Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Schistosomiasis merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh trematoda
anggota Schistosoma yang umum dikenal sebagai cacing darah (Colley et al, 2014).
Schistosomiasis merupakan masalah kesehatan yang menempati tingkat kedua setelah
malaria di daerah tropis dan sub tropis (Oldeva et al, 2013).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 mengemukakan, penyakit
schistosomiasis telah menginfeksi kurang lebih 240 juta penduduk di dunia, dan
terdapat sekitar 700 juta penduduk yang tinggal di daerah endemis schistosomiasis.
Secara global, ditemukan 200.000 kematian yang dikaitkan dengan schistosomiasis
per tahun. Variasi dalam perkiraan prevalensi tergantung pada karakter fokus dari
epidemiologi (Vrisca et al, 2013). Daerah sebaran schistosomiasis sesuai dengan
sebaran populasi Oncomelania hupensis yang menjadi hospes perantara masing-
masing spesies cacing. Schistosoma haematobium dilaporkan dari Afrika dan negara-
negara Timur Tengah, sedangkan Schistosoma japonicum endemis di Asia Timur dan
Asia Tenggara Termasuk Indonesia, Schistosoma mansoni banyak dijumpai di
Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan (Soedarto, 2011).
Sulawesi Tengah merupakan satu-satuya provinsi dari 34 provinsi di Indonesia
yang endemik schistosomiasis. Penyakit ini terdapat di dua Kabupaten dari 11
Kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah, yaitu Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi
tepatnya di Dataran tinggi Lindu, Napu dan Bada (Profil Dinkes Provinsi Sulteng,
2013). Pengobatan schistosomiasis di Sulawesi Tengah, sudah dilakukan sejak tahun
1982 yaitu dengan praziquantel yang diberikan secara massal kepada masyarakat
yang terdiagnosis schistosomiasis oleh Depertemen Kesehatan melalui Subdirektorat
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Subdit,
P2M & PLP). Pemberantasan yang di lakukan pada tahun 1982-1988 di Dataran
tinggi Napu mengalami penurunan angka prevalensi dari 33,58 % menjadi 1,15 %

1
(Rosmini, 2010). Selain di Napu, upaya pemberantasan schistosmiasis juga dilakukan
di Kabupaten Poso dan Sigi pada tahun 2011, hasil dari pemberantasan yang
dilakukan, prevalensi kejadian schistosomiasis mengalami penurunan dibawah 1 %.
Namun, tahun 2012, 2013, dan 2015 terjadi peningkatan prevalensi schistosomiasis di
Kabupaten Poso diatas 1 %. Dalam program pengendalian penyakit ini, prevalensi di
upayakan di bawah 1 %, agar tidak terjadi penularan (Dinkes Provinsi Sulawesi
Tengah, 2015).
Pemerintah Indonesia pada tahun 2018 menerapkan strategi eliminasi
schsistosomiasis terbaru yang disebut program pemberian obat pencegahan massal
(POPM), program ini dilakukan dengam memberikan praziquantel secara massal bagi
seluruh warga lembah napu dengan usia diatas 5 tahun dengan dosis 40-60 mg/kgBB.
Pelaksaanaan POPM di Provinsi Sulawesi Tengah sendiri baru mencakup 2
Kabupaten yang endemis schistosomiasis salah satunya di Desa Dodolo Lembah
Napu, Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Masalah yang dihadapi dalam
pelaksaanaan pengobatan massal adalah adanya efek samping yang di timbulkan
berupa demam, sakit kepala, sakit otot, mual pusing dan lain-lain (Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Tengah, 2018).
Upaya penurunan prevalensi suatu penyakit dipengaruhi oleh aspek sosial
budaya meliputi pengetahuan, sikap dan kepercayaan. Menurut Notoadmodjo (2007)
pengetahuan mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara
pemeliharaan kesehatan, seperti pengetahuan tentang penyakit menular, faktor-faktor
yang terkait dapat mempengaruhi kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan dan untuk
menghindari penyakit. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nurul et al (2016) di
Dataran Lindu, bahwa masyarakat masih memiliki kebiasaan buruk seperti buang air
di sungai, petani yang tidak memakai alat pelindung diri saat bertani dan masyarakat
yang menggunakan air yang tidak bersih untuk mencuci dan memasak sehingga
membuat masyarakat lebih rentan terhadap infeksi schistosomiasis.
Prevalensi schistosomiasis di Desa Dodolo pada tahun 2017 sebesar 2,15%. Hal
ini menandakan tingkat keberhasilan upaya pemberantasan schistosomiasis di Desa

2
Dodolo masih rendah karena prevalensinya yang masih di atas 1%. Untuk itu perlu
dilakukan upaya-upaya lain untuk mengidentifikasi penyebab masih tingginya
prevalensi schistosomiasis di Desa Dodolo.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas penulis tertarik melakukan
penelitian untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
program POPM di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi Tengah.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “ Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan dan sikap
masyarakat terhadap POPM schistosomiasis di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi
Tengah?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan
sikap masyarakat terhadap program POPM schistosomiasis di Desa Dodolo
Lembah Napu Sulawesi Tengah
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat tentang program POPM
schistosomiasis di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi Tengah.
b. Untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap program POPM
schistosomiasis di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi Tengah
D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat, yaitu:

1. Bagi Petugas Kesehatan


Penelitian ini diharapkan agar bermanfaat bagi petugas kesehatan untuk
mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap program
POPM. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan manfaat bagi

3
petugas kesehatan terkait untuk perbaikan dan perencanaan maupun
implementasi dalam upaya peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap pencegahan schistosomiasis.
2. Bagi Masyarakat
Sebagai masukan dan informasi kepada masyarakat tentang POPM agar
masyarakat tetap mengikuti program tersebut dan masyarakat lebih
memperhatikan gaya hidup untuk mencegah terjadinya schistosomiasis.
3. Bagi Peneliti
a. Hasil penelitian ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan tentang
penulisan skripsi serta metode penelitian yang sesuai dengan kaidah-kaidah
yang berlaku.
b. Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi S1 pendidikan kedokteran.
c. Penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan teori yang didapatkan saat
kuliah ke dalam praktek lapangan, dengan demikian diharapkan menambah
pengalaman dan wawasan.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian terkait gambaran tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap program POPM di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi Tengah kepada
masyarakat usia >5 tahun belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun, terdapat
beberapa penelitian yang pernah meneliti tentang gambaran tingkat pengetahuan dan
sikap masyarakat terhadap schistosomiasis. Beberapa penelitian serupa, yaitu sebagai
berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Sulistin, WA et al. 2015 yang berjudul


“Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakat tentang
Schistosomisasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah Tahun
2015”. Hasil dari penelitian ini yaitu: tingkat pengetahuan masyarakat tentang
skistosomiasis sebagian besar memiliki pengetahuan baik yaitu 59 responden
(60,2%), 36 responden (36,7%) memiliki pengetahuan cukup, dan 3

4
responden (3,1%) memiliki pengetahuan kurang. Sikap masyarakat baik
tentang skistosomiasis yaitu 92 responden (93.9 %) dan 6 Responden (6.1%)
memiliki sikap cukup. persamaan penelitian ini menggunakan metode survey
deskriptif pendekatan analitik.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Veridiana, NN. et al. 2013 yang berjudul
“Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Masyarakat Dalam
Mencegah Penularan Schistosomiasis Di Dua Desa Di Dataran Tinggi Napu
Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah Tahun 2010”. Hasil dari penelitian ini
yaitu: menunjukkan bahwa tidak semua responden mengetahui dengan benar
tentang schistosomiasis. Hanya sebagian kecil responden yang mengetahui
penyebab schisto-somiasis, penularnya, tempat terinfeksi
schistosomiasis/daerah fokus, gejala klinis, cara pencegahan dan binatang
yang bisa terinfeksi schistosomiasis. Persamaan penelitian ini menggunakan
desain Cross Sectional. Analisis data menggunakan uji chi square. Data yang
diambil sama-sama berada di Lembah Napu, namun hanya diambil di satu
desa saja, yaitu di desa Dodolo.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TELAAH PUSTAKA
1. Schistosomiasis
a. Definisi
Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit
parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam kelas
trematoda, genus Schistosoma Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis
sehingga sumber penularan tidak hanya pada penderita manusia saja tetapi
semua hewan mamalia yang terinfeksi (Rosmini et al, 2010).
b. Epidemiologi
Schistosomiasis adalah penyakit tropis ketiga yang paling banyak terjadi
secara global (setelah malaria dan infeksi usus) dan merupakan penyebab
utama morbiditas dan kematian bagi negara-negara berkembang di frika,
Amerika Selatan, Karibia, Timur Tengah, dan Asia (Olveda et al, 2013).
Daerah sebaran schistosomiasis sesuai dengan sebaran populasi siput
yang menjadi hospes perantara masing-masing spesies cacing. Schistosoma
japonicum endemis di Asia Timur dan Asia tenggara termasuk Indonesia.
Schistosomiasis japonicum di Indonesia dilaporkan endemis di Sulawesi
Tengah dengan prevelensi antara 12% sampai dengan 74% (Soedarto, 2011).

6
Gambar 1 Lokasi Area Endemik Schistosoma japonicum di Provinsi Sulawesi
Tengah
Sumber: KemenKes RI, 2018
Penyakit ini terdapat di dua Kabupaten dari 11 Kabupaten yang ada di
Sulawesi Tengah, yaitu Kabupaten Poso dan Sigi tepatnya di Dataran tinggi
Lindu, Napu dan Bada (Profil Dinkes Provinsi Sulteng, 2013). Salah satu
wilayah yang endemis schistosomiasis adalah desa Dodolo di Lembah Napu,
Kabupaten Poso (Nurwidayanti, 2016). Dodolo merupakan desa di Kecamatan
Lore Timur yang masuk sebagai salah satu desa yang memiliki prevalensi
schistosomiasis tertinggi pada tahun 2017 (dapat dilihat pada tabel1).

7
Tabel 1. Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia Tahun 2017
Area Desa Total Populasi Populasi Prevalensi (%)
Beresiko
Lindu Anca 549 437 0,69
Tomado 756 605 0,37
Puroo 587 468 2,14
Langko 525 413 0,73
Olu 733 549 0,36
Bada Kageroa 380 N/A N/A
Tuare 435 323 0,93
Lengkeka 675 227 0,44
Lelio 428 N/A N/A
Kolori 561 N/A N/A
Tomehipi 269 174 1,72
Napu Wuasa 3001 1100 0,00
Watumaeta 1427 1401 0,19
Sedoa 915 905 1,11
Alitupu 2616 2591 0,33
Banyusari 440 431 1,13
Kaduwaa 710 697 0,71
Dodolo 386 382 2,15
Maholo 772 758 0,16
Mekarsari 1234 1227 0,80
Tamadue 1071 1068 1,73
Kalimago 664 653 0,76
Winowanga 970 966 1,67
Wanga 350 325 0,35
Watutau 1004 994 0,24
Siliwanga 570 562 0,00
Betue 304 301 0,00
Torire 350 325 0,33

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah

8
c. Tempat Hidup
Cacing Schistosoma japonicum hidup di dalam vena porta intrahepatik,
vena mesentarika iliosekal dan di dalam pleksus vena hemoroidalis sehingga
telurnya ditemukan di dalam tinja atau ditemukan dengan melakukan biopsi
hati dan biopsi rektum (Soedarto, 2011).
d. Anatomi dan Morfologi
Cacing jantan mempunyai bentuk seperti daun melipat, dan bagian dalam
lipatan ini terbentuk kanal yang disebut canalis gynecophorum yang digunakan
untuk cacing betina menyatukan diri dengan cacing jantanpada saat kopulasi.
Cacing jantan nampak lebih besar dibanding cacing betina yang lebih langsing.
Cacing jantan berukuran 12-20 x 0,5-0,55 mm, cacing betina berukuran 26 x
0,3 mm.
Cacing jantan dengan kulit yang halus dilengkapi batil isap kepala (oral
sucker), serta dilengkapi alat kelamin jantan berupa testis. Sedangkan cacing
betina dilengkapi batil isap kepala dan batil isap perut, dilengkapi pula dengan
alat kelamin betina berupa ovarium yang terletak di pertengahan tubuh dan
uterus yang berbentuk memanjang yang mampu menampung 50-100 telur
(Prasetyo, 2013).
Saluran pencernaan cacing ini mula-mula bercabang menjadi dua sekum
kemudian didaerah posterior tubuh, kedua cabang sekum akan kembali
menjadi satu saluran buntu.
Cacing Schistosoma japonicum mempunyai sistem ekskresi berupa sel api
(flame cell) beserta dengan saluran-salurannya (Soedarto, 2011). Sistem
reproduksi. Cacing jantan mempunyai testis berjumlah antara 4 sampai 9 buah
yang terletak di bagian dorsal di belakang ventral sucker. Cacing jantan tidak
mempunyai alat reproduksi. Di dalam uterus cacing betina tampak berisi
beberapa buah telur yang mempunyai spina atau duri yang khas bentuknya
(Soedarto, 2011).

9
Gambar 2 Morfologi S. japonicum
Sumber:Centers for Disease Control and Preventio, 2018
e. Siklus Hidup
S. Japonicum memiliki siklus hidup yang sama dengan siklus hidup
cacing Schistosoma yang lainnya. Mereka bergantung pada hopes perantara
yaitu keong, terutama Oncomelania hupensisi lindoensis.
Setelah telur menetas maka akan terbentuk mirasidium. Mirasidium
memiliki silia yang memudahkan untuk berenang mencari siput perantara dan
menembus ke dalam tubuh siput kemudian berkembang menjadi sporokista
induk, selanjutnya sporokista anak keluar sebagai larva serkaria. Baik
manusia atapun hewan dapat terinfeksi ketika mereka melakukan kontak
dengan air yang mengandung serkaria, serkaria memilki silia sepanjang
tubuhnya dan juga memiliki ekor.
Pada tahap serkaria, merupakan parasit yang infektif. Serkaria
menginfeksi dengan cara mengaitkan dan menembus kulit dengan sekresi
glandular. Kemudian parasit serkaria kehilangan ekornya dan masuk ke dalam
kulit. Setelah itu berubah menjadi Schistosoma muda yang disebut
Schistosomula. Setelah dua hari dalam kulit, parasit menggali hingga dermis,

10
masuk ke dalam pembuluh darah, dan masuk kedalam sirkulasi darah dan
tinggal beberapa hari dalam paru-paru sebelum ke hati.
Sesudahnya, muncul cacing jantan-betina yang berpasangan dan
mendiami pembuluh darah. Cacing betina mulai meletakkan telur-telurnya
dalam pembuluh darah pelvis atau arteri mesenterika. Kemudian telur-telur
tersebut banyak yang terangkut atau terbawa kehati melalui vena porta hepatis
dan mencapai venula pre-sinusoid porta. Beberapa telur bermigrasi dan
menembus usus dan dibuang dalam feses. Ketika telur kontak dengan air,
mereka berubah jadi larva mirasidium yang dapat menginfeksi siput perantara.
Mirasidium menembus siput dengan pergerakan mekanik. Di dalam siput,
mirasidium mengalami perkembangan seksual dan membentuk serkaria yang
keluar dari siput dan mencari host definitif (Olveda et al, 2013).

Gambar 3 Siklus Hidup S. japonicum


Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2018
f. Gejala Klinis dan Diagnosis
Semua stadium cacing Schistosoma baik cacing dewasa, serkaria maupun
telur cacing dapat menyebabkan perubahan patologik pada organ tubuh

11
penderita. Terdapat tiga tahapan klinis pada schistosomiasis yaitu masa
inkubasi biologis, tahap stadium akut, dan tahap stadium kronis.
Di waktu antara masuknya serkaria menembus kulit sampai saat
terjadinya cacing dewasa terjadi kelainan pada kulit dan gatal-gatal, disertai
peradangan akut pada hati.
Pada tahap stadium akut akibat terbentuknya telur cacing, terjadi
kerusakan jaringan dan perdarahan, pembentukan pseudoabses,
pseudotuberkel dan pembentukan jaringan ikat.
Tahap stadium kronik ini terjadi proses-proses penyembuhan jaringan dan
pembentukan jaringan fibrosis disertai pengecilan hati akibat telah terjadinya
sirosis, terjadi pembesaran limpa, asites dan ikterus. Dapat juga terhjadi
hipertensi portal.
Diagnosis pasti schistosomiasis ditentukan jika ditemukan telur
Schistosoma yang spesifik bentuknya bagi masing masing spesies tinja atau
urine penderita. Pada hasil biopsi rektum, telur Schistosoma japonicum dapat
ditemukan. Dan dapat juga ditemukan melalui biopsi jaringan hati penderita
(Soedarto, 2011).
g. Pengobatan dan Pencegahan
Obat pilihan untuk mengobati schistosomiasis adalah Praziquantel. Pada
pengobatan Schistosoma japonicum Praziquantel diberikan dengan takaran
40-60 mg/kg berat badan yang diberikan dalam bentuk dosis tunggal atau
dibagi dalam 2 kali pemberian dengan tenggak waktu minum obat antara 4-6
jam.
Untuk mencegah terjadinya peneybaran schistosomiasis harus dilakukan
pengobatan massal pada seluruh penduduk daerah endemis. Selain itu harus
dilakukan juga perbaikan lingkungan hidup untuk mencegah pencemaran
perairan oleh tinja, serta pemberantasan siput yang menjadi hospes perantara
cacing Schistosoma (Soedarto, 2011)

12
2. Program Eliminasi Schistosomiasis
Program eliminasi schistosomiasis yang dilakukan oleh pemerintah pada
bulan Februari 2018 adalah pemberian obat pencegahan massal pada manusia,
hewan reservoir, manajemen pola pengembangan ternak, dan pemberantasan
keong hospes perantara. Pada penelitian ini difokuskan pada pemberian obat
pencegahan massal pada manusia.
Pemberian obat pencegahan massal (POPM) merupakan program yang
dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi schistosomiasis. Eradikasi
schistosomiasis ditargetkan mencapai 0% pada tahun 2019. Sistem pengobatan
massal ini dilakukan dengan 2 tahap. Tahap pertama adalah pengobatan massal
pada seluruh populasi masyarakat endemis schistosomiasis selama 2 tahun
berturut-turut, tahap kedua pengobatan hanya dilakukan secara selektif pada
populasi yang kemungkinan masih terinfeksi schistosomiasis dan keluarga yang
berada dalam satu rumah dengan orang yang terinfeksi schistosomiasis.
Pengobatan POPM dilakukan dari tahun 2018-2025.
Pengobatan massal menggunakan Praziquantel dengan dosis 40-60
mg/kgBB pada manusia merupakan upaya pemberantasan fase dewasa cacing
Schistosoma japonicum yang ada di tubuh manusia. Manusia yang merupakan
induk definitif Schistosoma japonicum. Hal ini membuat proses serta hasil
penanganan schistosomiasis pada manusia menjadi indikator utama kesuksesan
program (KemenKes RI, 2018).
3. Pengetahuan
a. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Sebagian besar
pengetahuan diperoleh oleh mata dan telinga. Pengetahuan adalah pedoman
dalam membentuk tindakan seseorang. (Notoadmodjo, 2007).

13
b. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoadmodjo (2007), menyatakan bahwa pengetahuan terhadap
objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis
besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang sudah
dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah
meningkatnya kembali (recal) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
2) Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadapobjek tersebut,
tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
menginterpretasikan tentang objek yang diketahui tersebut secara benar.
3) Aplikasi (aplication)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi sebenarnya.
4) Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (shyntesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian didalam suaru bentuk keseluruhan
yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk
menyusun suatu formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada,
misalnya dapat menyusun dan sebagainya terhadap suatu teori atau
rumusan-rumusan yang telah ada.

14
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan unutk melakukan
penilainan terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
c. Hal-Hal yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut meliono (2007), pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya:
1) Pendidikan
Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan yang bertujuan untuk mencerdaskan
manusia.
2) Usia
Usia juga mempengaruhi pengetahuan seseorang karena dengan
bertambahnya usia maka akan bertambah pada intelektualnya.
3) Media
Media adalah sarana yang dapat dipergunakan oleh seseorang
dalam memperoleh pengetahuan misalnya televisi, koran dan radio.
4) Informasi
Informasi adalah data yang diperoleh dari observasi terhadap
lingkungan sekitar yang diteruskan melalui komunikasi dalam kehidupan
sehari-hari.
4. Sikap
a. Pengertian Sikap
Sikap merupakan respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melobatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan. Baik itu senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, dan
sebagainya (Notoadmodjo, 2007).

15
b. Komponen Pokok
Sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:
1. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya,
bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikran seseorang terhadap
objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek. Ini artinya
bagaimana seseorang menilai suatu objek, dalam hal ini terkandung
didalamnya faktor emosi.
3. Kecenderungan untuk bertindak yang artinya sikap adalah komponen
yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-
ancang untuk bertindak atau perilaku terbuka (Notoadmodjo, 2007).
c. Tindakan Sikap
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu:
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang sebagai subjek mau menerima
stimulus yang diberikan (objek).
2. Menanggapi (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakanatau mendiskusikan dengan
orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko (Notoadmodjo, 2007).
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap
Menurut Azwar (2012), pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu:

16
1. Pengalaman pribadi
Sesuatu yang telah dan sedang dialami akan ikut membentuk dan
mempengaruh penghayatan seseorang terhadap stimulus sosial.
Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat
mempengaruhi tanggapan dan penghayatan seseorang harus mempunyai
pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain disekitar merupakan salah satu diantara komponen sosial
yang ikut mempengaruhi sikap seseorang . seseorang yang dianggap
penting, seseorang yang diharap pesetujuannya bagi setiap gerak dan
tingkah serta pendapat, seseorang yang tidak ingin dikecewakan atau
seseorang yang berarti khusus bagi, akan banyak mempengaruhi
pembentukan sikap seseorang terhadap sesuatu.
3. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana seseorang hidupdan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. Apabila seseorang hidup
dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi pergaulan
heteroseksual, sangat mungkin seseorang akan mempunyai sikap yang
mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan heteroseksual.
4. Media massa
Media massa sebagai media komunikasi. Berbagai bentuk media
massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dll, mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan seseorang.
5. Lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh

17
dan tidak boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat
keagamaan serta ajaran-ajarannya.
6. Faktor emosi dalam diri individu
Bentuk sikap tidak semuanya ditentukan oleh situasi lingkungan
dan pengalaman seseorang. Kadang-kadaang, suatu bentuk sikap
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme
pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap sementara dan
segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula
merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.

18
B. Kerangka Teori

S. japonicum

Schistosomiasis

Epidemilogi Upaya Eliminasi


Schistosomiasis

Bada Lindu Napu

POPM pada POPM pada Pencegahan Pemberantasan


Manusia Hewan pada Hewan Keong Hospes
Reservoir ternak Perantara

Keberhasilan Program

Pengetahuan Sikap Dana Faktor


Eksternal

1. Pengertian 1. Pengertian
2. Tingkat 2. Komponen
Pengetahuan pokok
3. Hal-hal yang 3. Tindakan sikap
Mempengaruhi 4. Faktor-faktor
Pengetahuan yang
mempengaruhi
Tindakan Sikap
Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti

Gambar 4 Kerangka Teori

19
C. Kerangka Konsep

Pengetahuan tentang
skistosomiasis terhadap
Upaya POPM
Eliminasi POPM Pada Manusia
Schistomiasis
Sikap tentang
skistosomiasis terhadap
POPM

Variabel bebas (Independent)

Variabel terikat (Dependent)

Gambar 5 Kerangka Konsep

D. Landasan Teori
Pentingnya pengetahuan masyarakat tentang schistosomiasis, kepercayaan
masyarakat terhadap POPM oleh pemerintah dan sikap masyarakat pasca POPM
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program pemerintah dalam menanggulangi
schistosomiasis.
Pengetahuan masyarakat terhadap schistosomiasis menurut Nurul et al (2016),
sebagian masyarakat masih memiliki pengetahuan yang rendah tentang pencegahan
schistosomiasis. Hal ini berdampak tidak tertangani penyakit schistosomiasis,
sehingga KemenKes mengeluarkan program kerja berupa eradikasi penanggulangan
demam keong (schistosomiasis), salah satu programnya adalah Pemberian Obat
Pencegahan Massal (POPM).
POPM diwajibkan pada masyarakat yang terinfeksi dan belum terinfeksi di
wilayah endemis schistosomiasis. Pasca pemberian ini dapat menimbulkan gejala

20
berupa mual, muntah, ruang hingga pingsan. Hal ini mengakibatkan efek jera pada
masyarakat setelah pemberian obat terutama pada orang yang belum terinfeksi.
Pengetahuan masyarakat yang baik terhadap schistosomiasi dapat menimbulkan
sikap menerima terhadap program pemerintah, sehingga program pemerintah dapat
berjalan sesuai yang diingankan. .
E. Hipotesis
Berdasarkan kerangka konsep diatas dapat ditarik hipotesis, yaitu:
1. (H0)
Gambaran tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap POPM
schistosomiasis di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi Tengah dinilai masih
kurang.
2. (H1)
Gambaran tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap POPM
schistosomiasis di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi Tengah dinilai baik.

21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan
menggunakan desain cross sectional (potong lintang). Desain penelitian ini
digunakan untuk meneliti suatu kejadian pada waktu yang bersamaan (sekali
waktu). Sehingga variabel dependen dan variabel independen diteliti secara
bersamaan (Notoatmodjo, 2010). Variabel independen dalam penelitian ini
adalah POPM pada masyarakat, dan variabel dependen dalam penelitian ini
adalah pengetahuan dan sikap masyarakat. Analisis datanya menggunakan
analisis univariat.
2. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi tengah yang
berlangsung pada tanggal 17 November 2018.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi target adalah seluruh masyarakat di Desa Dodolo Kecamatan Lore
Timur Lembah Napu dengan jumlah penduduk 386 orang.
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah sebagian dari populasi terjangkau yang berada
di Desa Dodolo Kecamatan Lore Timur Lembah Napu. Teknik pengambilan
sampel dilakukan dengan cara menggunakan metode proportional cluster
random sampling dimana pengambilan sampel dilakukan secara acak pada
kelompok individu dalam populasi, yakni berdasarkan wilayah (kodya,
kecamatan dan kelurahan). Selanjutnya, sampel ditentukan berdasarkan kriteria
inklusi dan ekslusi dalam hal ini teknik pengambilan sampel yang digunakan
yaitu purposive sampling atau pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan

22
(kriteria inklusi dan ekslusi). Ruslan (2004), perkiraan besar sampel dapat
diambil berdasarkan rumus slovin.

n= N
1+ N (d2)

Keterangan:
n=Jumlah sampel
N=Jumlah Populasi
d=Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan 0,10 (10%)

Dari rumus slovin diatas maka jumlah besar sampel adalah sebagai berikut:

n= 386
1+ 386.(0,10)2

n= 386
1+ 3,86

n= 79
Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh ukuran sampel (n) minimal sebesar
79 orang responden diwilayah Lembah Napu Desa Dodolo
a. Kriterian Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau
layak untuk diteliti. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah responden
merupakan masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Lembah Napu yang
mendapat POPM praziquantel pada bulan Februari 2018
b. Kriteria Ekslusi
Kriteria eksklusi adalah karakteristik sampel yang tidak layak diteliti.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1. Masyarakat tidak bersedia mengikuti penelitian
2. Masyarakat yang dibawah usia dewasa yakni umur ≤17 tahun
3. Masyarakat yang tidak lagi berdomisili di Lembah Napu

23
C. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuisioner yang telah
divaliditasi yang akan dibagikan ke masyarakat di Desa Dodolo yang telah
mengkonsumsi obat praziquantel dalam program POPM.
D. Variabel dan Definisi Operasional
1. Identifikasi Variabel
Berdasarkan fungsinya dalam konteks penelitian, khususnya dalam hubungan
antara variabel, terdapat beberapa jenis variabel, yaitu:
a. Independent Variabel (Variabel bebas)
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau dianggap
menentukan variabel terikat. Variabel bebas adalah Pemberian Obat
Pencegahan Massal (POPM) pada masyarakat.
b. Dependent Variabel (Variabel terikat)
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi. Dalam penelitian ini
variabel terikat adalah pengetahuan dan sikap masyarakat.
2. Definisi Operasional
1. Pengetahuan
Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan
responden dalam menjawab beberapa pertanyaan berkaitan dengan
pengetahuan tentang schistosomiasis.
a. Alat Ukur : Kuisioner
b. Skala ukur : Ordinal
c. Hasil Ukur : Baik (Jika nilai 60-100)
Cukup (Jika nilai 40-60)
Kurang (Jika nilai <40)
2. Sikap
Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah reaksi responden
tentang schistosomiasis yang dilihat dari jawaban responden atas
beberapa pertanyaan-pertanyaan positif yang disajikan tentang

24
shistosomiasis oleh peneliti. Setiap respon terhadap pertanyaan akan
diberi skor berdasarkan Notoadmodjo (2007) sebagai berikut:
1) Alat Ukur : Kuisioner
2) Skala ukur : Ordinal
3) Hasil Ukur :
a. Untuk pertanyaan positif (Favourable)
Sangat Setuju :4
Setuju :3
Tidak Setuju :2
Sangat Tidak Setuju :1
b. Untuk pertanyaan negatif (Unfavourable)
Sangat Setuju :1
Setuju :2
Tidak Setuju :3
Sangat Tidak Setuju :4
Sikap, dapat dikategorikan sebagai berikut:
Nilai maksimum = 10 x 4 = 40
Nilai minimum = 10 x 1 = 10
Luas jarak sebaran = Nilai maksimum – nilai minimum
= 40-10
= 30
Interval klasifikasi sikap = 30: 3 = 10, maka
Skor total 31- 40 = Baik
Skor total 21- 30 = Cukup
Skor total <21 = Kurang
E. Uji Validitas dan Realibilitas
1. Uji Validitas
Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu
alat ukur dalam mengukur data. untuk mengukur pengetahuan dan sikap,

25
diperlukan alat ukur berupa kuisioner. Untuk mengukur validitas pernyataan yang
berkaitan dengan pengetahuan dan sikap, dilakukan dengan cara melakukan
korelasi antar skor masing-masing pernyataan terhadap skor total. Suatu
pernyataan dikatakan valid bila skor pernyataan tersebut berkorelasi secara
signifikan dengan skor totalnya (Najmah, 2011). Agar diperoleh distribusi nilai
hasil pengukuran mendekati normal, maka sebaiknya jumlah responden untuk uji
coba paling sedikit 20 orang (Notoadmodjo, 2007). Validitas dilakukan pada
masyarakat di Desa Maholo Lembah Napu Sulawesi Tengah yang memiliki
kriteria yang sama dengan masyarakat di Desa Dodolo dengan jumlah 30 orang.
Pengujian validitas dapat dilakukan menggunakan tekhnik korelasi "product
moment" dengan bantuan program Statistic Package for Social Science (SPSS)
versi 20.0 menggunakan rumus sebagai berikut:
∑ ∑ ∑
√ ∑ ∑ ∑ ∑
Keterangan :
N : jumlah responden
Rxy : koefisien korelasi product moment
x : skor pertanyaan
y : Skor total
xy : skor pertanyaan dikalikan skor total
Instrumen dikatakan valid jika nilai (0,361)
Uji validitas untuk instrument dilakukan dengan cara mengkorelasi jumlah
skor tiap pertanyaan dengan jumlah skor total. Uji validitas menggunakan rumus
korelasi pearson product moment dengan bantuan program spss. Taraf signifikan
untuk uji validitas pada kuesioner penelitian ini adalah lima persen (5%) untuk 30
sampel.

26
Tabel 2 Hasil Uji Validasi Kuesioner Pengetahuan Tentang POPM
Penyakit Schistosomiasis.
Pertanyaan Nilai r Product Moment Nilai Korelasi Pearson Hasil
Sampel 30 dan Taraf
Signifikan 5%

1 0,361 0.360 Valid


2 0,361 0.493 Valid
3 0.361 0.699 Valid
4 0,361 0.699 Valid
5 0,361 0.635 Valid
6 0,361 0.515 Valid
7 0,361 0,410 Valid
8 0,361 0,486 Valid
9 0,361 0,635 Valid
10 0,361 0,551 Valid

Sumber: Kuesioner Data Primer, 2018


Tabel 3 Hasil Uji Validasi Kuesioner sikap tentang POPM penyakit
Schistosomiasis.
Pertanyaan Nilai r Product Moment Nilai Korelasi Pearson Hasil
Sampel 30 dan Taraf
Signifikan 5%
1 0,361 0,495 Valid
2 0,361 0,504 Valid
3 0,361 0,608 Valid
4 0,361 0,445 Valid
5 0,361 0,452 Valid
6 0,361 0,464 Valid
7 0,361 0,575 Valid
8 0,361 0,661 Valid
9 0,361 0,508 Valid
10 0,361 0,493 Valid

Sumber: kuisioner Data Primer, 2018

27
2. Uji Realibilitas
Realibilitas adalah konsistensi suatu hasil pengukuran. Perhitungan
realibilitas harus dilakukan hanya pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah
memiliki validitas. Kuisioner yang telah disusun akan diuji realibilitasnya dengan
menggunakan uji Cronbach (Cronbach Alpha) dengan bantuan program Statistic
Package for Social Sciense (SPSS) versi 20.0. Untuk mengetahui reliabilitas
suatu variabel maka membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hasil (Cronbach
Alpha). Bila r hasil > r tabel maka pertanyaan tersebut reliabel (Najmah, 2011).
Berdasarkan hasil uji reliabilitas menggunakan uji Cronbach (Cronbach's
Alpha) dengan bantuan program Statistic Package for Social Sciense (SPSS)
versi 20.0 didapatkan hasil bahwa kuisioner yang telah diuji validitasnya terlebih
dahulu dinyatakan telah reliabel.


[ ][ ]

Keterangan :
r11 : Realibilitas Instrumen
k : banyaknya butir pertanyaan atau bayaknya soal
∑ : jumlah varian butir
: varian total
Hasil uji instrumen didapatkan nilai alpha Chronbanch’s >
(0,447)
F. Sumber Data
Data primer merupakan data yang diperoleh peneliti langsung dari responden
melalui pengisian kuesioner yang dibagikan oleh peneliti kepada responden.

28
G. Alur Penelitian

Observasi lokasi penelitian Pengurusan surat izin


penelitian ke Dinkes Provinsi

Mendatangi rumah
Menjelaskan tujuan
responden

Membuat kesepakatan
(menandatangani informed Responden mengisi kuisioner
consent)

Analisa hasil kuisioner dan


mengolah data

Gambar 6 Bagan Alur Penelitian

H. Pengolahan Data
Tahap-tahap pengolahan data yang dilakukan:
1. Editing
Editing dilakukan dengan memeriksa data primer berupa hasil wawancara
dalam bentuk kuesioner yang diperoleh dan melakukan koreksi dari data tersebut
apabila diperlukan.Jika ada yang belum lengkap maka tidak dimasukkan kedalam
penelitian.
2. Coding
Coding merupakan cara pemberian kode dengan simbol-simbol tertentu agar
memudahkan dan mempercepat dalam melakukan analisis data (Arikunto, 2013).

29
a. Pengetahuan
Benar =1
Salah =0
b. Sikap
Sangat setuju =4
Setuju =3
Tidak Setuju =2
Sangat tidak setuju = 1
3. Scoring
Scoring merupakan suatu proses pengubahan jawaban isntrumen menjadi
angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item
dalam instrumen.
4. Analisys
Analisys merupakan suatu metode atau cara untuk mengolah sebuah data
menjadi informasi sehingga karakteristik data tersebut menjadi mudah untuk
dipahami dan juga bermanfaat untuk menemukan solusi permasalahan.
I. Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan diolah dan dianalisis secara
univariat yang merupakan analisis satu variabel. Analisis univariat yang digunakan
adalah distribusi frekuensi.

J. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi
dari pihak institusi dengan mengajukan permohonan izin kepada instansi tempat
penelitian dilaksanakan. Setelah mendapatkan persetujuan tersebut, barulah dilakukan
penelitian dengan menekankan masalah etika penelitian meliputi:
a. Informed Consent (Lembar persetujuan)
Lembar persetujuan akan diberikan kepada responden yang memenuhi
kriteria inklusi, disertai judul penelitian. Responden yang merupakan objek

30
penelitian berhak memperoleh penjelasan yang selengkap-lengkapnya mengenai
prosedur yang akan dilakukan, resiko yang akan dihadapi, dan apa yang diharap
darinya.
b. Invasion of Privacy (Invasi keleluasan pribadi)
Penelitian ini dilakukan dengan cara observasi secara langsung serta
pengambilan data yang dilakukan sesuai dengan cara sembunyi-sembunyi,
misalnya dengan kamera atau cara-cara lain menyangkut kerahasiaan responden.
c. Confidential (Kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok
data tertentu yang dilaporkan hasil penelitiannya, sesuai dengan persetujuan
responden.

31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Lokasi Penelitian
Desa Dodolo merupakan desa yang berada di Lembah Napu Kecamatan
Lore Utara Kabupaten Poso yang berjarak kurang lebih 106 km dari kota Palu.
Desa Dodolo mempunyai 386 jumlah penduduk, sebagian besar memiliki mata
pencarian buru/petani.
2. Deskripsi karakteristik Responden
Penelitian ini dilakukan di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi Tengah
pada tanggal 17 November 2018. Dengan jumlah responden 79 orang dengan
hasil sebagai berikut:
a. Karakteristik Responden Berdasarkan jenis Kelamin
Tabel 4 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Masyarakat di Desa
Dodolo Lembah Napu Sulawesi Tengah
Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Laki-Laki 36 45,6
Perempuan 43 54,4
Total 79 100
Sumber: Data Primer, 2018
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi responden
menurut jenis kelamin terbanyak adalah pada perempuan sebanyak 43 orang
(54,4 %). Sedangkan yang terendah pada laki – laki 36 orang (45,6 %).
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Distribusi responden menurut kelompok umur masyarakat dalam penelitian
ini bervariasi yaitu diatas 17 tahun, seperti yang tertera pada tabel 3

32
Tabel 5 Distribusi Responden Menurut Umur Masyarakat di Desa Dodolo
Lembah Napu Sulawesi Tengah
Umur Jumlah Presentase (%)
17-21 14 17,7
22-27 9 11,4
28-33 18 22,8
34-39 18 22,8
40-45 6 7,6
46-51 6 7,6
52-57 0 0
58-63 3 3,8
64-69 5 6,3
Jumlah 79 100
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 5 menunjukkan bahwa distribusi responden menurut kelompok


umur terbanyak adalah kelompok umur 28-33 dan 34-39 tahun yaitu
sebanyak 18 orang (22,8 %) sedangkan yang terendah pada kelompok
umur 58-63 tahun sebanyak 3 orang (3.8 %).
c. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Distribusi responden menurut kelompok tingkat pendidikan
masyarakat dalam penelitian ini bervariasi seperti yang tertera pada tabel 6
Tabel 6 Distribusi Responden Menurut Umur Masyarakat di Desa Dodolo
Lembah Napu Sulawesi Tengah
Pendidikan Jumlah Presentase (%)
Tidak Sekolah 4 5,1
SD 29 36,7
SLTP 17 21,5
SLTA 27 34,2
Diploma 0 0
Sarjana 2 2,5
Jumlah 79 100
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 6 menunjukkan bahwa distribusi responden menurut kelompok


Pendidikan terbanyak adalah kelompok dengan pendidikan SD (Sekolah

33
Dasar) yaitu sebanyak 29 orang (36,7%) sedangkan yang terendah pada
kelompok pendidikan sarjana sebanyak 2 orang (2,5%).
d. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Distribusi responden menurut tingkat pekerjaan masyarakat dalam
penelitian ini bervariasi seperti yang tertera pada tabel 7
Tabel 6 Distribusi Responden Menurut Umur Masyarakat di Desa Dodolo
Lembah Napu Sulawesi Tengah
Pekerjaan Frekuensi Presentase (%)
PNS 0 0
Pegawai Swasta 1 1,3
Wiraswasta 11 13,8
Buruh/tani 44 55,7
IRT 23 29,1
Jumlah 79 100
Sumber: Data Primer, 2018

Tabel 7 menunjukkan bahwa distribusi responden menurut kelompok


Pekerjaan terbanyak adalah kelompok dengan pekerjaan buruh/tani yaitu
sebanyak 44 orang (55,7%) sedangkan yang terendah pada kelompok
pegawai swasta sebanyak 1 orang (1.,3 %).

3. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah cara analisis dengan mendiskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Pada umumnya analisis
ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel.
a. Gambaran Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap POPM
Schistosomiasis
Berdasarkan hasil penelitian diketahui distribusi pengetahuan
responden dalam penelitian adalah kategori baik. Distribusi pengetahuan
responden penelitian ini dilihat pada tabel berikut:

34
Tabel 7 Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Masyarakat Terhadap
POPM Schistosomiasis di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi Tengah
Pengtahuan Frekuensi Presentase (%)
Baik 70 88,6
Cukup 8 10,1
Kurang 1 1,3
Jumlah 79 100
Sumber: Data Primer, 2018
Tabel 7 diperoleh hasil pengetahuan terhadap POPM schistosomiasis
dimasyarakat, dapat diketahui dari 79 responden yang memiliki pengetahuan
yang baik mengenai POPM schistosomiasis sebanyak 70 orang (88,6%),
pengetahuan yang cukup mengenai POPM schistosomiasis sebanyak 8 orang
(10,1%), sedangkan untuk pengetahuan yang kurang sebanyak 1 orang
(1,3%).
b. Gambaran Sikap Masyarakat Terhadap POPM Schistosomiasis
Berdasarkan hasil penelitian diketahui distribusi sikap responden
dalam penelitian adalah kategori baik. Distribusi sikap responden penelitian
ini dilihat pada tabel berikut:
Tabel 8 Distribusi Responden Menurut Sikap Masyarakat Terhadap POPM
Schistosomiasis di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi Tengah
Sikap Frekuensi Presentase (%)
Baik 51 64,6
Cukup 28 35,4
Kurang 0 0
Jumlah 79 100
Sumber: Data primer, 2018
Tabel 8 diperoleh hasil sikap masyarakat terhadap POPM
schistosomiasis, dapat diketahui dari 79 responden yang memiliki sikap
yang baik mengenai POPM schistosomiasis sebanyak 51 orang (64,6%),
sikap yang cukup mengenai POPM schistosomiasis sebanyak 28 orang
(35,4%), sedangkan yang mempunyai sikap kurang itu tidak ada.

35
c. Gambaran Tindakan Masyarakat Terhadap POPM Schistosomiasis
Tabel 9 Distribusi Keikutsertaan Responden Terhadap POPM
Schistosomiasis
Tindakan Frekuensi Presentase (%)
Ya 79 100
Tidak 0 0

Jumlah 79 100
Sumber: Data Primer, 2018
Tabel 9 diperoleh hasil tindakan masyarakat terhadap POPM
schistosomiasis, dapat diketahui dari 79 responden yang meminum obat
praziquantel sebanyak 73 orang (92,4%), sedangkan yang tidak meminum
obat praziquantel.
d. Gambaran Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 10 Distribusi Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Jenis Kelamin
Pengetahuan
Baik (%) Cukup (%) Kurang (%)
J. Kelamin Laki-laki 30 (37,97) 5 (6,3) 1 (1,3%)
Perempuan 40 (50,6) 3 (3,8) 0
Total 70 (89,5) 8 (10,1) 1 (1,3)
Sumber: Data Primer, 2018
Tabel 10 diperoleh hasil pengetahuan masyarakat berdasarkan jenis
kelamin terhadap POPM schistosomiasis, dapat diketahui bahwa tingkat
pengetahuan perempuan lebih tinggi yaitu 40 orang (50,6%) dibandingkan
tingkat pengetahuan laki-laki yaitu 30 orang (37,97%).

36
e. Gambaran Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Pendidikan
Tabel 11 Distribusi Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Pendidikan
Pengetahuan
Baik (%) Cukup (%) Kurang (%)
Pendidikan Tidak 3 (3,8) 1 (1,3) 0
Sekolah
SD 25 (32,5) 4 (5,1) 0
SLTP 16 (20,2) 1 (1,3) 0
SLTA 24 (30,3) 2 (2,5) 1 (1,3)
Sarjana 2(2,5) 0 0
Diploma 0 0 0
Total 70 (88,6) 8 (10,1) 1 (1,3)
Sumber: Data Primer, 2018
Tabel 11 diperoleh hasil pengetahuan masyarakat berdasarkan
pendidikan terhadap POPM schistosomiasis, dapat diketahui bahwa tingkat
pengetahuan berdasarkan tingkat pendidikan SD lebih tinggi yaitu 25 orang
(32,5%) sedangkan yang terendah pada tingkat pendidikan sarjana yaitu 24
orang (2,5%).
f. Gambaran Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 12 Distribusi Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Pekerjaan
Pengetahuan
Baik (%) Cukup (%) Kurang (%)
Pekerjaan Buruh/tani 38 (48,1) 5 (6,32) 1 (1,3)
IRT 21 (26,6) 2 (2,5) 0
Wiraswasta 10 (12,65) 1 (1,3) 0
Pegawai 1 (1,3) 0 0
Swasta
PNS 0 0 0
Total 70 (88,6) 8 (10,1) 1 (1,3)
Sumber: Data Primer, 2018

37
Tabel 12 diperoleh hasil pengetahuan masyarakat berdasarkan
pekerjaan terhadap POPM schistosomiasis, dapat diketahui bahwa
pengetahuan yang baik pada pekerjaan buruh lebih tinggi yaitu 38 orang
(48,1%) sedangkan yang terendah pada pekerjaan pegawai swasta yaitu 1
orang (1,3%).
g. Gambaran Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Umur
Tabel 13 Distribusi Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Umur
Pengetahuan
Baik (%) Cukup (%) Kurang (%)
Umur 17-21 12 (15,2) 2 (2,5) 0
22-27 9 (11,4) 0 0
28-33 17 (21,5) 1 (1,3) 0
34-39 16 (20,2) 1 (1,3) 1 (1,3)
40-45 5 (6,3) 1 (1,3) 0
46-51 6 (7,6) 0 0
52-57 0 0 0
58-63 2 (2,5) 1 (1,3) 0
64-69 3 (3,8) 2 (2,5) 0
Total 70 (88,6) 8 (10,1) 1 (1,3)
Sumber: Data Primer, 2018
Tabel 13 diperoleh hasil pengetahuan masyarakat berdasarkan umur
terhadap POPM schistosomiasis, dapat diketahui bahwa pengetahuan yang
baik pada kelompok umur 28-33 sebanyak 17 orang (21,5%) sedangkan
yang terendah pada kelompok umur 58-63 sebanyak 2 orang (2,53%).

38
h. Gambaran Sikap Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 14 Distribusi Sikap Berdasarkan Jenis Kelamin
Sikap
Baik (%) Cukup(%) Kurang (%)
Jenis Laki-laki 23 (29,1) 13 (16,5) 0
Kelamin
Perempuan 28 (35,4) 15 (19%) 0
Total 51 (64,5) 28 (35,4) 0
Sumber: Data Primer, 2018
Tabel 14 diperoleh sikap masyarakat berdasarkan jenis kelamin
terhadap POPM schistosomiasis, dapat diketahui bahwa perempuan
memiliki sikap lebih tinggi yaitu sebanyak 28 orang (35,4%) dibandingkan
laki-laki sebanyak 23 orang (29,1%).
i. Gambaran Sikap Berdasarkan Pendidikan
Tabel 15 Distribusi Sikap Berdasarkan Pendidikan
Sikap
Baik (%) Cukup (%) Kurang (%)
Pendidikan Tidak 1 (1,3) 3 (3,8) 0
Sekolah
SD 19 10 (12,6) 0
(24,05)
SLTP 12 (15,1) 5 (6,3) 0
SLTA 18 (22,8) 9 (11,4) 0
Sarjana 1 (1,3) 1 (1,3) 0
Diploma 0 0 0
Total 51 (64,5) 28 (35,4) 0
Sumber: Data Primer, 2018

39
Tabel 15 diperoleh sikap masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan
terhadap POPM schistosomiasis, dapat diketahui bahwa sikap lebih baik
pada tingkat pendidikan lebih banyak pada SD yaitu sebanyak 19 orang
(24,05) dan sikap yang paling sedikit pada tingkat pendidikan sarjana yaitu 1
orang (1,3%) dan tidak sekolah yaitu 1 orang (1,3%).
j. Gambaran Sikap Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 16 Distribusi Sikap Berdasarkan Pekerjaan
Sikap
Baik (%) Cukup (%) Kurang (%)
Pekerjaan Buruh/tani 30 (38) 14 (18) 0
IRT 13 (16,4) 10 (13) 0
Wiraswasta 8 (10,1) 3 (3,8) 0
Pegawai 0 1 (1,3) 0
Swasta
PNS 0 0 0
Total 51 (64,5) 28 (35,4) 0
Sumber: Data Primer, 2018
Tabel 16 diperoleh sikap masyarakat berdasarkan pekerjaan terhadap
POPM schistosomiasis, dapat diketahui bahwa sikap yang lebih baik pada
pekerjaan buruh/tani yaitu sebanyak 30 orang (38%) dibandingkan sikap
pekerjaan wiraswasta sebanyak 8 orang (10,1%).

40
k. Gambaran Sikap Berdasarkan Umur
Tabel 17 Distribusi Sikap Berdasarkan Umur
Sikap
Baik (%) Cukup Kurang
Umur 17-21 12 (15,1) 2 (2,5) 0
22-27 9 (11,4) 0 0
28-33 17 (21,5) 1 (1,3) 0
34-39 16 (20,2) 1 (1,3) 1 (1,3)
40-45 5 (6,3) 1 (13,) 0
46-51 6 (7,6) 0 0
52-57 0 0 0
58-63 2 (2,5) 1 (1,3) 0
64-69 3 (3,8) 2 (2,5) 0
Total 70 (88,6) 8 (10,1) 1 (1,3)
Sumber: Data Primer, 2018
Tabel 17 diperoleh sikap masyarakat berdasarkan kelompok umur
terhadap POPM schistosomiasis, dapat diketahui bahwa sikap yang lebih
baik pada kelompok umur 28-33 sebanyak 17 orang (21,5%) dibandingkan
sikap pada kelompok umur 58-63 sebanyak 2 orang (2,5%).
B. Pembahasan
Penelitian ini melibatkan responden sebanyak 79 orang yang terdiri dari
perempuan 43 orang (54,4%) dan laki-laki 36 orang (45,6%). Pada bab ini akan
dijelaskan lebih lanjut mengenai gambaran pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) schistosomiasis berdasarkan
karakteristik masyarakat di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi Tengah.
Dari hasil penelitian di dapatkan bahwa masyarakat di Desa Dodolo yang
memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 70 orang (88,6%) dibandingkan
responden yang memiliki pengetahuan yang cukup yaitu 8 orang (10,1) dan kurang

41
baik yaitu 1 orang (1,3). Sedangkan untuk sikap masyarakat dinilai baik sebanyak 51
orang (64,6%) dan untuk nilai cukup sebanyak 28 orang (35,4%). Hal ini dikarenakan
pada saat wawancara pada salah satu responden dan petugas kesehatan mengatakan
bahwa mereka mendapatkan informasi terkait POPM dari penyuluhan petugas
kesehatan serta membagikan kepada masyarakat berupa brosur tentang pencegahan
penyakit schistosomiasis sebelum diadakannya program POPM schistosomiasis juga
mempengaruhi tingkat kesertaan minum obat pada masyarakat. Sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Anis Nurwidayanti (2008) yang mengatakan bahwa
masyarakat yang mengikuti penyuluhan mempunyai pengetahuan yang lebih baik
daripada masyarakat yang tidak mengikuti penyuluhan. Sebagian masyarakat yang
tidak mengikuti penyuluhan mereka diberi tahu tentang POPM dari keluarga mereka
yang datang pada saat penyuluhan. Pengetahuan yang baik serta kesadaran
masyarakat akan pentingnya minum obat pencegahan schistosomiasis, hal ini akan
mencegah terjadinya kenaikan angka kejadian schistosomiasis. Kebanyakan
responden memiliki sikap baik hal ini dikarenakan mereka mempunyai pengetahuan
yang baik terhadap schistosomiasis dan program POPM. Sesuai yang dijelaskan oleh
Notoadmodjo (2007) bahwa sikap yang baik adalah sikap yang didasari oleh
pengetahuan sehingga akan bertahan lebih lama daripada sikap yang tidak didasari
oleh pengetahuan.
Masyarakat di Desa Dodolo kebanyakan memiliki tingkat pendidikan terakhir
Sekolah Dasar (SD) sebanyak 29 orang (36,7%), SLTP sebanyak 17 orang (21,5%),
SLTA sebanyak 27 orang (34,2%), sarjana 2 orang (2,5%) dan tidak sekolah
sebanyak 4 orang (5,1%). Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
jumlah responden yang banyak adalah responden dengan pendidikan Sekolah Dasar
(SD) dan SLTA yang rata-rata memiliki pengetahuan yang baik. Menurut
Notoadmodjo (2007) menjelaskan bahwa pendidikan adalah suatu upaya seseorang
untuk mendapatkan pengetahuan secara formal yang mengajarkan berbagai
pengetahuan. Mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung
memiliki pengetahuan yang baik. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang ada

42
karena masyarakat kebanyakan tamatan Sekolah Dasar yang memperoleh informasi
dari penyuluhan yang diberikan oleh petugas kesehatan. Tidak selamanya seseorang
yang memiliki tingkat pendidikan rendah mempunyai pengetahuan yang kurang.
Pengetahuan masyarakat di Desa Dodolo berdasarkan pekerjaan, didapatkan
hasil bahwa responden yang mengisi kuisioner lebih banyak pada kategori pekerjaan
buruh/tani sebanyak 44 orang (55,7%) yang didalamnya gabungan antara laki-laki
dan perempuan. Hal ini dikarenakan bahwa masyarakat di Desa Dodolo kebanyakan
bekerja sebagai petani. Mereka bekerja di kebun dan sawah yang merupakan daerah
fokus keong sehingga mereka akan selalu terpapar dengan keong Oncomelania
hupensis yang akan mengakibatkan peningkatan angka kejadian
schistosomiasis.Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Anis, N (208) yang
mengatakan bahwa daerah fokus keong merupakan daerah sawah dan kebun tempat
mereka kerja sehingga mereka mudah untuk terinfeksi cacing S. japonicum.
Sikap masyarakat mengenai program POPM schistosomiasis dapat dinilai baik.
Namun, untuk kesadaran mereka masih kurang hal ini dikarenakan kurangnya
dukungan dari berbagai faktor diantaranya faktor lingkungan dan fasilitas. Hal sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih et al (2017) yang mengatakan bahwa
pengetahuan tidak selalu berhubungan dengan perilaku seseorang dalam mencegah
terjangkitnya suatu penyakit dan dengan adanya dukungan baik dari segi fasilitas
kesehatan dan pemahaman maka masayarakat akan berperilaku positif dalam
mencegah penyakit. Salah satu responden yang mengikuti program POPM saat
diwawancara mengatakan bahwa mereka sadar dan tahu ada tempat yang merupakan
fokus keong tetapi mereka tetap pergi ketempat tersebut karena daerah fokus keong
tersebut merupakan kebun, sawah dan rawa tempat mereka bekerja. Mereka
menyadari jika bekerja harus menggunakan alat pelindung diri, tetapi mereka tidak
mengikuti perintah tersebut karena jika menggunakan alat pelindung diri maka
membuat mereka kesusahan dalam bekerja dan juga jika mereka menggunakan alat
pelindung diri seperti sepatu boat di rawa-rawa tidak ada gunanya karena rawa-rawa
yang mereka lewati lebih tinggi dari sepatu boat yaitu diatas lutut mereka. Hal ini

43
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ningsi et al (2017) yang mengatakan bahwa
sebagian besar masyarakat yang bekerja di kebun, sawah dan hutan sangat
menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu boat dikarenakan akan tenggelam di
tanah yang berlumpur.
Masalah lainnya yang mereka hadapi yaitu mereka takut akan efek yang
ditimbulkan serta bau, rasa dan ukuran dari obat praziquantel. Menurut mereka bau
obat praziquantel sangat bau, rasanya yang tidak enak serta ukuran yang besar
membuat mereka takut untuk minum obat. Tetapi masyarakat tetap mengkonsumsi
obat tersebut karena mereka diawasi oleh tenaga kesehatan, bahkan diharuskan
meminum di depan petugas.

44
BAB V
PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang gambaran tingkat pengetahuan dan sikap
masyarakat terhadap POPM schistosomiasis di Desa Dodolo Lembah Napu Sulawesi
Tengah maka disimpulkan bahwa:
1. Pada tingkat pengetahuan masyarakat didapatkan yaitu masyarakat di Desa
Dodolo memiliki pengetahuan yang baik.
2. Pengetahuan masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan lebih banyak pada
tingkat Sekolah Dasar (SD) yaitu 25 orang (32,5%) dan yang paling sedikit pada
tingkat pendidikan sarjana yaitu 2 orang (2,5%)
3. Gambaran sikap masyarakat terhadap program POPM di Desa Dodolo
dikategorikuan dengan sikap baik.
4. Tindakan masyarakat untuk mengkonsumsi obat praziquantel di Desa Dodolo
dinilai baik.
5. Praktek dalam mencegah penyakit schistosomiasis di Desa Dodolo masih buruk
dikarenakan kesadaran masyarakat yang kurang.
b. Saran
Saran dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Dinas Kesehatan
Bagi dinas kesehatan Kota Palu dan instansi kesehatan terkait penanggulangan
penyaki schistosomiasis diharapkan untuk membuat alat pelindung diri bagi
masyarakat yang endemik schistosomiasis yang lebih memadai.
2. Bagi masyarakat
Bagi masyarakat yang berada di daerah endemis schistosomiasis diharapkan
selalu mematuhi peraturan-peraturan yang membuat seseorang terhindar dari
schistosomiasis.

45
3. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjtnya diharapkan bisa melanjutan penelitian ini untuk
menghubungkan antara tingkat pengetahuan dan sikap seseorang dengan ersepsi
masyarakat dan efek samping dari minum obat.

46
DAFTAR PUSTAKA

Azwar. 2012. Sikap Manusia dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Arikunto, S. (2013) Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta : Rineka
Cipta.
Balai LitbangKes P2B2 Donggala. 2014. Data Prevalensi Pada Manusia di Sulawesi
Tengah. Palu
Barakat, Rashida, M.R. 2013. Epidemilogy of Schistosomiasis in Egypt: Travel
Throught Time (Review). Journal of Advanced Research, 4, Issue 5 (425-
432).
CDC. 2018. Schistosomiasis. Diakses 01 Agustus 2018.
http://www.cdc.gov>parasites>schitosomiasis
Ditjen PP & PL Kemenkes. 2010. Program Pengendalian Skistosomiasis. Diakses 01
Agustus 2018.
http://pppl.depkes.go.id/_asset_download/program_pengendalian_Schistomias
is.pdf.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Schistosomiasis Lembah Napu.


DepKes.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Efek Samping Terhadap


Pemberian Obat Anti Schistosomiasis di Lembah Napu Sulawesi Tengah
Kabupaten Poso. DepKes.

Dorland. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 28. Jakarta: EGC

Kemenkes RI. 2018. Roadmap Eradikiasi Penyakit Demam Keong (Schistosomiasi).


Jakarta

Legesse, et al. 2009. Community’s Awareness About Intestinal Schistosomiasis And


The Prevalence Of Invection In Two Endemic Localities Of Ethiopia, Institute
of Pathobiology, vol 19 no2. Diakses 1 Agustus 2018.
http://ejhs.ju.edu.et/admin/volume19num2/SCIIL_Awereness_Revised%20jul
.pdf.

47
Meliono. 2007. Filsafat Ilmu Pengetahuan (Pengetahuan Dalam Kesehatan). Jakarta.
Diakses 01 Agustus 2018. From http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Ningsih et al 2017.Pengetahuan dan Perilaku Kesehatan Masyarakat Lindu Terkait
Skistosomiasis di Kabupaten Sigi sulawesi Tengah Balai LitbangKes P2B2
Donggala. Diakses 01 Agustus 2018. From
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/file/8e10d3b1091622b3404e5292.pdf

Nurwindayanti, Anis. 2008. Kajian Hubungan Antara Daerah Perindukan Keong


Perantara Schistosomiasis Terhadap Kejadian Schistosomiasis di Napu,
Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 2 (1).
http://ejournal.litbang.depkes.go.id

Nurul et al. 2016. Analisis Faktor Kejadian Schistosomiasis Di Desa Puroo


Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi Tahun 2014. Volume 7 No 1.
http://jurnal.untad.ac.id>jurnal>article>view

Olveda, et al. 2013. Bilharzia: Pathology, Diagnosis, Management and Control,


Tropical Medicine & Surgery, volume 1 (4). Diakses 1 Agustus 2018.
http://esciencecentral.org/journals/bilharzia-pathology-diagnosismanagement-
and-contorl-2329-9088,1000135.pdf
Prasetyo, H. 2009. Buku ajar Parasitologi Kedokteran Parasit Usus. Jakarta: Sagung
seto

Rosmini, et al. 2010. Penularan Schistosomiasis Di Desa Dodolo dan Mekarsari


Dataran tinggi Napu Sulawesi Tengah. Media Litbang Kesehatan, vol XX no
3.
Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: CV Sagung Seto.
Sulistin, WA et al. 2015. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakat
tentang Schistosomisasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi Sulawesi

48
Tengah Tahun 2015. Volume 2 no. 2. Jurnal Medika Tadulako. Diakses 1
Agustus 2018.
Fromhttp://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/MedikaTadulako/article/downl
oad/8006/6340

Syah, M. 2012. Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali

Veridiana, NN., Chadijah, S. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Perilaku Masyarakat Dalam Mencegah Penularan Schistosomiasis Di Dua
Desa Di Dataran Tinggi Napu Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah Tahun
2010. Volume 23 nomor 3. Media LitbangKes. Diakses 1 agustus 2018.
From< https://media.neliti.com/.../179947-ID-faktor-faktor-yang-berhubu...>

Visia, V., Sarah, W., Rocky, W., Novie, R. 2013. Gambaran Penyakit Schistosomiasi
ditinjau dari Jarak Antara Rumah Anak yang Terinfeksi dengan Danau Lindu.
Universitas Samratulangi: Manado

WHO.2016. Schistosomiasis and Oother Soil-transmitted Helminthiases: number of people


Treatedin 2015. Geneva: World Health Organization
(http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/251908/1/WER9149_50.pdf?ua=1)

49

Anda mungkin juga menyukai