan Peraturan
DPD RI No. 01 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, disamping itu jika dugaan
tersebut terbukti kebenarannya maka ia dapat dijerat berdasarkan Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi No. 20 Tahun 2001.
4.2 Saran
37
DAFTAR PUSTAKA
Nurjana, Igm. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perspektif
Keadilan Melawan Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pusat Data dan Informasi Bidang Pemberitaan dan Media Visual DPD RI. Peran
Dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah. (Seminar Study Ekskursi, DPD RI,
Jakarta, 13 Mei, 2016).
38
39