Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan salah satu negara yang terdapat di wilayah tropis.
Oleh karena itu, penyakit menular banyak ditemukan di sini karena memang
factor kelembaban yang datang bersama musim hujan eperti di negara
beriklim tropis lain. Penyakit menular adalah penyakit yang ditularkan melalui
berbagai media dan sangat beresiko tinggi bagi manusia yang terkena terlebih
karena cepatnya pertumbuhan manusia (Zeng, et al, 2005). Contoh penyakit
tropis yang akan dibahas dalam makalah ini adalah DHF (Dengue
Haemorrhagic Fever)/DBD (Demam Berdarah Dengue).
DHF atau DBD (Demam Berdarah Dengue) merupakan penyakit yang
berbasis lingkungan. Penyakit DHF sampai saat ini masih merupakan masalah
serius bagi pemerintah Indonesia. Melalui Indonesia Sehat 2010 diharapkan
masyarakat Indonesia hidup dalam lingkungan yang sehat dan mempraktikkan
perilaku hidup bersih dan sehat. Namun kenyataannya, masih banyak selokan
yang alirannya terganggu sampah. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Departemen kesehatan, 2005, prevalensi penderita DHF di Indonesia tahun
2000 sebanyak 21.134 penderita, tahun 2001 sebanyak 33.443 penderita,
tahun 2002 sebanyak 40.377 penderita, dan pada tahun 2003 sebanyak 51.516
penderita. Penyebaran virus DHF dipengaruhi oleh sistem ketahanan tubuh
dan faktor lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan DHF?
1.2.2 Bagaimanakah epidemiologi, etiologi, patofisiologi dan WOC dari
DHF?
1.2.3 Bagaimanakah manifestasi klinis, peemriksaan diagnostik, pencegahan
dan penatalaksanaan dari DHF?
1.2.4 Bagaimanakah komplikasi dan prognosis dari DHF?
1.2.5 Bagaimanakah contoh asuhan keperawatan komunitas pada DHF?
1.2.6 Bagaimanakah program pemerintah selama ini untuk upaya
penanganan DHF?

1.3 Tujuan
Tujuan Umum

1
Mengetahui tentang penyakit DHF/ DBD dan upaya penanganannya dalam
komunitas.
Tujuan Khusus
1.3.1 Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan DHF.
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimanakah epidemiologi, etiologi, patofisiologi
dan WOC dari DHF.
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimanakah manifestasi klinis, peemriksaan
diagnostik, pencegahan dan penatalaksanaan dari DHF.
1.3.4 Untuk mengetahui bagaimanakah komplikasi dan prognosis dari DHF.
1.3.5 Untuk mengetahui program pemerintah yang ada dan pencapaiannya
1.3.6 Untuk mengetahui bagaimanakah contoh asuhan keperawatan
komunitas pada DHF.

1.4 Manfaat
Dengan mempelajari tentang kusta, asuhan keperawatan komunitas
pada kusta, DHF, asuhan keperawatan komunitas pada DHF kami menjadi
mengetahui tentang hal-hal tersebut. Setelah kami mengetahui, nantinya bisa
jadi bekal untuk akmi sebagai perawat saat terjun dalam keperawatan
komunitas.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
DHF/DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dari
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue
penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk kedalam kelompok B Arthropod
Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili
Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3,
Den-4 (DepkesRI, 2009).

2.2 Epidemiologi
Penyakit ini pertamakali dikenal diwilayah Filipiina pada tahun
1953 dengan istilah haemoraghi fever. Pada tahun 1958 menyebar epidemi
penyakit serupa di Bangkok. Sedangkan di Indonesia sendiri penyakit ini
pertamakali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, namun konfirmasi
baru didapatkan pada tahun 1970 (Soedarmo et all, 2012).
Demam berdarah dengue (DBD) setiap tahunnya menginfeksi 50
hingga 100 juta orang di lebih dari 100 negara. Angka mortalitasnya rata-
rata mencapai satu persen. DHF adalah penyakit dengan inang nyamuk
yang tersebar paling luas di dunia setelah malaria. Indonesia dengan
prevalensi rata-rata 100.000 kasus DBD per tahun sesuai data departemen
kesehatan, menjadi negara kedua setelah Brasil, yang memiliki kasus DBD
tertinggi di dunia.
Sementara di India, tahun 2012 lalu dilaporkan 37.000 kasus
penyakit demam berdarah, yang di negara itu dianggap sebagai faktor utama
kematian bayi. Para pakar epidemiologi menduga, penularan virus demam
berdarah secara cepat ini diakibatkan oleh inang baru yang menyebar
dengan cepat. Negara tetangga India, Pakistan, menderita epidemi DBD
terparah di tahun 2011. Demam berdarah dengue (DBD) menjadi masalah
kesehatan global pada dekade terakhir dengan meningkatnya kasus DBD di
dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan lebih dari 2,5 miliar

3
orang dari dua per lima populasi dunia saat ini berisiko terinfeksi virus
dengue. Jumlah negara yang melaporkan kasus DBD dari tahun ke tahun
terus bertambah. Tahun 2007 tercatat ada 68 negara yang melaporkan kasus
ini. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 1999, di mana hanya 29 negara
yang melaporkan. Saat ini ebih dari 100 negara di Afrika, Amerika,
Mediterania Timur, AsiaTenggara, dan Pasifik Barat merupakan wilayah
dengan dampak DBD serius.
Hingga saat ini, perluasan wilayah yang melaporkan kasus DBD
terus meningkat di Indonesia. Tahun 2006 hanya 330 kabupaten/ kota saja
yang melaporkan terjadi sebaran endemis DBD dan selebihnya dalam
daerah non endemis, sedangkan tahun 2007 menjadi 361 kabupaten/ kota
dan pada 2009 mencapai 382 kabupaten/ kota.

2.
3.

Table: Jumlah dan Persebaran Kasus DBD Tahun 1996-2009


(Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009)

Peningkatan dan penyebaran kasus DBD tersebut kemungkinan


disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah
perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk
serta faktor epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993-2009 terjadi
pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar
kasus DBDadalah kelompok umur <15 tahun, tahun 1999-2009 kelompok
umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur ≥15 tahun.
Kasus DBD dalam kurun waktu lima tahun pun meningkat. Tahun 2008
tercatat 117.830 kasus dengan 953 kematian (case fatality rafe/CFR 0,81),
tahun 2010 tercatat 156.086 kasus dengan 1.358 kematian (CFR 0,87).

4
Kasus ini selalu meningkat pada awal musim hujan dan menimbulkan
kejadian luar biasa (KLB).

Grafik: peningkatan penderita DBD per 100.000 penduduk tahun 1968-2009


(Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009)

Kasus DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41


tahun terakhir di Indonesia. Sejak tahun 1968 terjadi peningkatan
persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2
provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada
tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada
laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD,
pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009
(Depkes, 2009).

Angka Insiden DBD per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi


di Indonesia tahun 2009

Berdasarkan AI (angka insiden) suatu daerah dapat dikategorikan


termasuk dalam risiko tinggi, sedang dan rendah yaitu risiko tinggi bila AI >
55 per 100.000 penduduk, risiko sedang bila AI 20-55 per 100.000

5
penduduk dan risiko rendah bila AI < 20 per 100.000 penduduk. Sedangkan
berdasarkan data gambar diatas maka provinsi Kalimantan Timurlah yang
menduduki daerah paling berisiko terjangkit DBD. Melalui data survailens
WHO 2011 menunjukan perubahan data dimana pada tahun 2011 Provinsi
Jawa Timurlah yang menjadi provinsi nomor satu dengan angka kejadian
demamberdarah terbesar di Indonesia. Berikut grafik yang menunjukan
angka kejadian DBD di provinsi yang ada di Indonesia.

2.3 Etiologi
Pada dasarnya penyakit DBD merupakan infeksi virus yang dibawa
Grafik kasus DBD per Provinsi di Indonesia Tahun 2011
oleh nyamuk Aedes. Virus yang di bawa termasuk kedalam kelompok B
Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1,
Den-2, Den-3, Den-4. Serotipe yang sering ditemukan pada kasus DBD di
Indonesia adalah serotipe Den-3. Demam berdarah ditularkan pada manusia
melalui gigitan nyamuk betina Aedes yang terinfeksi virus dengue, virus
dengue juga dapat disebarkan oleh spesies lain yaitu Aedes albopictus.
Penyakit ini tidak dapat ditularkan langsung dari orang ke orang. virus
dengue juga dapat disebarkan oleh spesies lain yaitu Aedes albopictus
(Soedarmo et all, 2012).

2.4 Patofisiologi
Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia melalui gititan
nyamuk aedes agypti yang selanjutnya bereaksi dengan atibodi tubih
sehingga terbentuk kompleks virus dan antibodi. Saat terbentuk kompleks

6
virus dan antibodi maka akan terjadi aktivasi C3 dan C5 yang merupakan
petida yang beruna untuk melepaskan histamin dan juga merupakan faktor
yang menyebabkan turunya permeabilitas dinding pembuluh darah (Suriadi
&Yuliani, 2010). Pada DBD peningkatan akut permeabilitas vaskuler
merupakan patofisiologi primer. Hal ini akan mengarah ke kebocoran
plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan
hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus-kasus berat
volume plasma menurun lebih dari 20% dapat menyebabkan terjadinya efusi
pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia.
Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan hemostasis
pada DBD yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan
koagulasi. Hampir semua penderita dengue mengalami peningkatan
fragilitas vaskuler dan trombositopeni, serta koagulogram yang abnormal.
Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral dan
seluler, antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen.
Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul
pada infeksi primer, dan pada infeksi sekunder kadarnya telah meningkat.
Pada hari kelima demam, dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat
pada minggu pertama hingga minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90
hari. Saat infeksi primer antibodi IgG meningkat pada hari ke-14 demam
sedangkan pada infeksi sekunder kadar IgG meningkat pada hari kedua.
Karenanya diagnosis infeksi primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi
IgM setelah hari kelima sakit, sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis
dapat ditegakkan lebih dini (Depkes RI, 2009).

2.5 Manifestasi Klinis


Secara umum gambaran pasien dengan DHF menurut Soedarmo (2012)
adalah sebagai berikut
a. Nyeri
b. Mual dan muntah
c. Ruam kulit
d. Diare
e. Batuk dan pilek
f. Limfadenopati
g. Kejang
h. Kesadaran menurun
i. Obstipasi

7
j. Uji tourniquet (+)
k. Petekie
l. Perdarahan saluran cerna
m. Hepatomegali
n. Trombositopenia (<100.000/ul)
o. Syok, ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun
(≤20 mmHg), tekanan darah menurun (sistolik ≤80 mmHg).
Berdasarkan Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase
yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan (Depkes, 2009).

a. Fase febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada
beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva,
anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda
perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula
terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.i, Volume
b. Fase Kritis
Terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh
disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma
yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering
didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitungan trombosit.
Pada fase ini dapat terjadi syok.
c. Fase Pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam
setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali,
hemodinamik stabil dan diuresis membaik.
Jika terjadi kasus DBD berat maka harus dicurigai bila pada
penderita ditemukan:
a. Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat
secara progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan.
b. sirkulasi atau syok (takhikardi, ekstremitas yang dingin, waktu
pengisian kapiler (capillary refill time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak
terdeteksi, tekanan nadi yang menyempit atau pada syok lanjut tekanan
darahnya tidak terukur)

8
c. Adanya perdarahan yang signifikan
d. Gangguan kesadaran
e. Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen
yang hebat atau bertambah, ikterik)
f. Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi tak lazim
lainnya).

2.6 Pemeriksaan diagnostik


1. Pemeriksaan darah lengkap: hemokonsentrasi (hematocrit meningkat
20% atau lebih), trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
2. Serologi: uji HI (Hemoaglutination Inhibition test)
3. Rontgen thoraks: efusi pleura (Yuliani & Suriadi, 2010)

2.7 Penatalaksanaan
Pada awal perjalanan penyakit DHF tanda/gejalanya tidak spesifik,
oleh sebab itu masyarakat diharapkan untuk waspada. Tanda/gejala awal
penyakit DHF ialah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, terus-
menerus, badan lemah, dan tampak lesu. Pertama ditentukan lebih dahulu
adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok (gelisah, napas cepat, bibir biru,
Demam tinggi mendadak, terus-
Tersangka
tangan dan kaki dingin, kulit DHF muntahmenerus
lembab), terus-menerus, kejang,
<7 hari, tidak disertai
infeksi sal.napas bag.atas, badan
kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam, maka pasien
lemah perlu
& lesu dirawat.

Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet: apabila uji
taouniquet positif lanjutkan pemeriksaan trombosit,Tidak
Ada kedaruratan
apabila uji taourniquet
ada kedaruratan
positif dengan trombosit ≤100.000/ul pasien dirawat untuk observasi.
Periksa uji
Apabila uji tourniquet positif dengan trombosit >100.000/ul atau normal
tourniquet
atau uji tourniquet negative, pasien boleh pulang dengan pesan untuk dating
kembali setiap hari sampai suhu turun. Nilai gejala klinis dan lakukan
(+) (-)
pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap kali selama masih demam. Bila
terjadi penurunan kadar Hb dan/atau peningkatan kadar Ht, segera rawat.
Trombosit Rawat jalan
Anjurkan pasien minum banyak seperti airTrombosit
≤100.000/ul teh, susu, sirup, jusParasetamol,
buah, dan
>100.000/ul control tiap hari
lain-lain, serta berikan obat antipiretik golongan parasetamol (kontraindikasi
sampai demam
golongan salisilat). Rawat
Bila klinis hilang
Inap menunjukkan
Rawattanda-tanda
Jalan syok dianjurkan
segera dibawa berobat (Soedarmo et all, 2012).
Nilai tanda klinis,
Minum banyak 1,5-2L/hari. periksa trombosit
Parasetamol. Kontrol tiap hari & Ht bila demam
sampai demam turun. Periksa menetap setelah
Hb, Ht, trombosit tiap kali
hari ke-3
9

Segera bawa ke RS Pesan: bila timbul tanda syok


2.8 Komplikasi
Menurut Rampengan (2008), komplikasi yang paling sering dijumpai
yaitu:
a. Syok dan perdarahan
b. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiponatremia dan hipokalsemia)
c. Overhidrasi, komplikasi ini lebih serius karena dapat menyebabkan
edema paru akut dan/atau gagal jantung kongestif yang berakhir dengan
gagal napas dan kematian.

2.9 Program Pemerintah

10
Strategi pemberantasan penyakit DHF ditekankan pada upaya
preventif, yaitu melaksanakan penyemprotan massal sebelum musim
penularan penyakit di desa/kelurahan endemis DHF, yang merupakan pusat-
pusat penyebaran penyakit ke wilayah lainnya. Strategi ini diperkuat dengan
menggalakkan pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), melaksanakan penanggulangan fokus
di rumah pasien dan di sekitar tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya
KLB, dan melaksanakan penyuluhan melalui berbagai media.
Kewajiban pelaporan kasus/tersangka dalam tempo 24 jam ke Dinkes/
Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesenatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan
terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DHF dapat dicegah dan
ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus tersebut, dapat
segera dilakukan penyelidikan epidemiologi dan sekitar tempat tinggal.
Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko
penularan DHF, maka Puskesmas/ Dinkes akan melakukan langkah-langkah
penanggulangan berupa fogging focus, abatisasi selektif, dan menggalakkan
masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalam PSN (Depkes RI, 2009).
Berikut penjelasan lebih lanjut program-program pemerintah dalam
penanggulangan DBD:
a. Fogging focus
Sejak tahun 1969, fogging yang dilaksanakan pada saat terjadi
wabah DBD menggunakan malathion yang memiliki bahan aktif
organosfat. Dua bentuk penyemprot ruangan yang secara umum
digunakan untuk pengendalian Ae. Aegypti adalah foging termal dan
aerosol volume rendah-ultra (ULV) (foging dingin) dan embun.
Foging termal dihasilkan dengan alat dimana insektisida, biasanya
dicampur dalam minyak dengan titik nyala tinggi, disebarkan dengan
diinjeksikan ke dalam aliran gas panas kecepatan tinggi. Bila dibuang
ke atmosfer, minyak yang membawa pestisida pekat dalam bentuk
asap. Pemakaian konsentrat insektisida disarankan kurang dari 4,6
liter per ha (0,5 US gal per are).
Penyemprotan aerosol dan embun dapat menggunakan mesin
portebel, mobil yang dilengkapi dengan generator helikopter atau
pesawat dengan sayap kaku. Peralatan portabel tas punggung dapat
digunakan untuk menyemprotkan embun insektisida dalam area kecil

11
atau tempat-tempat dimana mobil yang dilengkapi generator tidak
dapat digunakan. Rata-rata 80 rumah per hari dapat ditangani, tetapi 2
atau 3 operator dibutuhkan karena beratnya mesin dan fibrasi mesin
membuat operator harus beristirahat dengan sering. Mobil yang
dilengkapi dengan generator dapat digunakan dalam perkotaan atau
kota-kota yang lebih kecil dengan sistem jalanan yang lebih baik.
Suatu mesin dapat mencakup 1500-2000 rumah per hari. Ada baiknya
memantau kondisi lingkungan dan mengkalibrasi alat, kecepatan
mobil dan luas petak untuk menentukan cakupan yang dicapai dengan
sekali sapuan. Peta area yang disemprot menunjukkan semua jalan
yang dapat dilewati.
Penyemprotan dari udara sering digunakan bila harus menangani
area yang luas dalam waktu singkat. Meskipun alat (pesawat
dilengkapi dengan sistem penyemprot) mungkin mempunyai biaya
awal yang paling tinngi, bentuk penyemprotan ini mungkin yang
paling efektif, karena area yang sangat luas dapat ditangani selama
sekali penerbangan . dengan pemakaian mobil yang dilengkapi alat,
penting untuk dipastikan bahwa insektisida yang dapat digunakan
pada penyemprotan udara ULV adalah malathion, fenitrothion, naled,
pirimiphos-methyl, resmethrin, cypermethrin, lambda – cyhalothrin,
dan delamethrin. Parameter untuk penggunaan semprotan insektisida
udara bervariasi sesuai dengan tipe pesawat, kerentanan insektida
lokal, dan peralatan yang digunakan. Penyemprotan pada dini hari
lebih dipilih, sebaiknya pada suhu 27 derajat celcius dan kecepatan
angin harus kurang dari 16 km (10 mil) per jam.
Fogging dilakukan dengan cara efektif dan memenuhi kaidah
teknik penyemprotan yaitu:
1) Konsentrasi larutan dan cara pembuatannya. Untuk malation,
konsentrasi larutan adalah 4 – 5 %,
2) Nozzle yang dipakai harus sesuai dengan bahan pelarut yang
digunakan dan debit keluaran yang diinginkan,
3) Jarak moncong mesin dengan target maksimal 100 m, efektif 50 m,
4) Kecepatan berjalan ketika memfogging, untuk swing fog kurang
lebih 500 m2 atau 2 – 3 menit untuk satu rumah dan halamannya,
5) Waktu fogging disesuaikan dengan kepadatan/aktivitas puncak dari
nyamuk, yaitu jam 09.00 – 11.00 (Ambarwati, 2006).

b. Abatisasi

12
Abatisasi merupakan cara memberantas jentik Aedes aegypti secara
kimiawi dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik, salah
satunya berupa butiran pasir temefos 1% yang sering dikenal dengan
nama bubuk abate (WHO, 2005). Selama ini masyarakat memperoleh
abate secara gratis dari Puskesmas melalui kader yang ada di
wilayahnya masing-masing. Tetapi ada juga masyarakat yang
memperoleh abate dengan membeli sendiri di apotek maupun pedagang
keliling. Sebagian besar masyarakat masih merasa tidak aman untuk
melakukan abatisasi karena air dalam TPA-nya akan menjadi kotor,
serta takut jika bubuk abate akan memberikan dampak negatif bagi
kesehatan. Maka diperlukan upaya untuk memberikan informasi yang
benar mengenai bubuk abate dan cara penggunaannya. Cara
penggunaan abate yang benar adalah membungkus bubuk abate dengan
kain kasa lalu dimasukkan ke tempat penampungan air (TPA), dan ada
pula yang langsung menaburkan ke TPA-nya sesuai takaran 10 gram
abate digunakan untuk 100 liter air (Respati dan Keman, 2007).
c. PSN dan 3M plus
PSN merupakan kegiatan untuk memberantas jentik nyamuk di
tempat berkembangbiaknya. Pemberantasan sarang nyamuk dengan
cara 3M plus:
1) Ganti vas bunga, minuman burung dan tempat-tempat lainnya
seminggu sekali
2) Perbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar
3) Tutup lubang pada potongan bambu, pohon dan lainnya
4) Bersihkan/keringkan tempat-tempat yang dapat menampung air
seperti pelepah pisangatau tanaman lainnya yang dapat menampung
air hujan
5) Lakukan Larvasidasi yaitu membubuhkan bubuk pembunuh jentik
(Abate, Altosid dan Sumilarv) ditempat yang sulit dikuras.
6) Pelihara ikan pemakan jentik
7) Pasang kawat kasa di rumah
8) Pencahayaan dan ventilasi memadai

13
9) Jangan biasakan menggantung pakaian dalam rumah
10) Tidur menggunakan kelambu
11) Gunakan obat nyamuk untuk menegah gigitan nyamuk
d. Penyuluhan
Promosi kesehatan penyakit DBD tidak sekedar membuat leaflet
atau poster saja melainkan suatu komunikasi perubahan perilaku dalam
Pemberantasan Sarang Nyamuk melalui pesan pokok “3M PLUS”,
merupakan suatu kegiatan yang terencana sejak dari tahap analisa
situasi, perencanaan kegiatan hingga ke pelaksanaan dan evaluasi. Saat
ini kegiatan diintensifkan menjadi sub program Peran Serta Masyarakat
dalam PSN dan telah diterbitkan buku panduan untuk ini. Diharapkan
setiap wilayah memilih daerah uji coba untuk meningkatkan peran serta
masyarakat dalam PSN DBD.
Media penyuluhan selain media cetak (leaflet, brosur, poster),
media elektronik pesan 3 M melalui TV atau radio, talk show, dan lain-
lain. Pelaksana kegiatan tidak hanya sektor kesehatan tapi melibatkan
semua pihak yang terkait anak sekolah, pramuka Saka Bhakti Husada,
mahasiswa, kader-kader, tokoh masyarakat, petugas sektoral, pemilik
bangunan/ pertokoan, dan lain-lain.

2.10 Prognosis
Bila tidak disertai renjatan, dalam 24-36 jam biasanya prognosis
membaik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda-tanda perbaikan,
kemungkinan sembuh kecil dan prognosis memburuk (Rampengan, 2008).

14
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus
Pada tahun 2012 lalu, terdapat 11 kasus DHF di RT.06 RW.01 Sukamaju.
Sedangkan tahun ini ditemukan 17 kasus DHF dari total penduduk 150 jiwa, 16
anak umur 0-5 tahun, sebanyak 24 jiwa umur 6-12 tahun, sebanyak 30 jiwa umur
13-20 tahun, sebanyak 68 jiwa umur 21-60 tahun, dan sebanyak 12 jiwa lansia
usia > 60 tahun. Di musim penghujan, keadaan RT.06 RW.01 sangat kumuh dan
banyak sampah yang berserakan. Penderita DHF rata-rata adalah anak usia
sekolah dan remaja. Mayoritas penduduk di sana adalah pedagang dan kuli
bangunan. Sebagian besar masyarakat RT.06 adalah orang-orang pendatang dari
daerah lain. Letak geografis RT.06 jauh dari tempat pelayanan kesehatan dan
penduduk di sana sebagian besar adalah lulusan Sekolah Dasar.

3.1 Pengkajian
a. Data inti
Data demografi kelompok atau komunitas yang terdiri:
a. Umur : 0 – 5 th : 16
6 – 12 th : 24
13 – 20 th : 30
21 – 60 th : 68
> 60 th : 12
b. Pendidikan : Sebagian besar masyarakat RT.06 RW.01
Sukamaju menempuh pendidikan terakhir di Sekolah Dasar.
c. Jenis kelamin : Perempuan : 98 orang
Laki-laki : 52 orang
d. Pekerjaan : Pedagang dan kuli bangunan
e. Agama : Islam
f. Nilai – nilai :Masyarakat RT.06 RW.01 Sukamaju sangat
menjunjung tinggi nilai menghormati orang yang lebih tua
g. Riwayat timbulnya kelompok atau komunitas:
Sebagian besar masyarakat RT.06 RW.01 adalah orang-orang
pendatang dari daerah lain.
b. Delapan subsistem yang mempengaruhi komunitas

15
1. Physical environment
Rumah yang dihuni oleh penduduk berada pada lingkungan
kumuh dan padat penduduk. Jarak antara rumah satu dengan rumah yang
lain berdempetan sehingga ventilasi dan sirkulasi rumah kurang baik.
2. Pelayanan kesehatan dan sosial
Keberadaan puskesmas dalam masyarakat tidak berfungsi secara
optimal sehingga belum ada upaya untuk melakukan deteksi dini,
mencegah, dan memantau adanya wabah penyakit demam berdarah,
selain itu letaknya juga cukup jauh dari RT.06 RW.01.
3. Ekonomi
Status ekonomi tidak berpengaruh pada terjadinya wabah DHF
karena DHF merupakan penyakit endemik. Namun menjadi salah satu
faktor pendukung karena status ekonomi yang rendah membuat
seseorang cenderung tinggal di wilayah yang sempit dan kurang terjaga
kebersihanya.
4. Keamanan
Lingkungan RT.06 RW.01 dapat dikatakan aman. Hal ini
dikarenakan semua warga aktif dalam pelaksanaan siskamling dan jadwal
ronda malam.
5. Politik dan kebijakan pemerintah
Upaya pencegahan pemerintah terhadap masalah DHF yaitu
melalui program 3M (menguras, mengubur, menutup), PSN, fogging
berkala, pembagian abate secara gratis. Akan tetapi program-program
pemerintah tersebut belum berjalan maksimal.
6. Sistem komunikasi
Promosi kesehatan yang dilakukan pemerintah juga melalui
media elektronik berupa penanganan iklan layanan masyarakat seperti
televisi, radio, koran, atau leaflet yang diberikan kepada komunitas.
Tetapi masyarakat RT.06 RW. 01 jarang memiliki televisi dan media
elektronik yang lain sehingga sosialisasi dari media-media tersebut tidak
sampai ke masyarakat.
7. Pendidikan
Sebagian besar penderita DHF adalah anak usia sekolah dan
remaja. Masyarakat RT.06 RW.01 kebanyakan adalah lulusan Sekolah
Dasar sehingga kurang peduli terhadap kebersihan dan kesehatan
8. Rekreasi

16
Masyarakat RT.06 RW.01 jarang melakukan rekreasi karena
disibukkan dengan pekerjaannya untuk menafkahi keluarganya.

3.2 Analisis Data


ETIOLOGI KAITAN DATA PENUNJANG
Kurangnya kesadaran Kurangnya kesadaran Masyarakat di lingkungan
masyarakat dalam masyarakat tersebut tersebut suka membuang
menjaga kesehatan dan berkaitan dengan sampah sembarangan.
kebersihan lingkungan kesibukan masing- Mayoritas penduduknya
sekitar serta kurang masing serta tingkat adalah lulusan SD.
tepat dalam penangan pendidikan yang
gejala awal DHF. rendah.

3.3 Diagnosa Keperawatan


Defisiensi kesehatan komunitas berhubungan dengan peningkatan jumlah
penderita DBD sekunder dengan program masih mengatasi masalah kesehatan
sebagian di RT.06 RW.01 Sukamaju

17
3.4 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Rencana Sasaran Metode Media Waktu Tempat
Tindakan
keperawatan
Defisiensi 1. Menurunkan 1. Melakukan upaya Warga yang Pengobatan Peralatan Setiap Puskesmas
kesehatan angka kesakitan pertolongan pertama di terserang pengobatan waktu
komunitas masyarakat yang puskesmas dan menjalankan penyakit demam
berhubungan terserang DBD sistem rujukan bila berdarah
dengan diperlukan Ceramah Balai desa
Sabtu,
Demonstrasi
peningkatan 2. Masyarakat Warga 23/11/2013
2. Memberikan penyuluhan
jumlah penderita wilayah RT.06 masyarakat Leaflet,
mengenai gejala DBD,
DBD sekunder RW.01, mampu RT.06 RW.01 LCD,
penanganan dini dan sistem
dengan program mengenali Laptop
rujukan
masih mengatasi gejala dan
masalah penanganan dini
Balai desa
kesehatan DBD serta Minggu,
24/11/2013
sebagian di memahami
Warga
RT.06 RW.01 sistem rujukan.
masyarakat Ceramah
Sukamaju
3. Masyarakat RT.06 RW.01 Demonstrasi
3. Memberikan pendidikan
wilayah RT.06
kesehatan DBD di Leaflet,
RW.01,

18
membantu masyarakat terkait program LCD,
Puskesmas
melaksanakan 3M (menguras, mengubur, Laptop
Sabtu,
upaya promotif menutup), PSN, fogging 30/11/2013
dan preventif berkala, pembagian abate
Warga
yang dilakukan secara gratis. Pembentukan
masyarakat
oleh petugas Jumantik (Juru Pemantau
RT.06 RW.01
kesehatan Jentik).
Monitoring
4. Mengetahui
dampak pada
4. Memantau kecakapan ibu
masyarakat
dalam menangani gejala Catatan
setelah
DBD yang muncul pada hasil
pelaksanaan
anak saat mengontrolkan monitoring
kegiatan
anak ke puskesmas.

19
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

DHF/DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dari


genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Yang ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Salah satu pemeriksaan
untuk mengetahui DHF sendiri adalah dengan pemeriksaan darah lengkap
dengan hasil yaitu hemokonsentrasi (hematocrit meningkat 20% atau lebih)
dan trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang). Strategi pemberantasan
penyakit DHF ditekankan pada upaya preventif, yaitu melaksanakan
penyemprotan massal sebelum musim penularan penyakit di desa/kelurahan
endemis DHF, yang merupakan pusat-pusat penyebaran penyakit ke wilayah
lainnya serta didukung denganmenggalakkan pembinaan peran serta
masyarakat dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).

4.2 Saran
Sebagai calon perawat, maka sebaiknya kita mempelajari lebih
dalam lagi mengenai DHF serta upaca pencegahan dan penatalaksanaan,
khususnya untuk komunitas. Untuk kedepannya, mahasiswa bisa membuat
program untuk mendukung upaya pencegahan untuk kedua penyakit tropis ini,
bisa melalui Program Kereativitas Mahasiswa, atau program lain sebagai
sarana penyaluran rencana untuk ide upaya pencegahan DHF.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, et al. 2007. Fogging sebagai Upaya untuk Memberantas Nyamuk


Penyebar Demam Berdarah di Dukuh Tuwak Desa Gonilan, Kartasura,
Sukoharjo. Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Anderson, Elizabeth T. dan Judith McFarlane. 2006. Buku Ajar Keperawatan
Komunitas Teori dan Praktik. Jakarta: EGC.
Arif, Mansjoer (et all ).2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta :
Media Aesculapius
Depkes RI. 2009. Buletin Jendela Epidemiologi Volume 2: Demam Berdarah
Dangue. Jakarta: Kemenkes RI
Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Fallen, R dan R. Budi Dwi K. 2010. Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas.
Yogyakarta: Nuha Medika
Harahap, Marwati. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates
Kandun, I. Nyoman. 2008. Modul Pelatihan bagi Pelatih Pemberantasan Sarang
Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dengan Pendekatan
Komunikasi Perubahan Perilaku (Communication for Behavioral Impact).
Jakarta.
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC
Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC
Respati, Yunita Ken dan Keman, Soedjajadi. 2007. Perilaku 3M, Abatisasi dan
Keberadaan Jentik Aedes Hubungannya dengan Kejadian Demam Berdarah
Dengue. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya.
Soedarmo et all. 2012. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis edisi 2. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI
Yuliani, R. & Suriadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta: Sagung
Seto

Anda mungkin juga menyukai