Anda di halaman 1dari 47

IMPLEMENTASI PEMBERIAN OBAT SECARA

BENAR SESUAI SPO DI STROKE UNIT /


INTERMEDIATE CARE RUMAH SAKIT
SANTO BORROMEUS BANDUNG

DISUSUN OLEH
MARIA KATHARINA ANDRIYANI PAREIRA

RS.SANTO BORROMEUS BANDUNG


JL.IR.H.DJUANDA 100
2016
JUDUL : IMPLEMENTASI PEMBERIAN OBAT SECARA
BENAR SESUAI SPO DI RUANG STROKE
UNIT / INTERMEDIATE CARE
PENYUSUN : MARIA KATHARINA ANDRIYANI PAREIRA
NIK : 1979.02.022

Bandung, November 2015


Mengetahui

Ketua Komite Keperawatan Direktur Keperawatan

Ns. Sr.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat rahmat serta
kasihnya yang telah diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis
ilmiah ini. Karya tulis ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam kenaikan
golongan IIIA di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.
Selama proses penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis mendapat banyak
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak.Pada kesempatan ini
perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada yang terhormat ;
1. Sr. selaku Direktur Keperawatan Rumah Sakit Santo
Borromeus Bandung.
2. Ibu Ns.Nanis Sri Sutatik,SKep selaku Ketua Komite Keperawatan Rumah
Sakit Santo Borromeus Bandung yang telah memberikan arahan dan
bimbingan dalam penyusunan karya tulis ini.
3. Bpk.Agus Rustam B,Skep Selaku Kepala bagian Stroke unit/ Intermediate
care Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.
4. Ibu Zelly Reyes,SKep Selaku Pembimbing Praktek Bagian Stroke unit/
Intermediate care.
Karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu dengan
kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan
selanjutnya. Akhirnya dukungan, bantuan, bimbingan,dan kasih yang diberikan
kepada penulis menambah berkat dan anugrah yang melimpah dari Tuhan Yang
Maha Kuasa.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang.
Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis
obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staff rumah
sakit yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya
kesalahan medis(medical error) menurut institute of medicine (1999) medical
error didefinisikan sebagai: the failure of a planned action to be completed as
interded or the use of a wrong plan to artieve on wire. Artinya kesalahan
medis didefinisikan sebagai: suatu kegagalan tindakan medis yang telah
direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan, yaitu:
tindakan tindakan atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan ,
yaitu kesalahan perencanaan , kesalahan yang terjadi dalam proses usaha
medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada
pasien, bisa berupa kejadian tidak diharapkan/KTD.
Kejadian nyaris cidera merupakan suatu kejadian akibat pelaksanaan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil,
yang dapat mencederai pasien, tetapi cidera serius tidak terjadi , misalnya:
pasien terima obat kontraindikasi tetapi tidak timbul reaksi obat, pencegahan
suatu obat dengan overdosis letral akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui
dan membatalkannya sebelum obat diberikan.
Adverse event atau kejadian tidak diharapkan (KTD) merupakan suatu
kejadian yang mengakibatkan cidera yang tidak diharapkan pada pasien
karena suatu tindakan (convission) atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil covission dan tindakan karena “underlying discare” atau
kondisi pasien .
Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnosa seperti
kesalahan atau keterlambatan diagnosa menerapkan pemeriksaan yang
sesuai menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak
bertindak, atau hasil pemeriksaan (observasi) tahap pengobatan seperti
kesalahan pada prosedur pengobatan, pelaksanaan terapi , metode
penggunaan obat dan keterlambatan merespon hasil pemeriksaan yang tidak
layak, tahap preventive seperti tidak memberikan terapi provilaktik serta
monitor dan follow up yang tidak akurat atau pada hal teknis yang lain
terjadi kegagalan berkoordinasi , kegagalan alat atau sistem yang lain.
Pada November 1999 the American Hospital Asosiation (AKA) bour
of trustees mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan kenyamanan pasien
(patient safety) merupakan suatu prioritas strategi, mereka juga menetapkan
capaian-capaian peningkatan yang tertentu untuk medication safety sebagai
target utamanya. Tahun 2000, Institute of medicine, Amerika Serikat dalam
‘To Err is Human’ Building a safer Health system, melaporkan bahwa dalam
pelayanan pasien rawat inap di RS ada sekitar 3 – 16 persen kejadian tak
diharapkan / KTD.
Menindaklanjuti penemuan ini,tahun 2004,WHO mencanangkan
World Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai Negara
untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit.
DI Indonesia telah dikeluarkan pula KepMen no.496 / MenKes / SK /
2005 tentang pedoman audit medis di rumah sakit,yang tujuan utamanya
adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh
dari medical error dan memberikan keselamatan bagi pasien Perkembangan
ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia [PERSI] yang
berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah
sakit untuk lebih memperhatikan keselamatan pasien di rumah sakit.
Mempertimbangkan betapa pentingnya misi rumah sakit untuk
mampu memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik terhadap pasien
mengharuskan rumah sakit untuk berusaha mengurangi medical error sebagai
bagian dari penghargaannya terhadap kemanusiaan, maka dikembangkan
system patient safety yang dirancang mampu menjawab permasalahan yang
ada.

KTC :KPC :KTC :KPC : di bagian SU-IC


Di bulan September 2015 dengan jumlah 62,50%
Di bulan Mei 2015 dengan jumlah 75%
Di bulan Maret 2015dengan jumlah 75%
Untuk meningkatkan kualitas kerja dan keselamatan pasien dari ruangan Stroke
Unit / Intermediate maka penulis merasa tertarik dan penting untukdiangkat dalam
sebuah karya penulisan ini

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Tujuan umum penulisan makalah ini untuk mengetahui dan
memahami teori dan implementasi pemberian obat secara benar sesuai
SPO di ruang SU / IC RS Santo Borromeus Bandung dalam
meningkatkan pelayanan keperawatan.

2. Tujuan khusus ;
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS khususnya ruang
SU / IC
b. Meningkatnya akuntabilitas RS khususnya ruang SU / IC
c. Menurunnya KTD di RS khususnya ruang SU / IC
d. Terlaksananya program program dan pencegahan sehingga tidak
terjadi pengulangan KTD

C. Manfaat penulisan
Manfaat penulisan ini dapat digunakan sebagai tambahan dalam
meningkatkan wawasan tentang implementasi pemberian obat secara benar
sesuai SPO.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Patient Safety Pengertian


Patient safety atau keselamatan pasien adalah suatu system yang
membuat asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman Sistem ini
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil meliputi :
1. Assesmen resiko
2. Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien
3. Pelaporan dan analisa insiden
4. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan pencegahan terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan / tidak mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan
Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan
kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi
umumnya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja.
Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau
justru luput dari perhatian kita semua.
Faktor-faktor yang mempengaruhi performa dan penerapan patient safety
di rumah sakit adalah sebagai berikut:
1. Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah diakui sebagai hal penting dalam
menentukan arah organisasi, mengembangkan budaya, memastikan
pelayanan dan mempertahankan organisasi yang efektif.
Pemimpin mengubah keadaan dengan terlebih dahulu memeriksa
situasi saat ini, melihat ke depan untuk kemungkinan masa depan dan
mengenali area untuk perbaikan. Mereka kemudian menciptakan sistem
baru atau mengubah sistem dalam hal perbaikan. Kebanyakan sistem
yang sistematis membahas masalah keselamatan pasien dan peningkatan
kualitas telah mengidentifikasi peran penting bagi kepemimpinan di
bidang keselamatan pasien dan kualitas pelayanan. Kunci peran
kepemimpinan di tingkat nasional untuk keselamatan pasien adalah
pengetahuan, pengembangan dan pembelajaran dan promosi praktek yang
baik yang telah ditugaskan, baik dalam lembaga nasional atau sebuah
rumah sakit (The Comission on Patient Safety and Quality Assurance of
Irlandia, 2008).
Dasar dari perubahan organisasi untuk budaya patient safety,
komitmen pemimpin merupakan elemen yang sangat penting dalam usaha
untuk meningkatkan mutu dan safety. Pemimpin harus mempromosikan
patient safety sebagai inti dari partisipasi pada aktivitas patient safety.
Pemimpin harus melakukan perubahan seperti melakukan
perubahan seperti kebijakan melaporkan tindakan kesalahan tanpa
hukuman dan merahasiakan pelapor (Bates, Gandhi & Frankel, 2003).
Jajaran direksi, manajer, dan ketua pelayanan klinis bersama-sama
dengan serius, visible dan komitmen tinggi harus membuat sistem
pelayanan yang konsisten bermutu tinggi. Komitmen tersebut dapat
dimulai membuat tujuan dan misi rumah sakit serta strategi yang
diterapkan sesuai dengan peningkatan kualitas dan safety (Kovner dan
Neuhauser, 2004).

2. Individu
Ada tiga dimensi penting tenaga kesehatan professional yang
harus dinilai dalam organisasi untuk meningkatkan safety dan mutu.
Pertama, pemimpin harus memastikan bahwa menempatkan pekerja
dengan benar agar performa kerja yang dihasilkan sesuai dengan tujuan.
Kedua, pemimpin harus memastikan pekerja yang dimiliki mempunyai
keterampilan untuk menjalankan fungsinya sehingga pelayanan yang
diberikan bermutu dan safety. Rumah sakit harus dapat mengadakan
pendidikan berkelanjutan untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan para staf. Ketiga, rumah sakit membutuhkan tim yang dapat
bekerja secara efektif. Kerjasama tim berarti setiap anggota mengetahui
bahwa dirinya adalah tim, mengetahui tugas dan tanggung jawabnya
dalam tim, dan dapat saling membantu dalam tim (Kovner dan
Neuhauser, 2004).
a. Pengetahuan Perawat tentang Patient Safety
Menurut Notoatmodjo, (2003) pengetahuan adalah hasil dari tahu
dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Pengetahuan tentang patients safety atau kognitif
tentang patients safety mencakup ingatan mengenai hal-hal yang
pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (overt behavior).
Pengetahuan perawat tentang patient safety sangat penting untuk
mendorong pelaksanaan program patient safety. perawat harus
mengetahui pengertian patient safety, unsur-unsur yang ada dalam
patient safety, tujuan patient safety, upaya patient safety serta
perlindungan diri selama kerja. Program patient safety merupakan
suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.
Di dalam sistem tersebut meliputi penilaian risiko seperti risiko jatuh
atau infeksi silang, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden atau kejadian
tidak diharapkan, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya
risiko (DepKes RI, 2006).
Program patient safety tersebut diharapkan dapat mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang
seharusnya dilakukan dan meningkatkan pertanggungjawaban rumah
sakit terhadap pelayanan yang diberikan kepada pasien (DepKes RI,
2006).
b. Sikap Perawat tentang Patient Safety
Sikap dapat dianggap suatu predisposisi umum untuk berespon
atau bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu obyek atau
orang disertai emosi positif atau negatif. Dengan kata lain, sikap perlu
penilaian, ada penilaian positif, negatif dan netral tanpa reaksi afektif
apapun (Maramis, 2009).
Berkaitan dengan pengertian diatas pada umumnya pendapat yang
banyak diikuti ialah bahwa sikap itu mengandung tiga komponen yang
membentuk struktur sikap, yaitu komponen kognitif, yaitu komponen
yang berisikan informasi yang dimiliki seseorang tentang orang lain
atau benda (objek dari sikapnya); komponen afektif, yaitu komponen
yang berisikan perasaan-perasaan seseorang terhadap suatu objek; dan
komponen perilaku, yaitu komponen yang berisikan cara yang
direncanakan seseorang untuk bertindak atau berperilaku terhadap
objek (Muchlas, 2008).
Perawat harus menunjukkan sikap yang positif dalam mendukung
program patient safety sehingga melaksanakan praktik keperawatan
secara aman. Sikap mendukung pencegahan penularan penyakit.
Mencuci tangan adalah salah satu komponen precaution standard
yang efektif dalam mencegah transmisi infeksi. Selain itu penggunaan
alat pelindung diri seperti sarung tangan dan masker untuk mencegah
risiko kontak dengan pathogen (WHO, 2007).
Kerja sama tim sangat dibutuhkan dalam peningkatan keselamatan
pasien. Prisip komunikasi terbuka antar tenaga kesehatan dalam
praktik professional. Adanya mekanisme monitor dan evaluasi
terhadap implementasi pelayanan yang diberikan kepada pasien.
Prinsip komunikasi terbuka tenaga kesehatan juga dengan pasien dan
keluarganya bila ada risiko atau kejadian yang tidak diharapkan.
Pasien berhak mendapat dukungan dan perlindungan bila terjadi
kejadian tidak diharapkan. Rumah sakit harus memastikan ada
program konseling kepada pasien dan juga keluarganya setelah terjadi
kejadian tidak diharapkan (The Comission on Patient Safety and
Quality Assurance of Irlandia, 2008).
3. Budaya
Perubaha n budaya adal ah semboyan baru dalam patient safety.
Tujuan utama dalam perubahan budaya adalah transparansi sistem, yang
didefinisikan sebagai kesediaan penyedia dan pasien untuk secara terbuka
dan nyaman mengekspresikan keprihatinan mereka tentang pemberian
perawatan dengan cara mengidentifikasi kekurangan dan mengarah ke
penghapusan kesalahan, mitigasi, atau manajemen yang tepat. Perubahan
budaya, dan peningkata n dalam I dentifikasi hal itu penting dalam rangka
untuk kemudian dapat mengidentifikasi dan memperbaiki sistem
perawatan (Bates, Gandhi & Frankel, 2003).
Dalam arti negatif masalah budaya merujuk pada profesional dan
sikap dan perilaku yang organisasi biasanya ditandai dengan resistensi
terhadap intervensi dengan otonomi klinis dan kemampuan manajerial,
dan antipati terhadap perubahan. Sebaliknya, budaya keselamatan suatu
organisasi dapat digambarkan sebagai produk dari nilai-nilai individu dan
kelompok, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang menentukan
komitmen untuk, dan gaya dan kemampuan dari suatu organisasi
manajemen kesehatan dan manajemen keselamatan. Organisasi dengan
budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh komunikasi saling percaya,
oleh persepsi bersama pentingnya keselamatan, dan oleh kepercayaan
dalam keberhasilan langkah-langkah pencegahan (The Comission on
Patient Safety and Quality Assurance of Irlandia, 2008).
Program patient safety dengan jelas didefinisikan dalam tujuan,
personel rumah sakit, dan anggaran. Yang melatar belakangi budaya
patient safety adalah pembelajaran lingkungan tentang masalah kualitas
dan safety pelayanan. Pembelajaran lingkungan ini harus didukung oleh
semua sumber daya yang ada untuk memonitor dan mengevaluasi error
atau ketidaksesuaian dalam pemberian pelayanan. Hal ini akan
memerlukan komunikasi antar staf, termasuk pelaporan error atau
kesalahan, kondisi bahaya, atau kendala lain dalam mutu pelayanan. Hal
ini juga akan memunculkan inovasi dan pembelajaran bersama melalui
kolaborasi dan pembandingan (Kovner dan Neuhauser, 2004).

4. Infrastruktur
Dua elemen penting untuk peningkatan safety dan mutu adalah
disain proses pelayanan dan ketersediaan infrastruktur informasi.
Pekerjaan dapat dirancang untuk menghindari ketergantungan pada
memori dengan menggunakan fungsi yang memandu pengguna untuk
tindakan yang tepat atau keputusan berikutnya, penataan tugas penting
sehingga kesalahan tidak dapat dibuat, menyederhanakan proses dan
standarisasi proses kerja di seluruh unit yang ada (Kovner dan Neuhauser,
2004).
Informasi berkualitas tinggi harus menjadi inti dari pengambilan
keputusan kesehatan di semua tingkat, dari perawatan pasien individu
untuk perencanaan dan pengelolaan pelayanan di tingkat lokal dan
nasional. Namun, akses ke informasi dalam kesehatan sering terbatas dan
terfragmentasi. Catatan pasien di banyak daerah perawatan yang berbasis
kertas atau, jika komputerisasi, yang dalam format yang tidak dapat dibagi
dengan mudah antara penyedia layanan. Informasi manajemen
dikumpulkan dalam kesehatan biasanya untuk tujuan keuangan atau
administrasi bukannya diarahkan pada hasil perawatan klinis dan
keselamatan dan kualitas pelayanan (The Comission on Patient Safety and
Quality Assurance of Irlandia, 2008).

5. Lingkungan
Tidak mungkin untuk mempertimbangkan konsep perawatan yang
aman dan efektif yang diberikan oleh tenaga kesehatan profesional dalam
isolasi dari lingkungan fisik dan pengaturan di mana perawatan diberikan.
Dalam pencegahan infeksi, desain lingkungan perawatan pasien harus
memenuhi persyaratan aman, perawatan berkualitas tinggi dengan
mempertimbangkan hal berikut (The Comission on Patient Safety and
Quality Assurance of Irlandia, 2008):
a. Memaksimalkan kenyamanan dan martabat pasien.
b. Menjamin kemudahan pelaksanaan perawatan profesional.
c. Membuat ketentuan yang sesuai untuk anggota keluarga dan
pengunjung.
d. Meminimalkan risiko infeksi.
e. Meminimalkan risiko efek samping lain seperti jatuh atau kesalahan
pengobatan.
f. Mengelola transportasi pasien.
g. Memungkinkan untuk fleksibilitas penggunaan dari waktu ke waktu
dan persyaratan perencanaan pelayanan selanjutnya.

B. Langkah-Langkah Patient Safety


Pelaksanaan patient safety meliputi:
1. Sembilan solusi keselamatan Pasien di RS yaitu (Daud, 2007) :
a. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-
alike medication names).
Nama obat yang mirip dan membingungkan merupakan
salah satu penyebab terjadinya kesalahan obat. Rekomendasinya
adalah memperbaiki penulisan resep dengan cara memperbaiki
tulisan tangan atau membuat resep elektronik. Obat yang ditulis
adalah nama dagang dan nama generik, dosis, kekuatan, petunjuk
pemakaian, dan indikasinya untuk membedakan nama obat yang
terdengar atau terlihat mirip.
b. Pastikan identifikasi pasien.
Cek ulang secara detail identifikasi pasien untuk
memastikan pasien yang benar sebelum dilakukan tindakan.
Libatkan pasien dalam proses identifikasi. Pada pasien koma,
kembangkan Standar Prosedur Operasional (SPO) pendekatan non-
verbal biometric.
c. Komunikasi secara benar saat serah terima pasien.
Alokasi waktu yang cukup pada petugas untuk bertanya dan
memberi respon. Repeat back dan read back yaitu penerima
informasi membacakan ulang informasi yang telah ditulisnya
untuk memastikan bahwa informasi telah diterima secara benar.
d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar.
Verifikasi pada tahap pre-prosedur untuk pasien yang
dimaksud, prosedur, sisi dan jika ada implant atau protesis. Tugas
petugas dalam memberikan tanda agar tidak terjadi salah persepsi
serta harus melibatkan pasien. Melakukan time out pada semua
petugas sebelum memulai prosedur.
e. Kendalikan cairan elektrolit pekat.
Memonitor, meresepkan, menyiapkan, mendistribusi,
memverifikasi, dan memberikan cairan pekat seperti Potasium
Chloride (KCL) sesuai rencana agar tidak terjadi KTD.
Standarisasi dosis, unit pengukuran, dan terminology merupakan
hal yang penting dalam penggunaan cairan pekat. Hindari
pencampuran antar cairan pekat.
f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan.
Kesalahan yang sering timbul adalah saat peresepan dan
pemberian obat. Rekonsiliasi obat adalah salah suatu proses yang
dirancang untuk mencegah kesalahan pemberian obat saat
pengalihan pasien.
g. Hindari salah kateter dan salah sambung slang.
Solusi terbaik adalah mendesain alat yang mencegah salah
sambung dan tepat digunakan untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang baik.

h. Gunakan alat injeksi sekali pakai.


Salah satu kekhawatiran adalah tersebarnya virus HIV,
virus hepatitis B, virus hepatitis C akibat penggunaan jarum suntik
yang berulang. Kembangkan program pelatihan untuk petugas
kesehatan mengenai prinsip pengendalian infeksi, penyuntikan
yang aman, dan manajemen limbah benda tajam.
i. Tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi
nosokomial.
Bukti nyata bahwa kebersihan tangan dapat menurunkan
insiden infeksi nosokomial. Kebijakan yang mendukung adalah
tersedianya air secara terus menerus dan tersedianya cairan cuci
tangan yang mengandung alkohol pada titik-titik pelayanan
pasien.

2. Tujuh langkah menuju keselamatan pasien RS sebagai panduan bagi


staf Rumah Sakit (DepKes RI, 2006):
a. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, ciptakan
kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
b. Pimpin dan dukung staf RS, bangunlah komitmen dan fokus yang
kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di RS.
c. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, kembangkan sistem dan
proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan penilaian
hal yang potensial bermasalah.
d. Kembangkan sistem pelaporan, pastikan staf dapat dengan mudah
melaporkan kejadian/insiden, serta RS mengatur pelaporan kepada
KKP-RS.
e. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, kembangkan cara-cara
komunikasi yang terbuka dengan pasien.
f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien,
dorong staf untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar
bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul.
g. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien,
gunakan informasi yang ada tentang kejadian/ masalah untuk
melakukan perubahan pada sistem pelayanan.

Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah


suatu organisasi yang sangat komplek karena padat modal, padat
teknologi, padat karya, padat profesi, padat sistem, dan padat mutu serta
padat resiko sehingga tidak mengejutkan bila kejadian tidak diinginkan
(KTD = adverse event) akan sering terjadi dan akan berakibat pada
terjadinya injuri atau kematian pada pasien. KTD adalah suatu kejadian
yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena
suatu tindakan (commission) atau karena tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil (omission) dan bukan karena under lying disease atau
kondisi pasien.
KTD dapat ditinjau dari berbagai faktor, salah satunya ditinjau dari
faktor konstitusi. Untuk menjalankan konstitusi tersebut, pemerintah
merupakan institusi pertama yang harus melakukannya. Hal tersebut dapat
dilihat dari adanya berbagai program Jaminan Pelayanan Kesehatan
Masyarakat diantaranya Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Miskin oleh pemerintah pusat yaitu Jamkesmas, disusul oleh Jamkesda
yang menggunakan dana APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah)
untuk menjamin kesehatan masyarakat di daerah masing-masing sesuai
dengan kebijakan pemerintah daerahnya.
Contoh kejadian tidak diinginkan ditinjau dari segi konstitusi ini
adalah pelayanan kesehatan bagi masyarakat suku terpencil atau
pedalaman yang menderita penyakit tumor atau penyakit yang
memerlukan tindakan yang tidak tersedia di sarana pelayanan dasar
ataupun sarana pelayanan rujukan tingkat pertama sehingga perlu dirujuk
ke rumah sakit yang lebih lengkap sarana atau alat-alat kesehatan dan
tenaga spesialisnya. Namun karena pasien tersebut tidak mempunyai kartu
Jamkesmas, yang artinya pasien tersebut bukanlah peserta Jamkesmas,
maka karena kendala dana pasien tersebut tidak dapat dirujuk dan tidak
mendapatkan tindakan medik yang semestinya sehingga dapat
menyebabkan kejadian yang tidak diinginkn (KTD). Padahal menurut
konstitusi yang berlaku, setiap orang berhak mendapatkan pelayanan
kesehatan secara maksimal.
Secara yuridis kesepakatan ini melahirkan hak dan kewajiban pada
masing-masing pihak dan harus dilaksanakan sebagaimana telah
diperjanjikan. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya
atau bertindak di luar apa yang telah diperjanjikan, pihak yang dirugikan
dapat mengajukan tuntutan ganti rugi. Kerugian yang timbul tersebut
merupakan suatu Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) dalam
pemberian pelayanan kesehatan Near Miss atau Nyaris Cedera (NC)
merupakan suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan
(commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak
terjadi, karena keberuntungan (misalnya,pasien terima suatu obat kontra
indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), pencegahan (suatu obat dengan
overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan
membatalkannya sebelum obat diberikan), dan peringanan (suatu obat
dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan
antidotenya).
3. Obat-obatan yang Perlu Mendapat Perhatian Tinggi / High-Alert
Medications
Standar Akreditasi RS 2012 SKP.3 / JCI IPSG.3 mensyaratkan agar
rumah sakit meningkatkan aspek keselamatan pada obat-obatan yang
perlu mendapat perhatian tinggi. Yang masuk kriteria ini adalah : obat-
obatan yang sering terlibat dalam kesalahan dan atau kejadian
sentinel, obat obatan yang memiliki risiko lebih tinggi jika terjadi
kesalahan, juga obat-obatan yang nama obat, rupa, dan ucapannya mirip
(NORUM).Obat-obatan yang sering terlibat dalam kesalahan dan atau
kejadian sentinel serta sering diberitakan misalnya adalah pemberian
elektrolit konsentrasi tinggi secara tidak disengaja (contoh: kalium
klorida 2 mEq/ml atau lebih, kalium fosfat 3 mmol/ml atau lebih,
natrium klorida lebih dari 0.9%, dan magnesium sulfat 50% atau
lebih).
Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau menghilangkan
kejadian ini adalah menyusun proses pengelolaan obat yang perlu
mendapat perhatian inggi; termasuk memindahkan elektrolit
konsentrasi tinggi dari unit perawatan pasien ke farmasi. Rumah sakit
juga perlu menetapkan unit mana saja yang secara klinis memang
memerlukan elektrolit konsentrasi tinggi sesuai bukti dan praktik
profesional yang ada, seperti misalnya unit gawat darurat atau kamar
operasi. Serta menetapkan cara pelabelan dan penyimpanan sedemikian
rupa sehingga aksesnya terbatas agar terhindar dari pemakaian tak
sengaja.
Untuk itu, rumah sakit perlu membuat kebijakan dan atau prosedur
yang meliputi : Daftar obat-obatan yang masuk kriteria perlu mendapat
perhatian tinggi, dimana lokasinya, bagaimana pelabelannya, dan
bagaimana penyimpanannya.
Elektrolit konsentrasi tinggi tidak boleh ada di unit perawatan
pasien kecuali jika secara klinis diperlukan dan tindakan diambil untuk
mencegah pemberian tidak sengaja di wilayah yang diizinkan oleh
aturan kebijakannya.
Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan di unit perawatan
pasien diberi label jelas dan disimpan sedemikian rupa hingga tidak
mudah diakses.Kebijakan dan atau prosedur tersebut dipantau
pelaksanaannya.

4. Faktor yang mempengaruhi kerja obat


Akibat perbedaan cara dan tipe kerja obat, respon terhadap pasien
sangat berpariasi. Faktor karakteristik obat juga mempengaruhi kerja
obat. Pasien mungkin tidak memberi respon yang sama terhadap setiap
dosis obat yang diberikan.
Patient safety atau keselamatan pasien adalah suatu system yang
membuat asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman. System ini
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil meliputi :
a. Asesmen resiko
b. Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
resiko pasien
c. Pelaporan dan analisa insiden
d. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan
pencegahan terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan / tidak mengambil tindakan
yang seharusnya dilakukan respon yang berbeda pada pasien
yang berbeda.

Perbedaan genetic;
Susunan genetic mempengaruhi biotransfortasi obat. Pola
metabolic dalam keluarga seringkali sama. Factor genetic menentukan
apakah enzim yang terbentuk secara alami ada untuk membantu
penguraian obat.Akibatnya anggota keluarga sensitive terhadap suatu
obat.

Variable fisiologis
Perbedaan hormonal antara pria dan wanita mengubah
metabolism obat tertentu. Hormone dan obat saling bersaing dalam
biotransformasi karena kedua senyawa tersebut terutama dalam proses
metabolic yang sama. Variasi diurnal pada sekresi ektrogen
bertanggung jawab untuk fluktuasi siklik fariasi obat yang dialami
wanita. Usia berdampak langsung pada kerja obat. Bayi tidak memiliki
banyak enzim yang diperlukan untuk metabolism obat normal. Jumlah
perbedaan fisiologis yang menyertai penuaan mempengaruhi respon
terhadap terapi obat.System tubuh mengalami perubahan fungsi dan
struktur yang mengubah pengaruh obat.
Perawat harus berupaya meminimalkan efek obat yang
berbahaya yang meningkatkan kapasitas fungsi yang tersisa pada
pasien.Apabila status nutrisi pasien buruk sel tidak dapat berfungsi
dengan normal sehingga biotransformasi tidak berlangsung seperti
semua fungsi tubuh. Metabolism obat bergantung pada nutrisi yang
adekuat untuk membentuk enzim dan protein.
Kebanyakan obat berikatan dengan protein sebelum di distribusi
ketempat kerja obat. Setiap penyakit yang merusak fungsi organ yang
bertanggung jawab untuk farmacokinetik normal juga dapat merusak
kerja obat.Perubahan intergritas kulit, penurunan absorbsi atau motilitas
saluran cerna dan kerusakan fungsi ginjal dan hati hanya beberapa
kondisi penyakit yang berhubungan dengan kondisi yang dapat
mengurangi kemanjuran obat atau membuat pasien beresiko mengalami
toksikasi obat.

Kondisi lingkungan
Stres fisik dan emosi yang berat akan memicu respon hormonal
yang pada akhirnya mengganggu metabolism obat pada pasien. Radiasi
ion menghasilkan efek yang sama dengan mengubah kecepatan aktifitas
enzim. Pasien hipertensi diberi vasodilator untuk mengontrol tekanan
darahnya.Pada cuaca panas dosis vasodilator perlu dikurangi karna suhu
yang tinggi meningkatkan efek obat.Cuaca dingin cinderung
meningkatkan vasokontriksi sehingga dosis vasodilator ditambah.

Factor fisikologis
Sejumlah factor fisikologis mempengaruhi penggunaan obat dan
respon terhadap obat. Sikap seseorang berakar dari pengalaman
sebelumnya atau pengaruh keluarga. Melihat orang tua sering
menggunakan obat;obatan dapat membuat anak menerima obat sebagai
bagian dari kehidupan normalnya.

Diet
Interaksi obat dan nutrient dapat mengubah kerja obat atau nutrient
jalur pemberian obat. Jalur pemberian obat tergantung pada bentuk obat
dan efek yang diharapkan serta kondisi fisik dan mental pasien.

Jalur oral
Jalur oral merupakan jalur termudah dan sering digunakan, obat
oral memiliki omset kerja yang lebih lambat dan efek yang lebih lama.

Jalur parenteral
Pemberian parenteral adalah menyuntikan obat kedalam tubuh,
Pemberian obat topical. Obat yang dioleskan kekulit dan membrane
mukosa biasanya memiliki efek local.

Jalur inhalasi
Saluran pernapasan yang lebih dalam menyediakan daerah
permukaan yang luas untuk penyerapan obat , perawat memberikan
obat inhalasi melalui lubang hidung, mulut, selang
endotrakeal/trkeastomi.

Pemberian obat
Pemberian obat kepada pasien dapat dilakukan melalui beberapa
cara, diantaranya: oral, parenteral, rectal, vagina, kulit, mata, telinga,
dan hidung dengan menggunakan prinsip 5 tepat (tepat nama pasien,
nama obat, dosis obat, cara pemberian dan waktu pemberian) dan 1
waspada.

1. Pemberian obat melalui oral


Pemberian obat melalui oral merupakan pemberian obat melalui
mulut dengan tujuan mencegah, mengobati, dan mengurangi rasa sakit
sesuai dengan jenis obat. Persiapan alat:
a. obat-obatan
b. tempat obat
c. daftar buku obat/jadwal pemberian obat
d. air minum dalam tempatnya

Langkah-langkah:
a. Membagi obat ketempat obat:
1) Mencuci tangan
2) Membaca instruksi pada daftar obat
3) Mengambil obat-obatan
4) Menyiapkan obat dengan tepat menurut daftar obat(obat masih
dalam kemasan)
5) Menyiapkan obat cair beserta gelas obatnya

b. Membagi obat kepasien:


1) Mencuci tangan
2) Mengambil daftar obat kemudian obat diteliti kembali sambil
membuka bungkus obat
3) Menuangkn obat cair kedalam gelas obat, jaga kebersihan
etiket obat
4) Membawa obat dan daftar obat obat ke pasien sambil
mencocokan nama pada tempat tidur dengan nama daftar obat
5) Memastikan pasien benar dengan memanggil nama pasien
sesuai dengan nama pada daftar obat
6) Memberi obat satu persatu ke pasien sambil menunggu sampai
pasien selesai minum
7) Catat perubahan, reaksi terhadap pemberian, dan evaluasi
respon terhadap obat dengan mencatat hasil pemberian obat
8) Mencuci tangan

2. Pemberian obat melalui sublingual


Pemberian obat melalui sublingual merupakan rute pemberian
obat yang absorpsinya baik melalui jaringan, kapiler dibawah
lidah.Obat-obat ini mudah diberikan sendiri.karena tidak melalui
lambung, sifat kelabilan dalam asam dan permeabilitas usus tidak perlu
dipikirkan. Persiapan obat yang sudah ditentukan dalam
tempatnyaLangkah-langkah:
a. Cuci tangan
b. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
c. Memberikan obat kepada pasien
d. Memberitau pasien agar meletakan obat pada bagian bawah lidah,
hingga terlarut seluruhnya.
e. Menganjurkan pasien tetap menutup mulut, tidak minum dan
berbicara selama obat belun terlarut seluruhnya.

3. Pemberian obat melalui intrakutan (IC)


Pemberian obat intrakutan merupakan cara memberikan atau
memasukan obat kedalam jaringan kulit. Pemberian obat dengan cara
ini mempunyai efek local. Tujuannya adalah untuk melakukan tes
terhadap reaksi alergi jenis obat yang akan digunakan. Lokasi dipilih
sehingga reaksi inflamsi dapat diamati.Daerah yang lebih disukai
adalah yang tidak banyak mengandung pigmen, berkeratin tipis, dan
tidak berambut seperti permukaan ventral dari lengan bawah, daerah
klavikula pada dada, daerah scapula pada punggung, dan permukaan
medial paha. Persiapan alat:
a. Spuit 1 cc
b. Kapas alcohol 70%
c. Alat tulis
d. Obat injeksi
e. Daftar obat
f. Piala ginjal
g. Bak injeksi( dilapisi kasa steril)
h. Cairan pelarut
i. Perlak dan alasnya

Langkah-langkah:
1. Mencuci tangan
2. Menjelaskan prosedur tindakan
3. Menyiapkan dosis obat
4. Memasang perlak
5. Menentukan lokasi tusukan
6. Disenfeksi dengan kapas alcohol pada daerah yang akan disuntik
7. Lakukan penusukan dengan lubang menghadap keatas dengan
sudut 15-20
8. Masukan obat perlahan-lahan hingga terjadi gelembung
9. Tarik spuit dan jangan lakukan masase
10. Lingkari batas pinggir gelembung dengan alat tulis
11. Bereskan alat-alat
12. Cuci tangan dan catat hasil pemberian obat, tanggal dan waktu,
serta jenis obat.

4. Pemberian obat melalui subkuntan (SC)


Pemberian obat melalui subkuntan (SC) adalah pemberian obat melalui
suntikan kebawah kulit yang dapat dilakukan pada daerah lengan atas sebelah luar
atau sepertiga bagian bahu, paha sebelah luar, daerah dada, dan daerah sekitar
umbilicus (abdomen).Pemberian obat melalui SC memiliki efek sistemik.Lokasi
untuk suntikan diplih dimana terdapat bantalan lemak dengan ukuran memadai.
Pemberian obat dengan cara ini pada umumnya dilakukan dalam program
pemberian insulin yang digunakan untuk mengontrol kadar gula darah.
Persiapan alat:
1. Spuit
2. Kapas alcohol 70%
3. Obat injeksi
4. Daftar buku obat
5. Bak injeksi
6. Bengkok
7. Perlak dan alasnya

Langkah-langkah:
1. Mencuci tangan
2. Menjelaskan prosedur tindakan
3. Menyipkan dosis obat setelah itu tempatkan pada bak injeksi
4. Menentukan lokasi
5. Disenfeksi dengan menggunakan kapas alcohol pada lokasi
6. Memasukan jarum dengan sudut 45
7. Lakukan aspirasi, bila tidak ada darah masukan obat perlahan-lahan
hingga habis
8. Tarik spuit dan tahan dengan kapas alcohol. Masukan spuit yang telah
terpakai kedalam bengkok
9. Membereskan alat
10. Mencuci tangan
11. Mengobservasi reaksi pasien

5. Pemberian obat melalui intravena langsung (IV)


Pemberian obat melalui intravena langsung (IV) adalah pemberian obat
yang dilakukan melalui vena, diantaranya vena mediana cubiti/ cephalika
(lengan), vena saphenous (tungkai), vena jugularis (leher), dan vena frontalis/
temporalis (kepala) dengan tujuan untuk memberikan obat dengan reaksi cepat
dan langsung masuk kepembuluh darah. Persiapan alat:
1. Spuit
2. Kapas alcohol 70%
3. Obat injeksi
4. Daftar buku obat
5. Bak injeksi
6. Bengkok
7. Perlak dan alasnya
8. Tourniquet
9. K/P plester
Langkah-langkah:
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Menyiapkan dosis obat dan tempatkan pada bak injeksi
4. Menentukan lokasi injeksi
5. Meletakan perlak kecil dibawah lengan yang akan dipungsi
6. Melakukan pembendungan vene dengan tourniquet pada bagian atas
daerah/ lokasi pungsi
7. Disenfeksi dengan kapas alcohol pada lokasi
8. Menusukan jarum injeksi dengan sudut 15-90
9. Lakukan aspirasi, bila ada darah masukan obat perlahan-lahan hingga
habis
10. Tarik spuit dan tahan dengan kapas alcohol kalau perlu diplester
11. Membersihkan alat-alat
12. Mencuci tangan
13. Mengobservasi reaksi obat

6. pemberian obat melalui wadah cairan intravena (drip)


Pemberian obat melalui wadah cairan intravena merupakan cara
memberikan obat dengan menambahkan atau memasukan obat kedalam wadah
cairan intavena dengan tujuan untuk meminimalkn efek samping dan
mempertahankan kadar terapiutik dalam darah. Persiapan alat:
1. Spuit
2. Obat dalam tempatnya
3. Wadah cairan
4. Kapas alcohol

Langkah-langkah:
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Periksa identitas pasien dan ambil obat masukan kedalam spuit
4. Cari tempat penyuntikan obat pada daerah wadah/ kantong cairan
5. Lakukan disenfeksi dengan kapas alcohol dan hentikan aliran
6. Lakukan penyuntikan dengan memasukan jarum spuit hingga menembus
bagian tengah dan masukan obat perlahan-lahan
7. Tarik spuit kemudian jalankan kembali aliran serta periksa kecepatan infus
8. Cuci tangan
9. Catat obat yang telah diberikan dan dosisnya

7. pemberian obat melalui selang intravena (per infus)


Peralatan:
1. Spuit
2. Obat dalam tempatnya
3. Selang intravena
4. Kapas alcohol

Langkah-langkah:
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Periksa identitas pasien dan ambil obat kemudian masukan kedalam spuit
4. Cari tempat penyuntikan obat pada daerah selang intravena
5. Lakukan dienfeksi dengan kapas alcohol dan hentikan aliran
6. Lakukan penyuntikan dengan memsaukan jarum spuit hingga menembus
bagian tengah dan masukan obat perlahan-lahan
7. Tarik spuit kemudian jalankan kembali aliran serta periksa kecepatan infus
8. Cuci tanagan
9. Catat obat yang telah diberikan dan dosisnya

8. pemberian obat dengan intramuscular (IM)


Pemberian obat IM merupakan pemberian obat yang dilakukan dengan
cara memasukan obat kedalam jaringan otot. Pemberian obat dengan cara ini
mempunyai efek sitemik. Biasanya efek obat lebih cepat terjadi daripada
pemberian obat melalui SC. Lokasi penyuntikan adalah pada daerah dengan
ukuran otot yang memadai dan terdapat sedikit syaraf/pembuluh darah yang besar,
seperti paha, (vastus lateralis), ventro gluteal ( dengan posisi berbaring), dorso
gluteal (posisi tengkurap), atau lengan atas (deltoid). Peralatan:
1. 1.Spuit
2. 2.Obat dalm tempatnya
3. 3.Kapas alcohol
4. 4.Cairan pelarut
5. 5.Bak injeksi
6. 6.Bengkok
langkah-langkah
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Ambil obat kemudian masukan kedalam spuit sesuai dengan dosis,
kemudian letakan pada bak injeksi
4. Menentukan lokasi penyuntikan
5. Disenfeksi dengan kapas alcohol tempat yang akan dilakukan penyuntikan
6. Lakukan penyuntikan dengan sudut 90
7. Lakukan aspirasi. Bila tidak ada darah masukan obat secara perlahan-lahan
8. Tarik spuit dan tekan daerah penyuntikan dengan kapas alcohol
9. Membereskan alat-alat
10. Mencuci tangan
11. Catat reaksi, jumlah dosis, dan waktu pemberian
9. Pemberian obat melalui anus atau rectum
Pemberian obat melalui anus/rectum (suppositoria) dilakukan dengan cara
memasukan obat melalui anus/rectum Tujuan:
1. Memberikan efek local dan sistemik
2. Menjadikan lunak feses
3. Merangsang BAB

Peralatan:
1. Obat suppositeria dalam tempatnya
2. Sarung tangan
3. Kain kasa
4. Vaselin/pelican/pelumas
5. Kertas tisu
6. Bengkok

Langkah-langkah:
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Menawarkan pasien untuk buang air besar/kecil
4. Bebaskan pakaian bagian bawah dan letak bengkok dibawah anus
5. Gunakan sarung tangan
6. Buka pembungkus obat dan pegang dengan kain kasa
7. Oleskan pelican pada ujung obat supposteria
8. Renggangkan glutea dengan tangan kiri, kemudian masukan obat sambil
menyuruh pasien menarik nafas panjang. Selama 20 menit pasien istirahat
berbaring
9. Setelah selesai tarik jari tangan dan bersihkan daerah sekitar anal dengan
tisu
10. Lepaskan sarung tangan dan masukan kedalam bengkok
11. Merapikan pakian pasien dan lingkungannya
12. Membersihkan alat dan mengembalikan pada tempatnya
13. Cuci tangan
14. Catat obat,jumlah/dosis, dan cara pemberian

10. Pemberian obat melalui vagina


Pemberian obat melalui vagina bertujuan untuk mendapatkan efek terapi
obat dan mengobati saluran vagina/servik Peralatan:
1. Obat dalam tempatnya
2. Sarung tangan
3. Kain kasa
4. Kertas tisu
5. Pelican/ pelumas
6. Pengalas/ handuk bawah
7. Bengkok

Langkah-langkah
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Membuka pakaian bawah, menutupi dengan pengalas/ handuk bawah
4. Memberikan posisi dorsal recumbent
5. Buka pembungkus obat dan pegang dengan kain kasa
6. Gunakan sarung tangan
7. K/P melumasi suppositoria tipis-tipis
8. Renggangkanlabia minora agar tampak meatus vagina dengan tangan kiri
9. Masukan obat sepanjang dinding kanal vagina posterior sampai 8-10cm
atau sedalam mungkin
10. Mengeluarkan jari tangan dan membuka sarung tangan
11. Memberikan supine 5-10 menit, meninggikan panggul dengan satu bantal
12. Cuci tangan
13. Catat jumlah, dosis, waktu, dan cara pemberian
11. Pemberian obat topical
a. Kulit
pemberian obat yang dilakukan pada kulit dengan tujuan mempertahankan
hidrasi, melindungi permukaan kulit, mengurangi iritasi kulit, atau mengatasi
infeksi. Obat ini dapat berupa krem, lotion, dan sprey. Peralatan:
1. Obat yang diperlukan
2. Kapas lidi steril
3. Bengkok

Langkah-langkah
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Membersihkan kulit dengan kasa steril
4. Mengoleskan obat pada kulit
5. Merapikan pasien dan lingkungannya
6. Cuci tangan

b.Mata
pemberian obat dengan cara menetesksn atau mengoleskan obat pada
mata. Peralatan:
1. Bengkok
2. Kapas
3. Obat
4. K/P pipet

Langkah-langkah
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Sikap pasien duduk atau tidur terlentang dengan kepala ditengadahkan
4. Membuka kelopak mata bawah dengan telunjuk jari kiri
5. Meneteskan obat tetes mata pada permukaan konjungtiva kelopak mata
bawah
6. Membersihkan air mata yang keluar dengan kapas
7. Apabila obat mata jenis salep, pegang aplikator salep di atas pinggir
kelopak mata kemudian tekan salep sehingga obat keluar dan berikan obat
pada kelopak mata bawah. Setelah selesai anjurkan pasien untuk melihat
kebawah, secara bergantian dan berikan obat pada kelopak mata bagian
atas dan biarkan pasien untuk memejamkan mata dan menggerakan
kelopak mata.
8. Membereskan alat
9. Cuci tangan

c. Telinga
pemberian obat yang dilakukan dengan meneteskan atau mengoleskan
obat pada telinga. pada umumnya obat ini diberikan pada gangguan infeksi telinga
(missal,otitis) peralatan
1. Kapas bulat
2. Handuk
3. Obat yang sudah ditentukan
4. Lidi kapas steril
5. Bengkok

Langkah-langkah
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Membantu pasien dalam posisi tidur miring, telinga yang sakit mengarah
keatas
4. Meletakan handuk dibahu pasien
5. Membersihkan liang telinga dengan lidi kapas
6. Mengisi pipet dengan obat yang sudah disediakan
7. Menarik daun telinga dan diangkat keatas dengan hati-hati
8. Menetesi obat melalui sisi atau dinding telinga untuk mencegah terhalang
oleh gelembung udara, sesuai dosis yang ditentukan
9. Membersihkan bekas cairan obat dengan kapas bulat
10. Merapikan pasien, lingkungan, dan alat
11. Cuci tangan
12. Catat jumlah, tanggal, dan dosis pemberian

6. Hidung
Pemberian obat yang dilakukan dengan meneteskan obat pada hidung.
Pada umumnya dilakukan pada seseorang yang mengalami keradangan hidung
(rhinitis) atau naso pharing. Peralatan
1. Handuk
2. Kapas/tisu
3. Bengkok
4. K/P pipet
5.
Langkah-langkah
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
a. Pasien diberi sikap berbaring tengadah dengan kepala lebih rendah
dari bahu
b. Duduk di kursi dengan kepala menengadah ke belakang
c. Berbaring dengan bantal dibawah bahu dan kepala tengadah ke
belakang
3. Mengisi pipet dengan obat yang sudah ditentukan
4. Menetesi hidung
a.Menetesi obat kedalam lobang hidung sesuai dosis yang ditentukan
b.Pasien di anjurkan untuk tengadah atau berbaring selama 5-10 menit supaya
obat tidak mengalir keluar
5.Membersihkan tetesan dengan kapas/ tisu
6.Merapikan dan mengembalikan alat
7.Cuci tangan
8.Catat cara, tanggal, dan dosis pemberian
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 1691/MENKES/PER/VIII/2011
TENTANG
KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 43 Undang-Undang


Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Keselamatan Pasien Rumah
Sakit;

Mengingat : 1. Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2004
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesian Tahun 2009
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5072);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3637);
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah
Sakit;
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008
tentang Rekam Medis;
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008
tentang PersetujuanTindakan Kedokteran;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG


KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT.KETENTUAN
UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
2. Insiden keselamatan pasienyang selanjutnya disebut insiden adalah setiap
kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari
Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Cedera
dan Kejadian Potensial Cedera.
3. Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden
yang mengakibatkan cedera pada pasien.
4. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya
insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.
5. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang
sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.
6. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang
sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
7. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera
yang serius.
8. Pelaporan insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut pelaporan
Insiden adalah suatu sistem untuk mendokumentasikan laporan insiden
keselamatan pasien, analisis dan solusi untuk pembelajaran.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.

Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Menteri Kesehatan ini meliputi Organisasi, Standar
Keselamatan Pasien, Sasaran Keselamatan Pasien, Penyelenggaraan Keselamatan
Pasien Rumah Sakit, Pelaporan Insiden, Analisis dan Solusi, serta Pembinaan dan
Pengawasan.

ORGANISASI

Pasal 3
(1) Menteri membentuk Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit
untuk meningkatkan keselamatan pasien dan mutu pelayanan rumah sakit.
(2) Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan organisasi nonstuktural dan independen dibawah
koordinasi direktorat jenderal yang membidangi rumah sakit,serta bertanggung
jawab kepada Menteri.
(3) Keanggotaan Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit berjumlah 11
(sebelas) orang yang terdiri dari unsur Kementerian Kesehatan, asosiasi
perumahsakitan, dan pakar perumahsakitan.
(4) Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dibantu oleh sekretariat.
(5) Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit mempunyai tugas
memberikan masukan dan pertimbangan kepada Menteri dalam rangka
penyusunan kebijakan nasional dan peraturan keselamatan pasien rumah
sakit.
(6) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Komite
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan standar dan pedoman keselamatan pasien rumah sakit;
b. kerja sama dengan berbagai institusi dalam dan luar negeri;
c. pengkajian Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit;
d. pengembangan dan pengelolaan sistem pelaporan insiden untuk
pembelajaran di rumah sakit; dan
e. monitoring dan evaluasi pelaksanaan program keselamatan pasien
rumah sakit.
(7) Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit dapat membentuk tim ad
hoc sesuai kebutuhan.

Pasal 4
Keanggotaan Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit ditetapkan
dengan Keputusan Menteri atas usulan Direktur Jenderal Bina Upaya
Kesehatan.

Pasal 5
Rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib
melaksanakan program dengan mengacu pada kebijakan nasional Komite
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Pasal 6
(1) Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana
kegiatan keselamatan pasien.
(2) TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada
kepala rumah sakit.
(3) Keanggotaan TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
manajemen rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit.
(4) TKPRS melaksanakan tugas:
a. mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai
dengan kekhususan rumah sakit tersebut;
b. menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program
keselamatan pasien rumahsakit;
c. menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi,
pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan
(implementasi) program keselamatan pasien rumah sakit;
d. bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit
untuk melakukan pelatihan internal keselamatan pasien rumah sakit;
e. melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta
mengembangkan solusi untuk pembelajaran;
f. memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam
rangka pengambilan kebijakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit; dan
g. membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit.

STANDAR KESELAMATAN PASIEN

Pasal 7
(1) Setiap Rumah Sakit wajib menerapkan Standar Keselamatan Pasien.
(2) Standar Keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. hak pasien;
b. mendidik pasien dan keluarga;
c. keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan;
d. penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi
dan program peningkatan keselamatan pasien;
e. peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien;
f. mendidik staf tentang keselamatan pasien; dan
g. komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar Keselamatan Pasien


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran
Peraturan ini

SASARAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT

Pasal 8
(1) Setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran
Keselamatan Pasien.
(2) Sasaran Keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut:
a. Ketepatan identifikasi pasien;
b. Peningkatan komunikasi yang efektif;
c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;
d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi;
e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan
f. Pengurangan risiko pasien jatuh.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Sasaran Keselamatan Pasien


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran Peraturan
ini.

PENYELENGGARAAN KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT

Pasal 9
(1) Dalam rangka menerapkan Standar Keselamatan Pasien, Rumah Sakit
melaksanakan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
(2) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien;
b. memimpin dan mendukung staf;
c. mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko;
d. mengembangkan sistem pelaporan;
e. melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien;
f. belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien; dan
g. mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tujuh Langkah Menuju Keselamatan


Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran
Peraturan ini
.
Pasal 10
Asosiasi perumahsakitan dan organisasi profesi kesehatan wajib berperan
serta dalam persiapan penyelenggaraan Program Keselamatan Pasien Rumah
Sakit.

PELAPORAN INSIDEN, ANALISIS DAN SOLUSI

Pasal 11
(1) Sistem pelaporan insiden dilakukan di internal rumah sakit dan kepada Komite
Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
(2) Pelaporan insiden Kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit mencakup KTD, KNC, dan KTC, dilakukan setelah analisis dan
mendapatkan rekomendasi dan solusi dari TKPRS.
(3) Sistem pelaporan insiden Kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit harus dijamin keamanannya, bersifat rahasia, anonim (tanpa
identitas), tidak mudah diakses oleh yang tidak berhak.
(4) Pelaporan insiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditujukan untuk menurunkan insiden dan mengoreksi sistem dalam rangka
meningkatkan keselamatan pasien dan tidak untuk menyalahkan orang
(nonblaming).

Pasal 12
(1) Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam
waktu paling lambat 2x24 jam sesuai format laporan sebagaimana
tercantum pada Formulir 1 Peraturan ini
(2) TKPRS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas
insiden yang dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan hasil
kegiatannya kepada kepala rumah sakit.

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 17
(1) Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang telah ada dan dibentuk
oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) masih tetap
melaksanakan tugas

sepanjang Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit belum terbentuk.


(2) Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus dibentuk dalam
waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak peraturan ini ditetapkan.
(3) Setiap rumah sakit harus membentuk TKPRS sesuai dengan Peraturan ini
dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak peraturan ini
ditetapkan.

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 18
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 2011
MENTERI KESEHATAN,

ttd
ENDANG RAHAYU SEDYANINGSIH

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 2011

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd

PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR

LAMPIRAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN

NOMOR 1691/MENKES/PER/VIII/2011

TENTANG

KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT


STANDAR KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT

Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang perlu


ditangani segera di rumah sakit di Indonesia maka diperlukan standar
keselamatan pasien rumah sakit yang merupakan acuan bagi rumah sakit di
Indonesia untuk melaksanakan kegiatannya.
Standar Keselamatan Pasien wajib diterapkan rumah sakit dan penilaiannya
dilakukan dengan menggunakan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit.
Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu:
1. hak pasien
2. mendidik pasien dan keluarga
3. keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
5. peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien
Uraian tujuh standar tersebut diatas adalah sebagai berikut:
Standar I. Hak pasien
Standar:
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya
insiden.

Kriteria:
1.1 Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
1.2 Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana
pelayanan.
1.3 Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara
jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan
terjadinya insiden.

Standar II. Mendidik pasien dan keluarga


Standar :
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan
tanggung Jawab pasien dalam asuhan pasien.

Kriteria:
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan
keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena
itu, di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan
keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan
pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat :
1. Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
2. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.

Standar III. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan


Standar:
Rumah Sakit menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan
dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.

Kriteria:
3.1 Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien
masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan
pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.
3.2 Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada
seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan
lancar.
3.3 Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan
komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan
keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan
kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.
3.4 Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan
efektif.
BAB III
Implementasi keperawatan

1.Pengertian implementasi keprawatan


Adalah serangkai kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu
pasien darimasalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih
baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan(Gordon dalam poter
dan penny 2005) Tindakan keperawatan merupakan tahap keempat dari proses
asuhan keperawatan, dilakukan setelah melakukan pengkajian , perumusan
diaknosa dan perencanaan Tindakan setiap perawat tidak mungkin sama tapi
adapun perbedaannya karna kemampuan mengambil sikap dan memutuskan atau
memprioritaskn tindakan yang dilakukan. Implementasi dilakukan sesuai dengan
rencana tindakan yang telah disusun , protap yang ada, fasilitas yang tersedia,
kondisi dan waktu yang tepat.
Sifat tindakan keprawatan Indevenden( mandiri) Adalah implementasi atas
dasar perawat itu sendiri untuk membantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya,
misalnya; membantu aktifity dilyliving ( ADL) pasien, memberikan perawatan
diri, mengatur posisi tidur menciptakan lingkungan yang terapetik, memberikan
dorongan motifasi pemenuhan kebutuhan fsikososiospiritual perawatan alat
invasive yang digunakan pasien melakukan dokomentasi. Adalah tindakan
keperawatan atas dasar rujukan dari propesi lain seperti ahli gizi, fsiotrapi,
fsikolog missal nya dalam hal pemberian nutrisi pada pasien sesuai diet, latihan
fisik.
1. Interdependent (kolaboratf)
Tindakan keperawatan atas dasar kerja sama sesame tim keperawatan /
dengan tim kesehatan lain seperti dokter misalnya dalam pemberian obat
oral, obat injeksi, infus, caterter,NGT, keterkaitan dalam tindakan
kerjasama ini misalnya dalam pemberian obat injeksi, jenis obat, dosis dan
efek samping merupakan tanggungjawab dokter tetapi benar obat,
ketepatan jadwal pemberian , ketepatan cara pemberian, ketepatan dosis
pemberian dan ketepatan pasien serta respon pasien setelah pemberian
merupakan tanggungjawab dan menjadi perhatian perawat

2. keterampilan melakukan tindakan


Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai
dengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan
kognitif , kemampuan dalam hubungan interpersonal dan keterampilan
dalam melakukan tindakan Factor lain yang mempengaruhi kebutuhan
keperawatan , strategi implementasi keperawatan dan kegiatan komonikasi

3. Intelektual;
Tindakan yang kita lakukan harus didasari oleh ilmu kesehatan dan
keperawatan yang disesuaikan dengan kondisi pasien, dalam melakukan
tindakan perawat harusreason; tau alasan melakukan suatu tindakan
DECISION MAKING; BISA MEMBUAT KEPUTUSAN Priority setting;
tau tentang prioritas tindakan yang dilakukan Problem solving; tindakan
itu merupakan pemecahan masalah pasien Creative dan inovatif; perawat
bisa memanfaatkan barang yang ada jika tidak ada alat yang sesuai untuk
melakukan tindakan

4. Interpersonal
Interpersonal skil melibatkan teknik komunikasi verbal, dan nonverbal
perawat, tentang kemampuan perawat melakukan Kemampuan perawat
melakukan komunikasi thrapetiksehingga terjadi jalinan hubungan yang
baik antara perawat dan pasien

5. Tecnikal
Meliputi keamanan dan kemampuan perawat dalam melakukan suatu
prosedur tindakan, hal ini Bisa diasah dengan keahlian khusus dalam
bidang tertentu

6. Elemen implementasi
1. Reassessment atau hasil pengkajian kembali pasien
2. Memutuskan membutuhkan partner
3. Tindakan dari interfensi keperawatan
4. Superfisi pendelegasian perawatan
5. Dokumentasi implementasi
7. Tahap Implementasi
1. Pada tahap persiapan
a. Menggali perasaan analisis kekuatan dan keterbatasan professional
pada diri sendiri
b. Memahami rencana keperawatan
c. Menguasai keterampilan teknis keperawatan
d. Memahami rasional ilmiah dari tindakan yang akan dilakukan
e. Mengetahui sumberdaya yang diperlukan
f. Memahami kode etik dan aspek hokum yang berlaku dalam
pelayanan keperawatan
g. Memahami standar praktek klinik
h. Memahami efek samping dan komplikasi yang mungkin muncul

8. Pada tahap pelaksanaan


a. Mengkomunikasikan atau menginformasikan kepada pasien
tentang keputusan tindakan keperawatan yang akan dilakukan
b. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan
perasaannya terhadap penjelasan yang telah diberi
c. Menerapkan pengetahuan intelektual, kemampuan hubungan antar
manusia dan kemampuan teknis keperawatan dalam pelaksanaan
tindakan keperawatan

9. Pada tahap terminasi


a. Terus memperhatikan respon pasien tentang tindakan keperawatan
yang diberikan
b. Tinjau kemampuan pasien dari tindakan keperawatan yang
diberikan
c. Rapikan peralatan, lingkungan pasien dan lakukan terminasi
d. Pendokomentasian.
Daftar Pustaka
Hidayat,AAA,(2006).Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, buku 2. Jakarta :
Salemba Medika Joyce, K & Everlyn, R.H. (1996). Farmakologi Pendekatan
Proses Keperawatan.Jakarta :EGC WHO (1998).Nursing Care Of The Sick : A
Guide For Nurses Working In Small Rural Hospital.

Anda mungkin juga menyukai