Diajukan Kepada :
Disusun Oleh :
Hanung Choiri Rohmawan H2A014057P
Disusun Oleh:
Hanung Choiri Rohmawan H2A014057P
Mengesahkan:
Koordinator Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf
dr. Noorjanah, Sp S
2
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Carpal tunnel syndrome (CTS) atau sindroma terowongan Carpal
adalah suatu kelainan yang sering dijumpai dalam praktik kedokteran.
Sindroma ini muncul karena adanya penekanan pada nervus medianus yang
terletak di antara ligamentum transversus carpalis, yang disebut juga fleksor
retinakulum pada bagian atas, dan tendo muskulus digitorum superficialis,
muskulus digitorum profundus, muskulus fleksor policis longus, dan tulang-
tulang carpal (scaphoid dan trapesium) di bagian bawahnya.
Secara anatomi, serabut saraf nervus medianus berasal dari ramus
cervicalis ke lima, enam, tujuh, dan delapan, serta ramus thoracalis pertama
dan melewati sebeah lateral dan medial dari pleksus brachialis. Cabang saraf
motorik menginervasi muskulus abductor policis brevis, opponenspollicis,
serta dua lumbrikalis lateral tangan. Serabut saraf sensorik menginervasi sisi
volar dari tiga jari lateral dan separuh lateral dari jari ke empat, termasuk
palmar dan sisi distal dorsal dari jari-jari tersebut melampaui ujung dari sendi
interfalanx 1. (Gambar 1)
4
Gambar 1. Innervasi serabut saraf sensorik dari nervus medianus pada tangan
CTS adalah kumpulan dari tanda dan gejala yang timbul setelah
terjadinya penekanan pada nervus medianus yang terletak pada terowongan
carpal. Gejalanya berupa mati rasa, kesemutan, dan nyeri pada daerah distribusi
persarafan n.medianus. Gejala tersebut bisa disertai dengan perubahan pada
sensasi dan kekuatan struktur yang disarafi oleh n.medianus.
5
2.2 Etiologi
Pada CTS isi dari terowongan carpal meningkat. Gelbermen dkk
menunjukkan bahwa besar tekanan pada terowongan carpal sekitar 3mmHg
dibandingkan dengan pasien dengan CTS yang memiliki besar tekanan
32mmHg, dengan pergelangan tangan pada posisi yang netral.8 patofisiologi
dari lesi saraf ini adalah iskemik, serta penekanan dari vasa dan nervus
sehingga meningkatkan tekanan.
Faktor predisposisi dari terjepitnya n.medianus mungkin disebabkan
karena gerakan berulang pada pergelangan tangan, seperti merajut, mengetik,
mencuci, berkendara, melukis, dan berkebun. Hal ini disimpulkan dari
pengalaman klinik dokter yang menangani sindroma seperti ini.
Beberapa kondisi medis turut dihubungkan dengan CTS, seperti
kehamilan, menyusui, siklus menstruasi, penggunaan kontrasepsi oral,
menopause, diabetes mellitus, kekurangan vitamin B, toxic shock syndrome,
hemodialisis dalam waktu lama, osteoartritis pada pergelangan tangan, artritis
reumatoid, obesitas, amiloidosis, mukolipidosis, kondromalasia, myxedema,
akromegali, kelainan ukuran carpal tunnel bawaan, dan athetoid dystonic
cerebral palsy. Kondisi-kondisi ini biasanya didiagnosis lebih awal
dibandingkan CTS sehingga etiologi dari CTS akan telah ditetapkan.
Kondisi-kondisi yang mungkin dapat meningkatkan volume dari carpal
tunnel adalah arteri madiana persisten, aneurisma atau malformasi arteri-vena,
anomali otot dan tendo, infeksi, perdarahan, kecil ukuran carpal tunnel
bawaan, neurofibroma, hemangioma, lipoma, ganglion, xanthoma, dan topus
gout.
Kondisi-kondisi medis tersebut sangat langka. Kondisi tersebut
mungkin dicurigai ketika kondisi di atas merupakan faktor predisposisi dan
ketika penyakit tidak muncul, dan ketika pasien telah gagal untuk dilakukan
terapi CTS secara konservatif. Sejak CTS diterapi dengan pembedahan, data-
data sebelumnya tentang penyebab dari CTS mungkin tidak dibutuhkan lagi,
dan etiologinya akan ditemukan intraoperatif.
6
2.3 Patofisiologi
Sampai munculnya uji elektrofisiologi pada tahun 1940, CTS umunya
dicurigai sebagai hasil dari penekanan pada pleksus brachialis oleh tulang-
tulang iga dan struktur lain pada regio depan leher. Sekarang diketahui bahwa
n.medianus mengalami kerusakan karena tertekan batas-batas carpal tunnel
yang keras, yang menyebabkan demielinisasi yang diikuti dengan degenerasi
axonal. Serabut saraf sensorik mungkin akan terkena lebih dahulu, diikuti
dengan serabut saraf motorik. Serabut saraf otonom mungkin juga dapat
terpengaruh.
Penyebab dari kerusakan n.medianus masih diperdebatkan,
bagaimanapun peningkatan tekanan yang abnormal pada carpal tunnel terjadi
pada pasien CTS. Tekanan ini menyebabkan obstruksi aliran darah vena,
edema, hingga iskemik dari saraf.
Resiko berkembangnya CTS mungkin dihubungkan, paling tidak satu
dari beberapa faktor-faktor epidemiologi yang lain, seperti genetik, kesehatan,
sosial, vokasi, avokasi,dan demografis.1 Mungkin terdapat hubungan yang
kompleks antara beberapa atau bahkan keseluruhan dari faktor tersebut, yang
akhirnya mengarah pada berkembangnya CTS, sehingga faktor kausatif masih
sulit untuk dijelaskan.
2.4 Epidemiologi
Amerika Serikat
Insidensi dari CTS 1 – 3 kasus tiap 1000 orang setiap tahunnya,
prevalensinya mencapai sekitar 50 kasus tiap 1000 orang pada populasi umum.
Insidensi dapat meningkat hingga 150 kasus tiap 1000 orang per tahun, dengan
angka prevalensi hingga 500 kasus tiap 1000 orang pada kelompok dengan
resiko tinggi.
7
Internasional
Penelitian berbasis populasi tentang CTS masih kurang, bagaimana
pun, insidensi dan prevalensi pada negara berkembang tampaknya sama
dengan Amerika Serikat ( contoh : angka insidensi di negara Belanda mencapai
2,5 kasus tiap 1000 orang per tahun, prevalensi di negara Inggris 70 – 160 kasus
tiap 1000 orang).2,3,4 CTS hampir tidak pernah terdengan dari beberapa negara
berkembang ( misalnya, di antara orang-orang kulit hitam di negara Afrika
Selatan)
Mortalitas/Morbiditas
CTS bukanlah penyakit yang berakibat fatal, namun dapat
menyebabkan kerusakan yang irreversibel dari n.medianus, dengan
konsekuensi berat berupa kehilangan fungsi tangan, apabila tidak dilakukan
terapi.
Ras
Orang-orang kulit putih kemungkinan memiliki resiko yang lebih tinggi
untuk terkena CTS. Sindroma ini sangat jarang terkena pada beberapa ras (
misal : pada orang Afrika Selatan yang berkulit hitam).4 Di Amerika Utara,
anggota tentara US yang berkulit putih terkena CTS 2-3 kali lebih banyak
dibandingkan anggota tentara yang berkulit hitam.5
Jenis Kelamin
Rasio insidensi CTS pada wanita dan pria adalah 3-10 : 1.
Umur
Puncak rentang usia untuk berkembangnya CTS adalah pada umur
45 – 60 tahun. Hanya 10% pasien dengan CTS yang berumur kurang dari 31
tahun.
2.6 Diagnosis
10
Anamnesis
Riwayat perjalanan penyakit pasien kadang lebih penting dibandingkan
dengan pemeriksaan fisik untuk menentukan diagnosis dari CTS.
Mati rasa dan kesemutan
- Diantara keluhan-keluhan yang umum, pasien mengungkapkan bahwa
tangan mereka seperti terjatuh atau sering menjatuhkan sesuatu tanpa
mereka sadari (kehilangan kekuatan menggenggam, menjatuhkan
sesuatu), mati rasa dan kesemutan juga sering dideskripsikan oleh
pasien.
- Gejala biasanya bersifat hilang timbul dan berhubungan dengan
aktivitas (seperti : mengemudi, membaca koran, merajut, dan melukis).
Gejala yang timbul pada malam hari lebih spesifik untuk CTS, terutama
bila pasien berusaha mengurangi gejala tersebut dengan menggetarkan
tangan / pergelangan tangan. CTS bilateral sering terjadi, walaupun
tangan yang dominan biasanya terkena terlebih dahulu dan lebih parah
dibandingkan dengan tangan sisi lainnya.
- Keluhan biasanya bersifat lokal pada sisi palmar dari jadi pertama
sampai ke kempat dan palmar distal (distribusi sensorik dari
n.medianus). Mati rasa yang terjadi pada jari ke lima atau regio tenar
serta punggung tangan sebaiknya menjadi pertimbangan untuk
memikirkan diagnosis banding yang lain. Hal yang mengejutkan, di
mana pada beberapa pasien CTS tidak dapat melokalisasi keluhan
(misalnya: seluruh tangan / lengan terasa mati rasa). Mati rasa yang
bersifat general (seluruh tangan) mungkin mengindikasikan
keterlibatan serabut saraf otonom, dan tidak mengeluarkan CTS dari
diagnosis.
Nyeri
- Gejala-gejala sensorik di atas sering disertai dengan rasa nyeri pada
daerah ventral dari pergelangan tangan. Rasa nyeri ini dapat menjalar
11
ke distal mencapai telapak tanga dan jari atau, lebih sering, menjalar ke
arah proksimal sepanjang sisi ventral dari lengan bawah.
- Rasa nyeri pada regio epicondylus dari siku, lengan atas, bahu, atau
leher lebih mengarah pada diagnosis penyakit muskuloskeletal yang
lain ( misal, epikondilitis) dimana sering berhubungan dengan CTS.
Nyeri yang lebih proksimal tersebut sebaiknya dilakukan pemeriksaan
yang lebih teliti untuk diagnosis penyakit neurologik yang lain ( misal,
cervical radikulopathy)
Gejala otonom
- Tidak sedikit pasien yang mengeluhkan gejala terjadi di seluruh
tangannya. Banyak pasien dengan CTS juga mengeluhkan perasaan
keras/kaku atau bengkak pada tangannya dan/atau perubahan suhu
(misal, tangan menjadi dingin atau panas)
- Banyak juga pasien yang melaporkan perubahan sensitivitas tangan
terhadap suhu (biasanya dingin) dan perbedaan warna kulit. Kasus yang
jarang, dimana beberapa pasien mengeluhkan terjadinya perubahan
dalam hal keluarnya keringat. Kemungkinan besar, gejala-gejala
tersebut berhubungan dengan keterlibatan serabut saraf otonom dari
n.medianus.
Kelemahan / kekakuan – Kehilangan kekuatan tangan (khususnya
ketepatan menggenggam yang melibatkan jempol) sering terjai; pada
prakteknya, kehilangan sensasi dan rasa nyeri sering menjadi penyebab
yang lebih penting dari kelemahan dan kekakuan, daripada kehilangan
kekuatan tangan.
Pemeriksaan Fisik
12
Pemeriksaan fisik penting dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
neurologis dan muskuloskeletal yang lainnya, namun pemeriksaan fisik kadang
hanya berkontribusi sedikit dalam mengkonfirmasi diagnosis CTS.
Pemeriksaan sensorik
- Abnormalitas dari modalitas sensorik mungkin dapat terlihat pada regio
palmar (telapak) dari tiga jari pertama dan setengah sisi radial dari jari
ke kempat. Uji monofilamen Semmes-Weinstein atau diskriminasi 2
titik mungkin lebih sensitif, namun berdasarkan pengalaman penulis,
uji pinprick sama baiknya dengan uji yang lain.
- Uji sensorik paling berguna untuk menentukan bahwa area distal dari
persarafan n.medianus masih dalam kondisi normal (misal, tenar,
hypotenar, dorsum, dll)
Pemeriksaan motorik – Kelelahan dan kelemahan otot tangan yang
diinervasi oleh n.medianus dapat diketahui (otot LOAF)
- L - First and second lumbricals
- O - Opponens pollicis
- A - Abductor pollicis brevis
- F - Flexor pollicis brevis
Tes Khusus – Tidak ada uji klinis yang baik untuk mendukung diagnosis
CTS
- Hoffmann – Tinel sign
Menekan secara gentle pada n.medianus di regio carpal tunnel
akan menimbulkan kesemutan pada daerah distribusi saraf
Ui ini masih sering dilakukan, meskipun memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah
- Phalen sign
Rasa kesemutan pada area distribusi n.medianus yang dirangsang
dengan fleksi maksimal (atau ekstensi maksimal untuk reverse
Phalen) dari pergelangan tangan lebih dari 60 detik.
Uji ini memiliki spesifisitas 80% namun sensitivitas yang lebih
rendah
13
- The carpal compression test
Tes ini dlakukan dengan melakukan tekanan kuat langsung di atas
carpal tunnel, biasanya dengan ibu jari, selama 30 detik untuk
menimbulkan gejala
Laporan menunjukkan bahwa tes ini memiliki sensitivitas hingga
89% dan spesifisitas 96%.
- Palpatory diagnosis
Tes ini dilakukan dengan memeriksa secara langsung jaringan
lunak yang melapisi n.medianus pada pergelangan tangan, untuk
restriksi mekanik.
Tes ini trercatat memiliki sensitivitas lebih dari 90% dan
spesifisitas 75% atau lebih besar.
- The Square wrist sign
Uji ini dilakukan dengan mengukur rasio ketebalan pergelangan
tangan dengan lebar pergelangan tangan, dimana hasilnya lebih
besar dari 0,7
Tes ini memiliki sensitivitas/spesifisitas 70%
Beberapa tes khusus telah dianjurkan, tetapi jarang memberikan informasi
tambahan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada tes darah untuk diagnosis CTS, namun uji laboratorium
untuk kondisi-kondisi yang berhubungan (misal, diabetes) mungkin dapat
dilakukan ketika ada indikasi.
Studi Pencitraan
Tidak ada studi pencitraan yang rutin dilakukan dalam diagnosis
CTS
Magnetic Resonance Imagin (MRI) dari carpal tunnel sangat
berguna sebelung dilakukan operasi jika dicurigai terdapat space-
occupying lesion. pada beberapa kasus CTS, ketidaknormalan dari
14
n.medianus dapat dideteksi, maun bagaimana hubungan kondisi tersebut
dengan tingkat keparahan diagnosis dan fisiologis belum jelas. MRI tidak
dapat menyingkirkan diagnosis banding dan membutuhkan waktu serta
sumber daya yang banyak.10
Banyak laboratorium klinik neurofisiologi menggunakan USG
sebagai studi elektrodiagnostik. USG memiliki potensi untuk
mengidentifikasi space-occupying lesion yang terletak pada dan di sekitar
n.medianus, mengkonfirmasi kelainan dari n.medianus (misal,
peningkatan area cross sectional) yang dapat berupa diagnosis dari CTS,
dan sebagai pemandu dalam injeksi steroid pada carpal tunnel.
Uji lainnya
- Elektroneurografi
Studi konduksi saraf didasarkan pada prinsip stimulasi saraf di
daerah tertentu. Dalam mempelajari status dari n.medianus pada carpal
tunnel, saraf distimulasi ke arah proksimal menuju ke CL dan senyawa
potensial aksi otot (CMAP) diangkut oleh skinelektroda yang terletak
pada eminensia tenar. CMAP merefleksikan status dari serabut saraf
motorik n.medianus. Amplitudo dari CMAP menggambarkan jumlah
serabut saraf motorik yang distimulasi. Durasi menggambarkan
konduksi kecepatan konduksi antar serat-serat yang berbeda. Latensi
antara titik rangsangan saraf dengan timbulnya CMAP tersebut,
menggambarkan kecepatan tercepat dari serabut saraf motorik pada
carpal tunnel (Gambar 2).
Serabut saraf sensorik dari n.medianus dapat pula dipelajari.
Stimulasi dilakukan pada lokasi yang sama dengan stimulasi serabut
saraf motorik dan potensial aksi serabut saraf sensorik (SNAP) direkam
dari ujung distal jari ke dua atau ke tiga. Studi mengenai saraf sensorik
15
n.medianus ini dapat dilakukan secara orthodromical atau anti-
orthodromical (Gambar 2)10
16
melambatnya kecepatan konduksi (CV) menjadi 29,8 dan 25,5 m/s
untuk jari 3 dan 1, masing-masing (normal >50 m/s). Amplitudo untuk
keduanya juga berkurang secara tajam (normal >10). Temuan-temuan
ini sesuai dengan CTS.
17
Pemeriksaan elektrofisiologi juga dapat memberikan
penaksiran yang akirat mengenai derajat kerusakan pada saraf,
sehingga dapat mengarahkan ke pengelolaan dan memberikan kriteria
yang objektif untuk menentukan prognosis. CTS biasanya dibagi
menjadi ringan, sedang, dan berat, namun, kriteria untuk pengelolaan
biasanya bermacam-macam untuk setiap laboratorium. Secara umum,
pasien dengan CTS ringan hanya memiliki kelainan sensorik saja pada
pemeriksaan elektrofisiologi, dan pasien dengan kelainan sensorik dan
motorik biasanya memiliki CTS sedang. Namun, adanya kerusakan
axonal ( misalnya penurunan atau hilangnya respons sensorik atau
motorik distal dari carpal tunnel atau kelainan neuropathic pada EMG)
diklasifikasikan ke dalam CTS derajat berat.
Perubahan pada hasil elektrofisiologi dari waktu ke waktu
dapat digunakan untuk menilai keberhasilan berbagai modalitas
pengobatan.
The American Association of Electrodiagnostic Medicine telah
mengeluarkan standar dan pedoman yang mengatur jumlah minimum
studi yang harus dilakukan untuk mendiagnosis CTS.
Tes kuantitatif lainnya, seperti termografi dan Vibrometri, telah
terbukti akan lebih inferior dibandingkan dengan pemeriksaan
elektropsikologi dan, karena tes tersebut belum didukung oleh studi
terkontrol, maka tidak dianjurkan.
- Elektromiografi
Elektromiografi merupakan tes pelengkap dan bukan tes yang
diwajibkan selain elektroneurografi. Tes ini biasanya dilakukan pada
otot yang diinervasi oleh n.medianus pada tangan dan lengan bawah.
Tes ini menunjukkan status dari serat otot yang bergantung pada
persarafan oleh akson motorik. Aktivitas denervasi pada
elektromiogram menggambarkan kerusakan akut dari saraf. Perubahan
18
neurogenik dan potensi reinervasi menggambarkan patologi kerusakan
saraf kronik.
Elektromiografi juga digunakan untuk menunjukkan lesi saraf
lainnya pada tangan yang terlibat ketika temuan dari pemeriksaan
neurografi tidak konsisten dengan CTS. Termasuk di dalamnya adalah
terjepitnya saraf pada lengan bawah, lesi pada pleksus atau penyakit
pada cervical root.
Pemeriksaan elektrofisiologi sensitif untuk CTS, mudah untuk
dilakukan, dan murah, serta tidak menyakitkan. Pada kasus-kasus lanjut
hasil yang didapat mungkin jelas tapi pada kasus-kasus baru
kemungkinan terdapat hasil negatif palsu. Buch dkk, melaporkan
bahwa pemeriksaan elektrofisiologis hanya mengkonfirmasi diagnosis
CTS sebesar 61% dari kasus klinis yang diduga merupakan sindroma
ini (CTS).
Penulis berpendapat bahwa pemeriksaan elektrofisiologi
sebaiknya dilakukan pada kondisi-kondisi: suspek CTS, sebelum
intervensi bedah yang melibatkan pergelangan tangan, dan pasca
operasi jika gejala menetap atau kambuh. Manfaat dari pemeriksaan
elektrofisiologi banyak, meliputi: pemeriksaan ini mampu
mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis CTS, menentukan
tingkat keparahan dari terjepitnya saraf sehingga mampu memberikan
petunjuk pemilihan terapi, mampu menggambarkan status dasar dari
fungsi motorik dan sensorik dari n.medianus sebelum intervensi bedah,
mampu menunjukkan kemungkinan trauma intraoperatif, atau
dekompresi yang tidak adekuat dari n.medianus pada kegagalan terapi
bedah, dan memungkinkan diagnosis rekompresi atau kegagalan
dekompresi pada sekambuhan.
Ketika pemeriksaan elektrofisiologi gagal untuk
mengkonfirmasi CTS atau bahkan memunculkan etiologi lain dari
keluhan pasien, maka diagnosis sebaiknya diambil berdasarkan temuan
klinis. Terapi konservatif sebaiknya diterapkan pada pasien dengan
19
kecurigaan klinis yang tinggi akan CTS walaupun pemeriksaan
elektrofisiologi menunjukkan hasil yang negatif. Disisi lain, dokter
dapat mempertimbangkan untuk memulai terapi konservatif pada
pasien, atau memberikan injeksi steroid pertama tanpa melakukan
pemeriksaan elektrik atau radiografi, jika terdapat tanda klinis klasik
dari CTS. Apabila hal tersebut gagal, dan akan dilakukan operasi, kami
(penulis) merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan
elektrofisiologi.
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan pada CTS fokus pada dekompresi dari n.medianus pada
kanal. Pada kasus-kasus ringan sampai sedang dekompresi dapat dilakukan
dengan modifikasi ergonomis sederhana, bidai pergelangan tangan,
pengobatan dengan obat anti-inflamasi atau injeksi steroid lokal. Pada kasus
yang berat, pembedahan adalah terapi satu-satunya.
Dilaporkan bahwa dari 82% tangan dengan CTS memiliki respons
terhadap pengobatan konservatif. Namun, 80% darinya akan kambuh setelah
satu tahun, dan akan membutuhkan pembedahan.
Program Rehabilitasi
Modifikasi Ergonomis dan Bidai
Tujuan dari terapi jenis ini adalah untuk menghindari fleksi yang
berulang atau rotasi dari pergelangan tangan. Elevasi dari tangan dan obat
NSAID mungkin dapat membantu pada kasus dengan pembengkakan
24
jaringan lunak atau tenosynovitis. Pembidaian pada malam hari pada
pergelangan tangan kadang-kadang membantu untuk kasus-kasus ringan.
Posisi netral dari pembidaian menurunkan potensi dari saraf untuk
teregang sehingga mengurangi gejala. Efek dari pembidaian akan tampak
dalam delapan minggu setelah penggunaan. Keuntungan dari pembidaian
tergantung dari beratnya jepitan bukan dari lamanya penyakit. Jepitan
yang berat tidak respons dengan pembidaian pergelangan tangan.
Terapi Fisik
Mengingat bahwa CTS berhubungan dengan kebugaran fisik yang
rendah dan peningkatan BMI, masuk akal jika menyarankan pasien untuk
olah raga dan mengurangi berat badan. Sepeda statis, bersepeda, atau
olahraga lain yang menimbulkan reganyan pada pergelangan tangan
sebaiknya dihindari.
Penggunaan modalitas (terutama terapi ultrasound) mungkin dapat
memberikan bantuan jangka pendek pada pasien. Selain itu, yoga dan
mobilisasi tulang karpal memiliki beberapa bukti yang lemah untuk
mengurangi gejala untuk jangka pendek.
Terapi latihan
Menurut Arovah (2010), ada beberapa jenis terapi latihan yang
digunakan pada kasus carpal tunnel syndrome, antara lain :
1) Active exercise, adalah gerakan yang dilakukan karena adanya
kekuatan otot dan anggota tubuh sendiri tanpa bantuan, gerakan yang
dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan gravitasi.
2) Passive exercise, adalah latihan gerakan yang dilakukan oleh bantuan
dari luar dan bukan merupakan kontraksi otot yang disadari. Menurut
Kisner and Colby (2007) gerak passive exercise menyebabkan efek
penurunan nyeri akibat aliran darah lancar serta membuat daerah sekitar
sendi menjadi rileks sehingga bisa menambah luas gerak sendi dan
menjaga elastisitas otot.
3) Resisted active exercise, dapat meningkatkan kekuatan otot oleh karena
jika suatu tahanan diberikan pada otot yang berkontraksi, maka otot
25
tersebut akan beradaptasi dengan meningkatkan kekuatan otot akibat
hasil adaptasi syaraf dan peningkatan serat otot (Kisner and Colby,
2007).
Terapi Occupational
Pembidaian pergelangan tangan dengan sendi berada pada posisi
netral atau ekstensi ( disarankan pada malam hari dengan minimal selama
3-4 minggu ) memiliki bukti keberhasilan. Tentunya, hanya memakan
biaya yang rendah dan resiko efek samping yang minimal sehingga dapat
dijadikan untuk terapi awal. Tidak ada bukti yang menyarankan bahwa
program peregangan secara spesifik pada tangan dan pergelangan tangan
bermanfaat untuk pengobatan CTS. Pemijatan saraf juga tidak
menunjukkan manfaat. Pekerjaan yang ergonomis, peralatan dan/atau
posisi yang ergonomis tampaknya tidak memberikan manfaat apapun.
Komplikasi
Kebanyakan individu dengan CTS ringan sampai sedang (CTS,
berdasarkan data elektrofisiologi) memberikan respons dengan manajemen
konservatif, biasanya terdiri dari pembidaian pada pergelangan tangan minimal
26
selama 3 minggu. Pembidaian secara mandiri tampaknya juga berhasil dengan
baik, walaupun secara teori, pembidaian dengan posisi netral mungkin
merupakan pilihan yang terbaik.
Injeksi steroid ke dalam carpal tunnel telah menunjukkan manfaat
jangka panjang dan dapat dilakukan jika terapi konservatif telah gagal. Injeksi
juga bermanfaat ketika terapi pembedahan memiliki kontraindikasi relatif
(misal, karena kehamilan). Pemeriksaan ultrasound pada n.medianus dapat
membantu untuk memprediksikan respons dari injeksi steroid.
Non Steroid Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) dan/atau diuretik
memberikan manfaat pada beberapa populasu (misal, pasien dengan retensi
cairan atau dengan tendinitis pergelangan tangan). Vitamin B-6 atau B-12 tidak
terbukti memberikan manfaat.
Kurangnya olah raga (bersamaan dengan peningkatan BMI) tampaknya
menjadi faktor resiko untuk berkembangnya CTS dan sebaiknya ditangani.
Intervensi Pembedahan
Pasien dengan kondisi yang tidak membaik setelah terapi konservatif
dan pasien dengan CTS berat (sesuai dengan pemeriksaan elektrofisiologi)
sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan pembendahan. Pembedahan
dengan melepaskan ligamentum transversum terbukti memiliki tingkat
keberhasilan yang tinggi (lebih dari 90%), dengan komplikasi yang rendah,
namun, kemungkinan keberhasilan untuk jangka panjang mungkin lebih
rendah dari dugaan (kira-kira 60% untuk 5 tahun). Keberhasilan juga sangat
rendag pada pasien dengan hasil pemeriksaan elektrofisiologi yang normal.
Dekompresi n.medianus secara pembedahan, dengan transeksi CL,
diperuntukkan bagi pasien yang tidak membaik dengan terapi konservatif dan
untuk pasien dengan klinis atau hasil pemeriksaan elektrofisiologi yang
27
menunjukkan jepitan yang berat dengan motorik fokal, atau kerusakan serabut
sensorik. Dekompresi bedah dilakukan dengan anestesi regional dengan teknik
pembukaan atau dengan teknik endoskopi.
Pembebasan Carpal Tunnel dengan Bedah Terbuka
Insisi dilakukan sepanjang 3 cm, secara linier atau longitudinal,
dari palmar distal di antara thenar dan hypothenar ke arah retinakulum
proksimal. Seluruh retinakulum fleksorum dilakukan transaksi. Beberapa
komplikasi dari pembedahan ini termasuk bekas luka dan nyeri neuralgia
kutaneus. Kekambuhan setelah pembedahan jarang terjadi dan biasanya
merupakan hasil dari ketidaksempurnaan transaksi dari retinakulum
fleksorum atau trauma iatrogenik dari n.medianus.
Pembebasan Carpal Tunnel secara Endoskopi
Teknik ini diperkenalkan pada tahun 1989 oleh Okutsu dkk untuk
mengurangi morbiditas dari pembedahan dan mempercepat pemulihan.
Ada dua teknik endoskopi: sistem pelepasan satu portal dan sistem
pelepasan dua portal.
Studi kasus membandingkan pembebasan carpal tunnel dengan
teknik pembedahan terbuka dan endoskopi menunjukkan tingkat
keberhasilan yang sama dalam hal pengurangan gejala dan kepuasan dari
pasien. Teknik terbuka menimbulkan bekas luka yang lebih besar,
sedangkan endoskopi menimbulkan resiko cedera saraf yang lebih besar.
Konsultasi
Merujuk pasien dengan suspek CTS ke spesialis yang telah terlatih
dalam neurofisiologi klinis (biasanya neurolog, fisiatris, atau spesialis
kedoktgeran fisik dan rehabilitasi) untuk dilakukan pemeriksaan
elektrofisiologik.hasil pemeriksaan ini penting untuk diagnosis, pemilihan
perawatan yang tepat, penentuan prognosis dan tindak lanjut jangka panjang.
Terapi lainnya
28
Teknik dan alat untuk meregangkan atau memanipulasi carpal tunnel
tampaknya menjanjikan tetapi belum dapat diterima secara luas.21
Injeksi Steroid
Injeksi steroid di bawah CL mampu menimbulkan dekompresi pada
n.medianus dengan mengurangi edema pada jaringan sekitar. Hal ini kadang-
kadang membantu pada kasus dengan klasifikasi sedang. Jarum dimasukkan
pada distal pergelangan tangan, baik bagian medial atau lateral dari tendo
palmaris longus dengan sudut 45 derajat diarahkan ke distal. Penyuntikan
secara tegak lurus melalui retinakulum fleksorum kadang-kadang digunakan
tapi membawa resiko tinggi cedera n.medianus. Pengalaman klinis menyatakan
bahwa respons terapi biasanya tergantung dari tingkat kompresi. Pada kasus
yang parah infiltrasi steroid tidak cukup untuk meringankan tekanan pada saraf.
Pada kompresi dengan tingkat sedang, respons positif dapat dirasakan beberapa
hari setelah injeksi, tetapi biasanya menghilang dalam waktu enam bulan.
Suntikan steroid kedua dianjurkan setidaknya enam bulan setelah injeksi yang
pertama dan hanya jika respons pada injeksi memuaskan secara klinis. Ketika
terdapat kebutuhan untuk suntikan ketiga, dekompresi secara bedah harus
dipertimbangkan dengan serius.
29
DOC unruk pasien dengan nyeri tingkat ringan sampai sedang.
Menghambat reaksi inflamasi dan rasa nyeri dengan menurunkan sintesis
prostaglandin.
Cyclooxygenase -2 inhibitors
Walaupun peningkatan biaya dapat menjadi faktor negatif, insidensi
potensial terjadinya perdarahan GI yang fatal jelas berkurang dengan
pemberian COX-2 inhibitors daripada NSAID tradisional. Analisis yang
sedang berjalan mengenai pencegahan perdarahan GI akan ditentukan lebih
jauh pada populasi subjek sehingga dapat diketahui COX-2 inhibitor yang
paling menguntungkan.
Celecoxib (Celebrex)
Inhibitor primer COX-2. Tersusun atas isoenzyme terinduksi, COX-2
terinduksi selama nyeri dan stimulus inflamasi. Inhibisi dari COX-1 mungkin
berkontribusi pada toksisitas NSAID pada GI. Pada sosis terapeutik, isoenzyme
COX-1 tidak terinhibisi, sehingga toksisitas pada GI dapat dikurangi. Carilah
dosis terendah dari clecoxib untuk tiap pasien.
Agen Diuretik
Kondisi yang menyebabkan edema mampu meningkatkan tekanan pada
carpal tunnel. Diuretik memungkinkan untuk mengurangi edema.
2.9 Pencegahan
Salah satu cara menhindari Carpal tunnel syndrome adalah dengan
cara jika melakukan sesuatu yang banyak menimbulkan pergerakan pada
pergelangan tangan dianjurkan untuk berhenti sejenak setiap 15-20 menit
dengan melakukan stretching agar pergelangan tangan tidak terekspos terus-
menerus. Menjaga tangan tetap hangat karena tangan lebih mudah terasa sakit
bila dalam suhu dingin. Perbaiki postur tubuh karena potur tubuh yang salah
dapat menyebabkan posisi bahu sedikit kedepan sehingga pada posisi ini otot
leher dan bahu akan memendek dan menekan saraf-saraf leher yang dapat
mempengaruhipergelangan tangan, jari da tangan.
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya
sensibilitas yang persisten di daerah distribusi nervus medianus. Komplikasi
yang paling berat adalah reflek sympathetic dystrophyyang ditandai dengan
nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia, dan gangguan trofik. Sekalipun prognosa
carpal tunnel syndrome dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik,
tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan,
prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.
2.11 Prognosis
31
CTS tampaknya menjadi progresif dari waktu ke waktu ( walaupun
dengan fluktuasi dari minggu ke minggu ) dan dapat mengarah pada
kerusakan n.medianus yang permanen. Apakah manajemen konservatif
dapat mencegah progresivitas belum jelas. Walaupun dengan operasi
bedah, tampaknya terjadi rekurensi sindroma ini pada beberapa derajat
dalam sejumlah besar kasus ( mungkin satu per tiga setelah 5 tahun).
Awalnya, sekitar 90% kasus CTS ringan sampai sedang respons dengan
manajemen konservatif. Seiring waktu, bagaimanapun, sejumlah pasien
memerlukan terapi bedah.
Pasien dengan CTS dengan kelainan yang mendasari (misal, diabetes,
patah tulang pergelangan) cenderung memiliki prognosis yang kurang
menguntungkan dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit lain.
Pasien dengan pemeriksaan elektrofisiologi yang normal secara
konsisten memiliki hasil operasi yang kurang menguntungkan (dan lebih
banyak komplikasi) dibandingkan pasien dengan hasil pemeriksaan
elektrofisiologi yang tidak normal. Axonal loss pada pemeriksaan
elektrofisiologi juga mengindikasikan prognosis yang kurang
menguntungkan.
BAB III
KESIMPULAN
33
Secara klinis CTS didiagnosis dengan kriteria yaitu rasa nyeri yang berupa
kesemutan, rasa terbakar dan baal pada jari I, II, III dan setengah bagian lateral jari
IV dengan onset terjadi di waktu malam hari atau dini hari. Pada keadaan yang
berat, rasa nyeri dapat menjalar hingga ke lengan atas dan terdapat atrofi pada otot
thenar. Penegakan diagnosis baru dilakukan jika telah dilakukan tes provokasi
berupa Tes Phalen dan tes Tinel.
Untuk mencegah terjadinya carpal tunnel syndrome akibat aktivitas repetitif
yang menimbulkan rasa baal dan nyeri, perlu dilakukan gerakan meregang
pergelangan tangan, tangan dan jari tangan. Selain itu, pengobatan yang efektif bagi
penderita carpal tunnel syndrome dengan menggunakan splint (balut tangan),
injeksi kortikosteroid dan pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6th ed. New
york: Mc Graw-Hill; 2007.p 1358-9.
2. De krom NC, Krips child PG, Kesler AD, et al. Carpal Tunnel Syndrome:
prevalence in the general population. J.clin. 2002: 373-6.
3. Dejong RN. The Neurological Examination Revised by AF. Haerer, 5th ed, JB
Lippincott, Philadelphia, 1992; 557-9.
4. Dejong RN. The Neurological Examination Revised by AF. Haerer, 5th ed, JB
Lippincott, Philadelphia, 1992; 557-9.
34
5. Krames Communication. Carpal Tunnel Syndrome. San Bruno: Krames
Comm;1994:1-7.
6. Maurice Victor, Allan H. Ropper “ Disease of Spinal Cord, Peripheral Nerve
and Muscle”. Adams and Victors Principle’s of neurology. 7th ed. USA: Mc
Graw-Hill, 2011: 1433-4.
7. Nigel L Ashworth.’ Carpal Tunnel Syndrome”. Benjamin M Socher. Access
on Medscape. 2013.
8. Salter RB. Textbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal system.
2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins Co; 1993.p 274-5
9. Walshe III. Manual of neurology therapeutics. 5th ed. Boston: little Brown
and co; 1995.p 381-2.
10. Weimer LH. Nerve and Muscle disease. In: Marshall RS, Mayer SA, ed. On
call neurology. Philadelphia.
35