Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

“CARPAL TUNNEL SYNDROME”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di


Departemen Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Tugurejo Semarang

Diajukan Kepada :

Pembimbing : dr. Noorjanah, Sp.S

Disusun Oleh :
Hanung Choiri Rohmawan H2A014057P

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD TUGUREJO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
PERIODE 12 AGUSTUS – 6 SEPTEMBER 2019
1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
ILMU PENYAKIT SARAF

Presentasi Referat dengan judul :

CARPAL TUNNEL SYNDROME

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Bagian Ilmu Penyakit Saraf

RSUD Tugurejo Semarang

Disusun Oleh:
Hanung Choiri Rohmawan H2A014057P

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. Noorjanah, Sp S ............................. .............................

Mengesahkan:
Koordinator Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf

dr. Noorjanah, Sp S

2
BAB I
PENDAHULUAN

Carpal tunnel syndrome (CTS) atau sindroma terowongan karpal adalah


salah satu gangguan pada lengan tangan karena terjadi penyempitan pada
terowongan karpal, baik akibat edema fasia pada terowongan tersebut maupun
akibat kelainan pada tulang-tulang kecil tangan sehingga terjadi penekanan
terhadap nervus medianus dipergelangan tangan. Carpal tunnel syndrome diartikan
sebagai kelemahan pada tangan yang disertai nyeri pada daerah ditribusi nervus
medianus.1
Carpal tunnel syndrome merupakan neuropati tekanan terhadap nervus
medianus terowongan karpal di pergelangan tangan dengan kejadian yang paling
sering, bersifat kronik dan ditandai dengan nyeri tangan pada malam hari, parestesi
jari-jari yang mendapat innervasi dari saraf medianus, kelemahan dan atrofi otot
thenar.2
Terowongan karpal terdapat dibagian depan dari pergelangan tangan
dimana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui
oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk
dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk
oleh fleksor retinakulum yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia
tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini, akan menyebabkan
penekanan terhadap struktur yang paling rentan didalamnya yaitu nervus medianus.

BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Carpal tunnel syndrome (CTS) atau sindroma terowongan Carpal
adalah suatu kelainan yang sering dijumpai dalam praktik kedokteran.
Sindroma ini muncul karena adanya penekanan pada nervus medianus yang
terletak di antara ligamentum transversus carpalis, yang disebut juga fleksor
retinakulum pada bagian atas, dan tendo muskulus digitorum superficialis,
muskulus digitorum profundus, muskulus fleksor policis longus, dan tulang-
tulang carpal (scaphoid dan trapesium) di bagian bawahnya.
Secara anatomi, serabut saraf nervus medianus berasal dari ramus
cervicalis ke lima, enam, tujuh, dan delapan, serta ramus thoracalis pertama
dan melewati sebeah lateral dan medial dari pleksus brachialis. Cabang saraf
motorik menginervasi muskulus abductor policis brevis, opponenspollicis,
serta dua lumbrikalis lateral tangan. Serabut saraf sensorik menginervasi sisi
volar dari tiga jari lateral dan separuh lateral dari jari ke empat, termasuk
palmar dan sisi distal dorsal dari jari-jari tersebut melampaui ujung dari sendi
interfalanx 1. (Gambar 1)

4
Gambar 1. Innervasi serabut saraf sensorik dari nervus medianus pada tangan

CTS adalah kumpulan dari tanda dan gejala yang timbul setelah
terjadinya penekanan pada nervus medianus yang terletak pada terowongan
carpal. Gejalanya berupa mati rasa, kesemutan, dan nyeri pada daerah distribusi
persarafan n.medianus. Gejala tersebut bisa disertai dengan perubahan pada
sensasi dan kekuatan struktur yang disarafi oleh n.medianus.

5
2.2 Etiologi
Pada CTS isi dari terowongan carpal meningkat. Gelbermen dkk
menunjukkan bahwa besar tekanan pada terowongan carpal sekitar 3mmHg
dibandingkan dengan pasien dengan CTS yang memiliki besar tekanan
32mmHg, dengan pergelangan tangan pada posisi yang netral.8 patofisiologi
dari lesi saraf ini adalah iskemik, serta penekanan dari vasa dan nervus
sehingga meningkatkan tekanan.
Faktor predisposisi dari terjepitnya n.medianus mungkin disebabkan
karena gerakan berulang pada pergelangan tangan, seperti merajut, mengetik,
mencuci, berkendara, melukis, dan berkebun. Hal ini disimpulkan dari
pengalaman klinik dokter yang menangani sindroma seperti ini.
Beberapa kondisi medis turut dihubungkan dengan CTS, seperti
kehamilan, menyusui, siklus menstruasi, penggunaan kontrasepsi oral,
menopause, diabetes mellitus, kekurangan vitamin B, toxic shock syndrome,
hemodialisis dalam waktu lama, osteoartritis pada pergelangan tangan, artritis
reumatoid, obesitas, amiloidosis, mukolipidosis, kondromalasia, myxedema,
akromegali, kelainan ukuran carpal tunnel bawaan, dan athetoid dystonic
cerebral palsy. Kondisi-kondisi ini biasanya didiagnosis lebih awal
dibandingkan CTS sehingga etiologi dari CTS akan telah ditetapkan.
Kondisi-kondisi yang mungkin dapat meningkatkan volume dari carpal
tunnel adalah arteri madiana persisten, aneurisma atau malformasi arteri-vena,
anomali otot dan tendo, infeksi, perdarahan, kecil ukuran carpal tunnel
bawaan, neurofibroma, hemangioma, lipoma, ganglion, xanthoma, dan topus
gout.
Kondisi-kondisi medis tersebut sangat langka. Kondisi tersebut
mungkin dicurigai ketika kondisi di atas merupakan faktor predisposisi dan
ketika penyakit tidak muncul, dan ketika pasien telah gagal untuk dilakukan
terapi CTS secara konservatif. Sejak CTS diterapi dengan pembedahan, data-
data sebelumnya tentang penyebab dari CTS mungkin tidak dibutuhkan lagi,
dan etiologinya akan ditemukan intraoperatif.
6
2.3 Patofisiologi
Sampai munculnya uji elektrofisiologi pada tahun 1940, CTS umunya
dicurigai sebagai hasil dari penekanan pada pleksus brachialis oleh tulang-
tulang iga dan struktur lain pada regio depan leher. Sekarang diketahui bahwa
n.medianus mengalami kerusakan karena tertekan batas-batas carpal tunnel
yang keras, yang menyebabkan demielinisasi yang diikuti dengan degenerasi
axonal. Serabut saraf sensorik mungkin akan terkena lebih dahulu, diikuti
dengan serabut saraf motorik. Serabut saraf otonom mungkin juga dapat
terpengaruh.
Penyebab dari kerusakan n.medianus masih diperdebatkan,
bagaimanapun peningkatan tekanan yang abnormal pada carpal tunnel terjadi
pada pasien CTS. Tekanan ini menyebabkan obstruksi aliran darah vena,
edema, hingga iskemik dari saraf.
Resiko berkembangnya CTS mungkin dihubungkan, paling tidak satu
dari beberapa faktor-faktor epidemiologi yang lain, seperti genetik, kesehatan,
sosial, vokasi, avokasi,dan demografis.1 Mungkin terdapat hubungan yang
kompleks antara beberapa atau bahkan keseluruhan dari faktor tersebut, yang
akhirnya mengarah pada berkembangnya CTS, sehingga faktor kausatif masih
sulit untuk dijelaskan.

2.4 Epidemiologi
Amerika Serikat
Insidensi dari CTS 1 – 3 kasus tiap 1000 orang setiap tahunnya,
prevalensinya mencapai sekitar 50 kasus tiap 1000 orang pada populasi umum.
Insidensi dapat meningkat hingga 150 kasus tiap 1000 orang per tahun, dengan
angka prevalensi hingga 500 kasus tiap 1000 orang pada kelompok dengan
resiko tinggi.

7
Internasional
Penelitian berbasis populasi tentang CTS masih kurang, bagaimana
pun, insidensi dan prevalensi pada negara berkembang tampaknya sama
dengan Amerika Serikat ( contoh : angka insidensi di negara Belanda mencapai
2,5 kasus tiap 1000 orang per tahun, prevalensi di negara Inggris 70 – 160 kasus
tiap 1000 orang).2,3,4 CTS hampir tidak pernah terdengan dari beberapa negara
berkembang ( misalnya, di antara orang-orang kulit hitam di negara Afrika
Selatan)
Mortalitas/Morbiditas
CTS bukanlah penyakit yang berakibat fatal, namun dapat
menyebabkan kerusakan yang irreversibel dari n.medianus, dengan
konsekuensi berat berupa kehilangan fungsi tangan, apabila tidak dilakukan
terapi.
Ras
Orang-orang kulit putih kemungkinan memiliki resiko yang lebih tinggi
untuk terkena CTS. Sindroma ini sangat jarang terkena pada beberapa ras (
misal : pada orang Afrika Selatan yang berkulit hitam).4 Di Amerika Utara,
anggota tentara US yang berkulit putih terkena CTS 2-3 kali lebih banyak
dibandingkan anggota tentara yang berkulit hitam.5
Jenis Kelamin
Rasio insidensi CTS pada wanita dan pria adalah 3-10 : 1.
Umur
Puncak rentang usia untuk berkembangnya CTS adalah pada umur
45 – 60 tahun. Hanya 10% pasien dengan CTS yang berumur kurang dari 31
tahun.

2.5 Tanda Klinis


CTS lebih umum terjadi pada wanita daripada pria, dengan rasio
perbandingan 7 : 3. Walaupun prevalensinya lebih tinggi pada usia dekade ke
enam dan delapan, namun semua kelompok usia dapat terkena.
8
Manifestasi klinik dari CTS bermacam-macam. Kebanyakan pasien
mengeluh sakit, panas, kesemutan, dan baal pada bagian tangan yang bersifat
lokal pada tiga jari pertama dan sisi lateral dari jari ke empat, dengan sesekali
melibatkan sisi telapak tangan. Gejala biasanya memburuk pada malam hari,
diperberat dengan gerakan pada pergelangan tangan yang berlebihan, dan
menjadi menetap ketika semakin terjepit.2,3
Semakin parah CTS maka gejala yang timbul mungkin dapat menjalar
ke bagian tubuh yang lebih proksimal, hinggal mencapai lengan bawah, siku,
lengan atas, dan bahu. Kelemahan dalam menggenggam dan kebalikannya
mungkin juga dapat muncul dan penyakit ini mungkin dapat salah didiagnosis
sebagai cervical radiculopathy, shoulder bursitis, thoracic outlet syndrome,
transient ischaemic attack, coronary artery ischaemia, tendinitis, fibrositis
atau lateral epicondylitis.1,4,5
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan fungsi motorik
dan sensorik dari saraf yang terkena dibandingkan dengan saraf sisi ulna
ipsilateral. Tinel’s sign ( ketukan pada n.medianus setinggi lipatan karpal untuk
memicu timbulnya paraesthesiae pada dermatom n.medianus) dan Phalen’s
sign (menahan pergelangan tangan pada kondisi fleksi maksimal selama 30 –
60 detik untuk menimbulkan paraesthesiae pada n.medianus) adalah dua test
provokatif untuk mengetahui terjepitnya n.medianus. 2,3
Tingkat keparahan dan spesifisitas dari gambaran klinik dan tes
provokatif berbeda antara satu studi dengan studi yang lainnya. Satu studi
menyarankan untuk melakukan uji Tinel’s sign, dan bukan Phalen’s sign,
berhubungan secara signifikan dengan parameter elektrofisiologi yang
abnormal.
Studi lain menyatakan bahwa gambaran klinis dari CTS lebih spesifik
(66 – 87%) dan kurang sensitif (23 – 69%) untuk CTS.7 Lebih lanjut lagi,
kelemahan pada m.abductor pollicisbrevis lebih sensitif daripada
hyparaesthesiae dari n.medianus dan dermatomnya (masing-masing 66% dan
50%). Di sisi lain, Phalen’s sign, ketika positif untuk CTS, memiliki
spesifisitas 75% dan sensitivitas 50%, sedangkan Thinel’s sign hanya memiliki
9
sensitivitas 23%.7 Kami berpendapat bahwa tanda dan gejala motorik, sensorik,
serta perjalanan penyakit lebih penting dan lebih dapat dipercaya daripada
Phalen’s sign dan Thinel’s sign sebagai uji untuk diagnosis CTS.
Menurut Katz, dkk (2002), kriteria diagnostik dibuat berdasarkan
pengalaman klinis para peneliti, banyak gejala pasien ditemukan pada
perbatasan dari kelas klasifikasi yang satu dengan yang lainnya. Pada derajat 0
atau disebut juga dengan derajat Asimtomatik yaitu tidak ada gejala dan tanda
CTS, namun apabila dilakukan pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan
motorik mungkin ditemukan kelainan pada sekitar 20% populasi. Pada kondisi
ini tidak perlu dilakukan terapi.
Derajat 1 atau disebut juga derajat Simtomatik Intermiten terdapat
parastesia tangan (kesemutan) intermiten, namun tidak terdapat defisit
neurologis. Apabila dilakukan tes provokasi dan pemeriksaan konduksi saraf
sensorik dan motorik mungkin ditemukan kelainan. Pada derajat 1 sudah dapat
dilakukan terapi konservatif.
Pada CTS derajat 2 atau disebut juga dengan Simtomatik Persisten
terdapat defisit neurologis sesuai dengan distribusi saraf medianus dan bila
dilakukan tes provokasi akan didapatkan hasil yang positif serta pada
pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik tidak normal. Penanganan
yang dapat dilakukan pada CTS derajat 2 adalah dengan terapi konservatif atau
operatif. Derajat tertinggi yaitu derajat 3 disebut juga dengan derajat Berat.
Kondisi CTS derajat berat adalah terdapat atrofi otot thenaris. Apabila
dilakukan pemeriksaan dengan elektromiografis terdapat fibrilasi atau
neuropati unit motorik. Tindakan yang dapat dilakukan pada derajat ini dengan
melakukan terapi operatif.

2.6 Diagnosis
10
Anamnesis
Riwayat perjalanan penyakit pasien kadang lebih penting dibandingkan
dengan pemeriksaan fisik untuk menentukan diagnosis dari CTS.
 Mati rasa dan kesemutan
- Diantara keluhan-keluhan yang umum, pasien mengungkapkan bahwa
tangan mereka seperti terjatuh atau sering menjatuhkan sesuatu tanpa
mereka sadari (kehilangan kekuatan menggenggam, menjatuhkan
sesuatu), mati rasa dan kesemutan juga sering dideskripsikan oleh
pasien.
- Gejala biasanya bersifat hilang timbul dan berhubungan dengan
aktivitas (seperti : mengemudi, membaca koran, merajut, dan melukis).
Gejala yang timbul pada malam hari lebih spesifik untuk CTS, terutama
bila pasien berusaha mengurangi gejala tersebut dengan menggetarkan
tangan / pergelangan tangan. CTS bilateral sering terjadi, walaupun
tangan yang dominan biasanya terkena terlebih dahulu dan lebih parah
dibandingkan dengan tangan sisi lainnya.
- Keluhan biasanya bersifat lokal pada sisi palmar dari jadi pertama
sampai ke kempat dan palmar distal (distribusi sensorik dari
n.medianus). Mati rasa yang terjadi pada jari ke lima atau regio tenar
serta punggung tangan sebaiknya menjadi pertimbangan untuk
memikirkan diagnosis banding yang lain. Hal yang mengejutkan, di
mana pada beberapa pasien CTS tidak dapat melokalisasi keluhan
(misalnya: seluruh tangan / lengan terasa mati rasa). Mati rasa yang
bersifat general (seluruh tangan) mungkin mengindikasikan
keterlibatan serabut saraf otonom, dan tidak mengeluarkan CTS dari
diagnosis.

 Nyeri
- Gejala-gejala sensorik di atas sering disertai dengan rasa nyeri pada
daerah ventral dari pergelangan tangan. Rasa nyeri ini dapat menjalar
11
ke distal mencapai telapak tanga dan jari atau, lebih sering, menjalar ke
arah proksimal sepanjang sisi ventral dari lengan bawah.
- Rasa nyeri pada regio epicondylus dari siku, lengan atas, bahu, atau
leher lebih mengarah pada diagnosis penyakit muskuloskeletal yang
lain ( misal, epikondilitis) dimana sering berhubungan dengan CTS.
Nyeri yang lebih proksimal tersebut sebaiknya dilakukan pemeriksaan
yang lebih teliti untuk diagnosis penyakit neurologik yang lain ( misal,
cervical radikulopathy)
 Gejala otonom
- Tidak sedikit pasien yang mengeluhkan gejala terjadi di seluruh
tangannya. Banyak pasien dengan CTS juga mengeluhkan perasaan
keras/kaku atau bengkak pada tangannya dan/atau perubahan suhu
(misal, tangan menjadi dingin atau panas)
- Banyak juga pasien yang melaporkan perubahan sensitivitas tangan
terhadap suhu (biasanya dingin) dan perbedaan warna kulit. Kasus yang
jarang, dimana beberapa pasien mengeluhkan terjadinya perubahan
dalam hal keluarnya keringat. Kemungkinan besar, gejala-gejala
tersebut berhubungan dengan keterlibatan serabut saraf otonom dari
n.medianus.
 Kelemahan / kekakuan – Kehilangan kekuatan tangan (khususnya
ketepatan menggenggam yang melibatkan jempol) sering terjai; pada
prakteknya, kehilangan sensasi dan rasa nyeri sering menjadi penyebab
yang lebih penting dari kelemahan dan kekakuan, daripada kehilangan
kekuatan tangan.

Pemeriksaan Fisik

12
Pemeriksaan fisik penting dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
neurologis dan muskuloskeletal yang lainnya, namun pemeriksaan fisik kadang
hanya berkontribusi sedikit dalam mengkonfirmasi diagnosis CTS.
 Pemeriksaan sensorik
- Abnormalitas dari modalitas sensorik mungkin dapat terlihat pada regio
palmar (telapak) dari tiga jari pertama dan setengah sisi radial dari jari
ke kempat. Uji monofilamen Semmes-Weinstein atau diskriminasi 2
titik mungkin lebih sensitif, namun berdasarkan pengalaman penulis,
uji pinprick sama baiknya dengan uji yang lain.
- Uji sensorik paling berguna untuk menentukan bahwa area distal dari
persarafan n.medianus masih dalam kondisi normal (misal, tenar,
hypotenar, dorsum, dll)
 Pemeriksaan motorik – Kelelahan dan kelemahan otot tangan yang
diinervasi oleh n.medianus dapat diketahui (otot LOAF)
- L - First and second lumbricals
- O - Opponens pollicis
- A - Abductor pollicis brevis
- F - Flexor pollicis brevis
 Tes Khusus – Tidak ada uji klinis yang baik untuk mendukung diagnosis
CTS
- Hoffmann – Tinel sign
 Menekan secara gentle pada n.medianus di regio carpal tunnel
akan menimbulkan kesemutan pada daerah distribusi saraf
 Ui ini masih sering dilakukan, meskipun memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah
- Phalen sign
 Rasa kesemutan pada area distribusi n.medianus yang dirangsang
dengan fleksi maksimal (atau ekstensi maksimal untuk reverse
Phalen) dari pergelangan tangan lebih dari 60 detik.
 Uji ini memiliki spesifisitas 80% namun sensitivitas yang lebih
rendah
13
- The carpal compression test
 Tes ini dlakukan dengan melakukan tekanan kuat langsung di atas
carpal tunnel, biasanya dengan ibu jari, selama 30 detik untuk
menimbulkan gejala
 Laporan menunjukkan bahwa tes ini memiliki sensitivitas hingga
89% dan spesifisitas 96%.
- Palpatory diagnosis
 Tes ini dilakukan dengan memeriksa secara langsung jaringan
lunak yang melapisi n.medianus pada pergelangan tangan, untuk
restriksi mekanik.
 Tes ini trercatat memiliki sensitivitas lebih dari 90% dan
spesifisitas 75% atau lebih besar.
- The Square wrist sign
 Uji ini dilakukan dengan mengukur rasio ketebalan pergelangan
tangan dengan lebar pergelangan tangan, dimana hasilnya lebih
besar dari 0,7
 Tes ini memiliki sensitivitas/spesifisitas 70%
 Beberapa tes khusus telah dianjurkan, tetapi jarang memberikan informasi
tambahan.

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada tes darah untuk diagnosis CTS, namun uji laboratorium
untuk kondisi-kondisi yang berhubungan (misal, diabetes) mungkin dapat
dilakukan ketika ada indikasi.
 Studi Pencitraan
Tidak ada studi pencitraan yang rutin dilakukan dalam diagnosis
CTS
Magnetic Resonance Imagin (MRI) dari carpal tunnel sangat
berguna sebelung dilakukan operasi jika dicurigai terdapat space-
occupying lesion. pada beberapa kasus CTS, ketidaknormalan dari
14
n.medianus dapat dideteksi, maun bagaimana hubungan kondisi tersebut
dengan tingkat keparahan diagnosis dan fisiologis belum jelas. MRI tidak
dapat menyingkirkan diagnosis banding dan membutuhkan waktu serta
sumber daya yang banyak.10
Banyak laboratorium klinik neurofisiologi menggunakan USG
sebagai studi elektrodiagnostik. USG memiliki potensi untuk
mengidentifikasi space-occupying lesion yang terletak pada dan di sekitar
n.medianus, mengkonfirmasi kelainan dari n.medianus (misal,
peningkatan area cross sectional) yang dapat berupa diagnosis dari CTS,
dan sebagai pemandu dalam injeksi steroid pada carpal tunnel.

 Uji lainnya
- Elektroneurografi
Studi konduksi saraf didasarkan pada prinsip stimulasi saraf di
daerah tertentu. Dalam mempelajari status dari n.medianus pada carpal
tunnel, saraf distimulasi ke arah proksimal menuju ke CL dan senyawa
potensial aksi otot (CMAP) diangkut oleh skinelektroda yang terletak
pada eminensia tenar. CMAP merefleksikan status dari serabut saraf
motorik n.medianus. Amplitudo dari CMAP menggambarkan jumlah
serabut saraf motorik yang distimulasi. Durasi menggambarkan
konduksi kecepatan konduksi antar serat-serat yang berbeda. Latensi
antara titik rangsangan saraf dengan timbulnya CMAP tersebut,
menggambarkan kecepatan tercepat dari serabut saraf motorik pada
carpal tunnel (Gambar 2).
Serabut saraf sensorik dari n.medianus dapat pula dipelajari.
Stimulasi dilakukan pada lokasi yang sama dengan stimulasi serabut
saraf motorik dan potensial aksi serabut saraf sensorik (SNAP) direkam
dari ujung distal jari ke dua atau ke tiga. Studi mengenai saraf sensorik

15
n.medianus ini dapat dilakukan secara orthodromical atau anti-
orthodromical (Gambar 2)10

Abnormalitas karakteristik dari CMAP dan SNAP


dibandingkan dengan data normatif yang didapatkan sebelumnya, sama
baiknya dengan n.ulnaris sisi yang sama dan n.medianus pada sisi
kontralateral, menggambarkan status fungsional dari n.medianus (Tabel
1)

Studi elektrofisiologi, 14, 15, 16 termasuk elektromiografi (EMG)


dan studi konduksi saraf (NCS), adalah pemeriksaan utama yang
dilakukan pada kasus-kasus yang dicurigai sebagai CTS.17
Abnormalitas hasil dari uji elektrofisiologi, berkaitan dengan tanda dan
gejala yang spesifik, dianggap sebagai kriteria standar untuk diagnosis
CTS. Selain itu, diagnosis neurologis lainya dapat disingkirkan dengan
hasil tes tersebut. NCS pada pasien dengan CTS dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Studi konduksi sensorik dari tangan kiri pasien dengan riwayat
mati rasa dan kelemahan dalam jangka waktu beberapa tahun (respons
dari n.medianus tangan kanan benar-benar tidak ada). Perhatikan

16
melambatnya kecepatan konduksi (CV) menjadi 29,8 dan 25,5 m/s
untuk jari 3 dan 1, masing-masing (normal >50 m/s). Amplitudo untuk
keduanya juga berkurang secara tajam (normal >10). Temuan-temuan
ini sesuai dengan CTS.

Studi konduksi saraf motorik dari tangan kiri pasien dengan


riwayat baal dan lemah dalam waktu beberapa tahun (respons dari
n.medianus tangan kanan benar-benar tidak ada). Perhatikan bahwa
kecepatan konduksi (CV) pada segmen carpal tunnel menurun tajam
menjadi 18,3 m/s (normal >50 m/s) dan latensi neuron motorik pada
daerah distal dperpanjang menjadi 6,3 ms (normal <4,2 ms). Amplitudo
rendah pada titik rangsangan pergelangan tangan dan siku dengan nilai
4,7 mV (normal >5 mV), tetapi amplitudo meningkat 31% lebih tinggi
pada distal dari carpal tunnel (pada telapak tangan). Perbedaan ini dapat
mungkin menunjukkan blok konduksi (neuropraxia) setinggi carpal
tunnel atau koaktivasi dari cabang n.ulnaris pada m.aductor pollicis.
Elektromiografi jarum dibutuhkan untuk menentukan apakah terdapat
kerusakan axonal.

17
Pemeriksaan elektrofisiologi juga dapat memberikan
penaksiran yang akirat mengenai derajat kerusakan pada saraf,
sehingga dapat mengarahkan ke pengelolaan dan memberikan kriteria
yang objektif untuk menentukan prognosis. CTS biasanya dibagi
menjadi ringan, sedang, dan berat, namun, kriteria untuk pengelolaan
biasanya bermacam-macam untuk setiap laboratorium. Secara umum,
pasien dengan CTS ringan hanya memiliki kelainan sensorik saja pada
pemeriksaan elektrofisiologi, dan pasien dengan kelainan sensorik dan
motorik biasanya memiliki CTS sedang. Namun, adanya kerusakan
axonal ( misalnya penurunan atau hilangnya respons sensorik atau
motorik distal dari carpal tunnel atau kelainan neuropathic pada EMG)
diklasifikasikan ke dalam CTS derajat berat.
Perubahan pada hasil elektrofisiologi dari waktu ke waktu
dapat digunakan untuk menilai keberhasilan berbagai modalitas
pengobatan.
The American Association of Electrodiagnostic Medicine telah
mengeluarkan standar dan pedoman yang mengatur jumlah minimum
studi yang harus dilakukan untuk mendiagnosis CTS.
Tes kuantitatif lainnya, seperti termografi dan Vibrometri, telah
terbukti akan lebih inferior dibandingkan dengan pemeriksaan
elektropsikologi dan, karena tes tersebut belum didukung oleh studi
terkontrol, maka tidak dianjurkan.

- Elektromiografi
Elektromiografi merupakan tes pelengkap dan bukan tes yang
diwajibkan selain elektroneurografi. Tes ini biasanya dilakukan pada
otot yang diinervasi oleh n.medianus pada tangan dan lengan bawah.
Tes ini menunjukkan status dari serat otot yang bergantung pada
persarafan oleh akson motorik. Aktivitas denervasi pada
elektromiogram menggambarkan kerusakan akut dari saraf. Perubahan

18
neurogenik dan potensi reinervasi menggambarkan patologi kerusakan
saraf kronik.
Elektromiografi juga digunakan untuk menunjukkan lesi saraf
lainnya pada tangan yang terlibat ketika temuan dari pemeriksaan
neurografi tidak konsisten dengan CTS. Termasuk di dalamnya adalah
terjepitnya saraf pada lengan bawah, lesi pada pleksus atau penyakit
pada cervical root.
Pemeriksaan elektrofisiologi sensitif untuk CTS, mudah untuk
dilakukan, dan murah, serta tidak menyakitkan. Pada kasus-kasus lanjut
hasil yang didapat mungkin jelas tapi pada kasus-kasus baru
kemungkinan terdapat hasil negatif palsu. Buch dkk, melaporkan
bahwa pemeriksaan elektrofisiologis hanya mengkonfirmasi diagnosis
CTS sebesar 61% dari kasus klinis yang diduga merupakan sindroma
ini (CTS).
Penulis berpendapat bahwa pemeriksaan elektrofisiologi
sebaiknya dilakukan pada kondisi-kondisi: suspek CTS, sebelum
intervensi bedah yang melibatkan pergelangan tangan, dan pasca
operasi jika gejala menetap atau kambuh. Manfaat dari pemeriksaan
elektrofisiologi banyak, meliputi: pemeriksaan ini mampu
mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis CTS, menentukan
tingkat keparahan dari terjepitnya saraf sehingga mampu memberikan
petunjuk pemilihan terapi, mampu menggambarkan status dasar dari
fungsi motorik dan sensorik dari n.medianus sebelum intervensi bedah,
mampu menunjukkan kemungkinan trauma intraoperatif, atau
dekompresi yang tidak adekuat dari n.medianus pada kegagalan terapi
bedah, dan memungkinkan diagnosis rekompresi atau kegagalan
dekompresi pada sekambuhan.
Ketika pemeriksaan elektrofisiologi gagal untuk
mengkonfirmasi CTS atau bahkan memunculkan etiologi lain dari
keluhan pasien, maka diagnosis sebaiknya diambil berdasarkan temuan
klinis. Terapi konservatif sebaiknya diterapkan pada pasien dengan
19
kecurigaan klinis yang tinggi akan CTS walaupun pemeriksaan
elektrofisiologi menunjukkan hasil yang negatif. Disisi lain, dokter
dapat mempertimbangkan untuk memulai terapi konservatif pada
pasien, atau memberikan injeksi steroid pertama tanpa melakukan
pemeriksaan elektrik atau radiografi, jika terdapat tanda klinis klasik
dari CTS. Apabila hal tersebut gagal, dan akan dilakukan operasi, kami
(penulis) merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan
elektrofisiologi.

2.7 Diagnosis Banding


Carpal Tunnel Syndrome adalah kondisi klinis yang umum, terjadi pada
1,2
5 orang dalam tiap penduduk. Meskipun kondisi yang umum ditemukan,
diagnosis bandingnya dapat menjadi sangat kompleks. Hal ini disebabkan
karena kriteria diagnosis dari CTS masih subjektif.
CTS didiagnosis berdasarkan pola khas gejala, termasuk parestesi pada
malam hari di daerah distribusi n.medianus, dan parestesia yang diperparah
dengan aktivitas tertentu, seperti menggenggam terlalu lama yang dapat terjadi
ketika membaca buku atau koran atau mengendarai mobil 3. Pasien kadang-
kadang mengibaskan tangannya untuk menghilangkan gejala. Beberapa pasien
mendeskripsikan nyeri yang menjalar ke lengan atas, bahkan sampai ke bahu.
Kadang pasien tidak jelas, baik pemikirannya maupun komunikasi,
sehubungan dengan lokasi gejala secara spesifik pada distribusi n.medianus.
Selain itu pasien mungkin tidak jelas mengenai sifat dari gejala, kesulitan untuk
menjelaskan rasa nyeri, mati rasa, kesemutan atau lainnya, dan bahkan
mungkin pasien tidak mengerti bahwa dokter memiliki perbedaan penjelasan
yang signifikan antara ketiga istilah, sedangkan pasien menganggapnya
identik. Kelemahan, kekakuan, dan kurangnya ketangkasan adalah gejala
umum yang dapat dihubungkan dengan CTS, tapi tentu saja, dapat juga
berhubungan dengan kondisi lainnya.3,4
Seperti yang telah dibahas, pada banyak kasus diagnosis dari CTS
sangatlah jelas. Pasien dengan pasrestesia pada malam hari yang terbatas pada
20
daerah distribusi n.medianus, diperberat dengan gejala yang spesifik, dan
dengan temuan klinis yang terbatas pada n.medianus setinggi pergelangan
tangan, umum ditemukan. Pada pasien dengan kondisi demikian, dokter cukup
yakin untuk memberikan diagnosis.
Pada kebanyakan pasien lainnya, diagnosis tidak terlalu jelas, karena
muncul variasi dari gejala. Rasa nyeri adalah gejala yang paling
membingungkan. Banyak kondisi spesifik dan non-spesifik muncul bersamaan
dengan nyeri, CTS salah satu di antaranya. Apabila nyeri adalah gejala satu-
satunya dan tidak terdapat temuan klinis lainnya, maka diagnosis CTS sangat
tidak mungkin. Namun, pasien atau dokter mungkin percaya bahwa ada
kemungkinan diagnosis CTS karena beberapa kondisi yang berhubungan,
seperti pekerjaan. Pada beberapa kasus, penting untuk menentukan diagnosis
dengan cara lain, sepeti pemeriksaan elektrodiagnostik5-til.
Mati rasa dan parestesia adalah gejala yang umum dari CTS, tetapi
mungkin juga disebabkan oleh kelainan neurologik dan non-neurologik
lainnya, terutama ketika gejalanya menetap dan tidak diikuti dengan pola khas
berupa memberat di malam hari atau memberat dengan aktivitas seperti yang
terjadi pada CTS.5 Pemeriksaan elektrodiagnostik kadang membantu untuk
membedakan kondisi-kondisi tersebut dari CTS.
Kelemahan, atrofi, dan kehilangan ketangkasan juga merupakan gejala
yang dapat dihubungkan dengan CTS, tetapi mungkin juga dapat muncul pada
kondisi lain, baik kelainan neurologik maupun non-neurologik lainnya. Cedera
atau bahkan kelainan kongenital dapat mengacaukan diagnosis CTS, terutama
ketika diagnosis diambil berdasarkan keluhan kelemahan dan kehilangan
ketangkasan.
Ada beberapa pemeriksaan untuk mengakkan diagnosis CTS. Yang
paling baik adalah elektrodiagnostik5. Pemeriksaan elektromiografi dan studi
konduksi saraf telah dijelaskan dengan baik dan bagi beberapa klinis
merupakan gold standard untuk diagnosis. Namun, banyak nilai negatif palsu,
di mana diagnosis sangat jelas namun hasil pengujian elektrodiagnostik
normal. Hal ini diharapkan, pemeriksaan elektrodiagnostik menggambarkan
21
kelainan neorofisiologis yang signifikan. Ketika temuan lebih ringa atau
kurang kronis, perubahan elektrodiagnostik mungkin tidak tampak.
Ada tes-tes lain yang sangat berguna untuk membantu menyingkirkan
diagnosis CTS. Sinar “Ji” pada pergelangan tangan dapat menggambarkan
fraktur atau kelainan lainnya untuk menjelaskan gejala nyeri dan kelemahan,
atau bahkan parestesia karena pekerjaan. Sinar “K” pada cervical spine dapat
menunjukkan gambaran spondilosis cervikalis. Pemeriksaan laboratorium
mampu menunjukkan adanya ketidaknormalan gula darah, penanda inflamasi
seperti faktor rheumatoid atau tingkat sedimentasi, atau marker endokrin
seperti tingkat hormon tiroid, dimana mamou menjelaskan gejala tanpa perlu
menerapkan pendekatan diagnosis CTS. Pada beberapa kasus, magnetic
resonance imaging (MRI) atau pemeriksaan lainnya mungkin berguna untuk
mengingkirkan diagnosis seperti tumor, terutama pada daerah pleksus
brachialis.
Mungkin diagnosis banding yang paling umum dan membingungkan
akan terjadi ketika memilah CTS dari gangguan neurologis. Ada banyak
gangguan neurologis yang menimbulkan gejala nyeri, mati rasa, atau
kelemahan pada tangan.
Keganasan intrakranial kadang hadir pada riwayat mati rasa atau
kesemutan pada tangan, kelemahan pada tangan, atau kehilangan koordinasi
dari tangan. Temuan ini akan dihubungkan dengan hiperrefleksia, sehingga
mengindikasikan bahwa diagnosis lebih ke arah central. Selain itu, pola dari
kelemahan atau hipoestesia biasanya tidak terbatas pada distribusi persarafan
n.medianus. dengan demikian, pemeriksaan neurologis secara teliti,
dikombinasikan dengan pemeriksaan pencitraan, merupakan faktor kunci
untuk memilah keganasan CNS dari CTS.
Multiple sklerosis dapat mengacaukan diagnosis CTS, tetapi dapat
dengan mudah dibedakan dengan pemeriksaan neurologis yang seksama,
karena diagnosis dari multiple sklerosis membutuhkan, seperti namanya,
beberapa kelainan dan gambaran patologis, tidak ada satupun yang khas untuk
CTS. Kelainan CNS yang lainnya, seperti amyotrophicolateral sklerosis atau
22
penyakit Charcot-Marie-Tooth, adalah murni neuropati motorik, dan
mempengaruhi otot-otot di daerah distal secara acak (diffuse), sehingga semua
otot intrinsik menunjukkan kelemahan, tidak hanya tempat-tempat tertentu
saja.
Cervical radikulopathy mungkin adalah kondisi neurologis yang paling
umum yang dapat mengacaukan diagnosis CTS, atau malah dapat
berdampingan dengan CTS. Pemeriksaan neurologis yang teliti akan
menunjukkan kelemahan atau kebaalan pada dermatom atau miotom
proksimal, tidak konsisten dengan diagnosis dari neuropati median fokal. Rasa
nyeri atau gejala yang terjadi di leher, terutama yang diperberat dengan gerakan
atau penekanan pada leher juga merukapakan petunjuk yang berguna. Gejala
yang bertambah berat dengan batuk atau bersin lebih mengarah pada cervical
radikulopathy dibandingkan dengan CTS.
Cervical syringomyelia juga dapat mengacaukan diagnosis CTS.
Karakteristik dari rasa baal atau kelemahan, sangat berbeda, menggambarakan
bahwa gejala berasal dari cervical spine.
Kelainan pleksus brachialis jga dapat membuat bingung diagnosis CTS.
pada thoracic outlet syndrome, gejala terutama dirasakan pada distribusi
n.ulnaris, namun demikian dapat ditentukan dengan pemeriksaan neurologis
yang seksama. Tumor Pancoast juga demikian, gejala mungkin dapat muncul
pada tangan, tetapi distribusi neurologisnya berbeda, tergantung pada lokasi
yang spesifik dari tumor. Ini akan menjadi sangat tidak mungkin untuk tumor
pada puncak paru-paru untuk secara khusus hanya mempengaruhi serabut saraf
median, terutama karena beberapa berasal dari n.medianus dan beberapa dari
ramus lateral pleksus brakialis. Demikian pula, neuritis pleksus brakialis pasca
radiasi bisa menyebabkan nyeri pada ekstremitas, kesemutan, dan kelemahan
pada tangan, tapi polanya tidak terbatas pada distribusi saraf median, dan
pemeriksaan elektrodiagnostik akan melokalisasi ke pleksus dan tidak
pergelangan tangan.
Plexitis brachialis idiopatik, atau yang dikenal dengan Parsonage-
Turner syndrome atau neuralgic amyotrophy adalah kondisi lain yang hampir
23
sama dengan CTS, tetapi tanda klinisnya sedikit berbeda. Sindroma ini
biasanya diawali dengan nyeri prodromal pada tungkai proksimal yang berat,
diikuti dengan kelemahan pada distribusi saraf yang lebih perifer, dengan
sedikit rasa kesemutan. Distribusi secara khas tidak spesifik pada distribusi
n.medianus, walaupun cabang proksimal dari n.medianus, seperti n.intraosseus
anterior bisa terlibat. Temuan tersebut, dari distribusi n.medianus pada carpal
tunnel, menentang keras diagnosis CTS. dalam kasus yang meragukan,
pemeriksaan elektrodiagnostik dapat membantu memilah kelainan.
Tumor pada saraf perifer juga dapat mensimulasikan CTS4. Ini akan
sangat sulit jika tumor berada dalam carpal tunnel, seperti pada sepuluh kasus
dengan hamartoma lipofibromatous saraf. Kunci perbedaan di sini adalah
perjalanan penyakit dari massa tersebut. Berbeda dengan pembengkakan
fiexorsynovium yang dapat dilihat pada CTS, pembesaran tumor saraf tidak
akan bergerak dengan gerakan jari aktif. Ml-ti sering kali berguna dalam
memilah diagnosis lebih spesifik.

2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan pada CTS fokus pada dekompresi dari n.medianus pada
kanal. Pada kasus-kasus ringan sampai sedang dekompresi dapat dilakukan
dengan modifikasi ergonomis sederhana, bidai pergelangan tangan,
pengobatan dengan obat anti-inflamasi atau injeksi steroid lokal. Pada kasus
yang berat, pembedahan adalah terapi satu-satunya.
Dilaporkan bahwa dari 82% tangan dengan CTS memiliki respons
terhadap pengobatan konservatif. Namun, 80% darinya akan kambuh setelah
satu tahun, dan akan membutuhkan pembedahan.

Program Rehabilitasi
 Modifikasi Ergonomis dan Bidai
Tujuan dari terapi jenis ini adalah untuk menghindari fleksi yang
berulang atau rotasi dari pergelangan tangan. Elevasi dari tangan dan obat
NSAID mungkin dapat membantu pada kasus dengan pembengkakan
24
jaringan lunak atau tenosynovitis. Pembidaian pada malam hari pada
pergelangan tangan kadang-kadang membantu untuk kasus-kasus ringan.
Posisi netral dari pembidaian menurunkan potensi dari saraf untuk
teregang sehingga mengurangi gejala. Efek dari pembidaian akan tampak
dalam delapan minggu setelah penggunaan. Keuntungan dari pembidaian
tergantung dari beratnya jepitan bukan dari lamanya penyakit. Jepitan
yang berat tidak respons dengan pembidaian pergelangan tangan.
 Terapi Fisik
Mengingat bahwa CTS berhubungan dengan kebugaran fisik yang
rendah dan peningkatan BMI, masuk akal jika menyarankan pasien untuk
olah raga dan mengurangi berat badan. Sepeda statis, bersepeda, atau
olahraga lain yang menimbulkan reganyan pada pergelangan tangan
sebaiknya dihindari.
Penggunaan modalitas (terutama terapi ultrasound) mungkin dapat
memberikan bantuan jangka pendek pada pasien. Selain itu, yoga dan
mobilisasi tulang karpal memiliki beberapa bukti yang lemah untuk
mengurangi gejala untuk jangka pendek.
 Terapi latihan
Menurut Arovah (2010), ada beberapa jenis terapi latihan yang
digunakan pada kasus carpal tunnel syndrome, antara lain :
1) Active exercise, adalah gerakan yang dilakukan karena adanya
kekuatan otot dan anggota tubuh sendiri tanpa bantuan, gerakan yang
dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan gravitasi.
2) Passive exercise, adalah latihan gerakan yang dilakukan oleh bantuan
dari luar dan bukan merupakan kontraksi otot yang disadari. Menurut
Kisner and Colby (2007) gerak passive exercise menyebabkan efek
penurunan nyeri akibat aliran darah lancar serta membuat daerah sekitar
sendi menjadi rileks sehingga bisa menambah luas gerak sendi dan
menjaga elastisitas otot.
3) Resisted active exercise, dapat meningkatkan kekuatan otot oleh karena
jika suatu tahanan diberikan pada otot yang berkontraksi, maka otot
25
tersebut akan beradaptasi dengan meningkatkan kekuatan otot akibat
hasil adaptasi syaraf dan peningkatan serat otot (Kisner and Colby,
2007).

 Terapi Occupational
Pembidaian pergelangan tangan dengan sendi berada pada posisi
netral atau ekstensi ( disarankan pada malam hari dengan minimal selama
3-4 minggu ) memiliki bukti keberhasilan. Tentunya, hanya memakan
biaya yang rendah dan resiko efek samping yang minimal sehingga dapat
dijadikan untuk terapi awal. Tidak ada bukti yang menyarankan bahwa
program peregangan secara spesifik pada tangan dan pergelangan tangan
bermanfaat untuk pengobatan CTS. Pemijatan saraf juga tidak
menunjukkan manfaat. Pekerjaan yang ergonomis, peralatan dan/atau
posisi yang ergonomis tampaknya tidak memberikan manfaat apapun.

Komplikasi
Kebanyakan individu dengan CTS ringan sampai sedang (CTS,
berdasarkan data elektrofisiologi) memberikan respons dengan manajemen
konservatif, biasanya terdiri dari pembidaian pada pergelangan tangan minimal

26
selama 3 minggu. Pembidaian secara mandiri tampaknya juga berhasil dengan
baik, walaupun secara teori, pembidaian dengan posisi netral mungkin
merupakan pilihan yang terbaik.
Injeksi steroid ke dalam carpal tunnel telah menunjukkan manfaat
jangka panjang dan dapat dilakukan jika terapi konservatif telah gagal. Injeksi
juga bermanfaat ketika terapi pembedahan memiliki kontraindikasi relatif
(misal, karena kehamilan). Pemeriksaan ultrasound pada n.medianus dapat
membantu untuk memprediksikan respons dari injeksi steroid.
Non Steroid Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) dan/atau diuretik
memberikan manfaat pada beberapa populasu (misal, pasien dengan retensi
cairan atau dengan tendinitis pergelangan tangan). Vitamin B-6 atau B-12 tidak
terbukti memberikan manfaat.
Kurangnya olah raga (bersamaan dengan peningkatan BMI) tampaknya
menjadi faktor resiko untuk berkembangnya CTS dan sebaiknya ditangani.

Intervensi Pembedahan
Pasien dengan kondisi yang tidak membaik setelah terapi konservatif
dan pasien dengan CTS berat (sesuai dengan pemeriksaan elektrofisiologi)
sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan pembendahan. Pembedahan
dengan melepaskan ligamentum transversum terbukti memiliki tingkat
keberhasilan yang tinggi (lebih dari 90%), dengan komplikasi yang rendah,
namun, kemungkinan keberhasilan untuk jangka panjang mungkin lebih
rendah dari dugaan (kira-kira 60% untuk 5 tahun). Keberhasilan juga sangat
rendag pada pasien dengan hasil pemeriksaan elektrofisiologi yang normal.
Dekompresi n.medianus secara pembedahan, dengan transeksi CL,
diperuntukkan bagi pasien yang tidak membaik dengan terapi konservatif dan
untuk pasien dengan klinis atau hasil pemeriksaan elektrofisiologi yang
27
menunjukkan jepitan yang berat dengan motorik fokal, atau kerusakan serabut
sensorik. Dekompresi bedah dilakukan dengan anestesi regional dengan teknik
pembukaan atau dengan teknik endoskopi.
 Pembebasan Carpal Tunnel dengan Bedah Terbuka
Insisi dilakukan sepanjang 3 cm, secara linier atau longitudinal,
dari palmar distal di antara thenar dan hypothenar ke arah retinakulum
proksimal. Seluruh retinakulum fleksorum dilakukan transaksi. Beberapa
komplikasi dari pembedahan ini termasuk bekas luka dan nyeri neuralgia
kutaneus. Kekambuhan setelah pembedahan jarang terjadi dan biasanya
merupakan hasil dari ketidaksempurnaan transaksi dari retinakulum
fleksorum atau trauma iatrogenik dari n.medianus.
 Pembebasan Carpal Tunnel secara Endoskopi
Teknik ini diperkenalkan pada tahun 1989 oleh Okutsu dkk untuk
mengurangi morbiditas dari pembedahan dan mempercepat pemulihan.
Ada dua teknik endoskopi: sistem pelepasan satu portal dan sistem
pelepasan dua portal.
Studi kasus membandingkan pembebasan carpal tunnel dengan
teknik pembedahan terbuka dan endoskopi menunjukkan tingkat
keberhasilan yang sama dalam hal pengurangan gejala dan kepuasan dari
pasien. Teknik terbuka menimbulkan bekas luka yang lebih besar,
sedangkan endoskopi menimbulkan resiko cedera saraf yang lebih besar.

Konsultasi
Merujuk pasien dengan suspek CTS ke spesialis yang telah terlatih
dalam neurofisiologi klinis (biasanya neurolog, fisiatris, atau spesialis
kedoktgeran fisik dan rehabilitasi) untuk dilakukan pemeriksaan
elektrofisiologik.hasil pemeriksaan ini penting untuk diagnosis, pemilihan
perawatan yang tepat, penentuan prognosis dan tindak lanjut jangka panjang.

Terapi lainnya

28
Teknik dan alat untuk meregangkan atau memanipulasi carpal tunnel
tampaknya menjanjikan tetapi belum dapat diterima secara luas.21

Injeksi Steroid
Injeksi steroid di bawah CL mampu menimbulkan dekompresi pada
n.medianus dengan mengurangi edema pada jaringan sekitar. Hal ini kadang-
kadang membantu pada kasus dengan klasifikasi sedang. Jarum dimasukkan
pada distal pergelangan tangan, baik bagian medial atau lateral dari tendo
palmaris longus dengan sudut 45 derajat diarahkan ke distal. Penyuntikan
secara tegak lurus melalui retinakulum fleksorum kadang-kadang digunakan
tapi membawa resiko tinggi cedera n.medianus. Pengalaman klinis menyatakan
bahwa respons terapi biasanya tergantung dari tingkat kompresi. Pada kasus
yang parah infiltrasi steroid tidak cukup untuk meringankan tekanan pada saraf.
Pada kompresi dengan tingkat sedang, respons positif dapat dirasakan beberapa
hari setelah injeksi, tetapi biasanya menghilang dalam waktu enam bulan.
Suntikan steroid kedua dianjurkan setidaknya enam bulan setelah injeksi yang
pertama dan hanya jika respons pada injeksi memuaskan secara klinis. Ketika
terdapat kebutuhan untuk suntikan ketiga, dekompresi secara bedah harus
dipertimbangkan dengan serius.

Nonsteroid anti-inflamatory drugs


Program jangka pendek pemberian NSAID (1 – 2 minggu) secara
teratur dapat bermanfaat jika curiga terdapat peradangan pada daerah
pergelangan tangan (misalnya, fleksor tenosinovitis, rheumatoid arthritis).
Demikian juga jika terdapat edema, maka program pemberian diuretik jangka
pendek mungin bermanfaat.
NSAID mengurangi rasa sakit dan mengurangi peradangan.
Mengurangi peradangan pada struktur carpal tunnel menurunkan dan
mengurangi kompresi dari saraf.
Ibuprofen (Ibuprin, Motrin)

29
DOC unruk pasien dengan nyeri tingkat ringan sampai sedang.
Menghambat reaksi inflamasi dan rasa nyeri dengan menurunkan sintesis
prostaglandin.
Cyclooxygenase -2 inhibitors
Walaupun peningkatan biaya dapat menjadi faktor negatif, insidensi
potensial terjadinya perdarahan GI yang fatal jelas berkurang dengan
pemberian COX-2 inhibitors daripada NSAID tradisional. Analisis yang
sedang berjalan mengenai pencegahan perdarahan GI akan ditentukan lebih
jauh pada populasi subjek sehingga dapat diketahui COX-2 inhibitor yang
paling menguntungkan.
Celecoxib (Celebrex)
Inhibitor primer COX-2. Tersusun atas isoenzyme terinduksi, COX-2
terinduksi selama nyeri dan stimulus inflamasi. Inhibisi dari COX-1 mungkin
berkontribusi pada toksisitas NSAID pada GI. Pada sosis terapeutik, isoenzyme
COX-1 tidak terinhibisi, sehingga toksisitas pada GI dapat dikurangi. Carilah
dosis terendah dari clecoxib untuk tiap pasien.
Agen Diuretik
Kondisi yang menyebabkan edema mampu meningkatkan tekanan pada
carpal tunnel. Diuretik memungkinkan untuk mengurangi edema.

Hydrochlorotiazide (Esidrix, HydroDIURIL, Microzide)


Menginhibisi resorpsi sodium pada tubulus distal, menyebabkan
peningkatan ekskresi dari sodium dan air, demikian pula potasium dan ion
hidrogen.

Perawatan Pasien lebih lanjut


 Pasien dengan pengobatan konservatif untuk CTS sebaiknya dilakukan
pemantauan 4-6 minggu sehingga keberhasilan terapi dapat dinilai. Pasien
yang tidak mencapai hasil yang diharapkan dari terapi konservatif
sebaiknya dipertimbangkan untuk pilihan terapi bedah.
30
 Gejala lanjutan setelah dilakukan pembebasan carpal tunnel sebaiknya
dirujuk untuk mengulang studi elektrofisiologik.

2.9 Pencegahan
Salah satu cara menhindari Carpal tunnel syndrome adalah dengan
cara jika melakukan sesuatu yang banyak menimbulkan pergerakan pada
pergelangan tangan dianjurkan untuk berhenti sejenak setiap 15-20 menit
dengan melakukan stretching agar pergelangan tangan tidak terekspos terus-
menerus. Menjaga tangan tetap hangat karena tangan lebih mudah terasa sakit
bila dalam suhu dingin. Perbaiki postur tubuh karena potur tubuh yang salah
dapat menyebabkan posisi bahu sedikit kedepan sehingga pada posisi ini otot
leher dan bahu akan memendek dan menekan saraf-saraf leher yang dapat
mempengaruhipergelangan tangan, jari da tangan.

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya
sensibilitas yang persisten di daerah distribusi nervus medianus. Komplikasi
yang paling berat adalah reflek sympathetic dystrophyyang ditandai dengan
nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia, dan gangguan trofik. Sekalipun prognosa
carpal tunnel syndrome dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik,
tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan,
prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.

2.11 Prognosis
31
 CTS tampaknya menjadi progresif dari waktu ke waktu ( walaupun
dengan fluktuasi dari minggu ke minggu ) dan dapat mengarah pada
kerusakan n.medianus yang permanen. Apakah manajemen konservatif
dapat mencegah progresivitas belum jelas. Walaupun dengan operasi
bedah, tampaknya terjadi rekurensi sindroma ini pada beberapa derajat
dalam sejumlah besar kasus ( mungkin satu per tiga setelah 5 tahun).
 Awalnya, sekitar 90% kasus CTS ringan sampai sedang respons dengan
manajemen konservatif. Seiring waktu, bagaimanapun, sejumlah pasien
memerlukan terapi bedah.
 Pasien dengan CTS dengan kelainan yang mendasari (misal, diabetes,
patah tulang pergelangan) cenderung memiliki prognosis yang kurang
menguntungkan dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit lain.
 Pasien dengan pemeriksaan elektrofisiologi yang normal secara
konsisten memiliki hasil operasi yang kurang menguntungkan (dan lebih
banyak komplikasi) dibandingkan pasien dengan hasil pemeriksaan
elektrofisiologi yang tidak normal. Axonal loss pada pemeriksaan
elektrofisiologi juga mengindikasikan prognosis yang kurang
menguntungkan.

2.12 Edukasi Pasien


 Asosiasi dibandingkan penyebab - Asosiasi 2 fenomena tidak
menyiratkan hubungan sebab akibat. Menggunakan tangan terlalu sering
membawa pada gejala carpal tunnel syndrome (CTS), dengan cara yang
sama bahwa olahraga membawa pada angina pada pasien dengan
penyakit arteri koroner. Asosiasi ini, bagaimanapun, tidak berarti bahwa
kerusakan n.medianus disebabkan oleh penggunaan atau akan bertambah
buruk. (olahraga, pada kenyataannya, baik untuk penyakit arteri
koroner.)
 Menghindari penggunaan ekstrem - Jika pekerjaan pasien / kegemaran
yang melibatkan kekuatan ekstrem / pengulangan / postur / getaran
32
melalui pergelangan tangan, maka tampaknya bijaksana untuk mencari
cara menghindari faktor-faktor yang menyebabkan atau memperburuk
CTS.
 Olahraga - BMI dan tingkat kebugaran yang rendah tampaknya terkait
dengan perkembangan CTS.

BAB III
KESIMPULAN

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) terjadi akibat penekanan nervus medianus


di dalam terowongan karpal. Sindrom ini sering terjadi pada gerakan mencuci
pakaian, mengepel lantai, kehamilan (bilateral), dll. Gejala yang ditimbulkan adalah
rasa baal dan kesemutan, nyeri yang menjalar atau meluas dari pergelangan tangan
ke bahu atau turun ke telapak tangan. Beberapa kondisi yang dapat memicu
timbulnya carpal tunnel syndrome, antara lain: obesitas, hipotiroidisme, arthritis,
diabetes dan trauma.

33
Secara klinis CTS didiagnosis dengan kriteria yaitu rasa nyeri yang berupa
kesemutan, rasa terbakar dan baal pada jari I, II, III dan setengah bagian lateral jari
IV dengan onset terjadi di waktu malam hari atau dini hari. Pada keadaan yang
berat, rasa nyeri dapat menjalar hingga ke lengan atas dan terdapat atrofi pada otot
thenar. Penegakan diagnosis baru dilakukan jika telah dilakukan tes provokasi
berupa Tes Phalen dan tes Tinel.
Untuk mencegah terjadinya carpal tunnel syndrome akibat aktivitas repetitif
yang menimbulkan rasa baal dan nyeri, perlu dilakukan gerakan meregang
pergelangan tangan, tangan dan jari tangan. Selain itu, pengobatan yang efektif bagi
penderita carpal tunnel syndrome dengan menggunakan splint (balut tangan),
injeksi kortikosteroid dan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6th ed. New
york: Mc Graw-Hill; 2007.p 1358-9.
2. De krom NC, Krips child PG, Kesler AD, et al. Carpal Tunnel Syndrome:
prevalence in the general population. J.clin. 2002: 373-6.
3. Dejong RN. The Neurological Examination Revised by AF. Haerer, 5th ed, JB
Lippincott, Philadelphia, 1992; 557-9.
4. Dejong RN. The Neurological Examination Revised by AF. Haerer, 5th ed, JB
Lippincott, Philadelphia, 1992; 557-9.
34
5. Krames Communication. Carpal Tunnel Syndrome. San Bruno: Krames
Comm;1994:1-7.
6. Maurice Victor, Allan H. Ropper “ Disease of Spinal Cord, Peripheral Nerve
and Muscle”. Adams and Victors Principle’s of neurology. 7th ed. USA: Mc
Graw-Hill, 2011: 1433-4.
7. Nigel L Ashworth.’ Carpal Tunnel Syndrome”. Benjamin M Socher. Access
on Medscape. 2013.
8. Salter RB. Textbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal system.
2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins Co; 1993.p 274-5
9. Walshe III. Manual of neurology therapeutics. 5th ed. Boston: little Brown
and co; 1995.p 381-2.
10. Weimer LH. Nerve and Muscle disease. In: Marshall RS, Mayer SA, ed. On
call neurology. Philadelphia.

35

Anda mungkin juga menyukai