Anda di halaman 1dari 8

Protein merupakan suatu senyawa organik kompleks dengan berat molekul

tinggi berupa polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu
sama lain dengan ikatan peptida (Matthews et al., 1997). Molekul protein mengandung
karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan kadang kala sulfur serta fosfor. Protein
berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus.
Penyusun dari protein ialah molekul-molekul asam amino.
Enzim adalah biomolekul berupa protein yang berfungsi sebagai katalis dalam
suatu reaksi kimia, terutama reaksi biokimia dalam tubuh organisme. Yang dimaksud
sebagai katalis adalah suatu senyawa yang dapat mempercepat proses reaksi tanpa ikut
bereaksi. Penyusun utama suatu enzim adalah molekul protein yang disebut Apoenzim
(Poedjiadi, 1994). Enzim memerlukan komponen lain yang disebut kofaktor agar dapat
bekerja dengan baik. Kofaktor adalah komponen non-protein berupa ion atau molekul.
Berdasarkan ikatannya, kofatktor dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Gugus Gugus prostetik, merupakan tipe kofaktor yang biasanya terikat kuat pada
enzim, berperan memberi kekuatan tambahan terhadap kerja enzim.
2. Ko-enzim, merupakan kofaktor yang terdiri atas molekul organik non-protein yang
terikat renggang dengan enzim. Ko-enzim berfungsi untuk memindahkan gugus
kimia, atom, atau elektron dari satu enzim ke enzim yang lain. Contohnya, NAD,
NADP+, dan asam tetrahidrofolat.
3. Ion-ion anorganik, merupakan kofaktor yang terikat dengan enzim atau substrat
kompleks sehingga fungsi enzim lebih efektif.
Sebagai biokatalisator, enzim memiliki beberapa sifat antara lain (Martin et al.,
1984):
1. Enzim hanya mengubah kecepatan reaksi, artinya enzim tidak mengubah produk
akhir yang dibentuk atau mempengaruhi keseimbangan reaksi, hanya meningkatkan
laju suatu reaksi.
2. Enzim bekerja secara spesifik, artinya enzim hanya mempengaruhi substrat tertentu
saja.
3. Enzim merupakan protein. Oleh karena itu, enzim memiliki sifat seperti protein,
antara lain bekerja pada suhu optimum, umumnya pada suhu kamar. Enzim akan
kehilangan aktivitasnya karena pH yang terlalu asam atau basa kuat, dan pelarut
organik. Selain itu, panas yang terlalu tinggi akan membuat enzim terdenaturasi
sehingga tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya.
4. Enzim diperlukan dalam jumlah sedikit. Sesuai dengan fungsinya sebagai
katalisator, enzim diperlukan dalam jumlah yang sedikit.
5. Enzim bekerja secara bolak-balik (reversible). Reaksi-reaksi yang dikendalikan
enzim dapat berbalik, artinya enzim tidak menentukan arah reaksi tetapi hanya
mempercepat laju reaksi sehingga tercapai keseimbangan. Enzim dapat
menguraikan suatu senyawa menjadi senyawa-senyawa lain. Atau sebaliknya,
menyusun senyawa-senyawa menjadi senyawa tertentu. Reaksinya dapat
digambarkan sebagai berikut.
6. Enzim dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja
enzim adalah suhu, pH, aktivator (pengaktif), dan inhibitor (penghambat) serta
konsentrasi substrat.
Enzim tertentu dapat bekerja secara optimal pada kondisi tertentu pula.
Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah (Fessenden & Fessenden,
1990):
1. Suhu
Sebagian besar enzim memiliki suhu optimum yang sama dengan suhu normal sel
organisme tersebut. Kenaikan suhu di atas suhu optimum dapat mengakibatkan
peningkatan atau penurunan aktivitas enzim.
2. pH
Seluruh enzim peka terhadap perubahan derajat keasaman (pH). Enzim menjadi
nonaktif bila diperlakukan pada asam atau basa yang sangat kuat. Sebagian besar
enzim dapat bekerja paling efektif pada kisaran pH lingkungan yang agak sempit.
Di luar pH optimum tersebut, kenaikan atau penurunan pH menyebabkan
penurunan aktivitas enzim dengan cepat.
3. Konsentrasi enzim, substrat dan kofaktor
Jika pH dan suhu suatu sistem enzim dalam keadaan konstan serta jumlah substrat
berlebihan, laju reaksi adalah sebanding dengan enzim yang ada. Jika pH, suhu dan
konsentrasi enzim dalam keadaan konstan, reaksi awal hingga batas tertentu
sebanding dengan substrat yang ada.
4. Inhibitor enzim
Inhibitor merupakan substansi yang dapat menurunkan aktivitas enzim. Pada
banyak organisme, inhibitor dapat merupakan bagian dari mekanisme umpan balik.
Jika enzim memproduksi terlalu banyak produk, maka produk tersebut dapat
berperan sebagai inhibitor bagi enzim tersebut. Hal ini akan menyebabkan produksi
produk melambat atau berhenti. Bentuk umpan balik ini adalah umpan balik negatif.
Praktikum kali ini akan berfokus pada enzim yang berasal dari getah buah
pepaya yaitu papain. Dalam getah pepaya, terdapat enzim hidrolase yang bersifat
proteolitik hasil isolasi dari penyadapan getah buah pepaya (Carica papaya, L) yang
terdiri atas 3 jenis yaitu papain, kimopapain, dan lisozim (Winarno, 1995). Papain
tersusun atas 212 residu asam amino yang membentuk sebuah polipeptida rantai
tunggal dengan bobot molekul sebesar. Papain merupakan golongan enzim hidrolase
sistein yang stabil dan aktif pada wide range. Enzim papain mempunyai daya tahan
suhu paling tinggi diantara enzim-enzim proteolitik lainnya. Enzim papain memiliki
kondisi optimum pada suhu 50-60oC dan pH 5-7 (Arief, 1975), memiliki titik
isoelektrik pada pH 8,75 (Goodenough & Owen, 1986) serta memiliki aktifitas
proteolitik antara 70-100 unit/gram. Aktivitas enzim selain dipengaruhi oleh proses
pembuatannya juga dipengaruhi oleh umur dan jenis varietas pepaya yang digunakan.
Protease adalah enzim yang memiliki aktivitas proteolisis (memecah protein).
Papain merupakan salah satu enzim protease. Protease dapat digolongkan menjadi 6
kelompok berdasarkan perbedaan pada sisi aktif katalitik dan kondisi aksinya. Keenam
golongan ini adalah serin protease, threonin protease, sistein protease, asam aspartat
protease, metaloprotease dan asam glutamat protease. Pemanfaatan protease dalam
industri pangan diantaranya adalah untuk mengurangi kekeruhan dalam industri bir,
mengurangi gluten pada industri roti, dan untuk menggumpalkan susu pada industri
keju. Enzim protease dapat diperoleh dari jaringan tanaman, hewan, maupun mikroba.
Metode pemurnian enzim dapat dipilih berdasarkan sifat enzim tersebut sebagai
protein yang memiliki perbedaan dari segi kelarutan, muatan, serta ukurannya
(Lehninger, 1995). Pada praktikum sejauh ini, metode yang digunakan untuk
pemurnian parsial enzim papain yakni dengan prinsip salting out dengan menggunakan
amonium sulfat yang umum digunakan untuk purifikasi protein (Matthews et al., 1999).
Proses ini menggunakan kadar garam tinggi untuk mengendapkan protein, dimana
kelarutan protein akan menurun apabila berada pada kondisi tersebut. Metode ini
merupakan kompetisi antara ion garam dan molekul protein untuk berikatan dengan air.
Oleh sebab itu, pada konsentrasi garam yang tinggi, air akan cenderung terikat dengan
garam dibandingkan dengan molekul protein. Konsentrasi garam yang ditambahkan ke
dalam ekstrak kasar enzim dibuat variatif dan dilakukan pada suhu rendah (Sorensen et
al., 1999). Kondisi suhu rendah mampu meningkatkan presipitasi protein saat
penambahan garam kadar
Pada tahapan presipitasi ekstrak enzim papain dengan kadar garam tinggi
(amonium sulfat), campuran hasil presipitasi akan disentrifugasi sehingga diperoleh
pelet dan supernatan. Bagian supernatan akan dijenuhkan kembali oleh garam kadar
tinggi hingga tahapan tertentu, sedangkan pelet yang diperoleh dilarutkan dalam buffer
pH optimum untuk dianalisa lebih lanjut. Parameter yang akan dianalisa antara lain
nilai aktivitas enzim, aktivitas spesifik, penentuan kadar protein, penentuan yield dan
purification factor.
Dialisis merupakan metode yang umumnya digunakan untuk meningkatkan
kemurnian suatu molekul dalam tahap purifikasi. Dialisis adalah proses perpindahan
molekul terlarut dari suatu campuran larutan yang terjadi akibat difusi pada membran
semi-permeabel. Molekul terlarut yang berukuran lebih kecil dari pori-pori membran
akan keluar, sedangkan molekul lainnya yang lebih besar akan tertahan di dalam
selubung membran. Pemisahan ini perlu dilakukan agar garam-garam anorganik tidak
mengganggu tahap pemurnian enzim selanjutnya. Dialisis dapat dilakukan dengan
menggunakan tabung selofan yang memiliki ukuran pori-pori lebih kecil dari ukuran
protein sehingga protein tidak dapat keluar dari tabung selofan. Pemanfaatan tabung
selofan memiliki beberapa keuntungan antara lain mudah digunakan, harganya relatif
murah dan mudah diperoleh. Laju difusi ditentukan oleh beberapa kondisi antara lain
yaitu konsentrasi molekul pelarut yang akan keluar dari membran dialisis, luas
permukaan membran dialisis, dan volume pelarut yang digunakan.
Buffer digunakan saat dialisis untuk melarutkan senyawa non protein, selain itu
buffer berfungsi menjaga kestabilan pH enzim, karena perubahan pH dapat
mempengaruhi aktivitas enzim dan pH yang ekstrim dapat merusak enzim. Efektivitas
buffer dipengaruhi oleh konsentrasi dan bahan penyusun buffer.
Dalam praktikum ini, dialisis digunakan untuk menghilangkan molekul garam
berupa amonium sulfat, sebelum dilanjutkan dalam proses pemurnian berikutnya
ataupun pada tahap akhir pemurnian. Langkah pertama yaitu larutan sampel
dimasukkan ke dalam tabung dialisis (selofan) yang sebelumnya telah dicuci dengan
larutan 10 mM NaHCO3 dan 1 mM EDTA pH 8. NaHCO3 berfungsi untuk mengubah
ukuran pori tabung selofan menjadi lebih kecil ketika proses pendidihan, karena tabung
selofan akan memuai selama proses Dalam praktikum ini, dialisis digunakan untuk
menghilangkan molekul garam berupa amonium sulfat, sebelum dilanjutkan dalam
proses pemurnian berikutnya ataupun pada tahap akhir pemurnian. Langkah pertama
yaitu larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung dialisis (selofan) yang sebelumnya
telah dicuci dengan larutan 10 mM NaHCO3 dan 1 mM EDTA pH 8. NaHCO3
berfungsi untuk mengubah ukuran pori tabung selofan menjadi lebih kecil ketika proses
pendidihan, karena tabung selofan akan memuai selama proses berlangsung. EDTA
berfungsi untuk menghilangkan pengotor berupa senyawa logam yang dapat
mengganggu proses dialisis, dimana senyawa logam tersebut dapat menjadi inhibitor
enzim yang berakibat pada penurunan aktivitas enzim tersebut.
Selama proses preparasi dialisis, praktikan harus selalu menggunakan sarung
tangan karena tabung dialisis bersifat sensitif terhadap protein, lemak, dan senyawa-
senyawa lain yang terdapat pada tangan sehingga selofan tidak akan berfungsi secara
optimal. Pada tahapan dialisis, larutan sampel yang telah dimasukkan ke dalam tabung
selofan kemudian direndam buffer pH optimum yang kemudian diaduk terus-menerus
pada suhu rendah (+ 4oC). Penggunaan suhu rendah ini dikarenakan protein bersifat
termolabil, dimana perubahan suhu dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi,
dan proses pengadukan akan meningkatkan suhu karena adanya gerak yang dilakukan.
Pengadukan bertujuan untuk menyebarkan ion-ion pada buffer secara merata agar
transfer molekul dari larutan hipertonik (dalam selofan) ke larutan hipotonik (dalam
buffer) terjadi sehingga ada kesetimbangan konsentrasi yang terjadi. Namun perlu
diperhatikan agar kecepatan stirrer tidak terlalu tinggi, karena jika terlalu tinggi maka
protein-protein dapat terdenaturasi.
Elektroforesis merupakan teknik pemisahan fraksi zat berdasarkan migrasi
partikel bermuatan di bawah pengaruh medan listrik karena adanya perbedaan ukuran,
bentuk, muatan, dan sifat kimia molekul. Teknik ini dapat digunakan untuk menentukan
bobot molekul protein, tingkat kemurnian, kerusakan protein, menetapkan titik
isoelektrik protein, dan memisahkan partikel molekular yang berbeda-beda secara
kuantitatif dan kualitatif. Secara umum metode yang banyak digunakan untuk
menentukan bobot molekul enzim yaitu sodium deodecyl sulphate polyacrilamide gel
electrophoresis (SDS-PAGE).
Metode ini sering digunakan untuk menentukan berat molekul suatu protein
disamping untuk memonitor pemurnian protein (Wilson & Walker, 2000). SDS-PAGE
dilakukan terhadap protein tak larut dengan kekuatan ion rendah dan dapat menentukan
apakah suatu protein termasuk monomerik atau oligomerik, menetapkan berat molekul
dan jumlah rantai polipeptida sebagai subunit atau monomer. Penggunaan SDS-PAGE
bertujuan untuk memberikan muatan negatif pada protein yang akan dianalisa. Protein
yang terdenaturasi sempurna akan mengikat SDS dalam jumlah yang setara dengan
berat molekul protein tersebut (Dunn, 1989). Denaturasi protein dilakukan dengan
mendidihkan sampel dalam buffer yang mengandung β-merkaptoetanol (berfungsi
untuk mereduksi ikatan disulfida), gliserol dan SDS (Wilson & Walker, 2000).
Muatan asli protein akan digantikan oleh muatan negatif dari anion yang terikat
sehingga kompleks protein-SDS memiliki rasio muatan per berat molekul yang konstan
(Hames & Hooper, 2000). Sampel-sampel enzim yang diinjeksikan ke dalam sumur gel
diberi warna dengan bromphenol biru yang dapat terionisasi. Fungsi pewarna adalah
untuk membantu memonitor jalannya elektroforesis. Berat molekul protein dapat
diketahui dengan membandingkan Rf protein dengan protein standar yang berat
molekulnya telah diketahui (Wilson & Walker, 2000). Keuntungan menggunakan
metode SDS-PAGE yaitu memiliki kapasitas pemisahan yang tinggi, waktu analisis
yang cepat, dan dapat mendeteksi semua protein pada sampel. Kekurangan metode
SDS-PAGE yaitu tidak dapat memperlihatkan daya katalitik enzim dan tidak dapat
membedakan protein kontaminan dari kelas yang sama.
Kromatografi pertukaran ion atau Ion-Exchanger Chromatography (IEC)
memiliki dasar interaksi ionik atau elektrostatik antara ion dan analit polar dimana ion
berada pada eluen dan gugus fungsinya akan terikat dengan kolom kromatografi. Ion
analit yang dapat menempel pada kolon diarenakan adanya kompetisi ikatan ionik,
sedangkan ion yang tidak dapat menempel dikarenakan muatan ion sama dengan ion
yang berada pada resin atau kolom kromatografi (Bhattacharyya & Rohrer, 2012).
Kromatografi IEC merupakan teknik adsorpsi yang paling banyak digunakan untuk
memisahkan peptida, protein, asam nukleat, dan biopolimer yang memiliki muatan
tertentu dengan ukuran dan sifat molekul yang berbeda. (Okada, 1998). Prinsipnya
adalah pembentukan ikatan ionik antara gugus ionik biomolekul dan ion yang berada
pada kolom yang memiliki muatan ion yang berbeda (Stanton, 2004). Masing-masing
biomolekul akan menunjukkan tingkat interaksi yang berbeda dengan media
kromatografinya tergantung dari muatan yang dimiliki (Grodzki & Berenstein, 2010).
Pengujian kadar protein dengan metode Bradford adalah suatu metode dengan
pewarnaan protein yang didasarkan pada pengukuran spektrofotometetri. Kompleks
biru yang dideteksi terjadi akibat commasie yang mengikat protein dengan cara melepas
elektron bebas dari pewarna merah commasie yang mempengaruhi lapisan hidrofobik
protein. Lapisan hidrofobik ini mengikat wilayah non-polar dari pewarna melalui gaya
Van Der Walls sehingga posisi amina positif tertarik pada muatan negatif dari pewarna
tersebut. Jumlah protein yang mengompleks merupakan ukuran untuk menentukan
konsentrasi protein dengan membaca absorbansinya pada panjang gelombang 595nm.
Hal ini dikarenakan pada panjang gelombang 595 nm absorbansi sebanding dengan
pewarna yang terikat pada protein (Bradford, 1976).
Aktivitas enzim tergolong dalam reaksi yang bersifat mikro, sehingga
pengamatan aktivitasnya tidak dapat dilakukan secara kasat mata. Adapun aktivitas
enzim ini dapat diuji dengan menggunakan beberapa metode bergantung pada substrat
enzim tersebut. Enzim papain ini tergolong sebagai enzim protease, sehingga substrat
yang sesuai yaitu berupa molekul protein. Oleh sebab itu metode Casein assay dapat
digunakan untuk mengetahui aktivitas dari setiap tahapan purifikasi ekstrak enzim
papain.
Casein assay mengukur besar aktivitas enzim dengan cara mengukur
banyaknya tirosin yang terdapat pada protease tersebut. Tirosin digunakan karena
keberadaan cincin aromatisnya yang dapat terdeteksi dengan metode spektrofotometri
UV. Awalnya sampel dicampur dengan buffer pH optimum. Buffer pH optimum ini
berdasarkan hasil karakterisasi pH yang juga didasarkan pada pengukuran dengan
Casein assay. Setelah penambahan buffer, untuk sampel kemudian ditambahkan kasein
lalu diinkubasi pada suhu tertentu selama 30 menit. Proses inkubasi bertujuan untuk
aktivasi protease dalam menguraikan kasein. Setelah diinkubasi, larutan TCA
(TriChloroAcetate) kemudian ditambahkan ke dalam campuran untuk menghentikan
proses aktivitas yang terjadi.
Pada uji ini diperlukan blanko yang dibuat dengan cara menambahkan kasein
dan buffer pH optimum kemudian diinkubasi lalu ditambahkan TCA dan protease.
Penambahan TCA akan menyebabkan kasein terdenaturasi akibat terbentuknya suasana
asam dan membentuk kompleks berwarna putih, dimana kemudian tirosin dipisahkan
dari komponen lain dengan menggunakan metode sentrifugasi. Kasein yang memiliki
berat jenis besar akan mengendap membentuk pelet, dimana kemudian tirosin, enzim,
dan buffer akan terdapat pada supernatan. Supernatan inilah yang kemudian diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 275 nm yang merupakan serapan maksimum
dari tirosin.
Berdasarkan teorinya, nilai aktivitas enzim seharusnya bersifat tetap selama
proses pemurnian protein, sedangkan nilai aktivitas spesifik akan bertambah. Hal ini
dikarenakan untuk aktivitas total, yang diukur hanya enzim dan tirosin saja, dimana
kemampuan enzim untuk membentuk produk dari substrat tirosin seharusnya tidak
berkurang maupun bertambah. Sedangkan nilai aktivitas spesifik akan mengukur
berdasarkan berat protein, dimana semakin murni proteinnya, berarti berat pengotor
akan berkurang, dan nilai aktivitas spesifik akan bertambah. Nilai aktivitas enzim dapat
berkurang adalah karena adanya enzim yang terbuang selama proses pemurnian
maupun kondisi yang kurang optimal, sehingga ada enzim yang terdenaturasi selama
proses berlangsung.
Tingkat kemurnian enzim dapat diketahui dengan melihat aktivitas spesifiknya.
Aktivitas spesifik suatu enzim didefinisikan sebagai mol produk yang dihasilkan per
unit waktu per unit massa enzim yang dapat dirumuskan sebagai:
Nilai aktivitas spesifik diperoleh dari pembagian aktivitas enzim dengan massa
enzim yang ada. Nilai purification factor menggambarkan seberapa murni enzim yang
diperoleh pada tahapan tertentu.

Yield dapat diartikan sebagai jumlah protein yang tersisa setelah

Anda mungkin juga menyukai