Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

Kasus Dugaan Suap Anggota Legislatif Ditinjau dari Hukum


Administrasi Negara Tentang Penyalahgunaan Kewenangan
dalam Tindak Pidana Korups

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Penulisan Dan Penelitian Hukum

Dosen Pengampu :

Lia Fadjriani SH., MH

Disusun Oleh:

Vicky Satria Irawan


NPM : 31113108

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BATAM

2018

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, puji serta syukur, kita ucapkan atas


curahan nikmat yang telah Allah SWT curahkan kepada PENULIS, karena hanya
dengan rahmat dan kasih-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa
shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Baginda
Nabi Muhammad SAW sebagai pelopor revolusi Islam yang telah menuntun
umatnya dari zaman kedzaliman hingga jalan yang penuh cahaya iman ini.
Adapun tujuan makalah ini yaitu agar mahasiswa dapat memahami dan
menambah ilmu mereka tentang “Kasus Dugaan Suap Ketua DPD RI Ditinjau
dari Hukum Administrasi Negara Tentang Penyalahgunaan Kewenangan
dalam Tindak Pidana Korupsi”. Akan tetapi makalah yang penulis buat ini
masih sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu semua tanggapan, kritik,
serta saran-saran sangatlah saya harapkan guna memperbaiki kekurangan dan
menyempurnakan makalah ini.

Demikianlah, Semoga niat baik kita mendapat ridha dan berkah dari Allah
SWT dan bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta penerus bangsa.

Batam 11 Januari 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 3
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5
1.3. Tujuan Penulisan makalah ......................................................................... 5
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 5

BAB II KAJIAN TEORI ...................................................................................... 7


2.1. Letak Hukum Administrasi Negara dalam Kerangka Hukum Nasional .... 7
2.2. Hubungan HAN dengan HTN .................................................................... 9
2.3. Hubungan HAN dengan Hukum Pidan.....................................................13
2.4. Kedudukan DPD sebagai Lembaga Negara..............................................14
2.5. Definisi Korupsi........................................................................................23
2.6. Jenis dan Tipologi Korupsi.......................................................................26

BAB III PEMBAHASAN...................................................................................27


3.1. Penyalahgunaan Kewenangan yang Dilakukan oleh Ketua DPD RI.......27
3.2. Hubungan HAN dengan Hukum Pidana dalam Kasus Dugaan Suap Ketua
DPD RI.....................................................................................................28

BAB IV PENUTUP.............................................................................................35
4.1 Kesimpulan................................................................................................35
4.2 Saran..........................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................37

3
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1Latar Belakang

Semakin besar kekuasaan dan kewenangan seseorang, semakin besar pula


potensi melakukan korupsi. Korupsi yang seringkali berkaitan dengan
penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat selanjutnya menjadi bahan hukum yang
mendasari peraturan perundang-undangan terkait pemberantasan tindak pidana
korupsi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam proses penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi, seringkali ditemukan unsur “melawan hukum” dan
“menyalahgunakan kewenangan” yang diikuti dengan unsur “kerugian negara”
sebagai dasar untuk mendakwa seorang pejabat telah melakukan tindak pidana
korupsi semata-mata berdasarkan perspektif hukum pidana tanpa
mempertimbangkan bahwa ketika seorang pejabat melakukan aktivitasnya,
pejabat tersebut tunduk dan diatur oleh norma hukum administrasi.
Seringkali pula ditemukan unsur “merugikan keuangan negara” yang
dijadikan dugaan awal untuk mendakwa seorang pejabat tanpa disebutkan terlebih
dahulu bentuk pelanggarannya. Suatu pemikiran yang terbalik. Unsur “merugikan
keuangan negara” merupakan akibat adanya pelanggaran hukum yang dilakukan
seorang pejabat. Seorang pejabat yang menggunakan keuangan negara tidak dapat
dikategorikan sebagai tindakan yang “merugikan keuangan negara” jika pejabat
yang bersangkutan bertindak sesuai hukum yang berlaku.
Bahwa persoalan menyalahgunakan kewenangan dan korupsi bukanlah
pada pemahaman kebijakan, tetapi lebih kepada persoalan hubungan antara
kewenangan dengan penyuapan (bribery). Kewenangan pejabat publik yang
berkaitan dengan kebijakan, baik kewenangan yang terikat maupun kewenangan
yang bebas, tidak menjadi ranah hukum pidana sehingga kasus-kasus korupsi
yang belakangan ini sering terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan dugaan
penyalahgunaan kewenangan dan perbuatan melawan hukum menimbulkan kesan
adanya suatu kriminalisasi kebijakan.

4
Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 menjamin bahwa keputusan dan/atau tindakan badan dan/atau pejabat
pemerintahan terhadap warga masyarakat tidak dapat dilakukan dengan semena-
mena. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 maka warga
masyarakat tidak akan mudah menjadi objek kekuasaan negara. Selain itu,
Undang-Undang ini merupakan transformasi Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Baik (AUPB) yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh tahun dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dan dikonkretkan ke dalam norma hukum yang
mengikat.
Pada dasarnya konsep “menyalahgunakan kewenangan” berada pada
wilayah abu-abu. Ada persinggungan antara norma hukum pidana dengan norma
hukum administrasi. Dalam kerangka hukum administrasi negara, parameter yang
membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara (discretionary power) adalah
“detournement de pouvouir” (penyalahgunaan kewenangan) dan “willekeur”
(tindakan sewenang-wenang), sedangkan dalam area hukum pidana juga memiliki
kriteria yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara
Permasalahannya adalah manakala aparatur negara melakukan perbuatan yang
dinilai menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum, artinya mana yang
akan dijadikan ujian bagi penyimpangan aparatur negara ini, hukum administrasi
negara ataukah hukum pidana, khususnya dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.
Kasus yang menimpah Ketua DPD RI Irman Gusman yang tertangkap
tangan KPK menerima suap dari pengusaha gula asal sumatera senilai seratus juta
rupiah di rumahnya untuk menggunakan kewenangannya agar dapat
mempengaruhi tentang kuota gula impor. Meskipun DPD tidak mempunyai tugas
eksekusi dalam mengambil kebijakan namun karena Irman Gusman adalah
penyelenggara negara maka itu merupakan praktik korupsi menurut KPK dalam
hal penyalahgunaan wewenang. Bagaimana menurut Hukum Admnistrasi Negara
terkait penyalagunaan wewenang yang kemudian berimbas pada rana hukum
pidana.

5
Berdasarkan latar belakang tersebut makalah ini akan memjelaskan terkait
“Kasus Dugaan Suap Ketua DPD RI Ditinjau dari Hukum Administrasi
Negara Tentang Penyalahgunaan Kewenangan dalam Tindak Pidana
Korupsi”.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, berikut ini dijabarkan secara rinci


beberapa rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini.

1. Bagaimanakah penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh Ketua


DPD RI?
2. Bagaimanakah hubungan HAN dengan Hukum Pidana dalam kasus
dugaan suap Ketua DPD RI?

1. 3 Tujuan Penulisan Makalah

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijabarkan pada bagian


sebelumnya, berikut ini dijabarkan mengenai tujuan penulisan makalah.

1. Menjelaskan hubungan HAN dengan Hukum Pidana dalam kasus suap


Ketua DPD RI
2. Menjelaskan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh ketua
DPD RI “Irman Gusman” yang berimplikasi pada tindak pidana korupsi

1. 4 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi


bahan kajian sebagai suatu usaha mengembangkan konsep pemikiran secara lebih
logis dan sistematis tentang penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah dan
tindak pidana korupsi.

6
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Letak Hukum Administrasi Negara dalam Kerangka Hukum


Nasional
Dalam kerangka hukum nasional, hukum ditempatkan sebagai aturan main
dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan,
sementara tujuan hukum itu sendiri antara lain adalah untuk menata masyarakat
yang damai, adil, dan bermakna. Artinya yaitu, sasaran dari negara hukum adalah
terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang
bertumpu pada keadilan, kedamaian, dan kemanfaatan atau kebermaknaan. Dalam
negara hukum, eksistensi hukum dijadikan sebagai instrumen dalam menata
kehidupan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.
Seperti diketahui dalam ilmu hukum itu didapatkan pembagian hukum ke
dalam dua macam, yaitu : Hukum Privat (Sipil) dan Hukum Publik. Penggolongan
kedalam Hukum Privat dan Publik itu tidak lepas dari isi dan sifat hubungan yang
diatur, hubungan mana bersumber dari kepentingan - kepentingan yang hendak
dilindungi. Adakalanya kepentingan itu bersifat perorangan (individu, Privat),
tetapi ada pula yang bersifat umum (Publik). Hubungan Hukum itu memerlukan
pembatasan yang jelas dan tegas yang melingkupi hak-hak dan kewajiban dari
dan terhadap siapa orang itu berhubungan .
Hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara penguasa
dengan warganya yang di dalamnya termasuk Pidana, Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara. Secara historik HAN itu pada mulanya termasuk
atau menjadi bagian dari HTN, tetapi karena perkembangan masyarakat dan study
hukum dimana ada tuntutan akan munculnya kaidah - kaidah hukum baru dalam
studi HAN, maka lama kelamaan HAN itu menjadi lapangan studi sendiri,terpisah
bahkan mencakup masalah - masalah yang jauh lebih luas dari HTN.
Kecenderungan seperti ini tampak pula pada bagian - bagian tertentu dari HAN itu
sendiri , seperti kecenderungan Hukum Pajak yang cenderung untuk menjadi ilmu
yang mandiri , terlepas dari HAN. Dengan demikian HAN itu merupakan bagian
dari hukum publik, karena berisi pengaturan yang berkaitan dengan masalah -
masalah umum ( kololektip).

7
Akan halnya kepentingan umum itu yang dimaksudkan adalah kepentingan
nasional (bangsa), masyarakat dan negara. Kepentingan Umum harus lebih
didahulukan daripada kepentingan individu, golongan dan kepentingan daerah
dengan pengertian bahwa kepentingan perseorangan tidak sampai terdesak sama
sekali oleh kepentingan umum itu. Untuk Indonesia sudah jelas bahwa antara
kepentingan umum dan kepentingan perseorangan harus dilindungi secara
seimbang , sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan negara dan pemerintahan
seperti tertera dengan jelas di dalam Pembukaan UUD l945 yang berbunyi : “ ......
melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi dan keadilan
sosial ...... “ . Hukum Administrasi materiil terletak diantara hokum privat dan
hukum pidana. Hukum Pidana berisi norma - norma yang begitu penting ( esensial
) bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma–norma tersebut tidak
diserahkan pada pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum
Privat berisi norma - norma yang penegakannya dapat diserahkan kepada pihak
partikelir. Diantara kedua bidang hukum itu terletak Hukum Administrasi .1

Terhadap penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan


dalam suatu negara hukum itu terdapat aturan-aturan hukum yang tertulis dalam
konstitusi atau peraturan-peraturan yang terhimpun dalam hukum tata negara.
Meskipun demikian, untuk menyelenggrarakan persoalan-persoalan yang bersifat
teknis, hukum tata negara ini tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan efektif.
Dengan kata lain, hukum tata negara membutuhkan hukum lain yang bersifat
teknis, hukum tersebut adalah hukum administrasi negara. Menurut J.B.J.M Ten
Berge, hukum administrasi negara adalah sebagai perpanjangan dari hukum tata
negara atau sebagai hukum skunder yang berkenaan dengan keanekaragaman
lebih mendalam dari tatanan hukum publik sebagai akibat pelaksanaan tugas oleh
penguasa.

1
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2005), hal. 47-48

8
Atas dasar tersebut, tampak bahwa keberadaan hukum administrasi negara
seiring berjalan dengan keberadaan negara hukum dan hukum tata negara, J.B.J.M
Ten Berge mengatakan bahwa hukum administrasi negara berkaitan erat dengan
kekuasaan dan kegiatan penguasa. Kerana kekuasaan dan kegiatan penguasa itu
dilaksanakan, maka lahirlah hukum administrasi negara. Dengan kata lain, hukum
administrasi negara, sebagaimana hukum tata negara berkaitan erat dengan
persoalan kekuasaan. Mengingat negara itu merupakan organisasi kekuasaan ,
maka pada akhirnya hukum administrasi akan muncul sebagai instrumen untuk
mengawasi penggunaan kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, keberadaan
hukum administrasi negara itu muncul karena adanya penyelenggaraan kekuasaan
negara dan pemerintahan dalam suatu negara hukum, yang menuntut dan
menghendaki penyelenggaraan tugas-tugas kenegaraan, pemerintahan, dan
kemasyarakatan yang berdasarkan atas hukum.

Pada masa sekarang ini, hampir semua negara-negara di dunia menganut


negara hukum, yakni yang menempatkan hukum sebagai aturan main
penyelenggaraan kekuasaan negara dan pemerintahan. Sebagai negara hukum,
sudah barang tentu memiliki hukum administrasi negara sebagai instrumen untuk
mengetur dan menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan negara.2

2.2 Hubungan HAN dengan HTN


Menurut teori Residu, HAN adalah bagian dari HTN dalam arti luas. HAN
merupakan HTN dalam arti luas dikurangi dengan HTN dalam arti sempit (teori
Residu).

Ada dua golongan yang mempunyai pendapat tentang hubungan kedua


bidang ilmu hukum ini yaitu:

Golongan pertama berpendapat bahwa:

Antara HAN dan HTN tidak terdapat perbedaan yang hakiki atau tidak
terdapat perbedaan yuridis yang prinsipil. Pendapat pada umumnya dianut oleh
para sarjana hukum di Perancis, Inggris, Amerika Serikat dan negara-negara
sosialis.

2
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 19-22

9
Prins berpendapat bahwa HTN mengenai hal yang pokok seperti dasar
susunan negara yang langsung mengenai setiap warga negara, sedangkan HAN
mengenai peraturan teknis.

Di Indonesia yang menganut pendapat ini adalah Prajudi (1995, 47) yang
berpendapat bahwa:tidak ada perbedaan-perbedaan yuridis prinsipil antara HAN
dan HTN.

HTN diartikan sebagai hukum konstitusi negara secara keseluruhan yang


menyoroti hukum dasar daripada negara secara keseluruhan sedangkan HAN:
menitikberatkan kepada kita secara khas atau khusus kepada administrasi saja
daripada negara. Jadi administrasi merupakan salah satu bab yang terpenting
dalam konstitusi negara disamping legislasi dan yudikasi.

Pada intinya Prajudi beranggapan bahwa HAN sebagai suatu


pengkhususan atai spesialisasi belaka dari salah satu bagian daripada HTN, yakni
bagian hukum mengenai administrasi daripada negara.3

Menurut beliau yang membedakan HAN dan HTN adalah:

 Kesatuan obyek studi


 Metodologi pengkajian.

Golongan kedua mengatakan bahwa:

Terdapat perbedaan yang hakiki antara HAN dan HTN.

Pendapat ini banyak dianut di negara Belanda yang kemudian diikuti oleh
sarjana hukum Indonesia. Para ahli hukum itu antara lain:

a. Oppenheim

HTN adalah keseluruhan aturan-aturan hukum yang mengadakan alat-alat


perlengkapan negara dan mengatur kekuasaannya (negara dalam keadaan tidak
bergerak).

33
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2012), h.225-26.

10
HAN adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengikat badan-badan
negara baik yang tinggi maupun yang rendah jika badan-badan itu mulai
menggunakan wewenangnya yang ditentukan dalam HTN (negara dalam keadaan
bergerak).

b. Van Vollenhoven

Berpendapat bahwa HTN berbicara tentang distribusi kekuasaan-


kekuasaan negara, sedangkan HAN adalah hukum mengenai pelaksanaan atau
penggunaan daripada kekuasaan-kekuasaan atau kewenangan-kewenangan
tersebut.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa, HAN meliputi seluruh kegiatan negara


dalam arti luas, jadi tidak hanya terbatas pada tugas pemerintahan dalam arti
sempit saja, tetapi juga meliputi tugas peradilan, polisi dan tugas pembuat
peraturan.

Van Vollenhoven berpendapat bahwa, badan-badan negara tanpa HTN itu


bagaikan tanpa sayap, karena badan-badan itu tida mempunyai wewenang
sehingga keadaannya tidak menentu. Sebaliknya badan-badan negara tanpa
adanya HAN menjadi bebas tanpa batas, karena mereka dapat berbuat menurut
apa yang mereka inginkan.4

c. Logemann,
Perbedaan antara HAN dan HTN adalah sebagai berikut:
1. Hukum tata negara dalam arti sempit meliputi:
a. Persoonsleer yaitu yang mengenai person dalam arti hukum yang
meliputi hak dan kewajiban manusia, personifikasi, pertanggung-
jawaban, lahir dan hilangnya hak dan kewajiban tersebut, hak
organisasi, batasan-batasan dan wewenang.
b. Gebiedsleer, yaitu yang menyangkut wilayah atau lingkungan
dimana hukum itu berlaku dan yang termasuk dalam lingkungan
itu adalah waktu, tempat dan manusia atau kelompok dan benda.

44
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2012), h.26-27.

11
2. Hukum administrasi negara meliputi: ajaran mengenai hubungan
hukum. HAN mempelajari jenisnya, bentuk serta akibat hukum yang
dilakukan oleh para pejabat dalam melakukan tugasnya.
a. Menurut Vegting, HTN dan HAN mempunyai lapangan
penyelidikan yang sama, yang membedakannya hanya dalam cara
pendekatan yang digunakan. Cara pendekatan yang dilakukan oleh
HTN ialah untuk mengetahui organisasi dari negara, serta badan-
badan lainnya, sedangkan HAN menghendaki bagaimana caranya
negara serta organ-organnya melakukan tugasnya.
Vegting berpendapat bahwa HTN mempunyai obyek penyelidikan
hal-hal yang pokok mengenai organisasi daripada negara,
sedangkan bagi HAN obyek penyelidikannya adalah mengenai
peraturan-peraturan yang bersifat tertulis.
b. Menurut Sri Soemantri, hubungan HTN dan HAN adalah sebagai
berikut:
1. HTN mempelajari Negara dalam keadaan diam, HAN
mempelajari negara dalam keadaan bergerak
2. Kalau HTN dengan meminjam istilah kedokteran di ibaratkan
anatomi, maka HAN diibaratkan dengan fisiologi (ilmu faal)
3. HTN berkenaan dengan pembuatan kebijakan, HAN sebagai
pelaksanaan kebijakan.5

Guna mengakhiri perbedaan pendapat mengenai perbedaan antara hukum


tata negara dengan hukum administrasi negara, cukuplah disebutkan pendapat dari
Bagir Manan yang mengatakan bahwa secara keilmuan hukum yang mengatur
tingkah laku negara (alat pelengkap negara) dimasukkan kedalam kelompok
hukum tata negara, sedangkan hukum yang mengatur tingkah laku pemerintah
(dalam arti administrasi negara) masuk kedalam kelompok hukum administrasi
negara.6

55
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2012), h.27-28.
6
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, hal. 52-53

12
2.3 Hubungan HAN dengan Hukum Pidana
Hubungan antara HAN dan hukum pidana menurut para ahli adalah
sebagai berikut:

1. H.J.Romeyn, beliau adalah seorang ahli pidana: hukum pidana dipandang


sebagai bahan pembantu (hulprecht) bagi HAN, karena penetapan sanksi
pidana merupakan salah satu sarana untuk menegakkan HAN, sebaliknya
peraturan-peraturan hukum di dalam perundang-undangan administrasi
dapat dimasukkan dalam lingkungan hukum pidana.
2. Scholten: hukum pidana memberikan sanksi luar biasa, baik kepada
beberapa kaidah hukum umum, maupun kepada peraturan administrasi
negara.

Scholten membagi hukum pidana menjadi dua yaitu:

 Hukum pidana umum yang mengatur pelanggaran hukum.


 Hukum pidana pemerintah yang mengatur pelanggaran peraturan
perundang-undangan.
3. E. Utrecht: hukum pidana memberi sanksi istimewa baik atas pelanggaran
kaidah hukum privat maupun hukum atas pelanggaran kaidah hukum
publik yang ada.
Contoh: Pasal 558 KUHP
“pegawai catatan sipil yang alpa menuliskan suatu akta dalam daftar/yang
menuliskan suatu akta pada sehelai kertas yang terlepas di pidana dengan
denda sebanyak-banyaknya seribu lima ratus rupiah”.
4. Van Kan: hukum pidana pada hakikatnya tidak memuat kaidah-kaidah
hukum baru, hukum pidana tidak mengadakan kewajiban-kewajiban
hukum baru. Kaidah-kaidah yang telah ada di bagian lain seperti HAN,
hukum perburuhan, hukum pajak, HTN dan sebagainya dipertahankan
dengan ancaman hukuman atau dengan penjatuhan hukum berat.

13
Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hubungan antara
HAN denga hukum pidana adalah: bila terjadi pelanggaran terhadap HAN, maka
sanksinya terdapat dalam hukum pidana.

Karena perkembangan HAN begitu cepat sehingga banyak terjadi


pelanggaran-pelanggaran terhadap administrasi negara (peraturan-peraturan) yang
dapat dikenakan sanksi secara pidana, biasanya berupa sanksi administrasi atau
denda administrasi.

Badan hukum juga dapat dijatuhi hukuman, yaitu dapat dikenakan sanksi
adalah anggota pengurus dan kuasanya.7

2.4 Kedudukan DPD sebagai Lembaga Negara


a. Kedudukan DPD

DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan


sebagai lembaga negara ( Pasal 222 UU NO. 27 Tahun 2009 ). DPD terdiri atas
wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 221 UU NO.
27 Tahun 2009 ).

Sistem demokrasi yang hendak dibangun usai perubahan UUD


1945 menyangkut keanggotaan MPR yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keduanya dipilih lewat pemilu
(Pasal 2 ayat 1, 19 ayat 1, dan 22 C ayat 1, dan22 E ayat 2). Anggota DPD dari
setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih
dari sepertiga jumlah anggota DPR (22C ayat 2).

Sekalipun dipilih lewat pemilu, kekuasaan, fungsi, hak, dan kewajiban


kedua dewan ini berbeda. Asas ketidaksetaraan DPR dan DPD terbaca dari
susunan dan kedudukan DPD yang diatur dengan UU (22C ayat 3). Untuk
menentukan susunan dan kedudukan itu, DPD sama sekalitidak memunyai
kekuasaan apa-apa, mengingat setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (20 ayat 2).
Artinya, susunan dan kedudukan DPD ditentukan oleh DPR dan Presiden.

77
Jum Anggriani, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2012), h.30-31.

14
Secara implisit, kedudukan DPD berada di bawah DPR dan Presiden.
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan :

1) Otonomi Daerah;
2) Hubungan Pusat dan Daerah;
3) Pembentukan dan Pemekaran serta penggabungan daerah;
4) Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Ekonomi lainya;
5) Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (22D ayat 1)

Selain itu, anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang


syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam UU (22D ayat 4). Artinya, DPR dan
Presiden bisa mengatur pemberhentian anggota DPD.

Jelas sekali, apabila DPR dan Presiden berasal dari kalangan partai
politik (parpol) (6Aayat 2 dan 22E ayat 3), peserta pemilu untuk memilih anggota
DPD adalah perseorangan (22E ayat 4). Ketiadaan hak legislasi DPD
menyebabkan kepentingan parpol bisa mengatur susunan, kedudukan, dan
pemberhentian anggota DPD.

Dari pasal-pasal di atas, terlihat DPD hanyalah weak chamber di bawah


DPR dan Presiden dalam hal legislasi. Bisa juga diinterpretasikan bahwa DPD
adalah sub ordinat dari parpol yang terpilih menjadi Presiden atau Wakil
Presiden (Wapres) dan DPR dalam hubungan hierarki dan oligopoli. Sekalipun
begitu, kedudukan DPD bisa kuat ketika menjalankan haknya sebagai anggota
MPR, baik dalam mengubah dan menetapkan UUD (3 ayat 1),
melantik Presiden atau Wapres (3 ayat 2), memberhentikan Presiden atau Wapres
atas usul DPR setelah melewati proses dalam Mahkamah Konstitusi (7B ayat 7).

Apabila sepertiga anggota MPR dari DPD sepakat untuk mengubah arah
desentralisasi, atau memperkuat wewenang DPD, dan mampu memengaruhi
anggota DPR, betapa berbeda UUD nantinya. Begitu pula menyangkut
perkembangan civil society, hubungan negara dengan civil society, atau upaya
memperkuat civil society lewat konstitusi, mengingat keanggotaan DPD yang
tidak boleh dari parpol.

15
b. Fungsi dan Wewenang DPD

Berdasar UUD 1945, adapun fungsi, tugas dan wewenag DPD RI


dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:

 Legislasi :
a. Mengajukan usulan RUU bidang tertentu terkait UU OTDA,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, serta
penggabungan daerah dan Prolegnas.
b. Menyampaikan pandangan dan pendapat atas RUU yang diajukan
pemerintah.
c. Ikut membahas RUU bersama Pemerintah dan DPR RI.
 Pertimbangan :
a. Memberikan pertimbangan kepada DPB atas RUU APBN dan
RUU tentang Pajak, Pendidikan, dan Agama.
b. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas hasil pemeriksaan
BPK.
c. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK.
 Pengawasan :
a. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU OTDA,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, hub.
Pusda, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya.
b. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU APBN, pajak,
pendidikan, dan agama.8

Berdasarkan Pasal 223 UU No. 27 Tahun 2009 tentang Parlemen (MPR,


DPR, dan DPRD), fungsi DPD adalah sebagai berikut:

1) Pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang


berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran sertapenggabungan daerah,

8
Pusat Data dan Informasi Bidang Pemberitaan dan Media Visual DPD RI, Peran Dan Fungsi
Dewan Perwakilan Daerah, (Seminar Study Ekskursi, DPD RI, Jakarta, 13 Mei, 2016)

16
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2) Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomidaerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah;
3) Pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang
tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
dan
4) Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi
daerah, pembentukan,pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, danagama.9

Tugas dan Wewenang DPD sesuai dengan UU No. 27 Tahun 2009,


antara lain :

1) Dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang


berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2) Ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
3) Ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang
yang diajukan olehPresiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
4) Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang
tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama;

9
http://dokumen.tips/documents/makalah-dpd-55b07aed4bd89.html diakses pada tanggal 12
Oktober 2016

17
5) Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dandaerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
6) Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomidaerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dandaerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR
sebagai bahanpertimbangan untuk ditindaklanjuti;
7) Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai
bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-
undang yang berkaitan denganAPBN;
8) Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK; dan
9) Ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2.4 Penyalahgunaan Wewenang dalam UU Administrasi Pemerintahan


Penyalahgunaan wewenang adalah penggunaan wewenang oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan dengan melampaui
wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.10
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan sebenarnya bukanlah regulasi baru, setidaknya dari tahun

10
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

18
pengesahannya bisa diketahui bahwa regulasi itu sudah berlaku sejak 17 Oktober
2014. UU AP merupakan bagian penting dari proses reformasi birokrasi karena
menegaskan manajemen pemerintahan agar bisa berjalan dengan benar dalam
menjalankan fungsi pokok. Spirit UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (UU AP) adalah bahwa Seorang pejabat pemerintah tidak bisa lagi
menjalankan kewenangannya dengan sewenang-wenang. UU AP mengatur
bagaimana seorang pejabat administrasi pemerintahan menggunakan
kewenangannya dalam membuat keputusan dan tindakan. UU AP bisa dikatakan
menjadi salah satu manual book of governance activity, yaitu buku manual yang
menjadi standarisasi administrasi dalam tindakan atau aktifitas pemerintahan dari
seorang pejabat.11
Undang-undang ini menjadi dasar hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan
yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk
mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian,
Undang Undang ini harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik,
transparan, dan efisien.12 Dibuatnya UU AP merupakan upaya untuk menciptakan
kepastian hukum kepada masyarakat dan badan/ pejabat pemerintah. Keputusan
yang dibuat oleh pejabat pemerintahan pun dipastikan sesuai dengan kaedah
hukum dan metanorma dalam prinsip-prinsip jalannya pemerintahan. UU AP juga
diharapkan dapat menjamin akuntabilitas badan/pejabat karena dalam UU ini
ditentukan hak untuk mengakses dasar-dasar yang menjadi pertimbangan untuk
menentukan keputusan administrasi pemerintahan.
Selain itu, UU AP juga mengatur mengenai bagaimana semua keputusan
administrasi pemerintahan yang sifatnya memberatkan dan membebani
masyarakat, maka pejabat harus memberitahukan terlebih dahulu kepada
masyarakat dan memberi perlindungan hukum kepada masyarakat. Termasuk juga
pejabat harus menjelaskan berapa lama waktu untuk membuat keputusan dan
waktu penyampaian keputusan kepada masyarakat. Namun respon dan reaksi

11
Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Naskah Akadmeik
Rancangan Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan, hlm. 35.
12
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan, hlm. 4.

19
(baik positif maupun negatif) terhadap substansi Undang-undang Administrasi
Pemerintah itu, baru bermunculan secara sporadik akhir-akhir ini.
Salah satu alasan yang menyebabkan respon tersebut adalah terdapat
norma hukum yang terkesan baru dan bisa dikatakan progresif termuat dalam
Undang-undang tersebut. Meski mayoritas berisi regulasi dan standar normatif
pelaksanaan administrasi pemerintahan maupun yang berkaitan erat dengan
penegakan (internal) hukum administrasi, terdapat pula satu norma vital yang
berkaitan dengan penegakan hukum pidana, khususnya pemberantasan tindak
pidana korupsi. Penyalahgunaan wewenang merupakan salah satu unsur dalam
Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tipikor, yang menurut Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014 harus dinyatakan terlebih dahulu kebenarannya melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara. Ini menarik sebab bila ditelaah, dalam satu istilah
tersebut terdapat garis tipis yang berpotensi membuatnya berada dalam dua rezim
hukum yang berbeda. Dalam konteks Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor,
penyalahgunaan wewenang merupakan mixing antara konsep maupun norma
hukum administrasi dengan norma hukum pidana, dalam arti sebuah aturan
administrasi yang juga memuat sanksi pidana. Inilah yang sering umum
disebut administrative penal lawatau verwaltungs strafrecht.
Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 menyatakan:
“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak
ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan” Sementara Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2014, menyatakan: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan”.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, memberikan perluasan kewenangan bagi Pengadilan Tata Usaha
Negara. Yang paling kentara adalah perluasan makna Keputusan Tata Usaha
Negara (vide Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014) serta Pengujian
Ada/Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan (videPasal 21 Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2014). Jiwa dari pengujian ada/tidaknya
penyalahgunaan wewenang sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi

20
berdasarkan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, sebenarnya sejalan atau tidak
jauh berbeda bila dikomparasikan dengan sifat pengujian praperadilan dalam
sebuah tindak pidana yang hanya menguji salah satu unsur formal dari tindak
pidana korupsi, yaitu penyalahgunaan wewenang.
Keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga penguji
penyalahgunaan wewenang, bukan merupakan bentuk reduksi terhadap
kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Tipikor), sebagai langkah mundur
dalam pemberantasan korupsi, melainkan sebagai langkah penegakan hukum,
karena meskipun yang diuji adalah salah satu unsur pidana dalam Pasal 3 UU
Pemberantasan Tipikor, akan tetapi konteks penyalahgunaan wewenang berada
dalam ranah hukum administrasi.13 Hal yang sama juga merupakan substansi dari
pengertian menyalahgunakan kewenangan tidak ditemukan eksplisitasnya dalam
hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata
yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya. Adanya peranan
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menguji ada/tidaknya penyalahgunaan
wewenang dimaksudkan untuk mempermudah penentuan unsur “penyalahgunaan
wewenang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor,
sehingga pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa Tindak Pidana Korupsi
selanjutnya akan lebih fokus pada unsur-unsur pidana dari Tindak Pidana Korupsi
itu sendiri. Sejalan dan merupakan efek lanjutan dari pendapat Romli
Atmasasmita14: “…bahwa penyidik dan penuntut tindak pidana korupsi eks Pasal
3 UU Tipikor 2001/1999, pasca berlakunya UU ADP 2014 tidak akan mengalami
kesulitan yang berarti untuk menerjemahkan pengertian istilah Penyalahgunaan
Wewenang terkait penuntutan dan pembuktian tindak pidana korupsi oleh
penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri lainnya atau aparat penegak hukum.
Sejauh ini, pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam konteks
Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, secara praktis mengambil alih pengertian
“penyalahgunaan wewenang” dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986. Hal yang bisa dikatakan merupakan implementasi dari
teoriAutonomie van het Materiele Strafrecht, yang pada prinsipnya menyatakan

13
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), (Jakarta: Rajawali Press, 2011). H.275.
14
Atmasasmita, Romli. Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. (Yogyakarta: Genta Publshing, 2012,) hlm. 53.

21
bahwa: Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang
berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan
tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian
yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. 15 Namun di dalam realitas sosial,
terjadi perbedaan pemahaman mengenai penerapan teori “Autonomie van het
Materiele Strafrecht” tersebut. Sebagian kalangan menganggap prasayarat
pengujian penyalahgunaan wewenang yang dilakukan di Pengadilan Tata Usaha
Negara, telah tepat. Akan tetapi ada pula yang menganggap hal tersebut tidaklah
perlu, karena Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, bisa menafsirkan sendiri unsur
penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, dengan
melandaskan diri pada asas tersebut di atas, dengan mengambil alih konsep serupa
yang telah ada dalam Hukum Administrasi.
Dalam UU AP yang baru ini, penyalahgunaan wewenang dalam jabatan
sebagai salah satu unsur dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor hakikatnya
merupakan rezim Hukum Administasi, sebab jabatan berhubungan dengan
tindakan/urusan pejabat maupun badan publik dalam melakukan urusan
administrasi pemerintahan di pusat maupun daerah, berdasarkan kewenangan atau
diskresi yang ada padanya. Penalaran ini pun sejalan dengan ketentuan Pasal 53
ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, bahwa pengujian sengketa
di bidang administrasi (baik berdasarkan Undang-undang Peratun maupun
Undang-undang Administrasi Pemerintahan), salah satunya karena adanya
pelanggaran terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Pelanggaran
terhadap larangan penyalahgunaan wewenang tersebut tidak dinormakan sebagai
peraturan, pada hakikatnya penyalahgunaan wewenang tetap merupakan bagian
dari Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), sehingga jangkauan
kewenangan pengujiannya tetap berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Terlebih pengkajian mengenai ketidakberwenangan sebagaimana pasal 17 ayat (2)
UU Administrasi Pemerintahan (baik dalam bentuk detournement de
pouvoirmaupun willekeur), selama ini sudah menjadi domain Pengadilan Tata
Usaha Negara untuk mengujinya.

15
Adami Chawazi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Cetakan Kedua,
(Malang: Banyu Media Publishing, 2005), hlm. 341.

22
2.5 Definisi Korupsi
Korupsi merupakan bagian dari proses immoral yang sistemik dan daapt
dilakukan oleh siapapun tanpa pandang agama. Istilah korupsi berasal dari bahasa
latin yaitu corruptio. Kata corruption berasal dari kata corrumpore. Dari bahasa
latin inilah yang diikuti dalam bahsa Eropa seperti corruption, corrupt dalam
bahasa Inggris; Corruption dalam bahasa Prancis dan Corruptie dalam bahasa
Belanda.16
Dalam ensiklopedia Indoensia disebutkan bahwa korupsi dari
latin: corruptio sama dengan penyuapan dan corrumpore sama dengan merusak
yaitu gejala bahwa pejabat badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Dalam kamus bahasa
Indonesia disebutkan bahwa korupsi mengandung pengertian penyelewengan atau
penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk keuntungan
pribadi atau orang lain.17
Sementara itu, korupsi seringkali di kaitkan dengan praktek kolusidan
nepotisme, 18 menurut standar yang digunakan untuk memberikan pengertian
tindak pidana korupsi secara konstitusional diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999
Pasal 1 ayat (3)m, (4) dan ayat (5) menjabarkan:
1. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi;

2. Kolusi adalah pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum atau


penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain
yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara;

3. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan


hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kronnya
diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

16
Igm Nurjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perspektif Keadilan Melawan
Hukum,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 14.
17
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1997), hlm. 527.
18
Igm Nurjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perspektif Keadilan Melawan
Hukum,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 18.

23
Dalam definisi yang sudah disebutkan, maka terdapat tiga unsur dari
pengertian korupsi, yaitu:
1. Menyalahgunakan kekuasaan;

2. Kekuasaan yang dipercayakan (baik dari sektor publik maupun swasta),


memiliki akses keuntungan materi;

3. Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti untuk pribadi orang yang


menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya maupun
koleganya).

Korupsi menurut standar yang digunakan untuk memberikan pengertian


tindak pidana korupsi secara konstitusional diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999
Pasal 1 ayat (3), (4) dan ayat (5) dengan penjabaran:
1. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi.

2. Kolusi adalah pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum atau


penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain
yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

3. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan


hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya
di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Secara yuridis pengertian korupsi menurut Pasal 1 UU No. 24 Prp.


Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan PemeriksaanTindak Pidana
Korupsi adalah bahwa: “Yang disebut tindak pidana korupsi, ialah:
1. Tindakan seorang yang dengan sengaja atau karena melakukan kejahatan
atau pelanggaran memperkaya din sendiri atau orang lain atau suatu badan
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan
yang menerima bantuan dan keuangan negara atau daerah atau badan
hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran
dan negara atau masyarakat.

2. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan


atau dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

24
Dalam Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dijelaskan tentang pengertian korupsi yaitu bahwa: “Dihukum
karena tindak pidana korupsi ialah:
1. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan din sendiri atau orang lain
atau suatu hadan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung
atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.

2. Barang siapa yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal


209, 210. 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 435 KUHP.

3. Barang siapa memberi hadith atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si
pemberi hadith atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
itu.

4. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420
KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang
berwajib.

Kemudian pengertian korupsi dalam Pasál 2 dan 3 UU No 31 Tahun


1999 yang mencabut UU No. 3 Tahun 1971 di atas, atau disebutkan sebagai
rumusan delik tindak pidana korupsi yaitu:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suitu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat (1).

2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).

25
2.6 Jenis dan Tipologi Korupsi
Jenis dan Tipologi Korupsi menurut bentuk-bentuk TIPIKOR menurut UU
No. 31 Tahun 1999 dan diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
1. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain,
atau Suatu Korporasi (Pasal 2).

2. Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahgunakan Kewenangan,


Kesempatan, Sarana Jabatan, atau Kedudukan (Pasal 3).

3. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberikan atau Menjanjikan


Sesuatu (Pasal 5).

4. Tindak Pidana Korupsi Suap pada Hakim dan Advokat (Pasal 6).

5. Korupsi dalam Hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan Bangunan dan
Korupsi dalam Hal Menyerahkan Alat Keperluan TM dan KNRI (Pasal 7).

6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga (Pasal


8).

7. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Memalsu Buku-Buku dan Daftar-


Daftar (Pasal 9).

8. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Merusakkan Barang, Akta, Surat,


atau Daftar (Pasal 10).

9. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang Berhubungan


dengan Kewenangan Jabatan (Pasal 11).

10. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggaraan Negara atau Hakim dan
Advokat Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa
Membayar, Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan,
MenggunakanTanah Negara, dan Turut Serta dalam Pemborongan (Pasal
12).

11. Korupsi Suap pada Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan


Jabatan (Pasal 13).

12. Tindak Pidana yang Berhubungan dengan Hukum Acara Pemberantasan


Korupsi.

26
13. Tindak Pidana Pelanggaran Terhadap Pasal 220, 231, 421, 429, dan 430
KUHP (Pasal 23).

27
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Penyalahgunaan Kewenangan yang Dilakukan oleh Ketua DPD RI

H. Irman Gusman, S.E., M.B.A. adalah seorang Ketua DPD RI periode


2014-2019. Pada Hari Sabtu Tanggal 17 September 2016 sekitar pukul 00.30,
penyidik KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Irman
Gusman di rumah dinasnya, Kompleks Pejabat Tinggi Negara, Jl. Denpasar Raya
Blok C-3 No. 08 Jakarta Selatan. KPK menyita uang 100 juta yaitu uang dugaan
suap kuota gula impor.

Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bahwa dugaan pemberian uang


100 juta oleh pimpinan CV Semesta berjaya (SB) kepada Irman Gusman tersebut
terkait pengurusan kuota impor gula yang diberikan oleh Badan Urusan Logistik
(Bulog) terhadap CV SB pada 2016 untuk Provinsi Sumbar. Dengan pernyatan
tersebut KPK menyatakan Irman sebagai tersangka karena dianggap telah
memperdagangkan pengaruhnya melalui rekomendasinya kepada Bulog untuk
memuluskan jatah impor gula bagi sebuah perusahaan di Sumatera Barat.

Terkait kasus tersebut, Irman Gusman sebagai Ketua DPD RI sebagai


perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara seharusnya
menjalankan Tugas dan Wewenangnya sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam UU No. 27 Tahun 2009.

Penyalahgunaan wewenang adalah penggunaan wewenang oleh Badan


dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan dengan melampaui
wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 19 Kasus dugaan suap Irman
tersebut termasuk dalam penyalahgunaan wewenang, karena perbuatan tersebut
tidak seharusnya dilakukan Irman Sebagai Ketua DPD RI. Dalam tata tertib RI

19
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

28
telah dijelaskan mengenai kode etik dan larangan yang harus dipatuhi oleh
anggota DPD RI.

Menurut Ketua Badan Kehormatan DPD RI, AM Fatwa, beliau


mengatakan bahwa Irman Gusman diberhentikan menjadi ketua DPD RI karena
dia dianggap telah melakukan pelanggaran etik menurut. Pemberhentian tersebut
dilandaskan pada Pasal 23 ayat (2b) Peraturan DPD RI No. 1 TAHUN 2014
Tentang Tata Tertib yaitu “melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik”.
Sedangkan menurut Pasal 213 ayat (3) Peraturan DPD RI No. 1 TAHUN 2014
Tentang Tata Tertib yaitu “Anggota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi”. Selain itu, anggota DPD dapat
diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
UU (22D ayat 4) yang berbunyi “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat
diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
undang-undang”. Artinya, DPR dan Presiden bisa mengatur pemberhentian
anggota DPD.

Selanjutnya jika dia memang benar-benar terbukti menerima suap dan


pengadilan telah menetapkan dia sebagai tersangka atas kasus penerimaan suap,
maka sesuai Pasal 214 ayat (4) Peraturan DPD RI No. 1 TAHUN 2014 Tentang
Tata Tertib dia dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota.

Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 menyatakan:


“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak
ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan” Sementara Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2014, menyatakan: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan”.

Menurut Pasal-Pasal diatas jika dikaitkan dengan kasus dugaan suap yang
menimpa Irman, maka Pengadilan berhak menerima, memeriksa, dan
memutuskan apakah kasus dugaan suap tersebut memang benar dilakukan oleh

29
Irman atau tidak, karena Irman adalah termasuk sebagai Pejabat Pemerintahan
yaitu Ketua DPD RI.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan, memberikan perluasan kewenangan bagi Pengadilan Tata Usaha
Negara. Yang paling kentara adalah perluasan makna Keputusan Tata Usaha
Negara (vide Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014) serta Pengujian
Ada/Tidaknya Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan (videPasal 21 Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2014). Jiwa dari pengujian ada/tidaknya
penyalahgunaan wewenang sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi
berdasarkan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, sebenarnya sejalan atau tidak
jauh berbeda bila dikomparasikan dengan sifat pengujian praperadilan dalam
sebuah tindak pidana yang hanya menguji salah satu unsur formal dari tindak
pidana koHrupsi, yaitu penyalahgunaan wewenang.

Melihat pembahasan diatas maka, sesuai Pasal 3 UU Pemberantasan


Tipikor yang menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang adalah termasuk
dalam ranah hukum administrasi. Kasus dugaan suap yang menimpa Irman
tersebut merupakan penyalahgunaan wewenangnya sebagai Ketua DPD RI.

3.2 Hubungan HAN dengan Hukum Pidana dalam Kasus Dugaan Suap
Ketua DPD RI

DPD merupakan salah satu dari lembaga-lembaga dalam sistem


ketatanegaraan UUD 1945 yang ketentuan tugas dan wewenagnya telah
ditetapkan dalam UUD 1945 sendiri dan UU No. 27 Tahun 2009 tentang
Parlemen. Adapun pengaturan mengenai administrasi pemerintahannya dijelaskan
dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undanyg-
undang tersebut menjadi landasan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan
didalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik, dan sebagai upaya untuk
mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam Perundang-undangan
tersebut juga dijelaskan bahwa Pejabat atau Pemerintahan yang mengambil
keputusan dengan melampaui wewenang, mempercampuradukkan wewenang,

30
atau bertindak sewenang-wenang, maka ia dianggap telah menyalahgunakan
wewenangnya.

Terkait kasus dugaan suap yang dialami oleh Irman Gusman yang
dianggap telah mempergunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi pihak
tertentu, dalam hal ini terdapat beberapa point bahasan yang akan
menghubungkan kasus tersebut dengan pendapat para ahli mengenai hubungan
antara HAN dan Hukum Pidana :

1. H.J.Romeyn menyatakan: hukum pidana dipandang sebagai bahan


pembantu (hulprecht) bagi HAN, karena penetapan sanksi pidana
merupakan salah satu sarana untuk menegakkan HAN. Sebaliknya,
peraturan-peraturan hukum dalam perundang-undangan administrasi dapat
dimasukkan dalam kelompok lingkungan pidana.

Dalam kaitan teori tersebut, Irman Gusman yang dianggap telah


menyalahgunakan wewenang karena melanggar Pasal 213 ayat (3) dan (4)
Peraturan DPD RI No. 01 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, yakni tentang
larangan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta larangan
menerima gratifikasi. Apabila diketahui menerima gratifikasi maka wajib
dilaporkan di KPK.

Adapun dalam pasal lain undang-undang tersebut juga dijelaskan


mengenai sanksi terhadap pelanggaran tersebut, yaitu sebagaimana
terdapat dalam Pasal 29 yang menyatakan:

1) Anggota diberhentikan sementara karena:


a. Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
2) Dalam hal Anggota dinyatakan terbukti bersalah karena
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, Anggota yang bersangkutan diberhentikan sebagai
Anggota.

31
3) Dalam hal Anggota dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
Anggota yang bersangkutan diaktifkan.

Selanjutnya, dalam Pasal 68 undang-undang tersebut menyatakan:

1) Dalam hal keanggotaannya diberhentikan sementara sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pimpinan DPD yang
bersangkutan tidak diperbolehkan melaksanakan tugas memimpin
sidang dan berbicara atas nama DPD.
2) Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan kembali tugasnya dan dapat direhabilitasi nama
baiknya oleh Badan Kehormatan apabila yang bersangkutan
dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana dimaksud
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

Sehingga berdasarkan implementasi tersebut, untuk sementara ini


beliau diberhentikan statusnya sebagai Ketua DPD RI. Jika terbukti
bersalah mengenai tindakan yang dilakukan Irman Gusman, maka beliau
dapat dijerat Undang-Undang Tipikor No. 20 Tahun 2001 yang
menyatakan:

Pasal 11 : Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)


tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana
denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut

32
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut
ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 12 : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana


penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang


menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;

Berdasar uraian tersebut, maka sanksi-sanksi pidana yang terdapat


dalam peraturan hukum administrasi yakni yang berupa sanksi-sanksi yang
terdapat dalam Peraturan DPD, menurut H.J. Romeyn dapat dimasukkan
dalam lingkungan hukum pidana.

2. Scholten membagi hukum pidana menjadi dua, yaitu:


a. hukum pidana umum yang mengatur pelanggaran hukum, dan
b. hukum pidana pemerintah yang mengatur pelanggaran peraturan
perundang-undangan.

Keduanya tanpa dibedakan harus diberi sanksi yang luar biasa.


Adapun dalam kasus Irman Gusman ini termasuk dalam kategori hukum
pidana pemerintah, hal ini karena kedudukan Irman Gusman yang sebagai

33
Ketua DPD RI, yang mana dalam dugaan kasusnya ia dianggap telah
melakukan pelanggaran terhadap kode etik dalam Peraturan DPD RI serta
perundang-undangan tentang administrasi pemerintahan.

Jadi dalam hal ini Scholten tidak menjelaskan tentang hubungan


hukum administrasi negara dengan hukum pidana. Akan tetapi beliau
hanya menjelaskan tentang hukum pidana umum dan hukum pidana
pemerintahan, yakni hukum pidana dalam kasus hukum administrasi
negara.

3. E. Utrecht : Pendapatnya tidak jauh berbeda dengan Scholten, beliau tidak


membedakan pemberian sanksi pidana terhadap hukum privat atau
hukum publik yang didalamnya termasuk hukum administrasi negara.
Keduanya harus diberi sanksi yang istimewa. Sehingga ia tidak
mengkategorikan tindakan seperti yang dilakukan Irman Gusman
termasuk pidana pemerintahan atau pidana umum, maupun lainnya.
4. Van Kan : beliau tidak membedakan antara hukum pidana yang diatur
dalam regulasi hukum pidana maupun regulasi sanksi yang terdapat dalam
peraturan-peraturan administrasi jika aturan tersebut dilanggar. Sehingga
meskipun ada regulasi pidana yang baru, sanksi-sanksi administratif
tersebut harus tetap diberlakukan dengan ancaman hukum yang berat.

Hal tersebut juga berlaku dalam kasus Irman Gusman, yang mana
ia tetap harus menerima konsekuensi peraturan administratif berupa
diberhentikannya jabatannya sebagai Ketua DPD RI, dan apabila terbukti
bersalah juga harus tetap dijerat Pasal Undang-Undang Tipikor
sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Dari semua keterangan tersebut dapat diambil suatu benang merah,


bahwasannya dengan adanya suatu pelanggaran terhadap Hukum
Administrasi Negara, maka sebagai sanksinya terdapat dalam hukum
pidana. Hal demikian pula yang dialami Irman Gusman, oleh karena
dugaan penyalah gunaan kewenangannya yang melanggar Hukum

34
Administrasi Negara, maka Irman Gusma harus menempuh ranah Hukum
Pidana sebagai akibat pelanggarannya.

Karena posisinya sebagai terdakwa, berdasarkan Hukum


Administrasi Negara Irman Gusman Harus diberhentikan sementara dari
jabatannya sebagai Ketua DPD RI hingga hal tersebut dapat dibuktikan.
Apabila ia terbukti bersalah berdasarkan kekuatan hukum yang tetap, maka
jabatannya akan diberhentikan selamanya dan mendapat hukuman tindak
pidana berdasarkan Undang-Undang Tipikor. Namun apabila Irman
Gusman tidak dapat dibuktikan bersalah maka ia dapat dikembalikan
jabatannya dan direhabilitasi nama baiknya oleh Badan Kehormatan.

35
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan, yaitu:

a. Kasus dugaan suap Irman tersebut termasuk dalam penyalahgunaan


wewenang, karena perbuatan tersebut tidak seharusnya dilakukan Irman
Sebagai Ketua DPD RI, karena perbuatan tersebut merupakan pelanggaran
kode etik seorang Pejabat Negara. Pemberhentian tersebut dilandaskan
pada Pasal 23 ayat (2b) Peraturan DPD RI No. 1 TAHUN 2014 Tentang
Tata Tertib. Sedangkan menurut Pasal 213 ayat (3) Peraturan DPD RI No.
1 TAHUN 2014 Tentang Tata Tertib , bahwa anggota DPD dilarang
menerima gratifikasi. DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam UU (22D ayat 4).Artinya, DPR
dan Presiden bisa mengatur pemberhentian anggota DPD. Jika dia
memang benar-benar terbukti menerima suap dan pengadilan telah
menetapkan dia sebagai tersangka atas kasus penerimaan suap, maka
sesuai Pasal 214 ayat (4) Peraturan DPD RI No. 1 TAHUN 2014 Tentang
Tata Tertib dia dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota. Menurut
Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor penyalahgunaan wewenang adalah
termasuk dalam ranah hukum administrasi. Kasus dugaan suap yang
menimpa Irman tersebut merupakan penyalahgunaan wewenangnya
sebagai Ketua DPD RI.
b. Menurut pendapat para ahli secara garis besar, hubungan antara Hukum
Administrasi Negara dengan Hukum Pidana yaitu; apabila terjadi
pelanggaran terhadap Hukum Administrasi Negara, maka sanksinya
terdapat dalam Hukum Pidana. Teori tersebut menunjukkan implikasinya
terhadap kasus dugaan suap yang dilakukan oleh Ketua DPD RI, Irman
Gusman. Karena Kasus yang dialaminya karena dugaan pelanggaran
terhadap tata tertib dan administrasi pemerintahan Irman Gusman di
Tangkap Tangan Oleh KPK dan ditetapkan sebagai tersangka. Sehingga

36
hal tersebut menyebabkan kedudukannya dicabut berdasarkan Peraturan
DPD RI No. 01 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, disamping itu jika dugaan
tersebut terbukti kebenarannya maka ia dapat dijerat berdasarkan Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi No. 20 Tahun 2001.

4.2 Saran

Upaya-upaya untuk menangkal korupsi akan kurang berhasil bila ancaman


atau hukuman yang dilakukan hanya setengah-setengah. Oleh karena itu, upaya
tersebut hendaknya harus dimulai secara sistematis, melibatkan semua unsur
masyarakat. Akar dari tindakan korupsi tersebut juga adalah tidak adanya usaha
bahu-membahu antara masyarakat dan pemerintah dan perasaan terlibat dengan
kegiatan-kegiatan pemerintah baik di kalangan pegawai negeri maupun dalam
masyarakat pada umumnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

Amirudin dan Asikin. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum.


Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.

Anggriani, Jum. 2012. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta:Graha Ilmu.

Chawazi, Adami. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di


Indonesia, Cetakan Kedua. Malang: Banyu Media Publishing.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka.

Hadjon, Philpus M. 2005. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta:


Gajah Mada University Press.

HR, Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.

Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Naskah


Akadmeik Rancangan Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan.

Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta:Prenada Media Group.

Nurjana, Igm. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perspektif
Keadilan Melawan Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pusat Data dan Informasi Bidang Pemberitaan dan Media Visual DPD RI. Peran
Dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah. (Seminar Study Ekskursi, DPD RI,
Jakarta, 13 Mei, 2016).

Romli, Atmasasmita. 2012. Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap Teori


Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Yogyakarta: Genta Publshing.

Soekanto, Soerjono. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:UI Press.

http://dokumen.tips/documents/makalah-dpd-55b07aed4bd89.html diakses pada


tanggal 12 Oktober 2016.

38
39

Anda mungkin juga menyukai