Anda di halaman 1dari 25

PKMRS

DIVISI GIZI

GIZI BURUK PADA ANAK

Oleh

A. Zakiah Pratiwi B.

C111 14 508

Residen Pembimbing

dr. Apriani Aridan

dr. Verly Hosea

Supervisor Pembimbing

Dr.dr. Aidah Juliaty A. Baso, Sp.A (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018

HALAMAN PENGESAHAN
Judul PKMRS : GIZI BURUK PADA ANAK

N ama : A. Zakiah Pratiwi


NIM : C 111 14 508
Program Studi : Pendidikan Program Profesi Dokter FK UNHAS

Makassar, Oktober 2018

Pendamping Pembimbing Pendamping Pembimbing

Residen Residen
dr. Apriani Aridan dr. Verly Hosea

Pembimbing Supervisor

Dr.dr. Aidah Juliaty A. Baso, Sp.A (K)

NIP. 197007181998032001
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………. i

LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………………….ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. iii

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gizi Buruk …………………………………………………….... 3

2.2 Epidemiologi Gizi Buruk ………………………………………………... 3

2.3 Etiologi Gizi Buruk ……………………………………………………… 4

2.4 Klasifikasi Gizi Buruk……………………………………………………. 7

2.5 Gejala Klinis………………………………………………………………. 8

2.6 Diagnosis Gizi Buruk……………………………………………………... 11

2.7 Penatalaksanaan Gizi Buruk………………………………………………. 14

2.8 Dampak Akibat Gizi Buruk……………………………………………….. 20

2.9 Komplikasi Gizi Buruk…………………………………………………… 21

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan……………………………………………………………….. 23

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. iv


BAB 1

PENDAHULUAN

Definisi Malnutrisi merupakan suatu kondisi dimana terjadi “undernutrition” dan


“overnutrition”, kelebihan nutrisi dapat mengarah kepada obesitas dan overweight sedangkan
kekurangan nutrisi mengarah kepada Kurang Energi Protein (KEP). Pada referat ini membahas
mengenai defisiensi nutrisi. Banyak faktor dapat menyebabkan malnutrisi, banyak diantaranya
terkait dengan diet yang buruk atau infeksi yang parah atau berulang, kemiskinan dalam suatu
populasi. Diet yang tidak adekuat, dikaitkan dengan kebiasaan hidup, kondisi lingkungan dan
kebutuhan dasar suatu populasi berupa pangan, papan, dan kesehatan. Malnutrisi dapat menjadi
faktor risiko untuk suatu penyakit dan dapat meningkatkan morbiditas dan kematian. Meskipun
jarang menyebabkan kematian secara langsung, malnutrisi pada anak diasosiasikan dengan
kematian anak sebesar 54% (10,8 juta anak) di Negara berkembang pada tahun 2001. malnutrisi
yang mengarah pada penyebab kematian dapat dikaitkan dengan Kurang Energi Protein yang
akan dibahas pada referat ini.

Banyak faktor yang mempengaruhi malnutrisi antara lain vector penyakit, defisiensi
mikronutrien, lingkungan yang kotor, overpopulasi yang mengarah kepada kemiskinan dan
akhirnya berujung kepada tidak tersedia kecukupan suatu pangan.

Malnutrisi sendiri dapat mengakibatkan dampak pada lingkungan dan memicu suatu
lingkaran setan yang mengarah kepada masalah kesehatan. Sebagai contoh malnutrisi dapat
membuat suatu kemiskinan yang memicu suatu rantai lemahnya ekonomi dan perkembangan
sosial masyarakat.14

Malnutrisi yaitu gizi buruk atau Kurang Energi Protein (KEP) dan defisiensi
mikronutrien merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus terutama di negara-
negara berkembang, yang merupakan faktor risiko penting terjadinya kesakitan dan kematian
pada ibu hamil dan balita. Di Indonesia KEP dan defisiensi mikronutrien juga menjadi masalah
kesehatan penting dan darurat di masyarakat terutama anak balita.
Kasus kematian balita akibat gizi buruk kembali berulang, terjadi secara masif dengan
wilayah sebaran yang hampir merata di seluruh tanah air. Sejauh pemantauan yang telah
dilakukan temuan kasus tersebut terjadi setelah anak-anak mengalami fase kritis. Sementara
itu, perawatan intensif baru dilakukan setelah anak-anak itu benar-benar tidak berdaya. Berarti
sebelum anak-anak itu memasuki fase kritis, perhatian terhadap hak hidup dan kepentingan
terbaiknya terabaikan. Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi
pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan kejadian luar biasa
gizi seperti campak dan diare melalui kegiatan surveilans. Prevalensi balita yang mengalami
gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Hasil Susenas menunjukkan adanya penurunan prevalensi
gizi buruk yaitu dari 10,1% pada tahun 1998 menjadi 8,1% pada tahun 1999 dan menjadi 6,3%
pada tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali prevalensi gizi buruk
dari 8,0% menjadi 8,3% pada tahun 2003 dan kembali meningkat menjadi 8,8% pada tahun
2005.
Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan seluruh Indonesia terjadi penurunan kasus
gizi buruk yaitu pada tahun 2005 terdata 76.178 kasus kemudian turun menjadi 50.106 kasus
pada tahun 2006 dan 39.080 kasus pada tahun 2007. Penurunan kasus gizi buruk ini belum
dapat dipastikan karena penurunan kasus yang terjadi kemungkinan juga disebabkan oleh
adanya kasus yang tidak terlaporkan (under reported). Mencuatnya kembali pemberitaan di
media massa akhir-akhir ini mengenai balita gizi buruk yang ditemukan dan meninggal
menunjukkan sistem surveilans dan penanggulangan dari berbagai instansi terkait belum
optimal. Pasien–pasien yang masuk ke rumah sakit dalam kondisi status gizi buruk juga
semakin meningkat. Umumnya pasien–pasien tersebut adalah balita. Salah satu tanda gizi
buruk balita adalah berat badan balita di bawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat (KMS)
balita. Masalah gizi buruk balita merupakan masalah yang sangat serius, apabila tidak ditangani
secara cepat dan cermat dapat berakhir pada kematian. Gizi buruk lebih rentan pada penyakit
akibat menurunnya daya tahan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal,
sampai pada kematian yang akan menurunkan kualitas generasi muda mendatang. Hal ini telah
membukakan mata kita bahwa anak balita sebagai sumber daya untuk masa depan mempunyai
masalah yang sangat besar. Apalagi penyakit penyerta yang sering pada gizi buruk seperti
lingkaran setan, yaitu penyakit-penyakit penyerta justru menambah rendahnya status gizi anak.
Penyakit-penyakit penyerta yang sering terjadi adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),
diare persisten, cacingan, tuberculosis, malaria dan HIV/AIDS13.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur
(BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI, 2011),
sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan
indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda
klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4

2.2. Epidemiologi
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia
telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita
yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari 6,3% menjadi 7,2%
tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995. Upaya pemerintahan tara lain
melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan peningkatan
pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk kepada tenaga kesehatan,
berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998; 8,1% tahun 1999 dan
6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan kembali menjadi 8% dan pada
tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk
dengan gejala klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai
dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis
(TB) serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan
pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak,
5% malaria dan 32 % penyebab lain.5
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini dapat
dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4% pada tahun
2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak
gizi buruk masih relatif besar.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi provinsi NTB untuk
gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program
perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20% dan target MDG untuk NTB sebesar 24,8% berada di
atas nasional yang 18,5% maka NTB belum melampaui target nasional 2015 sebesar 20%.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa prevalensi gizi buruk NTB sebesar 10,6%
(Tim Penyusun, 2011). Sedangkan menurut data hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009
tahun 2009 prevalensi gizi buruk di NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010 turun menjadi 4,77. 1

2.3. Etiologi
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara garis besar
penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang kurang dan anak
sering sakit atau terkena infeksi. Selain itu gizi buruk dipengaruhi oleh faktor lain seperti sosial
ekonomi, kepadatan penduduk, kemiskinan, dan lain-lain.18,19

A. Faktor utama penyebab gizi buruk pada anak15

1. Peranan diet
Anak sering tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang terutama dalam
segi protein dan karbohidratnya. Diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang
protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiokor, sedangkan diet kurang
energi walaupun zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi
penderita marasmus. Pola makan yang salah seperti pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan usia akan menimbulkan masalah gizi pada anak. Contohnya anak usia
tertentu sudah diberikan makanan yang seharusnya belum dianjurkan untuk usianya,
sebaliknya anak telah melewati usia tertentu tetapi tetap diberikan makanan yang
seharusnya sudah tidak diberikan lagi pada usianya. Selain itu mitos atau kepercayaan
di masyarakat atau keluarga dalam pemberian makanan seperti berpantang makanan
tertentu akan memberikan andil terjadinya gizi buruk pada anak.

2. Peranan penyakit atau infeksi


Penyakit atau infeksi menjadi penyebab terbesar kedua setelah asupan makanan yang
tidak seimbang. Telah lama diketahui adanya hubungan yang erat antara malnutrisi dan
penyakit infeksi terutama di negara tertinggal maupun di negara berkembang seperti
Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan diri (personal hygiene) masih kurang,
dan adanya penyakit infeksi kronik seperti Tuberkulosis dan cacingan pada anak-anak.
Kaitan antara infeksi dan kurang gizi sangat sukar diputuskan, karena keduanya saling
terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan anak
menjadi kurang gizi yang pada akhirnya memberikan dampak buruk pada sistem
pertahanan tubuh sehingga memudahkan terjadinya infeksi baru pada anak.

B. Faktor lain penyebab gizi buruk pada anak

1. Peranan sosial ekonomi


Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan masalah sosial
ekonomi, dan kemiskinan. Data di indonesia dan negara lain menunjukan adanya
hubungan timbal balik antara kurang gizi dengan masalah-masalah sosial yang terjadi
di masyarakat terutama masalah kemiskinan yang pada akhirnya mempengaruhi
ketersedian makanan serta keragaman makanan yang dikonsumsi. Banyak masyarakat
yang masih menganut sistem bahwa orang tua harus lebih mendapatkan porsi makanan
yang lebih banyak dan lebih bergizi daripada anak-anaknya karena mereka harus
bekerja keras untuk menghidupi keluarganya sedangkan anak-anak hanya bermain
dirumah sehingga tidak perlu mendapat asupan yang bergizi. Selain itu adanya faktor-
faktor lain seperti poligami, seorang suami dengan banyak istri dan anak membuat
pendapatan suami tersebut tidak dapat mencukupi makan istri-istri dan anak-anaknya,
serta tingginya tingkat perceraian, dimana sebelumnya suami dan istri bersama-sama
mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya, kini hanya tinggal istri yang
menghidupi anaknya sebagai orang tua tunggal (single parrent).

2. Peranan kepadatan penduduk


Dalam kongresnya di Roma pada tahun 1974, World Food Organization memaparkan
bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan
bertambahnya persediaan pangan maupun bahan makanan setempat yang memadai
merupakan sebab utama krisis pangan. Marasmus dapat terjadi jika suatu daerah terlalu
padat penduduknya dengan keadaan higiene yang buruk, contohnya dikota-kota besar
yang laju pertambahan penduduknya sangat besar akibat arus urbanisasi dan tingginya
angka kelahiran menyebabkan kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Pada
akhirnya ketersediaan makanan yang ada tidak akan mencukupi lagi untuk memenuhi
kebutuhan makanan masyarakat di daerah tersebut.
2.4 Klasifikasi Gizi Buruk
Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.
Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang
berbeda-beda.
2.4.1 Marasmus
Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup karena diet
yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti mereka yang hubungan
orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolic atau malformasi congenital.
Gangguan berat setiap system tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.6
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul
diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit
(kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit,
gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering
rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut
adalah gejala pada marasmus adalah : 4
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan otot-ototnya,
tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

2.4.2 Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana dietnya
mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya
terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua
punggung kaki sampai seluruh tubuh.
Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik dan kimia,
gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup bernilai
biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada keadaan diare
kronik, kehilangan protein abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka
bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati kronik .6
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat dan
masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang berlebihan
atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin
dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi
yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini terutama berada di daerah industri
belum bekembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis atau
iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamina,
kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dan udem.
Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius dan
konstan.
Pada anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan tonus
otot. Hati membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi lemak. Udem
biasanya terjadi awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh udem, yang sering ada
dalam organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan tungkai. Adapun edema terjadAliran
plasma ginjal, laju filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin
kecil pada awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini sering
terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang teriritasi tetapi tidak ada pada
daerah yang terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini sesudah
deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan kehilangan sifat
elastisnya. Pada anak yang berambut hitam, dispigmentasi menghasilkan corak merah atau abu-
abu pada warna rambut (hipokromotrichia) .6
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia, mual, muntah,
dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi kadang-kadang mungkin
ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental, terutama iritabilitas dan apati sering ada.
Stupor, koma dan meninggal dapat menyertai.6
Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut, pada
penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal
pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas .
2.4.3 Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan
marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk
pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan <
60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.4

2.4 Gejala Klinis


Pada kasus malnutrisi yang berat, gejala klinis terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu
kwashiokor dan marasmus. Pada kenyataannya jarang sekali ditemukan suatu kasus yang
hanya menggambarkan salah satu dari bagian tertentu saja. Sering kali pada kebanyakan anak-
anak penderita gizi buruk, yang ditemukan merupakan perpaduan gejala dan tanda dari kedua
bentuk malnutrisi berat tersebut. Marasmus lebih sering ditemukan pada anak-anak dibawah
usia satu tahun, sedangkan insiden pada anak-anak dengan kwashiokor terjadi pada usia satu
hingga enam tahun. Pada beberapa negara seperti di Asia dan Afrika, marasmus juga
didapatkan pada anak yang lebih dewasa dari usia satu tahun (toddlers), sedangkan di Chili,
marasmus terjadi pada bulan pertama kehidupan anak tersebutnya.15,16

Gejala pertama dari malnutrisi tipe marasmus adalah kegagalan tumbuh kembang. Pada
kasus yang lebih berat, pertumbuhan bahkan dapat terhenti sama sekali. Selain itu didapatkan
penurunan aktifias fisik dan keterlambatan perkembangan psikomotorik. Pada saat dilakukan
pemeriksaan fisik, akan ditemukan suara tangisan anak yang monoton, lemah, dan tanpa air
mata, lemak subkutan menghilang dan lemak pada telapak kaki juga menghilang sehingga
memberikan kesan tapak kaki seperti orang dewasa. Kulit anak menjadi tipis dan halus, mudah
terjadi luka tergantung adanya defisiensi nutrisi lain yang ikut menyertai keadaan marasmus.
Kaki dan tangan menjadi kurus karena otot-otot lengan serta tungkai mengalami atrofi disertai
lemak subkutan yang turut menghilang. Pada pemeriksaan protein serum, ditemukan hasil yang
normal atau sedikit meningkat. Selain itu keadaan yang terlihat mencolok adalah hilangnya
lemak subkutan pada wajah. Akibatnya ialah wajah anak menjadi lonjong, berkeriput dan
tampak lebih tua (old man face). Tulang rusuk tampak lebih jelas. Dinding perut hipotonus dan
kulitnya longgar. Berat badan turun menjadi kurang dari 60% berat badan menurut usianya.
Suhu tubuh bisa rendah karena lapisan penahan panas hilang. Cengeng dan rewel serta lebih
sering disertai diare kronik atau konstipasi, serta penyakit kronik. Tekanan darah, detak jantung
dan pernafasan menjadi berkurang.16,17

Pada kasus malnutrisi kwashiokor marasmik ditemukan perpaduan gejala antara


kwashiokor dan marasmus. Keadaan ini ditemukan pada anak-anak yang makanan sehari-
harinya tidak mendapatkan cukup protein dan energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
anak-anak penderita kasus ini disamping terjadi penurunan berat badan dibawah 60% berat
badan normal seusianya, juga memperlihatkan tanda-tanda kwashiokor, seperti edema,
kelainan rambut, kelainan kulit, dan kelainan biokimiawi. Kelainan rambut pada kwashiokor
adalah rambut menjadi lebih mudah dicabut tanpa reaksi sakit dari penderita, warna rambut
menjadi lebih merah, ataupun kelabu hingga putih. Kelainan kulit yang khas pada penyakit ini
ialah crazy pavement dermatosis, yaitu kulit menjadi tampak bercak menyerupai petechiae
yang lambat laun menjadi hitam dan mengelupas di tengahnya, menjadikan daerah sekitarnya
kemerahan dan dikelilingi batas-batas yang masih hitam. Adanya pembesaran hati dan juga
anemia ringan dikarenakan kekurangan berbagai faktor yang turut mengiringi kekurangan
protein, seperti zat besi, asam folat, vitamin B12, vitamin C, dan tembaga. Selain itu juga
ditemukan kelainan biokimiawi seperti albumin serum yang menurun, globulin serum yang
menurun, dan kadar kolesterol yang rendah.16,18

2.5. Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat dan
lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh karena adanya
kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang
tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang
kurang dibandingkan dengan anak yang sehat.2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
 BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)
 Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh(kwashiorkor : BB/TB
> -3SD atau marasmik-kwashiorkor : BB/TB < -3SD.
Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit
terutama pada kedua bahu lengan pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa
adanya edema.7
Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis
terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :
 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare
(encer/darah/lender)
 Kapan terakhir berkemih
 Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi dan/atau syok,
serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya, dilakukan
setelah kedaruratan tertangani)
 Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit
 Riwayat pemberian ASI
 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
 Hilangnya nafsu makan
 Kontak dengan campak atau tuberculosis paru
 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
 Batuk kronik
 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
 Berat badan lahir
 Riwayat tumbuh kembang
 Riwayat imunisasi
 Apakah ditimbang setiap bulan
 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)
 Diketahui atau tersangka infeksi HIV .7

Pemeriksaan Fisik
 Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung kaki. Tentukan
status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB
 Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk
 Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran menurun
 Demam (suhu aksilar ≥ 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C)
 Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung
 Sangat pucat
 Pembesaran hati dan ikterus
 Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda asites
 Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)
 Ulkus pada mulut
 Fokus infeksi : THT, paru, kulit
 Lesi kulit pada kwashiorkor
 Tampilan tinja
 Tanda dan gejala infeksi HIV

2.6. Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk

Tujuan pengobatan pada penderita marasmus adalah pemberian diet tinggi kalori dan
tinggi protein serta mencegah kekambuhan. Penderita marasmus tanpa komplikasi dapat
berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian makanan yang baik, sedangkan
penderita yang mengalami komplikasi serta dehidrasi, syok, asidosis dan lain-lain perlu
mendapat perawatan di rumah sakit. Penatalaksanaan penderita yang dirawat di RS dibagi
dalam dua fase.15

Pada fase initial, tujuan yan diharapkan adalah untuk menangani atau mencegah
hipoglikemia, hipotermi, dan dehidrasi. Tahap awal yaitu 24-48 jam per-tama merupakan masa
kritis, yaitu tindakan untuk menyelamat-kan jiwa, antara lain mengkoreksi keadaan dehidrasi
atau asidosis dengan pemberian cairan intravena. Cairan yang diberikan ialah larutan Darrow-
Glucosa atau Ringer Lactat Dextrose 5%. Cairan diberikan sebanyak 200 ml/kg BB/hari. Mula-
mula diberikan 60 ml/kg BB pada 4-8 jam pertama. Kemudian 140 ml sisanya diberikan dalam
16-20 jam berikutnya.15,16

Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh yang rendah dibawah 360 C. Pada keadaan ini
anak harus dihangatkan. Cara yang dapat dilakukan adalah ibu atau orang dewasa lain
mendekap anak di dadanya lalu ditutupi selimut (Metode Kanguru). Perlu dijaga agar anak
tetap dapat bernafas.

Semua anak, menurut guideline dari WHO, diberikan antibiotic untuk mencegah
komplikasi yang berupa infeksi, namun pemberian antibiotic yang spesifik tergantung dari
diagnosis, keparahan, dan keadaan klinis dari anak tersebut. Pada anak diatas 2 tahun diberikan
obat anti parasite sesuai dari protocol

Tahap kedua yaitu penyesuaian. Sebagian besar penderita tidak memerlukan koreksi
cairan dan elektrolit, sehingga dapat langsung dimulai dengan penyesuaian terhadap pemberian
makanan. Pada hari-hari pertama jumlah kalori yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/kg
BB/hari atau rata-rata 50 kalori/kg BB/hari, dengan protein 1-1,5 g/kg BB/hari. Jumlah ini
dinaikkan secara berangsur-angsur tiap 1-2 hari sehingga mencapai 150-175 kalori/kg BB/hari
dengan protein 3-5 g/kg BB/hari. Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet tinggi kalori
tinggi protein ini lebih kurang 7-10 hari. Cairan diberikan sebanyak 150 ml/kg BB/hari.
Formula yang biasa diberikan dalam tahap ini adalah F-75 yang mengandung 75kcal/100ml
dan 0,9 protein/100ml) yang diberika terus menerus setiap 2 jam.

Pemberian vitamin dan mineral yaitu vitamin A diberikan sebanyak 200.000. i.u peroral
atau 100.000 i.u im pada hari pertama kemudian pada hari ke dua diberikan 200.000 i.u. oral.
Vitamin A diberikan tanpa melihat ada/tidaknya gejala defisiensi Vitamin A untuk mencegah
terjadinya xeroftalmia karena pada kasus ini kadar vitamin A serum sangat rendah. Mineral
yang perlu ditambahkan ialah K, sebanyak 1-2 Meq/kg BB/hari/IV atau dalam bentuk preparat
oral 75-100 mg/kg BB/hari dan Mg, berupa MgS04 50% 0,25 ml/kg BB/hari atau magnesium
oral 30 mg/kg BB/hari. Dapat diberikan 1 ml vitamin B (IC) dan 1 ml vit. C (IM), selanjutnya
diberikan preparat oral atau dengan diet.
Fase rehabilitasi dimulai saat nafsu makan anak meningkat dan infeksi yang ada
berhasil ditangani. Formula F-75 diganti menjadi F-100 yang dikurangi kadar gulanya untuk
mengurangi osmolaritasnya. Jenis makanan yang memenuhi syarat untuk penderita malnutrisi
berat ialah susu dan diberikan bergantian dengan F-100. Dalam pemilihan jenis makanan perlu
diperhatikan berat badan penderita. Dianjurkan untuk memakai pedoman BB kurang dari 7 kg
diberikan makanan untuk bayi dengan makanan utama ialah susu formula atau susu yang
dimodifikasi, secara bertahap ditambahkan makanan lumat dan makanan lunak. Penderita
dengan BB di atas 7 kg diberikan makanan untuk anak di atas 1 tahun, dalam bentuk makanan
cair kemudian makanan lunak dan makanan padat.

Tabel 1. Sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk15

No Tindakan Pelayanan Fase Stabilisasi Fase Rehabilitasi Fase Tindak lanjut *)


H1-2H3-7 Minggu ke 3 - 6 Minggu ke 7 -26
1. Mencegah dan mengatasi
hipoglikemia
2. Mencegah dan mengatasi
hipotermia
3. Mencegah dan mengatasi
dehidrasi
4. Memperbaiki gangguan
keseimbangan elektrolit
5. Mengobati infeksi
6. Memperbaiki zat gizi mikro Tanpa Fe Dengan Fe
7. Memberikan makanan
untuk stabilisasi dan
transisi
8. Memberikan makanan
untuk tumbuh kejar
9. Memberikan stimulasi
tumbuh kembang
10. Mempersiapkan untuk
tindak lanjut di rumah
*) Pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala (1minggu/
kali) berobat jalan ke Puskesmas atau Rumah Sakit.

Pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 2 fase yang harus dilalui yaitu fase
stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14), fase rehabilitasi (Minggu ke 3 – 6), ditambah
fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26) seperti tampak pada tabel diatas.
2.7. Dampak Gizi Buruk

Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait dengan
dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai konsekuensi yang
diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena
kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro
nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem
pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali
terkena infeksi.
Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena berberbagai
disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena
jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan
kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up
dengan baik akibatnya anak tidak dapat -catch up- dan mengejar ketinggalannya maka dalam
jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.
Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat
kondisi -stunting- (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak pun
terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat
beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak
ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap
perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan
perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ,
penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian,
gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak.
2.8 Komplikasi

Keadaan malnutrisi marasmus dapat menyebabkan anak mendapatkan penyakit penyerta yang
terkadang tidak ringan apabila penatalaksanaan marasmus tidak segera dilakukan. Beberapa
keadaan tersebut ialah:18,19

1. Noma
Noma merupakan penyakit yang kadang-kadang menyertai malnutrisi tipe marasmus-
kwashiokor. Noma atau stomatitis gangraenosa merupakan pembusukan mukosa mulut
yang bersifat progresif sehingga dapat menembus pipi. Noma terjadi pada malnutrisi berat
karena adanya penurunan daya tahan tubuh. Penyakit ini mempunyai bau yang khas dan
tercium dari jarak beberapa meter. Noma dapat sembuh tetapi menimbulkan bekas luka
yang tidak dapat hilang seperti lenyapnya hidung atau tidak dapat menutupnya mata karena
proses fibrosis.

2. Xeroftalmia
Penyakit ini sering ditemukan pada malnutrisi yang berat terutama pada tipe marasmus-
kwashiokor. Pada kasus malnutrisi ini vitamin A serum sangat rendah sehingga dapat
menyebabkan kebutaan. Oleh sebab itu setiap anak dengan malnutrisi sebaiknya diberikan
vitamin A baik secara parenteral maupun oral, ditambah dengan diet yang cukup
mengandung vitamin A.

3. Tuberkulosis
Pada anak dengan keadaan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan kekebalan tubuh yang
akan berdampak mudahnya terinfeksi kuman. Salah satunya adalah mudahnya anak dengan
malnutrisi berat terinfeksi kuman mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan
penyakit tuberkulosis.
4. Sirosis hepatis
Sirosis hepatis terjadi karena timbulnya perlemakan dan penimbunan lemak pada saluran
portal hingga seluruh parenkim hepar tertimbun lemak. Penimbunan lemak ini juga disertai

ii
adanya infeksi pada hepar seperti hepatitis yang menimbulkan penyakit sirosis hepatis pada
anak dengan malnutrisi berat.

5. Hipotermia
Hipotermia merupakan komplikasi serius pada malnutrisi berat tipe marasmus. Hipotermia
terjadi karena tubuh tidak menghasilkan energi yang akan diubah menjadi energi panas
sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh. Selain itu lemak subkutan yang tipis bahkan
menghilang akan menyebabkan suhu lingkungan sangat mempengaruhi suhu tubuh
penderita.

6. Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat terjadi pada hari-hari pertama perawatan anak dengan malnutrisi berat.
Kadar gula darah yang sangat rendah ini sangat mempengaruhi tingkat kesadaran anak
dengan malnutrisi berat sehingga dapat membahayakan penderitanya.

7. Infeksi traktus urinarius


Infeksi traktus urinarius merupakan infeksi yang sering terjadi pada anak bergantung
kepada tingkat kekebalan tubuh anak. Anak dengan malnutrisi berat mempunyai daya
tahan tubuh yang sangat menurun sehingga dapat mempermudah terjadinya infeksi
tersebut.

8. Penurunan kecerdasan
Pada anak dengan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan perkembangan organ tubuhnya.
Organ penting yang paling terkena pengaruh salah satunya ialah otak. Otak akan terhambat
perkembangannya yang diakibatkan karena kurangnya asupan nutrisi untuk pembentukan
sel-sel neuron otak. Keadaan ini akan berpengaruh pada kecerdasan seorang anak yang
membuat fungsi afektif dan kognitif menurun, terutama dalam hal daya tangkap, analisa,
dan memori.

iii
BAB 3

KESIMPULAN

Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya manusia. Gizi buruk
tidak hanya meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian tetapi juga menurunkan
produktivitas, menghambat pertumbuhan sel-sel otak yang mengakibatkan kebodohan dan
keterbelakangan. Berbagai masalah yang timbul akibat gizi buruk antara lain tingginya angka
kelahiran bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang disebabkan jika ibu hamil
menderita KEP akan berpengaruh pada gangguan fisik, mental dan kecerdasan anak, juga
meningkatkan resiko bayi yang dilahirkan kurang zat besi. Bayi yang kurang zat besi dapat
berdampak pada gangguan pertumbuhan sel-sel otak, yang dikemudian hari dapat mengurangi IQ
anak. Faktor penyebab gizi buruk dapat berupa penyebab tak langsung seperti kurangnya jumlah
dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan, menderita
penyakit kanker dan penyebab langsung yaitu ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku dan
pelayanan kesehatan. Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan
masalah utama gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan
kesempatan kerja. Oleh karena itu, untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas
sektor6. Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan pemeriksaan
laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi
protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh karena adanya kekurangan vitamin
dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang
ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan
anak yang sehat. Gizi buruk ringan sering ditemukan pada anak-anak dari 9 bulan sampai 2 tahun,
akan tetapi dapat dijumpai pula pada anak yang lebih besar. Pertumbuhan yang terganggu dapat
dilihat dari pertumbuhan linier mengurang atau terhenti, kenaikan berat badan berkurang, terhenti
dan adakalanya beratnya menurun, ukuran lingkar lengan atas menurun, maturasi tulang terlambat,
rasio berat terhadap tinggi normal atau menurun, tebal lipat kulit normal atau mengurang, anemia
ringan, aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat, adakalanya
dijumpai kelainan kulit dan rambut. Gizi buruk berat memberi gejala yang kadang-kadang
berlainan, tergantung dari dietnya, fluktuasi musim, keadaan sanitasi dan kepadatan penduduk6.

iv
Gizi buruk berat dapat dibedakan tipe kwashiorkor, tipe marasmus dan tipe marasmik-
kwashiorkor. Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala tampak sangat kurus dan atau edema pada
kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh, perubahan status mental, rambut tipis kemerahan
seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok, wajah membulat dan sembab,
pandangan mata sayu, pembesaran hati, kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas
dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas cengeng dan rewel. Tipe marasmus
ditandai dengan gejala tampak sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit
keriput,perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan
keriput. Tipe marasmik-kwashiorkor merupakan gabungan beberapa gejala klinik kwashiorkor-
marasmus. Pengukuran antropometrik lebih ditujukan untuk menemukan gizi buruk ringan dan
sedang. Pada pemeriksaan antropometrik, dilakukan pengukuran-pengukuran fisik anak (berat,
tinggi, lingkar lengan, dan lain-lain) dan dibandingkan dengan angka standar (anak normal). Untuk
anak, terdapat tiga parameter yang biasa digunakan, yaitu berat dibandingkan dengan umur anak,
tinggi dibandingkan dengan umur anak dan berat dibandingkan dengan tinggi/panjang anak.
Parameter tersebut lalu dibandingkan dengan tabel standar yang ada. Untuk membandingkan berat
dengan umur anak, dapat pula digunakan grafik pertumbuhan yang terdapat pada KMS.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan kadar hemoglobin darah merah
(Hb) dan kadar protein (albumin/globulin) darah. Dengan pemeriksaan laboratorium yang lebih
rinci, dapat pula lebih jelas diketahui penyebab malnutrisi dan komplikasi-komplikasi yang terjadi
pada anak tersebut. Pada gizi buruk terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya seperti
jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral, dan protein terutama protein otot. Tubuh
mengandung lebih banyak cairan. Keadaan ini merupakan akibat hilangnya lemak, otot dan
jaringan lain. Cairan ekstra sel terutama pada anak-anak dengan edema terdapat lebih banyak
dibandingkan tanpa edema. Kalium total tubuh menurun terutama dalam sel sehingga
menimbulkan gangguan metabolik pada organ-organ seperti ginjal, otot dan pankreas. Dalam sel
otot kadar natrium dan fosfor anorganik meninggi dan kadar magnesium menurun. Kelainan organ
sering terjadi seperti sistem alimentasi bagian atas (mulut, lidah dan leher), sistem gastrointestinum
(hepar, pankreas), jantung, ginjal, sistem endokrin sehingga gizi buruk harus segera ditangani
dengan cepat dan cermat.

v
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan
Anak.

2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor1

3. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi. Jakarta : Dirjen Bina
Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

4. Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta : Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

5. Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen Bina Kesehatan
Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

6. Berhman dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta : EGC.

7. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta : Tim Adaptasi
Indonesia-WHO Indonesia.

8. Astya Palupi, dkk. 2009. Status Gizi dan Hubungannya dengan Kejadian Diare pada Anak
Diare Akut di Ruang Rawat Inap RSUP dr. Sardjito Yogyakarta dalam Jurnal Gizi Klinik
Indonesia Volume 6, No.1 (hal 1-7).

9. Syaiful, muthowif. 2009. Hubungan Antara Kejadian Diare dengan Status Gizi Anak Balita di
Kelurahan Bekonang Kecamatan mojolaban Kabupaten Sukoharjo. Surakarta.

10. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta : Pengurus Pusat
IDAI.

11. Ngurah Suwarba dkk. Profil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan Perkembangan Global
di Rumah Sakit Cipto mangunkusumo Jakarta dalam Sari Pediatri Volume 10. No.4. Denpasar
: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Udayana.

vi
12. Zuhriyah H. 2009. Faktor Risiko Disfasia Perkembangan pada Anak. Semarang : Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro.

13. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC

14. Blossner, Monika. 2005. Malnutrition: Quantifying the Health Impact at national and Local
levels. Geneva: WHO

15. Behrman RE, RM Kliegman, HB Jenson. Food Insecurity, Hunger, and Undernutrition in
Nelson Textbook of Pediatric 18th edition, 2004 : 225-232

16. Brunser Oscar. Protein Energy Malnutrition : Marasmus in Clinical Nutrition of the Young
Child, Raven Press, New York, 1985 : 121-154

17. Hay WW, MJ Levin, JM sondheimer, RR Deterding. Normal Childhood Nutrition and its
Disorders in Current Diagnosis & Treatment in Pediatrics 18th edition, 2005 : 283-311

18. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (Kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi Klinis pada Anak
edisi keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2005 : 95-137

19. Rosli AW, Rauf S, Lisal JS, Albar H. Relationship Between Protein Energy Malnutrition and
Urinary Tract Infectiont in Children in Paediatrica Indonesiana, 48th volume, May, 2008 : 166-
169

vii
1

Anda mungkin juga menyukai