Anda di halaman 1dari 17

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jalan
Pengertian jalan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 38
Tahun 2004 adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang digunakan untuk lalu
lintas, yang berada pada permukaan tanah, di bawah permukaan tanah, dan atau di
bawah permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Selanjutnya, di dalam Pasal 8 Undang Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun
2004, jalan menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan
kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan, dengan perincian sebagai berikut
(Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor, 2007).
1. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara berdaya guna.
2. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-
rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan
jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
4. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan rata-rata rendah.
Simonds (1983) menyatakan bahwa jalan merupakan satu kesatuan yang
harus lengkap, aman, efisien, menarik, memiliki sirkulasi, dan interaksi yang baik
serta mampu memberikan pengalaman yang menarik bagi pengguna jalan. Secara
umum, konfigurasi jalan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa pola sirkulasi,
yaitu sebagai berikut:
1. linear, yaitu jalan lurus yang dapat menjadi unsur pengorganisasi utama
deretan ruang, dapat berbentuk lengkung atau bebelok arah, memotong jalan
lain, bercabang-cabang, atau membentuk putaran (loop);
6

2. radial, yaitu konfigurasi yang memiliki jalan-jalan lurus yang berkembang


dari sebuah pusat yang sama;
3. spiral (berputar), yaitu suatu jalan yang tunggal dan kontinyu yang berasal
dari titik pusat, kemudian mengelilingi pusatnya dengan jarak yang berubah;
4. grid, yaitu konfigurasi yang terdiri dari dua pasang jalan sejajar yang saling
berpotongan pada jarak yang sama sehingga menciptakan bujur sangkar atau
kawasan ruang segi empat;
5. jaringan, yaitu konfigurasi yang terdiri dari jalan-jalan yang menghubungkan
titik-titik tertentu dalam ruang;
Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor (2007) menyatakan bahwa
bagian-bagian jalan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26
Tahun 1985 terdiri atas ruang manfaat jalan (Rumaja), ruang milik jalan (Rumija),
dan ruang pengawasan jalan (Ruwasja) dengan penjelasan sebagai berikut
(Gambar 2).
1. Ruang manfaat jalan (Rumaja) adalah ruang di sepanjang jalan yang dibatasi
lebar, tinggi, dan kedalaman pada ruang bebas tertentunya dan ditetapkan oleh
pembina jalan untuk
a. badan jalan, yaitu jalur lalu lintas dengan atau tanpa median jalan, yang
hanya digunakan untuk arus lalu lintas dan pengamanan terhadap
konstruksi jalan;
b. ambang pengaman, yaitu bagian yang terletak paling luar dari Rumaja
hanya untuk mengamankan konstruksi jalan;
c. saluran tepi jalan, yaitu bagian yang hanya digunakan untuk penampungan
dan penyaluran air agar badan jalan bebas dari genangan air;
d. bangunan utilitas, yakni bagian yang mempunyai sifat pelayanan wilayah
pada sistem jaringan jalan seperti trotoar, lereng, timbunan, galian, dan
gorong-gorong.
2. Ruang milik jalan (Rumija) adalah ruang di sepanjang jalan yang dibatasi oleh
lebar dan tinggi tertentu dan dikuasai oleh Pembina Jalan (Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah), yang digunakan untuk Rumaja dan pelebaran jalan
dan penambahan jalur di kemudian hari serta kebutuhan ruangan untuk
pengaman jalan.
7

3. Ruang pengawasan jalan (Ruwasja) adalah ruang sepanjang jalan di luar


Rumija yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu, yang ditetapkan oleh
Pembina Jalan, dan digunakan untuk pandangan bebas pengemudi dan
pengamanan konstruksi jalan.

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga (2010)


Gambar 2. Bagian-Bagian Jalan

Perancangan jalan menurut Harris dan Dines (1988) terdiri atas dua
tahapan penting, yaitu bentuk desain jalan baik secara vertikal maupun horizontal
dan pengaturan lanskap tepi jalan. Kriteria jalan menurut Harris dan Dines (1988)
adalah sebagai berikut:
1. jalan harus dapat memberikan akses kepada pengguna jalan dan bangunan
yang ada di sekitarnya;
2. jalan digunakan sebagai jalur penghubung antarwilayah;
3. jalan mampu menciptakan sarana pergerakan manusia dan barang.
Klasifikasi jalan menurut Harris dan Dines (1988) adalah sebagai berikut:
1. sistem jalan tol (freeway system), yaitu sistem jalan yang memungkinkan
adanya efisiensi dan kecepatan laju kendaraan dalam volume yang besar pada
jalur keluar masuk area perkotaan serta akses terbatas pada persimpangan
jalan (interchanges);
8

2. sistem jalan arteri primer (major arterial system), yaitu sistem jalan yang
memungkinkan adanya arus pergerakan di antara simpangan lalu lintas dan
jalan melalui daerah perkotaan dan akses langsung ke setiap perbatasan suatu
permukiman;
3. sistem jalan kolektor (collector street system), yaitu sistem jalan yang
memungkinkan adanya arus penghubung pergerakan kendaraan antara sistem
jalan arteri primer dan jalan lokal dengan akses langsung menuju perbatasan
suatu permukiman;
4. sistem jalan lokal (local street system), yaitu sistem jalan yang memungkinkan
adanya pergerakan rambu lokal dan akses langsung menuju perbatasan suatu
lahan.
Setiap jalan baik di pedesaan maupun perkotaan memiliki keunikan
dalam desain serta karakteristik fungsional dan regionalnya sendiri. Jalan tersebut
berfungsi sebagai jalur pergerakan orang dan kendaraan serta sebagai tempat
pusat aktivitas (Simonds dan Starke, 2006). Jalan selain dapat digunakan untuk
banyak tujuan dan tipe penggunaan yang berbeda dengan perbedaan kebutuhan,
tujuan, fungsi, dan tugasnya, jalan juga harus dapat mengakomodasi kebutuhan
pengguna jalan, antara lain, jalur kendaraan bermotor, sirkulasi orang dan barang,
serta sarana pendukung jalan.

2.2. Lanskap Jalan


Keberadaan lanskap jalan sangat mutlak diperlukan dalam mendukung
kelancaran sirkulasi jalan. Lanskap jalan tidak hanya terdiri atas jalur jalan saja,
melainkan mencakup bangunan yang ada di sekelilingnya (Eckbo, 1964).
Sementara menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (2010), lanskap jalan adalah
wajah dari karakter lahan atau tapak yang terbentuk dari lingkungan jalan yang
terbentuk dari elemen alamiah seperti bentuk topografi lahan yang mempunyai
panorama indah maupun yang terbentuk dari elemen lanskap buatan manusia yang
disesuaikan dengan kondisi lahannya.
Lanskap jalan berfungsi untuk mendukung penggunaan secara terus-
menerus, membimbing, mengatur irama pergerakan, mengatur waktu istirahat,
mendefinisikan penggunaan lahan, memberikan pengaruh, mempersatukan ruang,
9

membentuk lingkungan, membentuk karakter lingkungan, membangun karakter


spasial, dan membangun visual (Booth, 1983). Lanskap jalan ini mempunyai ciri
khas karena harus disesuaikan dengan ketentuan geometrik jalan dan digunakan
terutama bagi kenyamanan pemakai jalan serta diusahakan untuk menciptakan
lingkungan jalan yang indah, serasi, dan memenuhi fungsi keamanan (Direktorat
Jenderal Bina Marga, 2010).
Nilai suatu lanskap pada jalan dapat dimaksimalkan melalui perancangan
fitur-fitur lanskap yang bertujuan menampilkan keindahan sekaligus
memeliharanya. Perancangan lanskap jalan yang baik harus menyediakan
kenyamanan, menarik perhatian, dan menyenangkan bagi pengguna jalan
(Simonds dan Starke, 2006). Lanskap jalan harus memberikan kesan yang
menyenangkan dengan menyelaraskan keharmonisan dengan kesatuan tanaman
sehingga fungsional secara fisik dan visual. Selain itu, perancangan lanskap jalan
yang baik juga harus menyediakan keterhubungan pergerakan yang disesuaikan
dengan tipe lalu lintas yang ada dengan memperhatikan faktor keselamatan,
keefisienan, dan kesesuaian terhadap tapak yang keseluruhan elemennya
dihubungkan sebagai satu kesatuan sistem (Simonds, 1983).

2.3. Pohon pada Lanskap Jalan


Pohon adalah tanaman dengan batang berkayu, berakar dalam, dan
memiliki percabangan jauh dari tanah serta tinggi lebih dari 3 meter (Hakim dan
Utomo, 2003). Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (2010), pohon adalah
semua tumbuhan dengan batang dan cabang yang berkayu. Pohon memiliki batang
utama yang tumbuh tegak dan menopang tajuk pohon. Pohon berdasarkan
ketinggiannya dibedakan atas pohon rendah, pohon sedang, dan pohon tinggi.
Pohon rendah ialah pohon yang tingginya kurang dari 6 m; pohon sedang adalah
pohon yang memilki ketinggian antara 6 -- 15 m; pohon tinggi ialah pohon yang
ketinggiannya mencapai lebih dari 15 m (Lestari dan Kencana, 2008).
Secara morfologi, bagian-bagian tubuh pohon meliputi akar, batang,
cabang, daun, ranting, bunga, dan buah. Akar, batang, dan cabang merupakan
organ terpenting dalam sistem kehidupan tanaman. Akar adalah bagian tubuh
tanaman yang terdapat di dalam tanah dan berguna untuk menghisap air tanah
10

serta menjaga agar batang dapat berdiri tegak (Haryono, 1994). Batang
merupakan bagian utama pohon dan menjadi penghubung utama antara bagian
akar dengan bagian tajuk pohon (canopy), serta sebagai pengumpul air dan
mineral, sebagai pusat pengolahan energi (produksi gula dan reproduksi). Cabang
adalah bagian batang, tetapi berukuran kecil dan berfungsi memperluas ruang bagi
pertumbuhan daun sehingga mendapat lebih banyak cahaya matahari (Direktorat
Jenderal Bina Marga, 2010). Daun adalah bagian tubuh tanaman yang berguna
untuk membuat makanan (karbohidrat) melalui proses fotosintesis. Daun
berwarna hijau karena mengandung butir-butir hijau daun yang dapat mengubah
cahaya matahari, karbon dioksida, dan air menjadi karbohidrat (Haryono, 1994).
Secara umum, pohon merupakan elemen utama yang secara individu atau
berkelompok penampilannya dapat mempengaruhi penampakan visual dan
memberikan kesan yang berbeda-beda dari jarak pengamatan berbeda di dalam
lanskap (Carpenter et al., 1975). Penanaman pohon tepi jalan bertujuan
memisahkan pejalan kaki dan jalan kendaraan untuk keselamatan, kenyamanan
serta memberi ruang bagi utilitas atau perlengkapan jalan lainnya (Direktorat
Jenderal Bina Marga, 1996). Menurut Arnold (1980), penanaman pohon tepi jalan
bertujuan untuk menciptakan efek ruang bagi pengguna jalan dengan memisahkan
berbagai aktivitas yang berlangsung pada jenis sirkulasi, mengarahkan pandangan,
dan memberikan zona aman dan terlindung.
Pemilihan tanaman perlu memperhatikan berbagai pertimbangan, antara
lain, bentuk tanaman yang mencakup morfologi (batang, cabang, ranting, daun,
bunga, dan buah), tinggi, dan tajuk tanaman terkait dengan keharmonisan,
keserasian, dan keselamatan. Pemilihan morfologi, tinggi, tajuk tanaman, dan
penempatan tanaman sebagai elemen lanskap menjadi pertimbangan yang penting
dalam ilmu arsitektur lanskap jalan (Direktorat Jenderal Bina Marga, 2010).
Pemilihan tanaman untuk penanaman lanskap jalan harus memenuhi
kriteria tanaman jalan berdasarkan kondisi organ tanaman yang tertera dalam
Direktorat Jenderal Bina Marga (2010), sebagai berikut:
11

1. Akar
a. Tidak merusak struktur jalan.
b. Kuat.
c. Bukan akar dangkal
2. Batang
a. Kuat/tidak mudah patah.
b. Tidak bercabang di bawah.
3. Dahan/ranting
a. Tidak mudah patah.
b. Tidak terlalu menjuntai ke bawah agar tidak menghalangi pandangan.
4. Daun
a. Tidak mudah rontok.
b. Tidak terlalu rimbun.
c. Tidak terlalu besar sehingga jika jatuh tidak membahayakan pengguna
jalan.
5. Bunga
a. Tidak mudah rontok.
b. Tidak beracun.
6. Buah
a. Tidak mudah rontok.
b. Tidak berbuah besar.
c. Tidak beracun.
7. Sifat lainnya, seperti:
a. Cepat pulih dari stress yang salah satu cirinya dengan mengeluarkan
tunas baru.
b. Tahan terhadap pencemaran kendaraan bermotor dan industri.
Sementara itu, kriteria pohon yang sesuai untuk penanaman lanskap jalan menurut
Direktorat Jenderal Bina Marga (1992) adalah sebagai berikut:
1. Batang/cabang tidak mudah patah.
2. Ketinggian tanaman 2 - 3 m dari batas permukaan perakaran.
3. Diameter batang 0,05 – 0,10 m.
4. Diameter tajuk lebih besar dari 0,50 m
12

5. Tinggi tanaman 1,50 – 2,00 m


6. Jarak tanam minimum 4,00 m.
7. Jarak titik tanam dari kereb 2 – 3 m.
8. Telah memiliki percabangan sebanyak 3 – 5 cabang.
9. Bola akar berdiameter minimum 20 cm dibungkus dengan polybag atau
pelepah daun pisang atau karung goni.
10. Kondisi sehat, bebas hama atau penyakit, segar dan terawat.
Direktorat Jenderal Bina Marga (2010) juga menyatakan bahwa jarak
titik tanam dengan tepi perkerasan mempertimbangkan pertumbuhan perakaran
tanaman agar tidak mengganggu struktur perkerasan jalan. Jarak titik tanam
terhadap tepi kereb adalah 2 -- 3 m (Gambar 3), sementara jarak titik tanam pohon
terhadap perkerasan untuk daerah perkotaan adalah 4 m. Pohon yang ditanam
harus diatur agar bayangan pohon tidak menutupi pancaran cahaya lampu jalan.
Selain itu, penanaman pohon tepi jalan pada tikungan jalan harus memperhatikan
bentuk tikungan dan luas daerah bebas samping di tikungan (Direktorat Jenderal
bina Marga, 2010).

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga (2010)

Gambar 3. Sketsa Jarak Titik Tanam Pohon dengan Perkerasan

Selain itu, pohon yang ditanam berbaris terutama pada jalur tanaman
juga mempertimbangkan jarak tanam antartanaman. Jarak tanam antarpohon
digolongkan rapat apabila < 4 m serta tajuk dari masing-masing pohon saling
bertautan (Gambar 4). Sementara itu, jarak tanam antarpohon digolongkan jarang
apabila jarak tanam antarpohon > 4 m (Gambar 5).
13

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga (2010)

Gambar 4. Sketsa Jarak Tanam Antarpohon Rapat

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga (2010)

Gambar 5. Sketsa Jarak Tanam Antarpohon Jarang

2.4. Fungsi Pohon


Tanaman pada lanskap jalan menghasilkan suasana alami di lingkungan
perkotaan melalui berbagai tekstur dan warna serta bayangan yang ditimbulkan
sehingga dapat menghadirkan kesegaran dan kelembutan di antara elemen
perkerasan jalan (Carpenter et al., 1975). Selain itu, keberagaman bentuk pohon
dapat menyajikan sentuhan kehidupan dan keindahan dalam suatu lingkungan
lanskap jalan (Booth, 1983).
Kehadiran pohon di lingkungan perkotaan memenuhi tiga fungsi utama
yaitu (1) fungsi struktural, sebagai dinding, atap, dan lantai dalam membentuk
ruang serta dapat mempengaruhi pemandangan dan arah pergerakan; (2) fungsi
lingkungan, meningkatkan kualitas udara dan air, mencegah erosi, dan berperan
dalam modifikasi iklim; (3) fungsi visual, sebagai titik yang dominan dan
penghubung visual melalui karakteristik yang dimiliki tanaman seperti bentuk,
ukuran, tekstur, dan warna (Booth, 1983). Selain itu, penggunaan tanaman melalui
penanaman pohon pada jalan bertujuan menciptakan efek ruang bagi pengguna
jalan (Arnold, 1980), serta berfungsi dalam mengendalikan iklim mikro,
14

membatasi fisik, mengontrol pandangan, mereduksi kebisingan dan polutan udara,


mengontrol angin, mencegah erosi, merupakan habitat satwa, dan meningkatkan
nilai estetika lingkungan lanskap jalan (Hakim, 2006). Pemaparan mengenai
beberapa fungsi pohon lanskap jalan adalah sebagai berikut.
1. Mengendalikan iklim mikro
Salah satu manfaat pohon pada lanskap jalan adalah untuk memperbaiki
iklim mikro (Grey dan Deneke, 1978). Pohon mengontrol iklim mikro dengan
memberikan naungan dan menurunkan suhu (Carpenter et al., 1975). Proses
penurunan suhu udara yang dilakukan oleh pohon melalui penyerapan,
pemantulan, dan pengontrolan radiasi sinar matahari (Grey dan Deneke, 1978).
Menurut Hakim (2006), tanaman menyerap panas dari pancaran sinar matahari
dan memantulkannya sehingga menurunkan suhu dan iklim dan mikro.
Tanaman sebagai unsur alamiah merupakan indikator iklim mikro yang
baik, seperti jalur pepohonan yang rimbun dapat mengalihkan hembusan angin,
bayangan dari kanopi pohon berperan serta dalam mengontrol suhu, dan oksigen
yang dihasilkan dapat memberikan kesejukan (Laurie, 1975). Suhu udara di dalam
daerah bayang-bayang kanopi pohon dapat lebih rendah 8ºC daripada di ruang
terbuka (Booth, 1983). Sementara, suhu permukaan elemen di bawah kanopi
pohon mencapai 28-29ºC, suhu permukaan semak 28-33ºC, suhu permukaan
tanaman penutup tanah dan rumput 35-36ºC, dan suhu permukaan aspal mencapai
> 50ºC (Sulistyantara, 1995).
2. Membatasi fisik
Pohon berfungsi sebagai pembatas fisik dalam menghalangi sekaligus
mengarahkan pergerakan manusia. Selain itu, pohon juga dapat digunakan sebagai
pembatas area (Lestari dan Kencana, 2008). Penanaman pohon pada tepi jalan
bertujuan sebagai pembatas antara jalur pejalan kaki dan jalan kendaraan untuk
keselamatan, kenyamanan, dan memberikan ruang bagi utilitas maupun
perlengkapan jalan lainnya (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1996).
3. Mengontrol pandangan
Salah satu fungsi pohon lanskap jalan adalah mengontrol pemandangan
seperti mengurangi cahaya yang menyilaukan (Carpenter et al., 1975). Menurut
Hakim dan Utomo (2003), pohon pada lanskap jalan dapat berfungsi dalam
15

menahan silau yang ditimbulkan oleh sinar matahari dan lampu jalan pada jalan
raya melalui proses evapotranspirasi. Menurut Robinette (1993), pada dasarnya
pohon dapat mengontrol pengaruh sinar matahari dengan cara menyaring radiasi
dan memantulkan cahaya matahari melalui warna hijau pada daunnya.
Laurie (1986) berpendapat bahwa tanaman dapat efektif dalam
mengontrol kesilauan bila pada penanamannya, menggunakan pohon berdaun
tebal, rindang, dan evergreen sehingga dapat memberikan toleransi tembus
pandang dengan pengaturan secara berkelompok. Sementara itu, untuk
menghalangi silau cahaya matahari sebaiknya dipilih pohon atau perdu dengan
massa daun padat dan ditanam dengan jarak yang rapat pada ketinggian 1,5 m.
Pada jalur jalan raya bebas hambatan, penanaman pohon tidak dibenarkan pada
jalur median jalan. Sebaliknya, pada jalur median ditanam tanaman semak, agar
sinar lampu kendaraan dari arah yang berlawanan dapat dikurangi (Direktorat
Jenderal Bina Marga, 2010).
4. Mereduksi kebisingan
Pohon yang ditanam pada jalan cukup berkontribusi dalam mengurangi
kebisingan (Simonds dan Starke, 2006). Daun, cabang, dan ranting pada pohon
mampu meredam suara kebisingan dengan cara mengabsorpsi gelombang suara
(Hakim, 2006). Secara umum, pohon paling efektif ketika digunakan untuk
mereduksi kebisingan dengan frekuensi tinggi (Carpenter et al., 1975). Efektivitas
pohon dalam mengontrol bising bergantung dari tinggi pohon, kepadatan daun,
dan jarak antarpohon. Pohon berdaun tebal, cabang dan batang yang besar, dan
penanaman yang rapat serta cabang-cabang yang ringan merupakan pohon yang
efektif dalam mengontrol kebisingan (Grey dan Deneke, 1978).
Direktorat Jenderal Bina Marga (2010) menambahkan tanaman yang
berfungsi sebagai penyerap kebisingan adalah jenis tanaman berbentuk pohon
atau perdu yang mempunyai massa daun padat. Beberapa tanaman dengan lebar
tajuk 7 -- 15 m dapat mereduksi kebisingan pada frekuensi tertinggi, yaitu 10 -- 20
dB. Sementara tanaman pinus dan cemara dengan lebar tajuk 15 -- 30 m dapat
mereduksi kebisingan pada frekuensi terendah, yaitu sebesar 10 dB (Carpenter et
al., 1975).
16

5. Mereduksi polusi udara


Pohon dapat menyerap berbagai macam gas/partikel beracun yang
mencemari udara seperti karbondioksida (CO2) melalui proses fotosintesis,
nitrogen dioksida (NO2) yang berasal dari kendaraan bermotor dan bahan bakar
gas, sulfur dioksida (SO2) yang berasal dari industri pengecoran logam,
pembangkit listrik batu bara, dan penggunaan bahan bakar fosil, serta gas timbal
(Pb) yang bersumber dari kendaraan bermotor (Hakim, 2006).
Tanaman juga dapat mereduksi gas-gas polutan dalam jumlah terbatas,
seperti sulfur dioksida (SO2), dan hidrogen florida (HF), tanpa menimbulkan
dampak negatif. Pohon dengan ukuran diameter batang rata-rata 38 cm memiliki
potensi untuk mereduksi 43,5 pon SO2 per tahun jika konsentrasi SO2 di atmosfer
0,25 ppm. Kelompok tanaman yang ditanam dengan lebar area penanaman rata-
rata 182 m dapat mereduksi 75 % polutan di atmosfer (Carpenter et al., 1975).
Kriteria pohon yang dapat digunakan untuk menyerap polutan udara,
yaitu mempunyai pertumbuhan yang cepat, tumbuh sepanjang tahun, dan
memiliki percabangan dan massa daun yang padat, serta permukaan daun yang
berambut. Selain itu, tanaman yang efektif untuk mengurangi partikel polutan
adalah tanaman yang memiliki trikoma tinggi atau memiliki daun yang berbulu,
bergerigi atau bersisik (Grey dan Deneke, 1978).
Grey dan Deneke (1978) juga menambahkan bahwa kriteria penanaman
yang digunakan untuk mereduksi polusi udara adalah sebagai berikut:
a. penanaman sebaiknya dilakukan tegak lurus dengan arah angin yang umum
berlaku;
b. penanaman jajaran pohon yang kurang rapat atau terbuka seharusnya secara
masif;
c. penanaman sebaiknya terkonsentrasi di sekitar sumber polutan.
Tanaman jalan sampai batas tertentu bermanfaat dalam menjaga udara
tetap segar dan tingkat pencemaran tetap rendah. Hijaunya dedaunan dengan
berbagai tekstur dan bayangan yang ditimbulkan oleh pohon akan menghadirkan
kelembutan serta kesegaran pada areal beraspal (Laurie, 1975).
17

6. Mengontrol angin
Pohon mengendalikan angin dengan cara menahan, menyerap, serta
mengalirkan tiupan angin. Penggunaan tanaman pohon sebagai penahan angin
merupakan cara yang baik dan efektif dalam mengontrol angin. Direktorat
Jenderal Bina Marga (2010) berpendapat bahwa tanaman yang digunakan untuk
mengontrol angin seharusnya merupakan tanaman tinggi dan perdu/semak,
bermassa daun padat, ditanam berbaris atau membentuk massa dengan jarak
tanam rapat, yaitu < 3m.
Penanaman tanaman dengan jarak tanam rapat dapat menurunkan
kecepatan angin antara 75 -- 85 %. Jenis tanaman yang digunakan dalam
mengontrol angin ini tergantung kepada tinggi pohon, kepadatan massa, bentuk
tajuk, dan lebar tajuk. Semakin dekat jarak antara tanaman dengan sumber
kebisingan, maka akan semakin efektif fungsinya dalam meredam kebisingan
(Carpenter et al., 1975).
7. Mencegah erosi
Aktivitas manusia dalam penggunaan lahan seperti pembentukan muka
tanah, pemotongan, dan penambahan muka tanah (cut and fill), selain bermanfaat
juga menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi lahan. Hal ini mengakibatkan
kondisi tanah menjadi rapuh dan mudah tererosi oleh air hujan atau hembusan
angin. Akar pohon dapat mengikat tanah sehingga tanah menjadi kokoh dan tahan
terhadap pukulan air hujan dan tiupan angin (Hakim, 2006).
8. Merupakan habitat satwa
Pohon bermanfaat sebagai sumber makanan serta sebagai tempat
berlindung bagi satwa sehingga secara tidak langsung keberadaan pohon ikut
berperan serta dalam mempertahankan kelestarian satwa.
9. Meningkatkan nilai estetika
Pengaruh pohon terhadap kualitas estetika terlihat dari fungsi arsitektural
tajuk pohon dalam memperindah lingkungan jalan. Nilai estetika dari pohon
diperoleh dari perpaduan antara warna (daun, batang, dan bunga), bentuk fisik
pohon (batang, percabangan, dan tajuk), tekstur pohon, skala pohon, dan
komposisi pohon. Selain itu, nilai estetika juga dapat diperoleh melalui bayangan
pohon terhadap dinding dan lantai serta dapat menciptakan bayangan yang
18

berbeda–beda yang diakibatkan oleh angin dan waktu terjadinya bayangan


(Hakim dan Utomo, 2003).
Fungsi pohon lanskap jalan dipengaruhi oleh karakter setiap tanaman yang
meliputi bentuk tajuk, luas perakaran, sifat tumbuh, dan tampilan pohon secara
keseluruhan (Lestari dan Kencana, 2008).

2.5. Struktur Pohon


Karakteristik struktur pohon mengikuti pola pertumbuhan dan
perkembangan spesifik atau disebut model arsitektural pohon, yang dapat
menghasilkan variasi bentuk tajuk dan struktur percabangan (Halle et al., 1978).
Booth (1983) membagi bentuk tajuk pohon menjadi 7 kelompok yaitu, globular
(bentuk yang membulat), columnar (bentuk yang tinggi ramping), spread (bentuk
yang menyebar), picturesque (bentuk eksotis/menarik), weeping (bentuk ranting-
ranting merunduk/menjurai), pyramidal (bentuk kerucut), dan fastigiate (bentuk
tinggi ramping dan ujungnya meruncing). Sementara itu, menurut Direktorat
Jenderal Bina Marga (2010) bentuk tajuk pohon terdiri atas, bulat (rounded), oval,
kubah (dome), menyerupai huruf V (V-shape), tidak beraturan (irregular), kerucut
(conical), kolom (kolumnar), persegi empat (square), menyebar bebas
(spreading), dan vertikal. Bentuk-bentuk tajuk pohon ini dapat dilihat pada
gambar berikut ini (Gambar 6).

Sumber : Kreasi Penulis Berdasarkan Keterangan Direktorat Jenderal Bina Marga (2010)
Gambar 6. Bentuk Tajuk Pohon
19

Danserau (1957) dalam Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974)


mendefinisikan struktur sebagai organisasi dalam ruang dari individu-individu
yang membentuk tegakan. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa elemen-
elemen utama struktur tanaman adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi, dan
penutupan tajuk. Lalu Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) membagi struktur
tanaman menjadi lima tingkatan, yaitu fisiognomi tanaman, struktur biomassa,
struktur bentuk hidup, struktur floristik dan struktur tegakan.
Forsberg (1961) dalam Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974)
menyatakan bahwa fisiognomi tanaman merupakan penampilan eksternal dari
tanaman. Fisiognomi dipahami sebagai bagian dari struktur biomassa yang
menampilkan karakteristik fisik dan fenomena fungsional seperti daun-daun yang
rontok. Pengertian struktur biomassa adalah penggabungan secara spesifik antara
tajuk dan ketinggian tanaman dalam matriks penutupan kanopi tanaman.
Walaupun tidak begitu terlihat seperti halnya ukuran tanaman, tajuk tanaman
merupakan faktor kunci dalam komposisi struktur tanaman. Tajuk dapat
mempengaruhi kesatuan dan keragaman, bertindak sebagai aksen atau pembentuk
pemandangan, dan mengatur koordinasi tanaman bermassa daun padat dengan
elemen-elemen lainnya dalam desain (Booth, 1983).
Struktur bentuk hidup terkait dengan komposisi dari bentuk-bentuk
pertumbuhan atau bentuk-bentuk hidup dari tanaman. Konsep bentuk hidup ini
mengelompokan individu-individu spesies tanaman dengan morfologi fisik yang
sama ke dalam tipe-tipe bentuk hidup. Struktur bentuk hidup dapat dinyatakan
secara kuantitatif. Struktur bentuk hidup juga dapat disebut sebagai komposisi
bentuk hidup. Sementara itu, pengertian struktur floristik dipahami sebagai
komposisi floristik tanaman pada tingkat spesies (Forsbeg dalam Mueller-
Dumbois dan Ellenberg, 1974).
Kershaw dan Looney (1985) dalam Mueller-Dumbois dan Ellenberg
(1974) membedakan struktur tanaman menjadi tiga komponen:
1. struktur vertikal, yang meliputi tingkat pertumbuhan, atau jenis-jenis tumbuhan
mulai dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi;
20

2. struktur horizontal (distribusi spatial populasi jenis dan individu), yaitu


individu yang pertumbuhannya menyebar pada kawasan tersebut, yang
dipengaruhi oleh jarak antara satu individu tanaman dengan individu lain;
3. struktur kuantitatif, yang meliputi kelimpahan atau keanekaragaman jenis,
dengan distribusi dari masing-masing jenis yang mencakup kerapatan,
frekuensi, dominansi, dan sebagainya.

2.6. Kerusakan Pohon


Kerusakan pohon biasanya disebabkan oleh bakteri patogen, hama
serangga, polusi udara, serta faktor-faktor alam maupun buatan yang
mempengaruhi pertumbuhan dan ketahanan pohon (Nuhamara et al., 2001).
Menurut Arifin dan Arifin (2005), kerusakan tanaman dapat disebabkan oleh
penyakit tanaman menular (infectious plant diseases) dan penyakit tanaman tidak
menular (non-infectious plant diseases). Penyakit menular pada tanaman biasanya
disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, mikroplasma, dan nematoda. Sementara itu,
penyakit yang tidak menular pada tanaman dapat disebabkan oleh kekurangan zat
hara, O2, CO2, atau cahaya; kekurangan atau kelebihan air tanah; terkena polusi
udara; atau pH tanah yang tidak sesuai. Hal tersebut juga dikemukakan oleh
Soeratmo (1974) yang menyatakan bahwa beberapa unsur lingkungan yang
berpengaruh terhadap kerusakan pohon, yaitu sebagai berikut.
1. Polutan Industri
Kerusakan pohon dapat disebabkan oleh asap atau gas-gas beracun dari
suatu industri atau pabrik. Tingkat kerusakan pohon akan tinggi bila pohon
berlokasi dekat dengan sumber polutan. Gejala kerusakan yang umum terlihat
adalah perubahan warna daun. Saat intensitas polutan tinggi, daun-daun akan
mengalami kekeringan, dan berguguran hingga akhirnya tanaman mati.
2. Kerusakan Mekanis
Kerusakan mekanis pada pohon biasanya berupa luka terbuka pada kulit
pohon. Namun, pada beberapa kasus kerusakan mekanis ditandai dengan cabang
yang patah. Kerusakan mekanis ini dapat disebabkan oleh sambaran petir maupun
aktivitas manusia dalam membuat saluran irigasi, memasang kabel listrik, atau
memasang kabel telepon.
21

Kerusakan pohon pada tingkat lanjut mengakibatkan kematian pada bagian-bagian


pohon seperti batang, cabang, dahan, dan ranting. Kematian tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal berikut ini (Arifin dan Arifin, 2005):
a. kekurangan nutrisi.
b. kerusakan pada sistem perakaran.
c. kelembaban (suhu udara atau tanah) yang tidak sesuai.
d. adanya unsur beracun pada udara atau tanah.
e. aerasi pada sistem perakaran yang kurang baik.
f. tajuk pohon tumbuh berlebihan.
g. adanya serangan jamur, bakteri, dan hama, serta
h. luka mekanik atau luka bakar pada batang/cabang dan akar.

2.7. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menelaah atau
menduga hal-hal yang sudah diputuskan untuk mengetahui kelemahan dan
kelebihan keputusan tersebut, selanjutnya ditentukan langkah-langkah alternatif
perbaikannya bagi kelemahan tersebut (Eliza, 1997). Evaluasi dilakukan
berdasarkan standar tertentu diikuti dengan langkah-langkah perumusan alternatif
perbaikannya. Tujuan dari evaluasi adalah untuk menyeleksi dan menampilkan
informasi yang diperlukan dalam mendukung pengambilan simpulan dan
keputusan suatu program serta nilainya (Wungkar, 2005).
Evaluasi melibatkan penjelasan sejumlah faktor yang mungkin
mempengaruhi variasi kualitas lanskap, skala untuk mengukur faktor tersebut, dan
mengembangkan suatu sistem pembobotan untuk menentukan bermacam-macam
penekanan pada faktor yang berbeda-beda (Porteus, 1983). Laurie (1984) juga
menyatakan bahwa tahap evaluasi harus memperhatikan keseimbangan antara
potensi alam dan ekonomi, serta kebutuhan teknis masyarakat. Selain kualitas
estetika, evaluasi lanskap juga dilakukan terhadap aspek fungsi dan strukturnya
agar keberadaan lanskap tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal.

Anda mungkin juga menyukai